seperti kavling perumahan, halaman dalam majalah memiliki keterbatasan yang tak bisa disiasati. kebutuhan visual acap kali membuat hasil wawancara terbuang percuma dalam keranjang sampah editor. blog ini adalah tempat saya menyimpan versi lengkap tulisan sebelum masuk ke meja editor. sebab, setiap perbincangan selalu mengandung banyak hal berharga yang sangat sayang kalau dibuang...
Kamis, 25 Maret 2010
‘CINTA MONYET’ TITI & DJENAR
Penghargaan terbaik mereka dapat dari debut pertama di dunia perfilman. Monyet jadi kata kunci keberhasilan mereka.
Titi Sjuman dan Djenar Maesa Ayu seperti memulai langkah dengan kaki kanan di panggung perfilman. Sebelumnya, dua perempuan cantik ini hanya berada di ‘bibir panggung’. Djenar lebih dikenal sebagai penulis cerpen dan novel yang karyanya kerap dianggap kontroversial. Ibu dua putri ini memang pernah menjadi pemain di film Koper arahan Richard Oh beberapa tahun silam. Namun, akting Djenar sebentar saja dibicarakan. Sementara itu, Titi Sjuman adalah penabuh drum yang berkali-kali muncul di banyak majalah wanita. Ia juga sempat terlibat dalam pertunjukan tari Opera Jawa, berkeliling ke beberapa kota mancanegara. Di situ, ia pun tak jauh-jauh dari drum. Sambil menari, ia menabuh drum di panggung.
Dunia mereka berdua mulai berbeda ketika Djenar membuat film. Karya perdananya, yang berjudul sama dengan kumpulan cerpen perdana Djenar, Mereka Bilang Saya Monyet (MBSM) mendapat empat Piala Citra setelah dua tahun dirilis. Sejak awal, perempuan yang biasa disapa Nay ini bertekad untuk memproduksi sendiri filmnya. “Bisa dibilang kami sama-sama ‘pecah telur’. Tapi suasananya justru jadi enak. Karena tidak ada rasa ‘siapa yang lebih berpengalaman dari siapa’,” katanya.
Dirilis pada 2007, MBSM mendapat banyak pujian. Namun, film yang bercerita tentang pertentangan psikologis Adjeng, tokoh dalam film tersebut, tak bisa masuk dalam ajang Festival Film Indonesia karena film berformat digital tak bisa disertakan. Begitu panitia festival membolehkan film digital ikut dilagakan pada 2009, film ini menangguk penghargaan. Djenar diganjar penghargaan sebagai Sutradara Pendatang Baru Terbaik. Bersama Indra Herlambang, Djenar juga mendapat penghargaan sebagai Penulis Skenario Adaptasi Terbaik. Sementara Titi Sjuman, ditahbiskan sebagai Pemeran Utama Terbaik Wanita. Bersama suaminya, Aksan Sjuman, ia juga menerima penghargaan sebagai penata suara terbaik. Lengkap, bukan?
Sebagai debut, MBSM tentu membekaskan jejak penting dalam karier Djenar sebagai sutradara, dan Titi sebagai aktris. Namun, di balik riuh rendah kegembiraan seputar kerjasama mereka, Titi dan Djenar punya kisah menarik di balik persaudaraan mereka. Walaupun ipar –Djenar adalah adik Aksan (suami Titi)- mereka lebih sering dikira saudara kandung.
Banyak yang menganggap Anda berdua mirip satu sama lain.
Djenar Maesa Ayu (DMA): Banyak yang mengira kami berdua kakak-beradik. Saya juga agak heran. Lucunya, saat pertama kali kami bertemu adalah saat Titi dan Aksan akan menikah. Jadi kami bertemu di penjahit, mau bikin kebaya. Kami berdua memakai baju yang persis sama. Saat itu, kami berdua sama terkejutnya karena baju kami benar-benar sama. Waktu itu kami memakai atasan tank top hitam dan bawahan batik. Dari sekian banyak motif dan warna batik, kami memakai yang persis sama, baik motif mau pun warna. Di lokasi syuting juga sering sekali kami pakai baju kembar, sampai orang sering salah memanggil kami. Kalau sedang satu acara, memakai baju yang persis sama adalah hal yang biasa. Bahkan sampai ke luar negeri pun, kejadian itu tetap saja terjadi. Pernah, ketika kami mengikuti Singapore Film Festival, baju yang kami bawa, hampir semua kembar. Padahal kami packing di rumah masing-masing. Sebenarnya, kalau kami ditemukan langsung, kami berdua tidak terlalu mirip, kok. Tapi orang-orang yang tahu saya sejak kecil selalu bilang kalau saya dan Titi memang mirip. Nggak tahulah itu.
Titi Sjuman (TS): Hahaha, iya. Kejadian di penjahit kebaya itu paling mengagetkan. Tapi memang banyak sekali yang bilang kami mirip. Sebenarnya saya senang-senang saja, walau pun, kami berdua sering bingung, di mana miripnya. Tapi kalau kami dibilang mirip, yang untung itu Djenar. Karena orang piker Djenar masih muda. Saya yang rugi kalau dibilang mirip sama Djenar karena di lebih tua dari saya, hahaha…
Bagaimana hubungan dengan Aksan?
DMA: Kami memang bukan tipikal kakak beradik yang secara kuantitatif bertemu. Tapi ketika bertemu, kualitas hubungan kami sangat terasa bagus sekali. Kami bisa membicarakan apa saja bertiga. Enak banget punya Titi, Aksan dan Yudhis, kakak saya yang satu lagi.
TS: Kami bertiga kompak sekali. Mesra. Kami sering pelukan bertiga. Kalau sedang menginap di rumah, Djenar pasti maunya tidur bertiga dengan saya dan Aksan. Dia pasti ngerusuhin kalau saya sedang pelukan sama Aksan. Saya senang-senang saja. Djenar hanya mengesalkan saat syuting MBSM karena dia mendiamkan saya tanpa alasan. Baru belakangan saya tahu kalau mendiamkan saya adalah cara Djenar memaksa saya masuk ke dalam karakter Adjeng yang depresif.
Titi pernah cemburu?
DMA: Ah, enggaklah. Masak dia cemburu sama saya? Tapi ada satu cerita lucu waktu kami sedang mengerjakan music scoring Monyet (Djenar selalu menyebut MBSM dengan kata singkat Monyet- red). Saat itu saya menginap berhari-hari di rumah mereka. Suatu ketika, saat sedang berjalan menuju kamar, saya menyadari kalau Aksan sedang berjalan di belakang saya. Tiba-tiba Aksan menggoda saya, ternyata dia mengira saya itu Titi. Begitu saya berbalik dia bukan main kagetnya. Dia bilang, “Wah, nggak bener nih, nggak bener nih,” sambil kami tertawa keras. Ketika diceritakan kejadian ini, Titi tertawa geli bukan main. Kalau orang lain yang sering tertukar melihat kami, saya masih maklum. Kalau sampai kakak saya yang adalah suami Titi yang salah, itu baru cerita
TS: Buat saya malah lucu. Kok ya bisa sampai keliru begitu. Saya cuma bilang sama Aksan, “Masak aku setua itu sampai tertukar sama Djenar?” Hahaha… Tapi Djenar itu memang tidak perlu dicemburui. Dia itu lucu dan tidak pernah menyebalkan. Paling kami cuma ledek-ledekan.
Hubungan Anda berdua di luar pekerjaan bagaimana?
DMA: Titi orang yang cepat melebur dan apa adanya. Sepanjang pengetahuan saya, dari begitu banyak pacarnya Aksan, Titi adalah yang paling kami suka. Biasanya, kalau Aksan punya pacar, kami sering ngerumpiin orang itu. Titi tidak. Semuanya lancar saja. Kami seperti sudah berkenalan lama sekali. Dia sudah seperti bagian keluarga. Kadang-kadang kangen juga sama Titi.
TS: Hubungan kami asyik banget. Djenar itu orang yang ceplas ceplos dan sering terlihat ekstrem. Kalau tidak terbiasa dengan dia, orang pasti terkaget-kaget mendengar ucapan atau melihat polahnya. Awalnya saya juga sempat kaget. Tapi Aksan sudah memberitahu sebelumnya, jadi saya bisa lebih cepat mengerti Djenar. Kami saling support. Apa pun yang Djenar lakukan dan alami, kami akan beri dukungan, begitu pun sebaliknya. Mungkin ini pengaruh dari pola hubungan di keluarga Aksan yang sama sekali tidak kaku.
Untuk produksi film berikutnya, apakah masih akan melibatkan Titi dan Aksan?
DMA: Iya. Kalau mereka sedang tidak sibuk pasti saya pakai mereka bila saya membuat film dan membutuhkan musik. Karena, sejauh pengamatan saya, I think, they are one of the best music scorer in Indonesia. Jadi buat apalagi cari yang lain?
TS: Untuk music scoring, kalau kami sempat pasti kami akan menyanggupi kalau ditawarkan. Kerja dengan Djenar menyenangkan karena dia easy going. Kami juga paham sekali keinginan dan kemampuan produksinya, yang seringkali low budget. Buat kami itu sama sekali tidak masalah. Saya dan Aksan selalu berupaya terlibat dalam produksinya.
Untuk memerankan Adjeng, berapa lama proses pendalaman yang dilakukan?
TS: Saya sempat tidur di rumah Djenar selama dua hari untuk berdiskusi tentang Adjeng. Saya juga mengikuti acting coach karena itu debutku di seni peran. Saya bahkan sempat survei ke kelab-kelab di daerah Kota karena dalam cerita itu ada adegan di diskotik, gimana polah orang di tempat seperti itu. Bagaimana dengan anak muda yang pacaran dengan oom-oom dan sebagainya.
Apa kesulitan yang Anda temui saat membuat Mereka Bilang Saya Monyet?
DMA: Karena saya produser sekaligus sutradara, jadi antara kebutuhan sebagai kreator, bertabrakan dengan masalah finansial dan itu terus-menerus terjadi di lapangan. Itu yang sering kali mengganggu. Makanya, sekarang saya cenderung bikin film-film berdana kecil. Saat membuat Monyet, saya belum paham bagaimana proses produksi sebuah film. Saya membuat skenario sesuai apa yang saya bayangkan. Pemainnya banyak, lokasi juga banyak.
TS: Buat saya, karena mungkin ini penampilan saya pertama kali di film, kadar ragunya lumayan banyak. Apalagi karakter Adjeng sendiri memang karakter yang sulit dengan semua konfliknya. Pemain lama saja pasti kesulitan, apalagi saya yang pemain baru? Tapi justru di situ tantangan dan daya tariknya. Lucunya, mungkin karena berusaha masuk secara total dalam karakter itu, Aksan merasa saya berubah sepanjang proses produksi. Bahkan setelah syuting selesai pun, Aksan melihat depresi Adjeng masih tertinggal dalam diri saya. Dia sampai mengajak saya berlibur ke beberapa tempat agar saya bisa lepas dari karakter itu.
Toleransi apa yang paling mengganjal saat pengerjaan film MBSM?
DMA: Banyak sekali yang harus ditolerir, terlebih dalam hal waktu. Karena satu hari itu akan menghabiskan anggaran. Jadi ada beberapa pilihan-pilihan estetik yang akhirnya tidak terpenuhi. Tapi untungnya, saya juga tahu kapasitas saya sebagai sutradara baru yang belajar secara otodidak. Jadi proses learning by doing memang benar-benar terjadi dalam kerja saya. Dari awal, saya memang mengutamakan konsep cerita dan pemain. Jadi yang tidak bisa ditawar adalah pemain. Kalau pemain masih jelek, dan masih harus menunggu satu dua hari lagi, saya tidak akan bisa ditawar.
Karena semua pertama, apakah standar yang ditetapkan menjadi sangat ideal, atau lebih fleksibel?
(DMA): Kami memaksimalkan apa yang kami bisa dan kami anggap baik. Karena karya pertama adalah tempat di mana kredibilitas profesional dipertaruhkan. Jadi kami berusaha melalukan yang terbaik. (Indah S. Ariani), Fotografer: Robin Alfian, Pengarah gaya: Quartini Sari, Rias wajah dan rambut: Gusnaldi dan Yazeed dari Gusnalid Salon.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
WOW! You both are the most beautiful Indonesian woman, I have ever seen! I always tell my friends, my family, my acquintances that you both are the most perfect persons to represent the beauty of Indonesia..
BalasHapusWaktu pertama Titi muncul, saya pikir adiknya Djenar, ternyata adik ipar, yaa.. Wah, kalian memang jodoh bersaudara, atau mungkin kalian adalah the missing twin to each other, yaa..
Ok, then, sukses terus, yaa to both of you!
Warm regards,
Sandra Korompis