seperti kavling perumahan, halaman dalam majalah memiliki keterbatasan yang tak bisa disiasati. kebutuhan visual acap kali membuat hasil wawancara terbuang percuma dalam keranjang sampah editor. blog ini adalah tempat saya menyimpan versi lengkap tulisan sebelum masuk ke meja editor. sebab, setiap perbincangan selalu mengandung banyak hal berharga yang sangat sayang kalau dibuang...
Kamis, 25 Maret 2010
LAKON HIDUP TIO PAKUSADEWO
Berguru pada Musashi, ia tak pernah jeri melakoni berbagai peran dalam kehidupan.
Seorang anak lelaki yang baru saja menapak remaja dan sebuah makiwara –tiang untuk berlatih karate- di tengah ruangan. Tak seperti lazimnya makiwara digunakan, lelaki kecil itu justru merapat dan bukan menendang atau memukulinya. Ikatan tali menyatukan mereka, serupa kangguru dan anaknya. Beberapa saat beku, sebelum kemudian terdengar siulan dari bibir lelaki kecil itu. Segerombol anak sebayanya muncul, nekat melompati jendela. Sesaat kemudian, ‘anak kangguru’ itu lepas dari ‘induknya’, ikut melompati jendela dan melesat cepat ke lapangan bola. Senja hampir datang ketika ia –masih dengan rombongan yang sama saat berangkat- melompati lagi jendela tadi, merapat kembali ke makiwara dan mengambil posisi tepat seperti sebelumnya: tubuh terikat.
Anomali Keluarga
Remaja itu adalah Tio Pakusadewo, aktor yang pada 2009 silam menerima piala citra keduanya, sebagai Aktor Pemeran Utama Pria Terbaik dalam Festival Film Indonesia lewat penampilannya sebagai Adam, seorang penjaga kamar mayat dalam film Identitas. Kenangan terikat di makiwara itu tersimpan hingga kini, bersama ratusan kenangan lain yang bernada sama: hukuman. Kata itu akrab dengannya sejak ia berangkat remaja. “Saya paling bandel di antara anak ayah dan ibu saya yang lain,” katanya. Orangtuanya tentu bisa dikategorikan sebagai orang tertib dan berdisiplin tinggi. Ibunya seorang librarian yang bersekolah di London dan Australia. Ayahnya perwira militer berpangkat kolonel, yang tidak hanya berdisiplin tinggi juga seorang guru karate yang tegas. Tapi Tio tumbuh seperti anomali dengan ketidaktertiban sempurna. Langganan berkelahi, Sekolah Menengah Atas (SMA), ia lewati di enam sekolah berbeda. “Saya lulus dari SMA 34 Pondok Labu. Itu sekolah keenam dan terakhir,” kenang pria bernama lengkap Irawan Susetyo Pakusadwewo ini. Hari pertamanya di sekolah favorit SMA 6 Jakarta, hanya dijalaninya satu hari saja. “Hari pertama itu juga saya dipecat karena nama saya termasuk dalah daftar hitam lulusan SMP yang sering tawuran,” ungkap Tio menerawang.
Rentetan kenakalan yang ia lakukan, bisa dibilang membuatnya terbuang dari keluarga. “Saat kelas dua SMP, Bapak mengusir saya dari rumah. Penyebabnya, saya membobol rumah tetangga untuk mengambil jaket dan gitar abang saya yang dipinjam anak keluarga itu. Waktu itu, rumah tetangga saya itu kosong karena keluarga itu pindah karena ayahnya terjerat kasus korupsi dan ditangkap. Abang saya bilang kalau jaket dan gitar miliknya belum dikembalikan oleh anak itu. Saking kesalnya, saya nekat membobol rumah itu dan mengajak teman-teman untuk ikut masuk. Saya mengambil jaket dan gitar milik kakak saya saja, sementara teman-teman lain mengambil barang-barang yang ada di dalam rumah,” katanya. Aksi itu harusnya berjalan mulus, kalau saja seorang temannya tak kembali lagi ke rumah itu keesokan harinya. “Entah barang apa yang ingin dia ambil, teman saya kembali masuk ke rumah itu dan ketahuan oleh petugas keamanan kompleks. Ketika diinterogasi, teman saya bilang kalau saya yang menyuruhnya masuk. Itu pertama kalinya saya merasakan sakitnya dikhianati,” kata Tio yang karena kejadian itu sempat dua hari mendekam di penjara kantor polisi. “Bapak menebus saya dari penjara, tapi kemudian menyuruh saya pergi dari rumah,” kisahnya.
