Ia buktikan komitmen untuk menjadikan pasiennya
sebagai subyek lewat pemberdayaan pada kekukuhan sikapnya. Mimpinya, Indonesia sehat lewat makanan
sehat seimbang.
Langit siang yang biru cerah menaungi komplek Perkantoran CBD BSD City
Serpong di Tangerang Selatan. Di depan salah satu ruko di Blok G, dua bilah
besi melintang di tangga di depan pintu masuk yang digunakan sebagai jalur
kursi roda untuk mereka yang karena kondisi kesehatannya harus memakai alat
bantu itu. Di atas pintu masuk, terdapat dua papan nama yang pada tubuhnya
masing-masing tertulis: Dr. Tan Wellbeing Clinics dan Remanlay Special Need’s
Health. Di situlah, Dr. Tan Shot Yen membagi ilmu –ya, ilmu, bukan sekadar
resep obat- pada pasien-pasiennya.
Klinik itu sederhana saja. Layaknya ruang praktek dokter, putih
melingkupi hampir seluruh bidang dinding dalam bangunan berlantai tiga itu. Di
ruang tunggu yang jamnya menunjukkan angka 14.30 itu, telah ada beberapa pasien
yang baru akan bertemu dokternya pada pukul 16.00, ketika waktu praktik dibuka.
Di klinik itu, memang tak diterapkan nomor antrian. Pasiennya dengan sadar
mengatur dan menempatkan diri pada urutan keberapa mereka bisa masuk ke ruang
praktik. “Tak ada yang menyelak masuk meski kami tak punya nomor antrian,” kata
salah satu pasien yang tengah menunggu di situ. Sedari ruang tunggu, atmosfer
kasual sekaligus kritis telah dibangun.
Di belakang ruang tunggu yang hanya diisi kursi-kursi panjang yang
menempel di dinding, ruang konsultasi Tan Shot Yen berada. Sebuah dipan untuk
memeriksa pasien dipenuhi tumpukan dokumen. “Maaf ya ini sedang berantakan.
Saya sedang membuat laporan untuk akreditasi ,” kata dokter bertubuh mungil itu
bervolume suara tinggi itu dengan nada bersahabat. Berbeda dari idealisasi sosok dokter yang konon
selalu bertutur lemah lembut pada pasien-pasiennya, Tan Shot Yen yang biasa
disapa dengan panggilan Dokter Tan itu bicara dalam volume suara maksimal
seperti seorang soprano tengah menyanyikan aria. Cukup nyaring untuk bisa
didengar di seluruh sudut ruangan itu pada pukul 14 siang yang terang dan mulai
didatangi beberapa pasien yang baru akan ditemuinya pada pukul 16.
Intonasi suaranya berubah sesuai kebutuhan. Nada ramah bisa seketika
berganti ketus manakala mendengar pasiennya melanggar komitmen untuk menerapkan
pola makan sehat seimbang yang menjadi syarat kesehatan yang dicanangkan oleh
Yen untuk pasien-pasiennya. Ia mengaku butuh kerjasama yang baik dari paseinnya
untuk menata gaya hidupnya sendiri. “Karena saya ingin mengarahkan
pasien-pasien saya pada pemberdayaan, dan tidak ingin meninabobokkan mereka dengan
pola penyembuhan cepat (quick fix) yang banyak dipraktikkan dalam dunia kedokteran
dewasa ini,” katanya. Nada suaranya masih sama, lugas dan lantang.
Shot Yen tak pernah main-main untuk urusan penerapan pola makan untuk
memperbaiki kesehatan. Tak hanya pada pasein-pasein atau peserta seminarnya, ia
juga menyampaikan soal itu lewat empat buku yang ia tulis yakni, Saya Pilih
Sehat dan Sembuh, Resep Panjang Umur, Sehat dan Sembuh, Dari Mekanisasi dampai
Medikalisasi Tubuh Holistik, dan Sehat Sejati yang Kodrati. Saat bicara tentang
pola makan sehat dan seimbang, Shot Yen akan menjelma seorang guru killer yang
siap menegur siapa saja –terutama pasien-pasiennya- yang tidak disiplin
menerapkan ilmu yang mereka terima. “Sama seperti penyakit yang tidak datang
secara tiba-tiba, kesehatan pun tidak akan bisa diperoleh dalam waktu seketika.
Keduanya, amat bergantung pada pola makan dan gaya hidup seseorang. Jadi aneh
sekali kalau orang datang ke dokter untuk mencari kesembuhan seakan-akan dokter
adalah tukang sulap yang mengembalikan kesehatan yang dirusaknya bertahun-tahun
dalam semalam,” katanya.
Ia tak ragu memarahi pasien yang tak disiplin. “Suami saya pernah diusir
sama Dokter Tan karena tidak disiplin menjaga makanan hingga hipertensinya naik
lagi,” Atiek Harman yang telah tujuh tahun menjadi pasien Shot Yen mengisahkan.
Perempuan yang pertama kali mengetahui tentang Shot Yon lewat sebuah tayangan
di televise berita swasta itu mengaku ia dan suaminya tak pernah terganggu
dengan sikap dokternya yang kadang terlalu lugas. “Sebab meski sikapnya begitu,
Dokter Tan sebenarnya orang yang sangat hangat dan selalu ingin berbagi
pengetahuan apa pun yang ia miliki supaya pasiennya mempunyai pemahaman yang
setara dan sama terbuka seperti dirinya. Pada paseien-pasiennya, ia sama sekali
tak pelit ilmu. Ia selalu mengajari
pasiennya mengenali dan menghargai tubuh mereka,” kata Atiek.
Di kliniknya, Shot Yen memiliki banyak pasien loyal seperti Atiek.
“Kebanyakan mereka yang sudah mengalami sendiri perbaikan kesehatannya setelah
menerapkan pola makan sehat seimbang,” Veranita Dwiputri, pasien lain yang baru
Maret 2013 lalu berkonsultasi pada Shot Yen. Perempuan ini mengidap diabetes
dan kadar gula melampaui angka 500 yang mengantarnya ke klinik di BSD itu.
“Untuk semua pasien yang baru pertama kali berkonsultasi, Dokter Tan selamlu
membuat sesi gabungan di mana ia selama dua hingga tiga jam member kuliah
tentang pola makan sehat seimbang,” katanya.
Menerapkan pola makan tersebut sehari setelah mengikuti sesi gabungan
Shot Yen, Vera yang telah cukup lama bergantung pada obat-obat penurun kadar
gula darah sempat panic ketika diminta menghentikan pemakaian obatnya seketika.
“Tak sampai seminggu, gula darah saya turun ke angka 100 dan saya merasa lebih
sehat karena berat badan saya turun,” kisah Vera.
Berbeda dengan iklan bombastis klinik-klinik pengobatan yang marak di
televisi, kisah-kisah sukses pasien Shot
Yen itu hanya bergulir serupa obrolan ringan penghalau bosan di ruang tunggu
yang kemudian terbawa ke luar kliniknya dan menginspirasi mereka yang tengah
sakit atau ingin menjaga kesehatannya. “Tetangga saya yang terkena diabetes
stadium lanjut hingga harus terus mendapat suntikan insulin pun bisa sembuh
mejalani pola makan yang sudah tujuh tahun saya terapkan,” kata Atiek.
Informasi dan pengetahuan yang diberikan oleh Shot Yen nyata sekali
menginspirasi pasien-pasien yang merasa memperoleh manfaat. “Tapi tidak sedikit
juga yang mental dan tidak kembali karena merasa tidak nyaman dengan sikap
keras dan gaya bicara Dokter Tan yang tanpa tedeng aling-aling,” Atiek
mengatakan sambil tertawa.
Menurut Shot Yen, seorang dokter seperti dirinya, memiliki tugas untuk
membimbing pasien-pasiennya pulang kembali pada kesehatan kodratinya. “Dokter
itu sesungguhnya adalah a lifetime coach. Sekarang ini, dengan derasnya
informasi kesehatan yang bisa dengan mudah diperoleh di internet, sesungguhnya
terjadi transformasi jabatan dalam dunia kedokteran. Kedudukan seorang dokter terhadap pasiennya
tidak lagi seperti dewa yang maha tahu melainkan sebagai pelatih yang berdiri
di tepi lapangan pertandingan setelah ia mengajari pasiennya berbagai ilmu yang
ia miliki tentang kesehatan,” katanya. Shot Yen menambahkan, tak cuma membantu
menata hidup penderita untuk bisa menerima kenyataan ketika terjadi sesuatu
yang tidak beres dalam kesehatannya, seorang dokter juga wajib menyadarkan
pasiennya, kontribusi apa saja yang ia lakukan sehingga tubuhnya menjadi sakit,
dan memberi tahu cara memperbaikinya.
Komunikasi, menurut perempuan yang lahir di Beijing pada September 1964
ini adalah salah satu alat utama yang harus digunakan oleh seorang dokter
ketika menjalankan praktiknya. “Dokter itu tidak boleh malas bicara seperti
orang yang sedang sakit gigi. Dokter itu bukan Cuma orang yang meresepkan obat,”
kata Shot Yen. Kekukuhan pendapatnya itu membuat ia kerap dianggap sebagai
dokter yang anti obat. “Ini yang selalu ingin saya luruskan. Saya sama sekali tidak
anti obat. Saya hanya menolak pemakaian obat yang tidak rasional dengan tujuan
menyembuhkan penyakit secara instan,” dengan tegas ia menukas. Pada pasiennya,
Shot Yen memang nyaris tak pernah memberikan resep obat, melainkan memberikan
pemahaman tentang pola makan sehat seimbang. “Di Indonesia, banyak sekali terjadi
kesalahpahaman mengenai makanan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Hanya
Negara kita yang mengenal istilah Sembilan bahan pokok makanan atau sembako. Pola
makan itu erat kaitannya dengan budaya,” katanya.
Ia selalu geram melihat kurangnya edukasi tentang kesehatan makanan dan
pengelanan bahan pangan bagi masyarakat. Dalam pandangan Shot Yen, perlu
keseriusan pemerintah untuk melakukan itu. “Mungkin hanya hanya butuh tiga
instatsi kementrian pendidikan, kesehatan, dan agraria untuk duduk bersama membahas
tentang kekayaan dan ketersediaan pangan serta bantuan media yang mau mendedikasikan
satu saja halamannya seminggu sekali pada departemen agraria atau pertanian
untuk mengulas tentang bahan pangan lokal dan cara mengolahnya dengan sehat
untuk membuat masyarakat sehat,” katanya. Itu sebabnya, selain menulis buku,
dokter yang menyandang master untuk ilmu filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara ini juga aktif menjadi pengajar dokter perusahaan di beberapa Badan
Usaha Milik Negara dan perusahaan-perusahaan swasta.
Berayahkan Tan Tjiauw Liat yang juga seorang dokter, Shot Yen merasa
karakter, kekritisan, dan gairah besarnya untuk berbagi ilmu terbentuk oleh
interaksinya dengan sang ayah. “Saya
bisa begini karena ayah yang menurut saya adalah seorang yang
mendedikasikan usianya untuk ilmu. Beliau orang yang selalu tidak bisa terima
sesuatu menjadi stagnan. Dalam kamus beliau, orang harus menjadi lebih baik
terus menerus setiap hari. Kabar baiknya, ada yang terus menepuk bokong saya
supaya tidak berhenti menjadi lebih baik,” katanya dengan suara yang melembut. Di balik sikap tegasnya, dokter yang tengah
menjalani doktoralnya dalam bidan Behavioral Nutrition di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ini sejatinya menyimpan hati yang hangat.
Ia punya segudang cerita tentang manusia ia yang peroleh dari kamar
praktiknya. “Jangan kira saya selalu meledak-ledak menguliahi pasien tentang
pola makan dan kesehatan mereka. Saya menempatkan mereka sebagai manusia
berdaya. Ada kalanya saya bicara blak-blakan, tapi ada pula kali di mana saya
akhirnya hanya memeluk pasien perempuan saya karena memang hanya pelukan yang
membuatnya sehat saat itu,” katanya dengan mata berkaca. Bahagia dan bangga
sering membuncah di hatinya tiap kali melihat pasien-pasien yang dengan
disiplin tinggi menerapkan pola makan sehat seimbang menunjukkan perkembangan
kesehatan yang positif. “Saya ini kan hanya pelatih. Mereka yang bertanding
memperjuangkan kesehatannya sendiri. Coba, apa ada alas an saya tidak bahagia punya
klinik ini? Apa saya punya alas an untuk tidak bangga punya pasien yang sudah
teredukasi, bisa menginspirasi dan menyampaikan kabar baik pada orang lain?” katanya
dengan suara berselimut haru. Perbincangan dengan Shot Yen harus terhenti. Jam
di ruang praktiknya menunjuk angka empat. Ruang tunggu telah penuh dan ia harus
bertemu dengan pasien-pasien yang ia banggakan, yang juga begitu mencintai
Dokter Tan. (Indah S. Ariani), Fotografer: Lufti Hamdi, Pengarah Gaya: Muntik
Dyah, Busana: Ghea Panggabean, Rias Wajah dan Rambut: Arlene, Lokasi: Dr. Tan
Wellbeing Clinics & Remanly Special Needs Health
#Tulisan ini adalah versi unedited artikel tentang Dr. Tan Shot Yen dalam Profil Majalah Dewi edisi Juli 2013