Berangkat dari ide ingin mengundang kebaikan karma, perjalanan mereka berlabuh di ranah yang lebih kaya.
Sebuah wacana tentang karma yoga di benak Meghan Pappenheim, menggulirkan ide menarik yang lantas berkembang jadi jadi ajang yoga, musik, dan tari berskala internasional kala diimbuhi semangat dua pria yang sepenuh hati mendukungnya. Kadek Gunarta, suami Meghan, serta Robert Weber musisi Amerika yang menemukan ketenangan hidup dan memutuskan tinggal di Ubud. Sejak lama, Ubud memang dekat dengan seni dan spiritualitas. Banyak seniman menjatuhkan cintanya pada desa di ketinggian Bali ini. Udara sejuk, kehidupan yang berjalan pelan, dan laku spiritual yang dijalani dengan teguh, membangun ‘keheningan’ yang sulit ditandingi daerah lainnya di Bali. Meditasi, musik, dan tari lantas jadi seperti denyut nadi yang menghidupi Ubud. Ketiganya jadi sari pati hidup yang disantap semua orang yang datang ke sana.
Tak mengherankan jika Meghan lalu terinspirasi menggelar sebuah acara untuk para pelaku yoga dengan fokus yang lebih mengarah pada karma yoga, sebuah aliran dalam yoga yang dilakukan tidak dengan olah tubuh melainkan dengan berbuat kebaikan pada alam dan sesama. Ia ceritakan idenya pada Kadek, dan Rob yang lantas, dengan antusias menyambutnya. Ajang yang tadinya dibayangkan Meghan berbentuk jambore itu, akhirnya berkembang menjadi sebuah festival yoga internasional yang gaungnya nyaring terdengar di mancanegara. Para pelaku yoga dari berbagai negara berkumpul di sana selama lima hari untuk bersama-sama menyesap spirit Bali dan memasukkan Bali Spirit Festival (BSF) ke dalam agenda wajib mereka.
Siapa yang pertama kali memunculkan ide BSF ini?
Meghan Pappenheim (MP): Saya. Awalnya saya ingin membuat Karma Yoga Festival yang tujuan utamanya menginspirasi orang lain untuk melakukan hal-hal baik agar karma baik kembali datang pada mereka. Sampai sekarang pun masih ingin mewujudkannya. Mungkin nanti, suatu hari. Saat itu, saking bersemangatnya, saya sudah kerjasama dengan web desainer, membeli nama domain, juga membuat logo. Sudah siap jalan, tapi saya tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Akhirnya, semua hanya berhenti pada ide saja. Beberapa kali saya menceritakan soal ini pada Rob, juga Kadek sampai suatu hari saat saya duduk di Kafe bersama Rob dan Rachel istrinya, Rob bilang saat itu, “Ayo, mari kita buat.” Padahal saat itu, kami belum terlalu kenal satu sama lain. Lalu Rob memberi ide untuk menamakan acara itu Bali Spirit Festival dan menyarankan memasukkan musik ke dalam festival. Tiga bulan setelah itu, kami menggelar festival ‘gila’ ini. Dan festival pertama itu sangat luar biasa. Beberapa hal mungkin sedikit berbeda dengan ide awalnya. Tapi sekali pun ada perubahan, tujuan dan inspirasinya tetap soal bagaimana ‘mengembalikan apa yang sudah kita ambil’ dari alam. Semua acara yang digelar, selalu mengandung semangat berbagi. Para musisi saling mengajar satu sama lain, tampil bersama, dan datang ke sekolah-sekolah mengadakan program peduli HIV/AIDS. Rencananya, kami akan mendatangi lebih dari 50 sekolah tahun depan.
Robert Weber (RW): Ya. Benar-benar ‘gila’. Tapi kami dapat dukungan yang sangat besar dari banyak pihak. Saya pikir, ini ide dan kerja komunitas.
Kadek Gunarta (KG): Orang yang datang ke Bali hampir selalu karena daya tarik seni, budaya, keindahan, dan kehidupan spiritualnya. Kami coba menggabungkan semua kekuatan itu bersama-sama. Kalau kami bikin sesuatu di sini, vibrasinya akan terdengar hingga mancanegara. Karma baik yang kami buat di sini, semoga jadi bola salju yang menggelinding ke seluruh pelosok dunia.
Anda bertiga praktisi Yoga?
MP: Ya, saya sangat suka yoga dan sudah mulai melakukannya sejak usia 13 tahun. Saya ikut kelas yoga Iyengar pertama saya di New York. Sempat on-off selama beberapa tahun. Pada 2002 saya mengambil pelatihan guru yoga. Saya punya sertifikat guru, tapi belum pernah mengajar. Setelah melahirkan anak pertama dan kedua lalu melahirkan BSF, akhirnya saya malah jarang latihan yoga lagi. Tapi saya masih tetap suka yoga dan tahu persis apa nilai serta manfaat yang diberikan yoga bagi saya.
RW: Saya juga beryoga. Sebab, meski tinggal di Ubud, saya punya hidup yang lumayan sibuk. Yoga membantu saya tetap fokus, merasa sehat, dan lebih kreativitas. Yoga juga membawa lebih banyak inspirasi pada apa yang saya lakukan karena sebagai musisi, saya harus bisa terus berada di wilayah yang penuh hal-hal menarik untuk melakukan kerja itu.
KG: Kalau bicara tentang yoga, sebenarnya semua orang Bali telah melakukan yoga sejak kecil. Kami menjalankan apa yang disebut karma dan bakti yoga. Kami dididik oleh keluarga dan komunitas untuk melakukan hal-hal baik bagi komunitas dan itu yang disebut karma yoga. Di sini, yoga tidak identik dengan olah tubuh, tapi lebih pada soal bagaimana kita menjadi bagian dari komunitas.
MP: Ya, itu yang disebut karma yoga. Di setiap hal yang kami lakukan entah itu BSF, atau bisnis kami yang lain seperti The Yoga Barn, The Kafe, website Bali Spirit.com, atau juga studio milik istri Rob, kami jalankan dengan keyakinan penuh atas adanya karma yoga ini. Kami memberi dan melakukan apa yang kami bisa untuk berbagi dengan orang lain. Sebagai pengusaha, saya paham benar alasan kuat untuk menghasilkan uang banyak adalah agar saya bisa membagikannya pada orang lain, karena uang itu akan membantu banyak orang.
Di mana titik temu antara musik, yoga, dan tari di BSF?
RW: Seperti yang tadi sudah saya katakan, orang melakukan yoga karena mereka ingin menggali spiritnya. Dalam yoga dikenal istilah inhale dan exhale. Saya mengartikan inhale sebagai penggalian ke dalam diri, dan exhale sebagai perayaan hidup lewat musik dan tari. Jadi musik dan tari di sini sebagai ekspresi jiwa dan kebahagiaan yang ingin dibagi ke seluruh dunia. Setiap budaya, pasti memiliki secret music, atau musik spiritual.
KG: Jika kita melihat kultur Bali, sebenarnya musik, tari, dan yoga akan ditemukan di mana-mana. Orang datang ke pura, yang selalu dihiasi suara gamelan, kidung, atau kakawin. Mereka beryoga, dan menari untuk persembahan di sana. Lingkungan dibentuk dari tiga kegiatan ini. Ini memang spiritnya Bali. Kami mengambil esensi budaya lokal jadi sebuah perayaan spiritualitas. Itu yang kami adaptasi dan bawa ke dalam BSF yang lantas menjadi nilai universal dari Negara lain seperti yang tadi Rob katakan. Kami sebenarnya tidak menciptakan sesuatu yang baru. Kami menawarkan esensi budaya yang setiap hari kami jalani. Dan ini menjadi sesuatu yang universal, karena apa yang kami tawarkan adalah sebuah common sense, sesuatu yang masuk akal.
Berapa banyak peserta yang ikut di BSF pertama, dan berapa yang ikut pada BSF tahun ini?
MP: Saya tidak ingat berapa jumlah persisnya. Tapi pada BSF yang kedua, jumlah peserta meningkat dua kali lipat dari peserta BSF pertama, dan di tahun ketiga ini, pesertanya meningkat dua kali lipat dari BSF kedua. Jadi ada peningkatan sebanyak 200% sejak BSF pertama. Saya harap tahun keempat, jumlah peserta juga akan makin meningkat supaya semakin banyak orang yang mendapat manfaat dari ajang ini.
Apa harapan Anda bertiga untuk BSF?
MP: Saya tidak mau berharap terlalu banyak. Tapi saya ingin BSF ini tetap berlangsung, terus bertumbuh dan selalu bisa menginspirasi banyak orang.
KG: Saya ingin kami bisa membawa lebih banyak kelompok musik tradisional Bali agar banyak orang muda dari berbagai negara yang bisa menikmatinya, hingga kecintaan pada spirit Bali terus bertumbuh.
RW: Ya, semoga dari Ubud kami bisa membagi cinta pada dunia. Sebab di sini, selalu ada kebahagiaan, keseimbangan, dan hati yang penuh. Dengan kecantikan estetis dan spiritualnya, tempat ini punya keajaiban yang membuat hidup jadi begitu indah. (Indah S. Ariani), Foto: Agung Mulyajaya, Pengarah Gaya: ISA, Lokasi: The Yoga Barn, Ubud