seperti kavling perumahan, halaman dalam majalah memiliki keterbatasan yang tak bisa disiasati. kebutuhan visual acap kali membuat hasil wawancara terbuang percuma dalam keranjang sampah editor. blog ini adalah tempat saya menyimpan versi lengkap tulisan sebelum masuk ke meja editor. sebab, setiap perbincangan selalu mengandung banyak hal berharga yang sangat sayang kalau dibuang...
Rabu, 02 Desember 2009
PANGGUNG BARU RATNA & ATIQAH
Berdua, mereka bahu membahu membangun impian akan masa depan perfilman Indonesia yang lebih cerdas.
“Sahabat, aku pamit ke Mumbai untuk kasih keynote speech di sebuah kongres perempuan yang berlangsung di sana, lalu ke Rome untuk Festival Asiatica Filmmediale. Doain Jamila memang, siapa tahu berpengaruh pada posisi Jamila sebagai wakil Indonesia di Oscar. Salam, Ratna.”
Sebuah SMS bertanggal 31 Oktober 2009 yang diterima beberapa orang dalam lingkup pertemanan Ratna Sarumpaet, akan segera dapat mengabarkan gairah baru yang tersimpan dalam diri pemain teater kawakan itu. Jamila yang disebut-sebut Ratna dalam SMS itu maksudnya adalah Jamila dan Sang Presiden (JDSP), judul film perdana yang diluncurkan Satu Merah Panggung (SMP), rumah produksi yang merupakan pemekaran dari kelompok teater yang dibentuk Ratna puluhan tahun silam. Film adalah ranah karya baru yang dimasuki teater yang identik dengan pertunjukan bertema perlawanan. Berkisah tentang perdagangan perempuan, JDSP merangkum kegetiran yang sarat gugatan, layaknya karya Ratna di panggung teater. Kali ini di panggung yang berbeda: layar film.
Bersama putri bungsunya, Atiqah Hasiholan, Ratna mantap menyongsong era baru masa depan teater yang begitu selalu berada di belakang perlawanan Ratna terhadap kemapanan. Kondisi sulit, acap menghadang Ratna sebab pilihan sikapnya. Mulai dicekalnya pertunjukkan, hingga jeruji penjara. Atiqah tahu benar risiko yang harus diambil ibunya demi apa yang diyakini. Maka tak sekali pun Atiqah surut mendukung ibunya dengan cinta. Tak hanya sekadar menjadi pemain andalan SMP, Tiqah yang memerankan Jamila kini terjun langsung mengelola rumah produksi yang menghasilkan film yang kini tengah berkelana di berbagai festival film dunia.
Atiqah diproyeksikan untuk menjadi penanggung jawab Satu Merah panggung kelak?
Atiqah Hasiholan(AH): Sebenarnya, tanpa diproyeksi, semua sudah mengalir sendiri. Kami sudah sama-sama berjalan ke arah itu. Jadi saya tidak merasa terbebani. Kebetulan itu memang dunia yang saya sukai dan saya punya passion di situ. Saya malah bersyukur karena sudah punya wadah yang dipersiapkan oleh ibu saya selama puluhan tahun dan jadi tanggung jawab saya. Saya ingin membuktikan kemampuan, baik untuk Umi mau pun diri saya sendiri. Hidup itu kerja, bukan?
Ratna Sarumpaet (RS): Saya nggak perlu bicara sesuatu secara eksplisit padanya karena seringkali, Tiqah sudah berjalan lebih jauh dari apa yang saya duga. Sekarang ini, Tiqah menjadi produser di rumah produksi Satu Merah Panggung. Satu-satunya yang bisa saya wariskan pada anak-anak dan kebetulan Tiqah yang paling dekat dengan itu. Saya nggak akan minta dia untuk melakukan misalnya menjadi sutradara teater dan sebagainya. Tapi saya hampir yakin, bersama waktu, Tiqah akan tahu mengelola itu. Dalam beberapa percakapan saya dengannya, saya tahu dia sudah di sana. Saya tidak merasa perlu membuat perjanjian hitam di atas putih untuk meminta komitmennya pada Satu Merah Panggung, tapi saya merasa, dia sudah di sana. Satu yang saya harapkan dari dia adalah dia bisa meletakkan dirinya di dunia perfilman tidak dipengaruhi ambisi yang ada dipermukaan saja, supaya potensinya tidak mubazir. Tapi saya nggak mau membebani Atiqah untuk jadi seperti saya karena mungkin saja dia malah bisa berjalan lebih jauh daripada saya. Tugas saya adalah memberikan spirit baginya. Saya punya cita-cita, meskipun nanti saya sudah mati, SMP akan tetap bisa dihormati orang dan tetap bisa memberikan karya-karya yang signifikan secara kualitas baik kualitas kreatif juga misi. Saya tidak pernah membuat karya tanpa misi sebab itulah yang menurut saya paling penting. Kalau sekadar berani buka baju, atau bicara pornografi, itu keberanian yang masih sangat dangkal menurut saya. Tapi saya juga tidak membahas itu dengan Tiqah karena saya tahu, dengan apa yang dia lihat dari diri saya, dia mungkin berpendapat ‘ah, ini bukan ruang saya’. Tapi nggak tahu juga Tiqah.
Jamila dan Sang Presiden karya pertama rumah produksi Anda?
RS: Ya. Karya pertama yang diluncurkan oleh rumah produksi kami, juga karya pertama saya sebagai penulis skenario dan sutradara. Walau pun tidak terlalu laku di pasar film tanah air, film ini disambut baik terlihat dari animo di berbagai festival internasional. Film ini akan mewakili Indonesia di ajang Academy Award mendatang. Buat saya, yang penting bukan Oscar-nya, tapi bahwa Indonesia memilih JDSP sebagai wakil di Academy Award itu buat saya kemajuan. Pengakuan bahwa kita butuh bicara tentang peradaban, tidak lagi hanya sekadar bicara tentang hal-hal artsitik yang menurut saya sudah seharusnya disajikan oleh seorang pembuat film. Itu standar. Karya yang bisa menjadi lebih, menurut saya adalah, ketika karya itu juga berbicara tentang peradaban, jadi bukan sekadar dongeng yang dirangkai dari mimpi. Saya memilih satu cerita yang bisa menyiram orang untuk berpaling pada soal peradaban dan memahami, bagaimana kemiskinan membuat orang berubah dalam kultur. Tapi ini memang konsep pribadi saya yang mungkin berbeda dengan konsep SMP yang berfokus pada pembuatan karya yang baik. Untuk rumah produksi mungkin akan berbeda dengan teater. Rumah Produksi harus bisa membuat film cerdas, tapi juga laku dijual. Ini tantangannya. Dia (sambil menunjuk Atiqah) yang harus cari duit.
Anda berdua sempat menyinggung soal perdebatan yang acap terjadi. Sehebat apa perdebatan yang terjadi di antara Anda berdua selama proses produksi berlangsung?
AH: Umi itu orangnya sering keras pada awalnya. Tapi kalau diberi waktu berpikir, dia akan bisa menerima, sekeras apa pun bantahannya di awal perdebatan. Kalau bicara sama Umi memang harus ‘muka tebal’. Kebetulan, saya termasuk orang yang sangat cuek dan konsisten. Kalau sudah A ya A, B ya B. Saya straight forward saja.
RS: (Tiba-tiba memotong dan mengabaikan gerutu protes Atiqah yang merasa giliran bicaranya diambil sang Umi) Dalam hal ini, yang membuat sangat sulit adalah saya dan Atiqah ada di pihak yang berseberangan. Dia produser, saya sutradara. Saya punya kebutuhan banyak dan dia larang saya terus. Ini membuat kami berdamai. Yang menyulitkan saya adalah karena dia juga pemain. Saya nggak mau karena dia stress sebagai produser, ekspresinya jadi jelek. Tapi saya harus terima semua protesnya karena pembengkakan biaya yang terjadi di lapangan, kan? Kalau sebagai pemain, dia saya lepas. Kalau pun ada kritik, saya bisa dengan santai menyampaikannya di kamar. Yang banyak membuat kami sikut-sikutan dan sangat mungkin mempengaruhi proses produksi justru dari posisisnya sebagai produser.
AH: Terlepas dari produser atau nggak, ini kita bicara secara general. What I said? Umi itu orangnya keras. Nggak banyak yang bisa kasih masukan buat Umi. Dengan sikap Umi yang keras begitu, orang sudah mundur duluan. Untungnya, saya ‘muka tebal’. Straight forward saja kalau bicara. Terserah Umi nggak setuju atau kesal dengan apa yang saya sampaikan. Umi selalu butuh waktu sebelum akhirnya setuju dengan pendapat saya. Kalau orang lain, begitu didebat Umi, langsung malas menanggapi dan akhirnya memilih mengalah saja. Itu salah satu faktor yang membuat saya bisa bekerja sama dengan Umi adalah, dia orang yang keras, tapi tetap bisa menerima masukan.
RS: Atiqah bisa meyakinkan saya. Itu kuncinya. Kebanyakan orang punya pendapat, tapi tidak bisa meyakinkan orang lain tentang pendapatnya. Mungkin kelebihan lain yang dimiliki Atiqah adalah dia kenal saya.
Kapan rencana produksi berikutnya?
RS: Sudah mulai berjalan sekarang. Keberhasilan JDSP mungkin buah dari kekompakan kami. Sebab sebagai pemeran dan produser, juga anak yang tinggal serumah dengan saya, banyak yang kami hadapi. Kami bergulat berdua. Beruntung Tiqah punya stamina yang kuat untuk menghadapi saya. Kalau kami tidak cukup kompak, produksi ini mungkin tidak akan berjalan lancar. Karena membuat film itu seperti membabat dan mereboisasi sebuah hutan. Tapi kami berhasil memperoduksi sebuah film dan menurut saya itu bukti dari kerjasama yang baik. Tapi berhasilnya film itu disukai orang, tentu ada andil banyak orang lain di luar kami berdua.
Sekarang sudah mulai produksi film berikutnya?
RS: Sekarang ini kami masih konsentrasi membawa JDSP ke berbagai festival. Kami masih meramu resep yang mungkin berbeda dari resep rumah produksi lain yang mungkin memakai tema horror atau percintaan atau komedi seperti yang marak akhir-akhir ini. Saya setuju orang harus menonton sebuah produksi, tapi tetap harus yang cerdas. Misalnya pun kami membuat film dengan tema-tema yang dipilih arus besar perfilman Indonesia, film itu tetap harus cerdas.
Apa yang akan dilakukan SMP ke depan?
RS: kalau diperhatikan, SMP memang bukan seperti teater yang produktif menggelar pertunjukan rutin setahun sekali, misalnya. Sebenarnya, saya super produktif juga, hanya tidak dalam konteks pertunjukan. Saya terlalu banyak memiliki cabang hingga pertunjukan kami bisa dibilang relatif jarang dan jadi sulit produktif. Tidak dengan keluhan-keluhan standar seperti dana yang sulit, atau tidak ada penonton. Itu sih masalah klasik dunia teater, tidak perlu dibicarakan. Masalah produktivitas itu lebih pada pertanggung jawaban saya terhadap karya. Saya hanya berkarya ketika saya memang yakin akan mempertunjukan karya yang baik, bukan sekadar karena saya harus membuat pertunjukkan walau pun sering, setelah dua tahun tidak membuat pertunjukan, kerinduan untuk itu selalu muncul. Apalagi, umumnya dalam sebuah teater, selalu ada central figure yang membuat ketergantungan pada anggota teater lainnya. Ini yang coba saya hindari di sini. Membuat production house (PH) ini salah satu upaya saya untuk menghindari ketergantungan itu. Saya sediakan tempat seluas mungkin bagi anak-anak muda untuk berkarya, dan hasilnya saya belum tahu. Kita lihat nanti. Paling tidak, saya sudah menitipkan PH ini pada Atiqah. Saya yakin, dia pun nanti akan punya kebutuhan untuk berteater dan nggak perlu saya atur-atur. Jadi semua memang mengalir saja. Mungkin nanti kalau sudah menjadi rumah produksi, akan ada pola kerja yang berbeda dari seperti yang selama ini saya terapkan di sini. Atiqah mungkin harus membangun manajeman yang tidak bisa serileks yang saya terapkan di teater. Sejauh ini, saya lihat Tiqah mampu menjalaninya dengan total. (Indah Ariani), Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Foto: Nelly Wibisono, Rias wajah&rambut: Aries
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar