seperti kavling perumahan, halaman dalam majalah memiliki keterbatasan yang tak bisa disiasati. kebutuhan visual acap kali membuat hasil wawancara terbuang percuma dalam keranjang sampah editor. blog ini adalah tempat saya menyimpan versi lengkap tulisan sebelum masuk ke meja editor. sebab, setiap perbincangan selalu mengandung banyak hal berharga yang sangat sayang kalau dibuang...
Senin, 30 November 2009
BILA BATAS MAKIN MENCAIR
Seni rupa, kini memasuki ruang yang lebih lapang. Batas yang mencair, membuat orang tak lagi jeri mengapresiasi.
Ada yang berbeda di Pacific Place (PP) sepanjang bulan Agustus silam. Begitu melewati mesin pemindai di pintu masuk, mata pengunjung tak hanya disambut jajaran butik label ternama, tapi juga akan segera menangkap pemandangan tak biasa. Beberapa butir ‘kacang’ raksasa berkulit loreng tergeletak begitu saja di lantai, di depan sebuah butik yang tengah menawarkan koleksi Fall Winter terbaru. Di sisi lain, seorang lelaki bertubuh putih, berjongkok, mengukur lantai dengan meteran. Sedepa di depannya, sebuah gergaji raksasa teronggok entah untuk apa. Di ujung ruang, dekat Coffee Bean, mendadak ada sebuah traffic light yang tak henti bernyanyi. Berbelok sedikit, kita akan bertemu para perupa ternama yang membeku dalam berbagai gaya. Membingungkan? Tidak juga. Sebab pengunjung justru menikmatinya.
Benda-benda asing itu adalah sebagian karya yang tersebar di seantero mal di bilangan SCBD itu sepanjang ajang BRI Platinum – Bazaar Art Jakarta. Di bagi dalam dua pangsa, gelaran itu diawali dengan program Mall Art yang mencakup tiga segmen, pameran A Maze Public Art Project yang diikuti 53 seniman dengan karya dalam berbagai media, Artistocrat, pameran foto para perupa karya Indra Leonardi, dan Wok With Me, sebuah kerja besar Teguh Ostenrik yang didukung langsung oleh PP. Di antara karya lain yang tersebar berbagai sudut dan selasar lantai dasar hingga lantai empat, karya Teguh menjadi semacam centerpiece. Dipajang di atrium utama beratap jenjang, 500 wajan almunium yang melayang-layang sontak menarik perhatian setiap orang yang melintasi lokasi yang berada tepat di jantung mal itu. Dekonstruksi yang dilakukan Teguh, sesungguhnya adalah upaya perupa yang beberapa bulan lalu baru saja menggelar pameran tunggal bertajuk DeFacement ini untuk memuliakan wajan yang acap terlupakan. “Kapan wajan dianggap sebagai sesuatu yang penting? Padahal tiap hari, semua orang menggunakannya untuk memasak makanan mereka,” jelas Teguh tentang karyanya.
Wok With Me, adalah satu dari sekian banyak karya bercerita yang terdapat di pameran tersebut. Sejatinya, seni rupa kontemporer memang merupakan ‘bahasa’ yang sebagai reaksi atas sebuah kondisi seni rupa modern yang terlalu mapan yang tak bisa ditembus oleh genre lain yang tak sealiran dengannya. Maka, pada banyak kesempatan, aliran ‘sempalan’ ini mengususng tema yang sangat dekat dengan realitas masyarakat, yang tak tersuarakan, termarginalkan. Ketika kebaruan kerap dianggap sebagai liyan, maka seni memang selalu bisa jadi alas an untuk dipilih sebagai penyambung lidah. Dan lidah itu kini makin tajam mengupas tiap senti kejadian dalam kehidupan manusia kini. Simbol-simbol dan media yang digunakan, tak lagi baku. Semua mencair dan melebur jadi satu, tanpa batasan yang jelas. Lukisan, instalasi, video, boleh dibuat dari bahan apa saja dan semuanya tetap boleh disebut seni. Tak hanya berhenti di sini, ruang rupa pun kini boleh meluas ke mana saja seperti yang terlihat jelas pada pemilihan tempat art fair ini: mal.
Upaya ‘mencairkan’ batas antara seni dan khalayaknya, memang bukan baru kali ini dilakukan. Sebelum acara ini, Dewan Kesenian Jakarta dan Majalah C-Arts telah pula berusaha menggotong seni masuk ke dalam mal saat digelarnya Jakarta Biennale 2008 dan C-Arts Fair 2009. Dua acara itu digelar di Grand Indonesia dan mendapat animo besar dari pengunjung, seperti yang terjadi pada bulan seni di PP ini. Selain berminat mengamati lebih teliti karya yang dipamerkan dalam A Maze, Artistocrat, dan Wok With Me, pengunjung antusias melongok Art Fair yang diadakan pada 28 hingga 30 Agustus 2009. Diikuti sekitar 20 galeri dari Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Bali, pasar seni ini berhasil menggambarkan peta seni rupa Indonesia. Seksi khusus Islamic Modern and Contemporary Art of Indonesia, Koleksi Pribadi DR. Ing. H. Fauzi Bowo, Indonesia Odyssey, Fashionart, Museum Pasifika Bali, dan Heritage Indonesia memberi kemeriahan tambahan dalam acara yang digelar di Ballroom 1 The Ritz Carlton Jakarta itu.
Sebagai sebuah produk budaya, seni kini memang tak bisa lagi dipandang terpisah dari gaya hidup. Pelan tapi pasti, sepuluh tahun terakhir ini, seni telah punya tempat sendiri dalam kehidupan kaum urban. Berbagai tema seputar kedudukan seni dan pengaruhnya, dikupas tuntas dalam rangkaian diskusi yang digelar selama dua hari. Definisi seni kontemporer dipertanyakan kembali, bersama dengan bahasan tentang peluang dan tantangan galeri menyiasati perkembangan pasar seni rupa, hingga soal investasi seni. Semua memang makin mencair dalam seni rupa yang terus menelusup masuk ke berbagai ranah hidup manusia urban. Satu hal yang harus dipertanyakan mungkin, adalah seberapa siap kita membuka pintu dan membiarkannya masuk mewarnai hari-hari kita? (Indah S. Ariani), Foto: ISA, Repro katalog
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar