seperti kavling perumahan, halaman dalam majalah memiliki keterbatasan yang tak bisa disiasati. kebutuhan visual acap kali membuat hasil wawancara terbuang percuma dalam keranjang sampah editor. blog ini adalah tempat saya menyimpan versi lengkap tulisan sebelum masuk ke meja editor. sebab, setiap perbincangan selalu mengandung banyak hal berharga yang sangat sayang kalau dibuang...
Selasa, 01 Juni 2010
MUARA CINTA ANDONOWATI
Pada sains dan seni, cinta perempuan ini bermuara. Ia adopsi mereka jadi anak-anaknya.
Islamic Art Fair 2009 di Pacific Place Jakarta. Seorang perempuan berambut pendek menyambut dengan senyum ramah pengunjung yang memasuki area pameran. Seorang teman kurator memperkenalkan perempuan itu. “Saya dari ArtSociates,” ujarnya ramah membuka perbincangan. Bicaranya tak terlalu banyak dan seringkali lugas, pendek-pendek tanpa basa basi berlebihan. Namun senyum malu-malu di wajahnya memancarkan ketulusan. Andonowati. Begitu nama yang tertera di kartu nama yang diangsurkannya.Usai berkeliling melihat karya-karya yang dipajang di seksi itu, ia kembali menghampiri. Kali ini dengan sebuah majalah seni rupa yang telah terbuka di tangannya. Ditunjukkannya sebuah halaman bergambar desain 3D sebuah proyek bernama Lawangwangi. “Kami sedang membangun pusat seni rupa dan sains di Bandung. Masih dalam tahap pembangunan. Rencananya akan kami resmikan Februari 2010 nanti,” katanya, tetap dengan kalimat pendek dan senyum yang sama. Nada bicaranya menarik. Intonasinya sering berakhir di nada tinggi. Ada antusiasme meluap di situ. Aan, begitu Andonowati biasa disapa, memang seperti tak pernah kehabisan energi.
Antusiasme itu tak hanya dia curahkan pada dunia seni rupa, tapi juga pada matematika, di mana cinta pertamanya tertambat. Associate professor di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memiliki semangat yang sama tinggi untuk mengembangkan sains yang ia tekuni dan seni yang ia cintai. Antusiasme yang membuncah tak terbendung ketika dengan suara bergetar ia memberi sambutan di malam peresmian Lawangwangi Art & Science Estate, di bulan Februari 2010 silam. Tempat yang menampung aktivitas Lab-Math Indonesia (LMI) dan ArtSociates (AS). Aan menyebut keduanya sebagai ‘anak-anak saya’. Ia memang memilih hidup berdua saja dengan suaminya yang juga seorang scientist berkebangsaan Belanda, E. (Branny) van Groesen. “Ada orang yang dikarunia anak untuk dibesarkan. Saya tidak punya. Jadi bagi saya, sains dan seni adalah anak-anak yang harus saya rawat dan jaga pertumbuhannya,” katanya di sebuah sore yang menggigil di Dago Giri, bukit di mana Lawangwangi berdiri.
Jendela besar yang membatasi ruang kerjanya dengan kesejukan dibiarkan terbuka. Busana Carmanita yang ia kenakan untuk pemotretan telah berganti lagi dengan pakaian kebesarannya: celana katun, tank top dilapisi kemeja berwarna gelap. Make up masih menempel di wajahnya. Aan terlihat berbeda dan sesekali tertawa malu mendengar godaan yang dilontarkan para asistennya di LMI dan AS. Sosok perempuan yang mendapat gelar Doktor Matematika Fisiknya dari McGill University, Montreal, Kanada ini jauh sekali dari kesan angker yang kerap diruapkan oleh para ilmuwan. Tak ada kesan dingin, apalagi arogan. Semuanya cair, hangat dan membumi di sekitarnya.
memberi garis tebal pada kemampuan Aan punya kemampuan ‘membumikan’ ilmu pengetahuan. “Matematika jadi terasa luwes di tangannya. Bu Aan selalu berusaha mencari cara supaya matematika yang sering dianggap rumit itu bisa berguna bagi kemaslahatan masyarakat,” kata Didit Adytia, Head of Laboratory di LMI. Lewat berbagai jurnal ilmiah, Aan mencoba menuangkan pemikirannya. Salah satu yang cukup penting adalah tulisannya mengenai gelombang ekstrem yang ia susun bersama suaminya yang juga professor Matematika dari University of Twente, Belanda, E. (Brenny) van Groesen dan dipublikasikan di Physics Letter, jurnal penting dalam ilmu pasti. Suami yang selalu mendukung apa pun langkah yang diambil Aan itu tak menutupi kekaguman dan penghargaannya pada istrinya. Binar kagum memancar dari mata Branny ketika membicarakan Aan. “Dia selalu ingin mendidik masyarakat. Ingin memberi sesuatu yang berguna,” kata Branny jujur. Pria Belanda yang telah sembilan tahun mendampingnya ini memandang Aan sebagai sosok yang mandiri dan tahu betul apa yang ingin diraihnya.
Perempuan yang menjadi anggota Asian Fluid Mechanics Committee ini adalah ‘ibu’ yang baik dan bertanggung jawab. Dhanny Irawan, staf AS mengaku menjadi saksi mata cinta Aan pada ‘anak-anak’nya. “Sepanjang usia AS yang berdiri sejak 2007, saya melihat itu.Bu Aan, misalnya, sampai merelakan rumah dan mobilnya dijual demi membiayai pembangunan Lawangwangi. Mungkin orang mengira dia dapat bantuan dari sana sini. Nyatanya, dia membangun ini seorang diri,” kata Dhanny. “Ada lagi hal lain yang lebih mudah kelihatan. Bu Aan lebih memikirkan seni ketimbang penampilan. Dia akan lebih memilih membeli karya seni ketimbang mobil baru yang sangat ia butuhkan,” kata Dhanny. Gairah besar untuk mengembangkan dunia seni rupa memang bergerak linear dengan totalitasnya berkutat dengan bidang keilmuan. Ia seperti ingin membuktikan bahwa dua hal itu berasal dari senyawa yang sama.
Meski banyak disikapi secara skeptis oleh para pengamat seni, Aan tak surut langkah. Ia terus saja berjalan konstan dengan apa yang telah ia canangkan. “Lawangwangi punya empat program tetap dari enam pameran yang kami gelar setiap tahun yakni, Bandung Art Award, From The Collectors, Islamic Art Award, dan Art Project,’ Aan menjelaskan. Di luar itu, ada beberapa pameran dan program khusus yang ia adakan. “Dua pameran lepas, seperti pameran kolaborasi Christine Ay Tjoe dan Deden Sambas yang baru lalu, juga residensi kolaborasi antara seniman dan ilmuwan. Dalam proyek pertama, kami mengirim Ay Tjoe untuk menjalani residensi di Belanda dan akan berkolaborasi dengan fisikawan Detlef Lohse sejak Mei lalu hingga Juli mendatang,” jelasnya.
Selain berbagai program seputar matematika dan seni, ia kini mulai berkonsentrasi pada micro education yang ia harap dapat diterapkan beberapa tahun ke depan. “Micro education will be my last venture. Ini upaya untuk menyadarkan masyarakat atas kapasitas mereka. Bukan hanya kapasitas positif, tapi juga negatif. Apa kelebihan dan kekurangan mereka. Kalau mereka sadar atas kapasitasnya, mereka akan bisa melakukan nilai tambah terhadap kapasitas merekaJadi dua anak saya ini harus tumbuh dulu,” katanya mantap.
Perbincangan bergulir pelan. Aan bukan orang yang pandai merangkai kata, kendati ia senang berbincang dan tak pelit bicara. Kalimat-kalimatnya selalu meluncur lugas, lurus tanpa renda-renda kata. Dengar saja kisah Aan tentang masa kecilnya di Magelang. Ia memulai kisah dari episode ketika sang bunda yang seorang guru kewalahan menghadapi Aan yang hiperaktif. Ia memutuskan mengirim putrinya saban malam ke rumah guru matematika di desanya sejak ia belum lagi berusia enam tahun. “Bukan karena ibu ingin saya pandai. Tapi karena dia tidak tahan dengan saya yang tidak bisa diam. Kalau saya di rumah seharian, dia akan pusing melihat tingkah saya.Alhasil saya harus les matematika tiga jam setiap malam,” katanya.
Anak ketiga dari enam bersaudara ini menggambarkan dirinya sebagai anak yang susah diatur. “Kalau disuruh A, maka yang saya lakukan adalah tidak A. Disuruh duduk diam, maka sudah pasti saya akan berlari-lari dan membuat keributan di rumah.,” kenangnya sambil tertawa. Hanya pergi ke rumah guru matematikanya saja yang ia turuti dengan patuh dan senang hati. “Soalnya saya bisa beradu pintar dengan anak lelaki guru saya. Senangnya luar biasa kalau bisa keluar sebagai pemenang. Hal yang membuat saya suka berada di sana barangkali karena saya ingin sekali mengalahkannya,” kata Aan tetawa.
Aan lantas tumbuh menjadi anak yang pandai dan menonjol secara akademis. Sejak Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), ia selalu jadi juara kelas. “Saya tidak jadi juara kelas adalah ketika kelas 4 SD, ketika Ibu menjadi wali kelas saya.,” Aan mengenang. Meningkat ke sekolah menengah, Aan menjadi anak yang tak hanya cerdas, tapi juga kritis terhadap sekitar. Kesadarannya tentang perbedaan kelas muncul ketika ia dihadapkan pada begitu banyak kelompok di sekolahnya. “Ada kelompok orang kaya, kelompok anak cantik, kelompok siswa pintar dan kelompok murid miskin. Saya memilih masuk ke kelompok terakhir,” katanya. Dengan kecerdasan yang dimiliki, tentu mudah sekali bagi Aan bergabung dengan kelompok siswa elit di sekolahnya. Namun dengan sadar Aan menentukan keberpihakannya pada kelompok marjinal.
“Berada di kelompok marjinal itu menyenangkan karena khalayaknya banyak. Mereka juga mudah menerima pendapat dan selalu memberi dukungan penuh,” katanya. Tingkat kepedulian kelompok itu menurut Aan juga sangat tinggi. “Saya merasa lebih disayang dan diperhatikan. Misalnya saja kalau saya bertengkar dengan anak lain. Mereka akan dengan total membantu dan melindungi. Itu lebih dari sekadar penghargaan,” katanya. Aan merasakan benar bahwa pembelaan yang diberikan teman-temannya tidak lagi berangkat dari kepentingan diri sendiri. “Kelompok itu biasanya merasa tak punya apa-apa lagi yang khawatir akan hilang. Mereka tidak punya apa-apa selain harga diri. Jadi kalau mereka melakukan pembelaan, tentu lebih murni ketimbang kelompok lain,” katanya.
Selulus SMP, Aan meninggalkan kampungnya untuk melanjutkan sekolah di Yogyakarta. “Sebenarnya Ibu menyuruh saya sekolah di Magelang. Tapi saya tidak mendaftar ke sekolah mana pun di Magelang. Tapi diam-diam, saya mendaftar di Yogyakarta,” katanya. Di sana, awalnya, Aan mondok di tempat kos yang bagus. “Harga sewanya 30.000 ribu sebulan. Tapi setelah setahun, ibu merasa keberatan karena memang kami bukan dari keluarga mampu. Beliau meminta saya pindah ke tempat kos yang lebih murah. Lalu saya pindah ke sebuah rumah gubuk di daerah Kauman yang saya sewa dengan harga 2000 rupiah dan selalu kebanjiran kala hujan,” kata Aan. Ia mengaku tak kecil hati dengan keadaan itu. “Waktu SMA saya punya sahabat bernama Ratna Dewi. Dia dari keluarga yang sangat berada. Kalau hari Sabtu dan Minggu, dia sering mengajak saya menginap di rumahnya. Dari kamar yang jelek sekali, setiap akhir pekan saya pindah ke kamar yang mewah sekali. Di dalamnya ada grand piano, ada sound system yang bagus, dan pembantu khusus. Rumahnya berlantai empat dan luasnya minta ampun. Kehidupan saya dan Ratna seperti bumi dan langit. Tapi perbedaan itu tidak membuat saya minder,” katanya menerawang. Aan memang tak perlu minder. Ia hanya perlu terus melangkah tanpa henti menapaki jalan yang akan membawanya pada pencapaian untuk merawat anak-anak hatinya dengan ilmu dan cinta. (Indah S. Ariani), Fotografer: Didi, Kontiki Photography, Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Busana: Biasa, Rias Wjah dan Rambut: Diana Rose, Lokasi: Lawangwangi Art & Science Estate
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mbak Aan. Kakak dari Wiwie Anshar. Saya mengenal beliau saat masih mahasiswi S1 matematika ITB. Orangnya lembut, ramah dan cerdas. Saat tahun 1983 beliau berhijab, lho.
BalasHapusSalut untuk sukses mbak Aan...