Siang hari, ia ‘menggelandang’ dari rumah teman yang satu ke rumah teman yang lain. “Malam hari, saya tinggal di sekolah, tidur di kelas-kelas kosong bersama pedagang yang berjualan di sekolah dan mandi di pancuran wudhu di mesjid,” kenangnya. Hal itu baru berakhir ketika ia dapat izin tinggal di Wisma Angkasa yang letaknya berhadapan dengan sekolahnya. “Kebetulan, seorang teman saya putra KSAL saat itu, Ashadi Cahyadi,” katanya. Ia senang bukan kepalang, karena merasa menemukan kemewahan dengan ruang lapang dan kolam renang yang selalu siap menyambutnya kapan saja. Sekolahnya pun dapat ia capai hanya dengan satu lompatan. Tiga bulan berjalan, sang ibu memintanya pulang ke rumah dan bersedia melakukan ‘gencatan senjata’ dengan sang ayah. Kondisi kesehatan ibunya, membuat kelahiran 2 September 1963 ini luluh. “Berkali-kali ibu mengirim abang saya ke sekolah untuk bicara dengan saya. Tapi saya selalu menghindar. Akhirnya ibu mengirim surat dan bilang di suratnya kalau sakit jantungnya kambuh. Dengan syarat minta diberi kamar sendiri, saya mengalah dan pulang. Saya dititipkan di rumah sepupu yang letaknya berdekatan dengan rumah ibu,” katanya. Rumah mereka, menurut Tio membuat setiap anak harus berbagi kamar dengan saudaranya. Walaupun perwira berpangkat Kolonel, Tio mengenang sang ayah sebagai perwira lurus yang hidupnya sangat sederhana hingga membuatkan kamar tambahan bukanlah hal yang dapat segera dilakukan dengan mudah.
Bukan Jalan Biasa
Pengusiran oleh sang ayah, diakui aktor yang kini mendirikan sekolah akting Satoe Acting Atelier ini sebagai luka yang torehannya terus menganga hingga lama. Hal yang setelah dewasa dan ketika sang ayah meninggal ia sesali habis-habisan. Kendati hubungan Tio dan ayahnya membaik seiring waktu, dinding yang telanjur terbangun tak bisa diruntuhkan. “Ada batas yang sulit sekali kami lintasi. Ketika Ibu bilang dia sakit dan saya kembali ke rumah, luka saya belum sembuh sepenuhnya. Hubungan saya dengan Bapak juga tidak bisa baik lagi. Komunikasi buruk sekali. Kami jarang bicara. Baru ketika saya menikah, hubungan kami mulai membaik lagi. Dia sering main ke rumah saya. Hubungannya sudah mulai enak, tapi juga tidak bisa dibilang akrab. Sudah telanjur tidak mesra. Kalau ketemu kami ngobrol biasa, tapi terbatas,” kenang ayah seorang putra dan dua putri ini .
Hal itu juga yang ia rasakan sempat ia alami dengan putra pertamanya, Nagra. “Terasa seperti ada dinding pemisah itu. Karena waktu kecil, dia saya tinggal karena saya bercerai dengan ibunya. Waktu saya tinggalkan rumah, Nagra masihberumur lima tahun. Baru ketemu lagi setelah dia kelas tiga SMP,” ungkap Tio.
Namun ia berusaha keras agar apa yang ia alami dengan sang ayah tak terulang serupa déjà vu dalam hubungannya dengan Nagra. “Untunglah, sepertinya ketakutan saya akan tidak punya alasan. Baru-baru ini ini saya lihat di kamar Nagra, ada coretan gambar wajah di dinding yang saya yakini sebagai wajah saya. Di bawahnya ada tulisan I love you, Dad. Ungkapan perasaan seperti itu tidak sempat saya utarakan pada Bapak pada saat dia masih hidup,” katanya. Baru ketika sang ayah sudah meninggal, Tio tahu betapa sesungguhnya, ia sangat mencintainya. Jadi banyak sekali yang saya sesali. Saya tidak pernah ngobrol dari hati ke hati. Hanya terakhir kali, sebelum dia meninggal, saya sedang di kamarnya bersama ibu saya. Dia bilang, “Saya ini sebetulnya sudah capek. Mau pergi saja. Cuma masih ada satu hal yang saya khawatirkan.” Saya Tanya, “Apa Pak?” Dia bilang, “Kalau saya meninggal, yang jaga bekas pacar saya siapa?” Saya bilang, “Itu nggak usah dikhawatirkan, Saya yang akan menjaga dalam segala keadaan. Semua tanggung jawab saya. Saya janji.” Besok hari setelah pembicaraan itu, Bapak pergi, kenangnya. Hal itu, seperti memberi sinyal pada Tio, betapa sang ayah sangat mempercayainya. “Sebab itu hanya ia sampaikan pada saya. Ke kakak saya yang paling tua saja dia tidak bilang begitu,” ungkap Tio yang lantas memenuhi janji untuk merawat ibunya. “Meski secara fisik kami tidak tinggal satu rumah, saya bersaha menjaga ibu sebaik mungkin. Dia tinggal di Bintaro sekarang, di rumah yang Bapak beli setahun sebelum dia meninggal,” jelasnya.
Setelah perceraian pertamanya terjadi, Tio kembali ke ‘jalanan’. Ia mengaku hidupnya kacau. “Ngaco banget pokoknya. Herannya, sejak Bapak meninggal, banyak sekali kejadian aneh yang menimpa saya dan saya selalu saja lolos dari lubang jarum. Itu terjadi berkali-kali,” katanya dengan nada heran yang tak tertutupi. Tio lalu berkisah, suatu ketika, ia ‘disapa’ alam ketika hendak menantang orang berkelahi. “Mungkin itu yang disebut malam Lailatul Qadr. Saya nyaris membunuh orang pada suatu malam bulan Ramadhan beberapa tahun lalu. Lalu ketika saya berangkat dengan golok yang sudah terasah, di tengah jalan saya merasa tidak nyaman. Saya piker karena letak golok yang tidak baik. Saya menepi dan ketika itulah saya merasa hembusan angina yang berbeda. Bukan seperti angin biasa yang bertiup, saya merasa udara saat itu menjadi sangat sejuk, seperti berada dalam ruangan berpendingin udara. Lagi pula, daun-daun tidak bergerak sama sekali,” kenangnya. Tio yang merasakan hal aneh itu segera menoleh. Ia hanya menemukan senyap di sekitarnya. Lantas ia dongakkan kepalanya ke langit. “Di arah kiblat ada bulan purnama dalam bentuk yang sangat sempurna, dikelilingi cincin cahaya. Lalu ada awan putih tebal mengelilingi bulan. Di bawah lingkaran itu, ada semacam awan berbentuk cerobong yang bergerak melandai mengikuti pergerakan bulan. Makin silam bulan, makin turun cerobong itu hingga menyerupai tangga,” kisahnya. Sempat sepuluh menit Tio tenggelam dalam ketertegunannya. Ketika mulai lepas dari kesima, ia segera menghubungi ibu dan beberapa teman yang ia pikir harus juga melihat kejadian itu. “Mereka juga melihat hal yang sama. Sampai jam setengah tujuh ,” katanya. Alhasil, malam itu, ia urung menyatroni orang. “Kadang ketika Ramadhan datang, saya berniat ingin lihat lailatul qadr lagi dan menunggu malam 17, selalu terlewat,” katanya.
Hidup yang dilalui Tio memang bukan hidup yang lurus. Ada banyak kelokan yang ia lintasi. Banyak halangan yang ia temui di dalamnya. Pada keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkannya, ia bergantung. “Spiritualitas bagi saya adalah ageman hidup. Pegangan. Tanpa itu kita pasti goyah. Cuma apa jadinya jika kita hanya diwajibkan shalat tapi tidak pernah mengenal bagaimana caranya berdoa. Padahal shalat itu kan isinya doa,” katanya. Maka, ia punya cara berdoa yang mungkin berbeda dengan orang lain. Ketika orang berdoa meminta hal-hal besar, ia meminta hal-hal kecil dan terasa remeh. “Saya sering membuktikan doa dari hal-hal yang sangat kecil. Misalnya, doa anti macet. Saya sering mengajak anak-anak membaca doa anti macet sebelum berkendara atau doa minta tempat parker. Dan selalu dikabulkan. Mungkin karena sedikit orang yang berdoa sesederhana itu. Kebanyakan orang kan berdoa untuk mendapat rezeki yang banyak. Antriannya panjang. Kalau doa saya, antriannya pendek jadi segera dikabulkan,” kelakarnya. Tio barangkali memang tak pernah menuntut banyak pada hidup. Ia mengalir dan mencari celah seperti air. Kegagalan bukan hal asing buatnya. Keterbuangan boleh jadi perasaan yang menemani sebagian besar waktunya menapaki hidup.
Tapi ia tak pernah menyesali apa pun. “Satu hal paling melekat dari apa yang pernah diajarkan Bapak adalah, jangan pernah menyesali apa yang pernah kamu buat. Jadikan sebagai anugerah yang harus kau syukuri,” katanya yakin. Maka ia jalani segala yang mampir dan ia temui dalam perjalanan hidup dengan terbuka. Banyak kekecewaan serta kemungkinan terburuk pernah ia lewati dan kini semua mengisi pundi pengalamannya. Tio yang dua kali mendapat MTV Indonesia Movie Awards sebagai Pemeran Pendukung Pria Terbaik dari Berbagi Suami (2006) dan Quickie Express (2008) ini pernah sangat terpukul dan nyaris yakin kalau ia tak akan pernah mengenyam bangku universitas. Harapannya untuk bisa kuliah di Amerika kandas setelah teman yang berjanji akan membantu mengurusnya mendapat visa pelajar mangkir setibanya Tio di sana. Dalam kecewa, ia berkelana dari Negara bagian satu ke Negara bagian lainnya. “Saya bermobil bersama teman-teman dari Boston sampai ke San Diego. Kami menjelajah sekitar 25 negara bagian di sana. Sempat juga jadi koresponden majalah Tempo ketika saya tinggal di sana,” kenangnya. Kendati kerap terombang ambing gelombang hidup, Tio tak pernah patah. Pulang ke Indonesia, ia masuk Jurusan Sinematografi Institut Kesenian Jakarta dan terbukti ia berjodoh dengan dunia peran.
Langganan Peran Watak
Kariernya di film, bisa dibilang berjalan mulus. Ikut terlibat dalam beberapa film seperti Bilur-bilur Penyesalan(1986) dan Catatan Si Boy II (!988), namanya mulai melekat di hati penikmat film Indonesia, ketika ia bersama Cut Rizki Theo bermain dalam film arahan Garin Nugroho, Cinta Dalam Sepotong Roti (1990). “Tio aktor yang menjanjikan. Dia punya spontanitas dan keliaran yang bagus. Dia salah satu dari sedikit pemain film yang punya keaktoran kuat. Semakin tinggi tantangan peran, makin kuat aktingnya,” kata Garin ketika ditanyai pendapatnya tentang pemeran Topan dalam film arahannya itu. Setelah Piala Citra pertama ia peroleh lewat peran sebagai Aria, seorang komponis dalam film Lagu Untuk Seruni, dunia perfilman Indonesia koma untuk waktu yang cukup lama. Namanya yang baru mulai menanjak dan disebut-sebut sebagai wajah baru actor Indonesia, menggeser Rachmat Hidayat, Didi Petet dan Mathias Muchus yang kala itu tengah berkibar kembali meredup kendati ia memiliki cukup banyak karya untuk tayangan televisi. Dalam periode itu juga, ia sempat iseng menjajal kemampuannya di bidang teknologi informasi dengan cara yang salah: menjadi hacker. “Tapi nggak berkah. Saya nggak lama nge-hack karena saat jadi hacker itu saya sering kehilangan. Lalu saya berhenti.”
Saat dunia film kembali menggeliat di awal dekade 2000an, ia kembali unjuk gigi. Banyak film ia bintangi sejak 2004. menempatkannya dalam jajaran pemeran watak yang selalu dicari para sutradara untuk memerankan karakter berspesifikasi khusus. Misalnya saja sebagai lelaki hidung belang di Virgin (2004), Koh Abun, pedagang bebek yang takut istri dalam Berbagi Suami, sebagai penjaga kamar mayat yang kompleks dalam Identitas atau sebagai raja copet di film komedi satir Alangkah Lucunya Negeri Kami arahan Deddy Mizwar yang akan dirilis tahun ini. “Sekarang ini saya tidak lagi memilih peran, tapi peran yang memilih saya,” katanya tanpa nada jumawa. Ia melihat, para sutradara dan produser seperti menyeleksi sendiri peran yang akan mereka tawarkan pada Tio. “Sepertinya harus aneh dan tidak jelas. Padahal tidak selalu begitu. Kalau secara finansial ok masak ditolak? Tergantung juga sih. Tapi kebanyakan saya memang menempatkan bargain karakter di awal. Kalau kira-kira bisa diolah, okelah. Tapi kalau sepertinya karakternya biasa-biasa saja, kompensasinya, harus ada hal lain yang lebih baik,” jelasnya sembari tertawa. Sekarang ini, menurut Tio kebanyakan peran yang datang padanya, meski tidak selalu kuat, tapi pasti memiliki keunikan. “Seperti misalnya penderita kanker paru, penjaga kamar mayat, atau raja copet. Untuk peran sebagai raja copet ini, saya melakukan observasi di kelompok pencopet di daerah Roxy selama seminggu. Tak gampang masuk ke dalam lingkungan mereka,” ungkapna. Pendekatan adalah cara yang selalu ia perhatikan karena itu akan sangat mempengaruhi kelancaran observasi. “Kebetulan, saya sempat lama di jalanan. Saya paham benar tata karma pergaulan orang jalanan. Mungkin kalau saya tidak tahu lingkungan mereka juga akan susah melakukan pendekatan,” katanya.
Buatnya, observasi adalah hal yang perlu dilakukan. “Perlu, dalam arti tidak harus dilakukan. Saya hanya melalukan observasi untuk peran-peran dengan tingkat kesulitan tertentu. Untuk peran-peran yang tergolong mudah seperti peran Bapak yang hidup dalam keluarga normal, mungkin tidak perlu membuat observasi karena saya sendiri juga seorang ayah. Kecuali jika ada cerita spesifik seperti dalam Kata Maaf Terakhir, di mana, saya harus berperan sebagai ayah yang mengidap kanker paru. Saya melakukan observasi selama dua hari di RS Ongkomulyo dan bicara dengan pasien-pasien terminal yang hidupnya sudah divonis hanya beberapa hari lagi. Ngeri sekali, karena mereka sudah tahu kapan mereka akan pergi. Ada yang tanpa sadar menangis sambil terus saja bercerita. Ada orang yang saya temui, dan seminggu kemudian sudah meninggal. Ayah saya juga meninggal karena paru-paru basah dan saya tahu bagaimana proses dari mulai sakit sampai ayah saya mengembuskan napas terakhir. Saya juga tidak tahu, FFI penilaiannya bagaimana, karena yang menang bukan peran saya dalam film itu dan justru yang dalam Identitas yang menang.
Untuk film Identitas saya tidak melakukan observasi, tapi saya melakukan eksplorasi gila-gilaan dalam film itu. Saya pakai gigi palsu karena Adam bergigi tonggos. Selain itu juga cara berjalannya harus diseret, sampai intonasi suara juga beda. Kalau yang memahami acting saya, akan merasakan bedanya. Adam itu digambarkan sebagai tokoh yang sakit, karena dia lebih suka bicara dengan mayat ketimbang manusia. Dari semua tokoh yang saya perankan, saya paling suka peran saya di film yang belum sempat dirilis, judulnya Senyum Yang Terampas yang juga disutradarai oleh Aria Kusumadewa. Film itu tidak tayang karena dianggap terlalu personal. Prosesnya sangat luar biasa, baik dari sisi produksi, pemain, sampai penokohan. Film ini baru selesai setelah enam tahun produksi dan tidak tayang karena tidak diterima di mana-mana. Film itu juga tidak beredar di festival-festival, karena Aria sendiri mengaku tak suka dengan festival yang ia anggap hanya berhenti sebatas perayaan. “Orang lain boleh suka festival, tapi saya tidak,” kata Aria. Untuk memahami jalan pikiran Aria yang unik, kita memang harus punya jalan berpikir yang unik juga. Kalau orang nggak bisa berpikir beda, akan sulit memahami jalan berpikir Aria. Meski baru dua kali telibat produksi filmnya, saya sudah mengenal Aria lama sekali. Dia salah satu orang yang mengajak saya terlibat dalam produksi televise. Dulu saya pernah terlibat pembuatan beberapa program TV Play di TVRI seperti Kamandaka, dan Bianglala. Baru bekerjasama lagi dengan Aria ketika ia mengajak saya ikut main dalam Senyum Yang Terampas. Tapi sampai sekarang, saya sendiri belum pernah melihat film itu., bagaimana jadinya, sata tidak tahu sama sekali. Peran dalam film itu menjadi sulit buat saya karena beberapa alasan. Pertama, pada saat itu ilmu saya belum banyak. (Tio lalu terlibat obrolan dengan seorang kru film, menanyakan lukisan orang itu yang ia buat. Temannya meminta Tio menandatangani lukisan itu). Saya memang senang membuat sketsa di lokasi syuting. Nanti gambarnya saya kasih untuk orang yang saya gambar. Saya selalu membawa buku sketsa, buat menggambar kalau sedang iseng menunggu. Dibilang seniman komplit tidak juga. Saya hanya suka belajar. Mungkin karena dulu saya tidak senang sekolah, jadi kehilangan masa-masa itu. Saya suka ke sekolah, tapi tidak suka belajar di kelas. Buat saya, belajar itu bisa di mana saja. (Indah S. Ariani), Foto: Denny Ramon, Pengarah Gaya: Ayunda Wardhani, Busana: Jeffry Tan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ikutan koment...
BalasHapusduhhh info bagus ini dalam catatan blog mbak, saya jadi banyak tau tentang perfilm....
salam.....
sangat informatif dan inspiratif. :)
BalasHapussebelum membaca ini saya hnya tau Tio Pakusadewo sebagai aktor yang hebat, itu saja.
tapi kini saya lebih tau ttg beliau.
saya membacanya sangat terharu, apalagi pas ayahnya mas Tio meninggal.
BalasHapusSaya kebetulan fans sejatinya mas tio
semoga bisa ketemu mas tio. Amiin
maju trus mas,semangat? tunjukan identitasmu....
BalasHapuslele belut burung jangan lupa lepas jam 03-05 by cross boy