seperti kavling perumahan, halaman dalam majalah memiliki keterbatasan yang tak bisa disiasati. kebutuhan visual acap kali membuat hasil wawancara terbuang percuma dalam keranjang sampah editor. blog ini adalah tempat saya menyimpan versi lengkap tulisan sebelum masuk ke meja editor. sebab, setiap perbincangan selalu mengandung banyak hal berharga yang sangat sayang kalau dibuang...
Selasa, 01 Juni 2010
MERAYAKAN NYERI DI LAMA SABAKHTANI CLUB
Apa yang terpikir ketika Anda mendengar kata club? Kesenangan? Kesegaran? Di “club” yang ini, Anda akan menemukan sesuatu yang berbeda.
Di sini, kesenangan dan kesegaran memang diperoleh dengan cara berbeda. Tidak lewat bingar musik atau beraneka jenis alat gimnastik. Melainkan datang dari beragam kengerian, rasa nyeri, dan permenungan tentang penderitaan. Memang, derita dan rasa sakit bukan sesuatu yang layak dirayakan. Namun, di tangan Christine Ay Tjoe dan Deden Sambas, dua hal itu diramu jadi pertunjukan menarik. Setidaknya itu yang mereka hadirkan dalam pameran bertajuk Lama Sabakhtani Club, Ay Tjoe Christine in collaboration with Deden Sambas yang digelar sejak 16 April hingga 2 Mei 2010 silam di Galeri Lawangwangi, Bandung. Mengapa Lama Sabakhtani? “Temanya memang berangkat dari ucapan terkenal Isa ketika akan disalib, Eloi, Eloi, lama sabakhtani. Tapi pameran ini tidak berhenti pada kalimat itu sebagai teks keagamaan. Ada yang lebih luas dari itu, tentang keadaan sekarat dan tragedy yang sering terjadi dalam hidup manusia. Teks itu memuat sesuatu yang universal,” ungkap Hendro Wiyanto, kurator pameran, ketika kami duduk menghadapi sebuah guilotin(mesin pemenggal kepala) yang menjadi ‘diva’ dalam pameran itu.
Di letakkan di ruang tengah pameran, guilotin berukuran empat meter itu memang mengirimkan cekam yang dalam. Bentuk karya yang diberi tajuk Lama Sabakhtani #01 itu demikian kokoh, menghadirkan ngeri karena mengingatkan kita pada proses pemenggalan kepala yang biasa ada di film-fil tentang abad pertengahan. Dentuman pisau-pisaunya yang meluncur tanpa ampun, pasti menelan jantung siapa saja melompat karena suaranya. Tali-tali baja yang digayuti bola-bola kuningan bergerak menarik naik tiga pisau baja yang ada di mesin itu. Perlahan, tanpa suara pisau-pisau itu mengudara. Hening yang asing itu lantas pecah oleh dentuman, bunyi hempasan pisau. Satu, dua, tiga. Cekaman sirna, menyisakan kejut yang nyata. “Memang kesan mencekam itu yang ingin dihadirkan oleh Christine dan Deden. Awalnya mereka menggunakan mesin tenun untuk menghasilkan suara. Tapi kesan yang diinginkan kurang maksimal didapat. Lalu muncul ide untuk menggantinya dengan guilotin ini,” kata Hendro.
Antara Bunyi dan Sunyi
Guilotin itu tak sendirian. Ada dua instalasi lain yang mendampinginya berpameran. Lama Sabakhtani #2 berbentuk lilin terbalik yang ‘mengandung’ paku paku berbagai ukuran di dalamnya dan Lama Sabakhtani # 3, yang berupa sebuah mesin tulis manual yang tuts hurufnya telah ditelanjangi, siap mematuk jemari siapa saja yang menyentuhnya. Meski tak menimbulkan kesan sedramatis saudara pertamanya, kedua karya ini tetap saja menarik Paku yang tertancap di tubuh lilin berdiamter 12 cm dengan panjang 170 cm, adalah idiom rasa sakit yang menjadi tema utama pameran ini. Sebagai benda asing, tentu tak hanya sakit yang terasa oleh lilin itu, tapi juga keinginan untuk menolak unsure tak sejenis yang ditanam paksa dalam tubuhnya. “Ay Tjoe piawai sekali membahasakan sesuatu yang menakutkan dengan sangat puitis hingga di satu titik, ketakutan itu berubah sekaligus jadi sesuatu yang menyenangkan,” Hendro mengungkapkan.
Kurator ini menganggap Lama Sabakhtani #2 memiliki efek yang demikian karena citra tragis yang diwakili oleh kehancuran, kerapuhan, juga kemusnahan sebuah bentuk yang diperlihatkannya. Patri yang memanasi lilin, memang membuatnya meleleh hingga paku-paku itu jatuh satu persatu, menimbulkan ketukan yang mengingatkan kita pada dentum guilotin, tentu dalam skala kekuatan suara yang berkali-kali lebih rendah. Sayangnya, tak semua paku-paku itu jatuh sesuai scenario, hingga ada beberapa peluang ketukan yang gagal terjadi. Untung saja, visualisasi pembakaran lilin itu demikian menarik hingga ada substitusi kesan yang membuat kekurangan itu tak jadi terlalu mengganggu.
Lama Sabakhtani #3 mungkin adalah instalasi yang dari segi ukuran terbilang paling mungil. Tapi Ay Tjoe dan Deden berhasil membuatnya punya daya tarik yang tak kalah besar dari dua instalasi lainnya. Mengambil konsep mirip karya yang mereka tampilkan di Art Hongkong (2009) dan Art Paris (2010) berjudul Panorama without Distance, karya ini menjadi menarik karena teka-teki yang tersimpan dalam tutsnya yang menyakiti itu. Para pengunjung pameran senang bermain-main mencari bilah besi mana yang mengantar mereka pada bunyi atau pada sepi. Mesin tulis itu memang terhubung pada kotak musik yang akan berbunyi atau berhenti manakala orang menekan tombol yang tepat. “Kegilaan ide yang ada dalam pameran ini memang menarik,” menurut Hendro.
Bunyi dan suara sepertinya memang menjadi hal penting dalam pameran ini. Ay Tjoe yang datang dengan kegilaan ide itu, bertemu Deden Sambas yang disebut oleh hendro sebagai perupa pelaksana yang cermat untuk penyelesaian karya-karya trimatra Ay Tjoe. “Sebenarnya tak berlebihan jika mengatakan Deden adalah arsitek dari benda-benda aneh tersebut. Lagi pula, memang ketertarikan Ay Tjoe pada Deden disebabkan oleh kepekaannya membangun imaji melalui bebunyian, juga keterampilannya merakit benda-benda untuk kebutuhan itu,” kata Hendro lagi.
Meretas Berbagai Batas
Ditanya pendapatnya tentang karya-karya yang ia tampilkan, Ay Tjoe mengaku bahwa sesungguhnya ia mencoba mengisahkan kembali rasa sakit yang dialami Kristus dengan cara yang gembira. Lama Sabakhtani, ia pahami tak lagi semata hanya sebagai sebuah teriak putus asa, namun sesungguhnya adalah keintiman antara penyeru dan yang diseru. Ada keintiman yang membungkus kesakitan. Ay Tjoe juga seperti ingin melebarkan permasalahan yang terkandung dalam seruan itu yang sering dianggap sebagai milik penganut Kristiani menjadi sesuatu yang lebih universal lewat ide tentang rasa sakit yang bisa dialami siapa saja. “Konteks kalimat ini pantas untuk diperbarui secara spirit. Kata Club di belakang Lama Sabakhtani saya pakai supaya bisa memuncakkan, dan menegaskan hubungan intim antara pribadi manusia dan Penciptanya yang luar biasa menggembirakan,” kata Ay Tjoe.
Maka tak heran jika simbol-simbol yang ia gunakan lantas beranjak dari sekadar salib, menjadi banyak simbol universal seperti guilotin, mesin tulis dan sebagainya. Misalnya saja, Ay Tjoe mengadopsi konsep manusia menurut Marx dan bahkan memakai lajur dan baris matematika untuk menyampaikan pesannya. Hal ini muncul dalam karya berjudul Plat Hitam #01, #02, dan #03. Hanya berupa torehan jarum besi di atas plat tembaga yang lantas dilaburi tinta etsa berwarna putih. Ay Tjoe dan Deden salin menuliskan inspirasi mereka sepanjang proses persiapan pameran ini.
Maka muncullah ha-hall, nama, dan ide-ide beraneka rupa. Contohnya saja Doa Bapa Kami yang ditulis dalam kode rahasia yang tiap katanya diwakili oleh tiga komposisi angka, lajur dan baris. Penulisan kode ini menurut Ay Tjoe ia pelajari dari sebuah film tentang gerakan pemberontak di Jerman yang menentang keputusan pemerintahnya mendukung Amerika memerangi Vietnam. Lalu mengapa Ay Tjoe merasa harus berdoa secara rahasia, meski hubungan dengan Tuhan bukanlah sesuatu yang tabu? “Karena tak semua orang bisa berdoa pada Tuhannya dengan cara yang sangat intim. Simbol dan rahasia akan membuat saat berdoa terasa memiliki kualitas yang lebih kental karena ia menjadi sebuah momen personal,” katanya.
Ia juga memindahkan penggalan teks Shakespeare dalam Timon of Athens ke dalam platnya. Teks yang berisi banyak sekali paradoks dan pertanyaan seperti yang biasa ia sematkan ke dalam karyanya. “Emas? Kuning, gemerlap,. Emas yang berharga? Bukan, dewa-dewa, aku pecandu yang malas,. Akar-akar. Kamu membersihkan surga?! Maka banyak yang akan membuat hitam putih kesalahan, keadilan, salah benar, jahat mulia, tua muda, pengecut berani. Demikian.” Maka paradoks itu memang sempurna muncul sebagai pernyataan. Hal lain yang juga menarik adalah melihat bagaimana symbol dua agama, Kristen dan Islam, yang dianut Ay Tjoe dan Deden berdampingan secara harmonis dalam karya-karya tersebut. Dalam plat yang berisi ucapan terima kasih, Deden menyebut Khidr, orang suci yang menjadi guru Nabi Musa dan memiliki kisah menarik dalam Al Quran, sebagai salah satu inspirasinya. Simbol muslim juga terlihat pada karya berjudul Tool Box yang masih mengambil bunyi sebagai pemikatnya. “Ketukan satu-satu ini mengingatkan kita pada dzikir yang teratrur, dan meditatif, ” Deden menjelaskan.
Begitu pun karya dwimatra lainnya yang berupa lukisan khas Ay Tjoe. Darah dan luka dielaborasinya menjadi sebuah kisah yang indah, kendati miris dan nyeri tak bisa dienyahkan. Cekam yang datang bisa dientaskan menjadi keriaan lewat pengalaman yang membawa semua orang ingin bermain-main dengan nyeri dan rasa sakit, tanpa sedikit pun melontarkan keluhan. Kolaborasi simbol yang begitu membaur pada akhirnya juga memang menisbikan perbedaan yang hamper selalu mengemuka ketika banyak orang bicara tentang agama. Kendati bermula dari sebuah teks yang kental mengandung muatan agama, Lama Sabakhtani Club berhasil melintasi barikade perbedaan yang acap membelenggu itu. Jadi, mari kita rayakan nyeri dan luka bersama. (Indah S. Ariani), Foto: ISA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar