Dari cerita sehari-hari Raditya Dika berhasil
mempopulerkan komedi. Tapi katanya, komedi sejatinya adalah ironi yang muncul
dari kegetiran hidup.
Raditya Dika adalah fenomena dalam dunia komedi
Indonesia. Tak percaya? Coba ketikkan namanya di mesin pencari. Hampir dua juta
data tentangnya akan ditemukan dalam waktu 19 detik saja. Semua data itu akan
menghubungkan kita pada satu kata: komedi. Lalu telusuri secara teliti
data-data yang tersaji. Kita akan dibawa lebih lanjut pada ulasan buku-buku
berjudul ajaib miliknya seperti Kambingjantan, Cinta Brontosaurus, Radikus
Makankakus: Bukan Binatang Biasa, Babi Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak
Berkutang, Marmut Merah Jambu dan Manusia Setengah Salmon. Kita juga akan
dipertemukan dengan puluhan video youtube yang memuat berbagai episode serial
Malam Minggu Miko serta penampilannya di berbagai panggung Stand Up Comedy yang
ia rintis bersama komedian lain, Pandji Pragiwaksono atau berbagai kabar
terbaru tentang karya-karyanya di situs radityadika.com dan berita tentang
kompetisi Stand Up Comedy di beberapa televisi. Itu masih akan diperpanjang
pula oleh kicauannya pada lima juta lebih pengikutnya di akun Twitter tentang
berbagai hal.
Ketika ditemui dewi pada sebuah siang di pertengahan
Juli 2013 lalu, lelaki bernama lengkap
Dika Angkasa Moewarni itu tengah melakukan pengambilan gambar pertama
untuk musim kedua serial komedi situasi Malam Minggu Miko yang ditayangkan di
salah satu stasiun televisi swasta dan youtube pribadinya. Ketika tak sedang
berakting di depan kamera, tak tampak tanda-tanda kelucuan pada diri Dika. Dia
justru terlihat sebagai seorang sutradara yang tegas, disiplin, dan tak bisa
ditawar. Ia memberi instruksi pada tim produksinya sembari memerankan sendiri
Miko, tokoh ciptaannya. Di antara jeda syuting, Radit lebih banyak mengecek
kesiapan berbagai hal teknis ketimbang bercanda meriah dengan timnya. Ia
sesekali saja bergurau sembari berdiskusi tentang scene yang baru direkam.
Serius mungkin kata yang tepat untuk menyebutnya.
Radit boleh jadi seorang tipe penyendiri. Ia lebih
suka berkutat dengan dirinya ketimbang harus berbasa basi dengan orang lain. Di
kalangan blogger pun, Radit memang dikenal sebagai seorang blogger yang jarang
datang ke acara kopi darat yang kerap dilakukan. “Sesekali saja muncul, tapi
tidak setiap kopdar blogger dia ada. Radit termasuk blogger yang jarang ngumpul
dengan sesama blogger,” Wicaksono, blogger senior yang lebih dikenal dengan
nama Ndorokakung mengatakan kesannya tentang Radit. Dikonfirmasi soal ini, Radit tertawa dan
mengiyakan apa yang dikatakan Wicak. “Itu terus terjadi sampai sekarang. Saya
jarang sekali datang ke acara kumpul stand up comedy. Bukan karena sombong,
tapi karena memang tidak senang ngumpul. Sampai sekarang di stan,” katanya
sambil merujuk pada sebuah hasil tes psikologi yang skornya menunjukkan dirinya
seorang anti sosial.
Ia mengaku tak jeri dianggap sombong karena tak suka
berkumpul. Sama seperti ia tak khawatir dengan sifatnya yang anti sosial. “Komedian itu umumnya membosankan. Pilihan
untuk menjadi solitaire itu diambil biasanya karena mereka tak nyaman dan
merasa bermasalah dengan kehidupan sosialnya,” kata Radit. Menurutnya, seorang
komedian memang tak punya syarat mutlak untuk menjadi lucu di bawah panggung.
“Menjadi seorang komedian itu tidak berarti harus naturally funny, tapi harus
naturally gampang kesel. The more crancky you are, the funnier you are. Kalau
dalam keadaan gelisah dan kesal, apa pun bisa jadi bahan komedi,” kata Radit.
Tak ada yang menyangka kiprah lelaki kelahiran Jakarta
28 Desember 1984 ini melesat secepat roket dan sukses meretas panggung komedi
Indonesia. Tidak pula kedua orangtuanya, atau bahkan Radit sendiri. “Nggak
pernah berpikir sama sekali. Dulu hanya semata-mata melakukan hobi saja. Cuma
curhat sehari-hari di blog saya,” katanya. Curhat sehari-harinya itu lantas
menjadi hiburan menyenangkan bagi para blog walker yang ribuan kali
menginjakkan jejak di laman yang awalnya bernama kambingjantan.com sebelum
berubah jadi radityadika.com. Radit merasa tak memplot apa-apa bagi
perkembangan kariernya. Ia merasa beruntung memiliki orangtua yang mendukung
apa pun yang ingin dilakukan anaknya. “Mungkin ini pengaruh dari bokap yang selalu mengingatkan saya
untuk tidak mengejar uang ketika bekerja. Dan memang ini yang saya buktikan dan
makin saya yakini bahwa kalau kita melakukan sesuatu bukan untuk mengejar uang,
kita justru akan mendapatkan uang. Kalau bekerja karena uang, mungkin Malam
Minggu Miko ini sudah mulai season keduanya sejak Kompas TV meminta saya
membuat season dua. Tapi ini tidak. Lama dulu sampai saya merasa ingin membuat
season kedua. Nunggu pengen-nya itu yang lama. Kata kuncinya buat saya itu ya
pengen,” Radit mengatakan.
Rasa ingin pula yang membuatnya mencoba melakukan
pencapaian-pencapaian lain. Dari blog menjadi buku, lalu membelah diri jadi
film dan serial adalah diversifikasi karya yang tak ia duga sebelumnya.
Kreatifitasnya berevolusi menjadi beberapa bentuk ekstensi dari aktivitas
utamanya menulis. “Yang pasti, diversifikasi bukan karena kita mau mencoba
suatu hal dan menjadi tidak fokus. Kalau dilihat mungkin memang beragam, tapi
saya punya satu benang merah, menulis komedi. Kecuali bisnis pancake saya yang
memang agak melenceng dari kerja saya sekarang. Tapi saya fokus pada menulis
komedi, tidak random. Akarnya harus sama dan kuat, baru kita bisa ke mana-mana.
Controlled randomness mungkin istilah yang tepat,” katanya.
Meski sempat berkuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Raditya mengaku tanpa bekal saat
mulai meniupkan ‘ruhnya’ pada blog Kambingjantan juga ketika coba melakukan
pemekaran karya. “Kata kuncinya cuma, mau belajar menulis blog yang baik. Dan
ternyata kalau kita mau belajar menulis blog yang baik, akan lebih banyak orang
yang datang,” kata sulung dari lima bersaudara ini. Ketika menyadari bahwa
tulisan-tulisannya bergenre komedi, Radit lantas mempelajari cara penulisan
komedi dengan lebih serius. Hasilnya, blognya kian ramai dan tulisan-tulisan
yang kemudian dibukukan berjudul sama dengan blognya menjadi best seller dalam
waktu singkat. “Dari situ saya belajar bahwa segala hal itu bisa dipelajari.
Dari sana, mulailah saya belajar banyak hal. Belajar stand up comedy, dan
kemudian bikin acara sendiri. Belajar menulis skenario film. Hasilnya film
Brontosaurus yang tahun ini termasuk box office di Indonesia. Di Malam Minggu
Miko, saya belajar menulis serial, belajar
jadi sutradara, belajar punya tim penulis dan sebagainya. Jadi, berawal
dari punya blog dan keyakinan bahwa segala sesuatu bisa dilakukan kalau kita
mau belajar, sampailah saya di sini,” katanya.
Hal itu diamini Tyas Abiyoga, produser yang sejak 2007
bekerjasama dengan Dika. “Radit itu pembelajar dan pekerja keras. Dia selalu
menantang dirinya untuk melakukan sesuatu yang baru. Saya sudah bekerjasama
dengan dia sejak mulai menawarkan naskah Kambing Jantan pada
perusahaan-perusahaan film. Untuk setiap hal baru yang ditemui dan terlihat
akan jadi hambatan, Dika akan dengan senang hati duduk mempelajarinya sampai
mahir,” kata Tyas. Ia juga mengaku kagum pada kemampuan Radit menjaga citra.
“Radit konsisten pada citra yang dibentuknya. Dari dulu sampai sekarang, saya
melihat Raditya yang sama. Dia nggak aneh-aneh latah ikut ini itu untuk
mempertahankan eksistensinya di dunia showbiz. Dia konsisten pada apa yang
sejak awal dikerjakannya dan fokus mengembangkan segala kemungkinan yang bisa
dia dapat dari bidang yang ditekuninya,”
kata Tyas.
Selain tak henti belajar, ia punya resep andalan lain
yang membuat karya-karyanya diminati banyak orang, yakni menjadi diri sendiri
sembari mencari irisan yang mengaitkan persoalan-persoalan personalnya dengan
persoalan penikmat karyanya. Radit yang juga senang menyebut dirinya sebagai
creativepreneur ini sadar benar bahwa ketika ia memasuki dunia industri, materi
karya yang ia buat harus memiliki kaitan dengan demografi penikmat karya yang
ia sasar. Ia analogikan keterkaitan itu sebagai cermin yang bukan hanya bisa
memantulkan sosoknya, tapi juga demografi audiensnya. “Saya tidak akan mengambil
pengalaman yang terlalu spesifik seperti bersekolah di Adelaide, menulis
naskah, menjadi sutradara, atau bahkan merintis usaha pancake durian karena
belum tentu orang bersekolah di kota yang sama atau menjalankan usaha yang sama
dengan saya. Saya memilih mengambil sesuatu yang universal yang mungkin juga
dialami oleh penonton saya. Contohnya pada Cinta Brontosaurus. Premisnya adalah
fakta bahwa cinta bisa kadaluarsa. Atau Malam Minggu Miko yang saya pakai untuk
mengkritisi tesis umum yang mengatakan bahwa lelaki lajang yang malam minggunya
dilewatkan tanpa kencan itu menyedihkan. Jadilah saya buat tokoh si jomblo Miko
yang malam minggunya lebih sering dilewati tanpa kencan, atau sekalinya kencan
pastilah kencan yang gagal,” Radit menjelaskan.
Mengulik habis berbagai persoalan jomblo dalam serial
komedinya, tak berarti Radit adalah jomblo sejati. “Nggak kok. Saya itu pacaran
terus dan jarang menjomblo karena saya nggak tahan jadi jomblo,” katanya sambil
tertawa. Kerja, barangkali kini menempati prioritas utama dalam hidupnya. Ia
ingin membuat panggung yang baik untuk para komedian Indonesia. “Saya termasuk
orang yang nggak sabaran saat mengarahkan syuting. Saya pernah meninggalkan
syuting karena salah satu pemain nggak bisa akting. Tapi saya yakin, main itu
masalah kemauan juga dan saya ingin sekali stand up comedian punya tempat di
Indonesia. Karenanya saya selalu memakai stand up comedian untuk proyek-proyek
saya,” katanya. Ia percaya, kesempatan adalah sesuatu yang dibutuhkan semua
orang. “Saya ditemukan karena orang percaya sama saya dan saya ingin melakukan
hal itu pada orang lain, memberi kepercayaan dan kesempatan pada bakat-bakat
baru,” Radit menyatakan mimpinya.
Sementaraini, tampaknya kerja memang memenuhi sebagian
besar benaknya. Sebab meski mengaku selalu punya pacar, Radit bukan orang yang
terbuka membicarakan kehidupan pribadi dan kisah cintanya. Tapi Radit
membocorkan sedikit tipe perempuan yang bisa mengusik hatinya: pandai, nyambung
dan mandiri. Kenapa cantik tidak masuk dalam kriterianya? “Yang cantik banyak.
Yang nyambung, pintar dan tidak manja itu susah dicari sekarang,” katanya.
Semoga Radit segera menemukannya. (Indah
S. Ariani), Foto: Dhany Indrianto, Pengarah gaya: Aldi Indrajaya, Busana: Sweater, Norse Project, Celana, Vanishing Elephant, Otoko.
*Artikel ini merupakan versi unedited artikel sama yang telah diterbitkan di Majalah Dewi Edisi Oktober 2013*
Menarik....inspiratif..
BalasHapusSalam
Deden.spot
gara gara main game online SAGATOTO jadi dapaet cuan terus dan bisa banyak membantu orang broSagatoto"
BalasHapus