Pada karya-karyanya, Arin menyematkan semangat zaman. Dengan resin, ia bekukan sejarah tentang sebuah masa di mana ia tumbuh di dalamnya.
Akhir maret 2010.
Sebuah email dari Sigiarts Gallery tiba di kotak surat. Isinya undangan pameran
berjudul Fluid Friction #2 dari seniman Arin Dwihartanto. Nama itu terasa
jarang berseliweran di jagat senirupa Indonesia pada paruh tengah hingga akhir dekade
itu. Namun kuratorial dan curiculum vitae yang menyertai undangan itu cukup
menjelaskan bahwa sang seniman sejatinya tak benar-benar hijau di ranah seni
rupa. Ia punya sederet pengalaman pameran dan pencapaian yang layak dicatat
sejak masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan seni murni di Fakultas Seni Rupa
dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB). Mulai dari kompetisi nasional
untuk mahasiswa seni PEKSIMINAS hingga kompetisi seni rupa bergengsi seperti
Phillip Morris, Asia-Europe Young Artist Painting Competition, dan Indofood Art
Award yang menjadi salah tiga kompetisi yang jadi acuan seni rupa di tingkat
nasional dan regional.
Fluid Friction #2
pun bukan pameran tunggalnya yang pertama. Sebelumnya, ia pernah menggelar
pameran Machine Head di Koong Gallery Jakarta, Unstable Ground di Toni Heath
Gallery, London dan Liquid Friction di Artipoli Gallery Netherland. Sederet
pameran bersama juga ia ikuti dalam rentang waktu cukup panjang antara 1997
hingga 2010 itu. Beberapa foto lukisan abstrak berwarna mencorong menyertai
undangan itu. Cyan Magenta Yellow Black 3 – Resin on Canvas. Keterangan foto itu
cukup mengganggu. Bagaimana resin diterapan pada kanvas? Pertanyaan tersebut
menimbulkan rasa penasaran pada seniman berpembawaan tenang yang air mukanya
lebih banyak terlihat datar dan tak banyak menebar senyum.
“Saya tak sengaja
berniat memakai resin sebagai medium berkarya. Awalnya hanya iseng bermain-main dengan resin. Ternyata saya suka dan
tmerasa terbantu karena resin lebih cepat kering disbanding medium lain yang
saya gunakan sebelumnya seperti cat minya. Selain karena alasan teknis bahwa cairan resin
lebih cepat kering dibanding cat minyak, saya tak menemukan alasan lain yang
lebih tepat untuk menjawab kenapa saya menggunakan medium itu ketika pertama
kali mencobanya pada 2008,” kata Arin. Kala itu, seniman yang lahir pada 1978 ini tengah mudik liburan ke Bandung, kota di mana ia lahir dan tumbuh besar
dalam lingkungan artistik yang tersaji setiap hari lewat interaksi dengan
ayahnya, seniman Sunaryo dan ibunya Heti Sunaryo, seorang perias pengantin
Sunda. Pada tahun 2008 itu, Arin baru saja menyelesaikan master seninya di
sekolah seni rupa bergengsi, Central Saint Martin’s College of Art and Design
di London. Hingga sebelum menemukan resin, Arin yang karya-karya awalnya terasa
kental terpengaruh komik dan manga Jepang itu menggunakan cat minyak yang lama
sekali kering. Ketebalan cat yang ia butuhkan untuk menggoreskan idenya pada
citra-citra di atas kanvas bahkan kerap belum kering, berbulan-bulan setelah
karya itu selesai. “Itu sering sekali mengganggu pikiran saya dan membuat ingin
sekali menemukan bahan lain yang bisa memberi solusi. Maka ketika suatu ketika
saya tak sengaja menumpahkan resin dan melihat betapa cepat cairan itu
mengering, saya segera mencoba mengeksplorasi kemungkinan yang bisa saya buat
dari material itu,” kisahnya.
Pameran bersama
berjudul GANTI OLI: Contemporary Paintings from Indonesia yang berlangsung
nyaris sepanjang bulan Agustus 2008 di galeri Valentine Willie Singapura
menjadi titik baru dalam perjalanan berkarya Arin. Tiga lukisan berbahan resin
yang ia sertakan dalam pameran itu mendapat perhatian serius dunia seni rupa. “Sambutan
baik itu membuat saya bersemangat mempelajari resin lebih dalam,” akunya. Dari
sekadar ketidaksengajaan, Arin lantas membiarkan semangat dan rasa penasaran memandunya
menemukan keajaiban-keajaiban resin yang secara alami diciptakan sebagai
material preservasi karena sifatnya yang membekukan apa saja yang terlapisi
oleehnya.
Dengan penuh
semangat dan rasa penasaran, ia telusuri setiap informasi yang didapatnya tentang resin. “Di London, saya mendapat banyak kemudahan
memperoleh informasi yang saya butuhkan. Ketatnya regulasi
keselamatan dan kesehatan di sana
juga memaksa saya menerapkan
standar kerja paling aman dengan
resin yang sesungguhnya
material beracun yang bisa sangat berbahaya bagi kesehatan bila proses kerjanya
tak dilakukan sesuai prosedur,” katanya.
Di studio kecilnya yang berada di sebuah distrik seni London di mana
banyak seniman-seniman muda menyewa studio, Arin mencoba mengolah berbagai
kemungkinan yang bisa ia buat bersama resin. Sayangnya, informasi dan
pengetahuan yang leluasa ia peroleh di sana tak dibarengi kemudahan mendapatkan
bahan dan bantuan kerja. “Sejak pindah ke London dan memulai kuliah di Saint
Martin’s saya memang seperti kembali ke titik nol baik dari segi pengetahuan
mau pun pengalaman kerja. Apa yang saya pelajari di ITB seperti dinihilkan dan
dipaksa kembali mempelajari seni rupa dunia dari
dasarnya. Begitu pula ketika praktek,” kata Arin yang mengaku sempat frustrasi
di enam bulan pertamanya di Saint Martin.
Namun Arin
memilih untuk tidak patah. Semua
kendala yang ditemuinya ia coba urai dan pintal rapi. Ia menolak surut karena London adalah kota
yang sangat ingin ia taklukkan kala itu. “Saya ingin sekali berpameran tunggal
di sana,”
katanya. London, dengan lembaga pendidikan seni rupa bergengsi yang
berhasil Arin masuki itu adalah pilihan yang secara sadar
ia pilih untuk merentang jarak bukan hanya dengan dunia seni rupa Indonesia,
melainkan juga dengan kebesaran karya-karya ayahnya. “Sejak masuk
seni rupa, saya sudah sangat biasa dikait-kaitkan dengan Papa. Kalau saya
mencapai sesuatu, orang akan ringan saja bilang, “Ya jelaslah, dia kan
anaknya Sunaryo,” Arin mengenang. Kondisi itu diakuinya sangat tidak
menyenangkan. Namun Arin bukan juga
putra yang merasa harus
membenci dan secara frontal memilih berseberangan dengan ayhnya. “Saya tidak
punya alasan marah dengan kondisi itu. Kenyataannya, saya memang anak Sunaryo yang memang
banyak mempengaruhi perkembngan artistik saya seperti soal komposisi, dan
sebagainya,” katanya.
Sunaryo, bukan
tak tahu putranya merasakan tekanan bayang-bayangnya. “Saya merasakan itu sejak
Arin mulai masuk ITB dan melihat
bagaimana ia mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang saya dengan membangun karakter
karya dan membuat pencapaiannya sendiri,” kata Sunaryo yang selalu ingat sikap
datar Arin saat diberi selamat tiap kali ia memenangi sebuah kompetisi. “Satu-satunya
pencapaian yang dengan sengaja ia sampaikan pada saya adalah ketika ia mendapat nilai A untuk tugas akhirnya di ITB. Laporan itu berakhir dengan pertanyaan, “Papa nggak
kecewa, kan?” Sunaryo mengenang.
Beberapa tahun dari
peristiwa itu, Sunaryo menjadi saksi betapa putranya menjelma seniman yang dimiliki
bukan lagi cuma oleh Bandung dan Indonesia,
melainkan dunia. Arin berkeliling menggelar pameran dai satu galeri ke galeri
lain di lima
benua. Salah satu karya dari pameran Frozen|Stratum yang menggunakan debu
Merapi sebagai pigmen warnanya dikoleksi Museum Guggenheim yang kerap disebut
sebagai the temple of the modern art itu. “Saya menemani dia mengikuti seluruh
rangkaian acara yang digelar menandai pembukaan pameran koleksi Guggenheim
berjudul No Countries di mana karya Arin ada di antara karya seniman lain dari Asia,” kata Sunaryo. Dalam semua rangkaian acara itu, ia
sengaja selalu mengambil jarak dan menjadi pengamat di kejauhan. “Bangga sekali melihat bagaimana publik seni
dunia mengapresiasi karya Arin Dwihartanto yang punya karakter sendiri, yang
melihat dan menggunakan bahasa berbeda dari saya,” kata Sunaryo. Suaranya tak
bisa menutupi haru.
Arin sendiri
masih sama dengan beberapa tahun lalu: menyikapi segala pencapaiannya dengan
datar. “Tentu saja senang atas segala apresiasi yang saya peroleh. Tapi buat
saya, pencapaian sesungguhnya adalah titik di mana saya harus mulai dengan
sadar mengerti apa yang saya kerjakan,” kata Arin. Artinya, setiap pencapaian
akan membuat ia punya lebih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Arin memberi
dirinya sendiri tanggung jawab besar untuk memastikan ia tak pernah berhenti
mengeksplorasi berbagai kemungkinan artistik dan terus menantang diri untuk
selalu berkembang. “Karya Arin
sekarang memang bisa dibilang berbeda 180 derajat dari karya-karya lamanya baik
secara teknis mau pun caranya mengeksplorasi bahan,” Syagini Ratnawulan, seniman
yang juga sahabat Arin sejak mereka kecil.
Namun perubahan dan
perkembangan artistik itu menurut Cagi, panggilan Syagini tak mengubah sosok
Arin di matanya. “Arin tetap teman yang baik dan menyenangkan seperti saat kami
sama-sama kuliah 15 tahun lalu. Meski pendiam, leluconnya tak pernah garing dan
selalu cerdas. Dia juga bukan sahabat yang mati-matian perlu saya jaga
perasaannya karena ia bukan orang yang mudah tersinggung,” kata Cagi yang masih
selalu ingat saat Arin menghadiahinya sekotak susu ultra yang bungkusnya sudah
dikuliti, menyisakan bidang putih. “Arin tidak pernah berusaha terlihat
perhtaian dengan memberi hadiah-hadiah mewah. Tapi kesederhanaan itu yang
justru membuat persahabatan kami jadi terasa menyentuh,” Cagi
mengungkapkan.
Arin memang bukan
orang yang mudah ditebak perasaannya. Air wajahnya yang hamper selalu datar dan
tak terlalu banyak menebar senyum membuat orang kerap tak bisa membaca isi
hatinya. Bicaranya lugas dan sedikit sekali basa – basi. Namun berbincang
dengan Arin tak sedikitpun memunculkan bosan. Terutama ketika dia menceritakan
nilai-nilai dan etika berkarya yang ia pegang. “Berkarya dengan resin
menghadpkan saya pada satu persoalan serius karena sifatnya yang tak bisa diurai
secara alami. Saya risau sekali karena tidak ingin proses berkarya saya merusak
lingkungan,” katanya. Arin sempat gamang sampai akhirnya terbersit ide untuk
membuat proses berkaryanya lebih aman untuk alam dengan membuang sampah
kerjanya ke kotak-kotak transparan yang ia buat dalam berbagai ukuran.
“Ternyata setelah kotak dibuka, sampah kerja saya itu jadi semacam instalasi.
Senang sekali menemukan solusi,” katanya.
Arin memang tak pernah
mau menafikkan nilai-nilai layak tentang sesuatu yang dianggapnya layak dan
patut. “Pernah saya mengeluarkan uang cukup besar untuk membeli karya saya
waktu kuliah di sebuah balai lelang. Bukan tak senang karya saya beredar di
lelang, tapi saya kaget dengan harga yang terlalu tinggi yang mereka tawarkan.
Menurut saya harga itu tak masuk akal dan bisa berbahaya buat kelangsungan
proses kreatif saya,” kata Arin yang dengan tegas mengaku tak suka dengan
proses ‘goreng menggoreng’ yang kerap terjadi di dunia seni. Ia memilih untuk
menjadi seniman yang berkembang alami. Mengalir tenang untuk menemukan bentuk
muara terbaik lebih ia sukai ketimbang melesat cepat, lalu tamat setelah sebuah
ledakan dahsyat. “Hidup saya masih akan lama. Perjalanan karier saya juga masih
akan panjang. Saya ingin membuatnya berarti dan dikenang orang dengan baik,”
kata Arin bijak. Tampaknya, Arin belajar sangat banyak dari resin yang mengalir
dan membeku pada bentuk terbaik di atas kanvasnya. (Indah S. Ariani) Pengarah Gaya: Rhino Madewa, Fotografer: Galih
Sedayu, Busana: Kaos: Zara, Jaket: Otoko Lokasi: Studio CA3A, Cigadung,
Bandung.
#Tulisan ini merupakan versi unedited artikel tentang Arin Sunaryo yang telah diterbitkan dalam rubrik Dunia Pria Majalah Dewi edisi Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar