Kamis, 04 Maret 2010

MEMBURU SIMETRI



Pameran Ay Tjoe kali ini menantang penikmatnya untuk menjadi simetri: 20 meter kanvas, 20 potong lukisan, 20 orang kolektor.

Perburuan karya selalu punya kisah bagi tiap kolektor. Lazimnya, mereka berburu diam-diam. Kalau pun ada cerita, umumnya kisah perburuan itu beredar hanya sebatas teman. Kabar baru akan tersebar jika sebuah karya –apalagi karya seniman papan atas- sudah bertengger di dinding rumah atau museum pribadi sang kolektor. Tapi kelaziman ini dilompati di pameran tunggal Christine Ay Tjoe awal Januari lalu. Di sini, dua puluh kolektor yang berminat memiliki karya seniman jebolan Institut Teknologi Bandung ini diajak duduk bersama, berdiskusi, dan berembug soal bagian mana yang akan jadi bagian mereka.

Inovasi Perburuan
Sebuah ruang bulat mengisi bagian tengah ruang pamer utama di galeri Sigi Arts. Sebuah pintu kecil menjadi jalan masuk ke dalam ruang menyerupai tabung itu. Segerombol orang membagi diri mereka dalam kelompok lebih kecil, berpencar menelusuri dinding kayu berbentuk silinder dan menyimak gambar sepanjang 20 meter –mengingatkan kita pada wayang beber- yang dipajang di sana dengan intens. Mereka bergeser, berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya sambil sibuk berdiskusi. Beberapa orang di antara mereka memegang post it, menyobeknya dan menempelkan kertas kuning muda itu ke lukisan berwarna pastel yang direkatkan dengan tablet magnet ke bilah besi yang menempel di dinding tabung. Sebagian lain sibuk menunjuk-nunjuk, melakukan gerakan-gerakan memenggal kertas dengan ukuran lebar berbeda di udara. Wajah-wajah serius sesekali berganti senyum atau bahkan tawa. Celoteh segar acap berujung pada obrolan serius yang menyedot perhatian semua orang dalam tabung itu untuk ikut merubung.

Rombongan itu lalu kembali pindah ke ruang depan di mana sebelumnya berlangsung diskusi hangat yang membahas soal bagaimana ‘pembagian’ yang paling tepat untuk lukisan panjang itu. Awalnya, karya yang diberi judul Symmetrical Sanctuary itu akan digunting menjadi 20 bagian agar ke-20 kolektor yang mendapat ‘tiket’ hadir di acara siang itu mendapat karya tersebut. “Tapi akhirnya dibagi 19 dan sistem pembagian berdasarkan undian,” kisah Syakieb Sungkar, salah satu kolektor yang ikut serta memperebutkan karya Christine Ay Tjoe, seminggu setelah acara itu. Undian, adalah wacana yang mengemuka dari lantai diskusi ketika keduapuluh kolektor melihat langsung karya yang ditawarkan. “Kalau dibagi 20, sepertinya akan membuat pemenggalan gambar jadi tidak pas dan lukisan justru kehilangan estetikanya,” begitu alasan yang mereka lontarkan. Potongan lukisan tetap genap menjadi 20 karena Ay Tjoe membuat satu lukisan terpisah yang awalnya ia maksudkan sebagai contoh potongan. Karya ini belakangan ikut diperebutkan untuk memenuhi kuota 20 lukisan itu.

Interaksi Interaktif
Minat tinggi untuk memiliki karya Ay Tjoe bukan fenomena baru dalam dunia seni rupa kontemporer. Karya perempuan cantik berkulit putih ini selalu jadi incaran para kolektor karena orisinalitas gagasan yang ia tawarkan. Angka acap bergerak sangat elastis ketika berhadapan dengan karyanya dan itu adalah fakta yang biasa. Pameran dan antusiasme memang hal yang pasti terjadi. Maka, ketika ia datang dengan ide mempertemukan para kolektor, banyak yang sangsi apakah itu bisa dilakukan. Sebab seperti yang selama ini diyakini, perburuan koleksi adalah serupa arena kompetisi, di mana semua orang ingin menjadi pemenang. Mereka harus berhadapan dengan satu hal tak kasat mata bernama: ego.

Nyatanya, di ruang diskusi itu, sebuah interaksi menarik terjadi. Mereka yang diragukan kesediaannya untuk duduk bersama, terbukti mau berkumpul dan sama-sama berbagi wacana. “Saya memang ingin menawarkan nuansa baru pada cara orang menikmati karya. Hal yang utama, di sini bukanlah tema melainkan interaksi yang terjadi antara mereka,” kata Ay Tjoe di sela-sela kesibukan menjawab pertanyaan para kolektor. Ia, Asmudjo Jono Irianto sang kurator, dan Rachel Ibrahim pemilik Sigi Arts memang berusaha tidak mengintervensi diskusi itu. Mereka hanya duduk mendengar dan sesekali menjawab atau memberi masukan pada diskusi yang berjalan sangat dinamis itu. Ketika perbincangan antar para kolektor itu mulai mengerucut pada soal bagaimana membagi karya Ay Tjoe, Rachel bahkan menarik Ay Tjoe dan Asmudjo keluar arena dan melipir ke ruang kantornya. “Supaya keputusan mereka benar-benar murni hasil diskusi. Kami sengaja tidak mau terlibat,” kata Rachel.

Tentu bukan hal mudah menerapkan pola itu. Kebingungan terlihat jelas dalam sesi yang baru pertama kali diadakan ini. “Bagaimana menentukan bagian mana yang harus dipotong?” tanya seorang peserta diskusi. Ay Tjoe mengaku, “Sama sekali tak mudah memutuskan di bagian mana karya ini harus dipotong.” Itu sebabnya, ia memberi kesempatan pada ke-20 orang itu untuk menyimak dan menentukan sendiri bagian mana yang mereka sukai. Nyatanya, cara seperti itu cukup sulit menghasilkan kesepakatan. Bagaimana kalau satu bagian disukai beberapa orang sekaligus? “Justru itu yang saya harapkan. Jadi mereka harus berkompromi untuk mendapat jalan keluar,” katanya sambil tersenyum. Menurutnya, interaksi antar-kolektor itu sesungguhnya yang menjadi muatan utama pamerannya kali ini, “Lukisan hanya saya tempatkan sebagai sarana dan bukan obyek utama.”

Ziarah Hidup
Namun, kendati diposisikan tidak sebagai obyek utama, lukisan Ay Tjoe tetap saja jadi pusat perbincangan. Citra, tarikan garis dan pilihan warna yang ‘sangat Ay Tjoe’, mengundang berbagai penafsiran. Dalam dua puluh meter kanvas yang ia jadikan taman bermain ide-idenya, Ay Tjoe menyodorkan begitu banyak peluang penafsiran. Kekuatan garisnya yang ‘sangat grafis’ membentuk citra sarat makna. Ambiguitas terasa jelas pada tarikan garis dan pulasan warna, meruakkan paradoks yang begitu kuat. Introvert-ekstrovert, rapuh-tegar, banal-lembut, sederhana-kompleks, diam-lantang, dan beragam tarik menarik kutub mengundang berbagai interpretasi personal yang berbeda akan muncul antara satu orang dengan yang lainnya.

Mungkin Ay Tjoe tak bermaksud menuangkan begitu banyak paradoks ke dalam Symmetrical Sanctuary. Ia hanya bercerita tentang apa yang selama ini ia amati, alami, dan serap dari hidup –baik hidupnya, maupun pusaran kehidupan di sekelilingnya- untuk ia tuangkan kembali menjadi imaji yang bisa mewakili. Seperti yang diungkapkan Asmudjo dalam kuratorialnya, berkarya adalah katarsis bagi Ay Tjoe. Kecenderungan Ay Tjoe untuk melakukan pendekatan intuitif –berbeda dengan perupa lain yang cenderung menggunakan perencanaan visual yang pasti- meniscayakan terjadinya percikan atau bahkan ledakan perasaan ke permukaan kanvasnya. Alih-alih bersuka ria dalam euforia realis yang tengah mendominasi ‘etalase’ seni rupa, Ay Tjoe memilih jalan sepi ke dalam dirinya, menziarahi, dan lantas menggali tumpukan-tumpukan kesan, pikiran, perasaan yang mengendap untuk kemudian menariknya satu persatu sebagai imaji multi-tafsir yang sangat mungkin lantar bersimetri dengan geliat jiwa penikmatnya.

Ini diakui Ay Tjoe. Pada Asmudjo, ia mengatakan bahwa yang tertuang pada bidang panjang itu adalah rangkaian fragmen hidupnya yang terjadi dalam babak yang lantas ia sebut sebagai symmetrical sanctuary. “Sulit untuk dapat menduga sejak kapan fase ini berlaku dalam perjalanan hidupnya,” tulis Asmudjo. Maka buramlah batasan rentang masa lalu yang dikunjungi Ay Tjoe. Bisa setahun, dua tahun, sewindu, juga bisa saja satu atau dua dekade di belakangnya. Dalam ranah waktu, Ay Tjoe menarik kembali karyanya sebagai sebuah catatan personal yang hanya ia sendiri yang paham huruf dan simbol yang tertera di dalamnya. Ia pemegang kunci yang membiarkan orang yang berada di hadapan ‘buku’ itu untuk memprediksi secara bebas bicara tentang apa kisah di dalamnya. Menurutnya, memahami cerita adalah hal yang tak terlalu penting dilakukan oleh penikmat lukisannya. Ia mungkin lebih senang mengajak mereka menyimetrikan cerita, mengambil peran dalam kisah tersebut dan bersama-sama menyebut ‘kita’ untuk dirinya dan mereka. (Indah S. Ariani) Foto: ISA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar