seperti kavling perumahan, halaman dalam majalah memiliki keterbatasan yang tak bisa disiasati. kebutuhan visual acap kali membuat hasil wawancara terbuang percuma dalam keranjang sampah editor. blog ini adalah tempat saya menyimpan versi lengkap tulisan sebelum masuk ke meja editor. sebab, setiap perbincangan selalu mengandung banyak hal berharga yang sangat sayang kalau dibuang...
Kamis, 15 April 2010
RASA KAYA KRONCONG TENGGARA
Setelah dua tahun rehat karena Nyak Ina Raseuki atau yang lebih dikenal dengan nama Ubiet, pergelaran Keroncong Tenggara kembali menggugah kancah musik Indonesia. Albumnya sendiri telah dilansir tiga tahun silam. Pergelaran di Salihara pada medio Februari silam, disambut antusias penikmat musik keroncong dan juga jazz. Maklum, musisi-musisi jazz yang punya acara, sebut saja Dian HP (akordeon, keyboard), Riza Arshad (akordeon), Donny Koeswinarno (flute, saxophone), Dimawan Krisnowo Adji (cello), Arief Suseno (ukulele ‘cak’), Maryono (ukulele ‘cuk’), Adi Darmawan (bas elektrik), Jalu Pratidina (kendang sunda, perkusi) ini. Tiga belas lagu mereka bawakan dengan komposisi prima yang menyandingkan keroncong dengan beragam jenis musik lain. Lagu-lagu keroncong klasik seperti Keroncong Kemayoran, Stambul Jauh di Mata, Gambang Semarang, Di Bawah Sinar Bulan Purnama, dan Keroncong Sapulidi, berbaur dengan lagu-lagu baru yang diaransemen dengan indah oleh Dian HP, seperti Kroncong Tenggara (Nirwan Dewanto), Penghujung Musim Hujan, dan Cinta Pertama (keduanya karya Sitok Srengenge). Ramuan tango, jazz, melayu, pop, dan klasik yang diberikan pada beberapa lagu, memberi nuansa kontemporer yang meruakkan citarasa baru musik keroncong. Langkah yang layak diapresiasi. (ISA), Foto: Dok Salihara / Witjak Widhi Cahya