Kamis, 04 Maret 2010

LUKISAN POP DARI POSTER CANTIK


Tantin berburu wajah-wajah cantik, melemparkannya ke dalam ramuan pop art, menyatukannya dengan kegelisahan industrial.

Cantik itu luka, kata novelis Eka Kurniawan. I Gusti Ngurah Udiantara punya kata lain yang maknanya setali tiga uang: curse of beauty. Kecantikan memang bisa berbalik serupa kutukan yang menghantui mereka yang mendapatkannya. Si cantik tak hanya menerima pujian, tapi juga cerca dan dengki. Maka ia gambarkan sepenggal kalimat tanya menempel di dada seorang perempuan cantik: “Why did you curse me with this beauty?”. Tak ada jawaban yang ia berikan, melainkan serangkaian wajah perempuan –yang semuanya cantik- tercabik-cabik, berebut tempat dengan beragam tulisan dari aneka poster dan selebaran yang saling tumpuk.

Udiantara, yang biasa disapa Tantin ini, memang secara intensif mengumpulkan citra perempuan cantik, baik dari majalah dan internet. Koleksinya sudah mencapai lebih dari seribu gambar itu berbuah pameran lukisan di Semarang Gallery, medio Januari lalu, salah satunya adalah lukisan Curse of Beauty tadi.

Melalui serangkaian lukisan, ia berpendapat bahwa pada satu titik wajah-wajah cantik itu menjadi sangat industrial. Kecantikan, sebagai sebuah bentuk keindahan, memang acapkali harus berebut tempat dengan banyak hal lain di muka bumi ini. Seperti kontradiksi lain, kecantikan memiliki juga dua kutub yang sama: baik dan buruk. Namun, Tantin, tak hendak berbicara soal untung rugi perempuan berwajah cantik. Ia lebih tertarik pada bagaimana kecantikan dimaknai lebih luas dari sekadar anugerah untuk tubuh. Ketertarikannya pada budaya pop, membuatnya menoleh pada fakta betapa banyak taburan wajah cantik di segala jenis publikasi, dari televisi, majalah, hingga poster-poster yang memenuhi dinding di tepi jalan.

“Kecantikan lantas terasa menjadi komodifikasi belaka dengan standar yang seragam. Saya lalu membayangkan, bagaimana perasaan para perempuan itu ketika melihat gambar mereka terpampang di media atau di poster untuk kemudian melihatnya disobek,” Tantin bertanya retoris. Ia juga bertanya-tanya, apakah pesan yang ada dalam poster itu akan sampai dengan baik manakala bagian-bagiannya tercabik. Di luar dua pertanyaan itu, pelukis kelahiran Gianyar Bali ini menangkap jiwa pop art yang kuat di dalamnya. Kontradiksi keindahan dan kesemrawutan diramu dengan sangat teliti hingga harmoni terpapar dengan sempurna di atas kanvas.

Menikmati lebih dari 15 lukisan yang dipajang, kontradiksi terasa kental. Daya tarik pop art terlihat begitu memikat buat Tantin. Dalam pameran bertajuk Pop Imagery ini, ia menyertakan sebuah karya dengan Marilyn Monroe sebagai obyek yang akan segera mengingatkan penikmatnya pada karya bapak pop art Andy Warhol. Ia memang tidak menjadikan Marilyn Monroe sebagai ikon. Namun tak lantas ia lepas dengan pengaruh imaji kecantikan ala Barat. Wajah-wajah cantik yang mengisi kanvasnya masih berpusar pada ikon cantik Barat salah satunya lewat wajah Megan Fox. “Tidak banyak orang yang memberi perhatian besar pada tekstur yang dihasilkan oleh sobekan-sobekan poster,” Jim Supangkat mengungkapkan dalam pidato pembukaan pameran.
Hal yang menarik adalah, meski kuat mengangkat pop art, Tantin justru tengah mengkritisi budaya pop itu sendiri. Ia secara tegas memunculkan gambaran pop sambil mempersoalkan konflik yang terjadi di dalamnya. Kebingungannya tentang makna kecantikan yang ada di majalah-majalah gaya hidup dibenturkan pada kesejatian diri yang sesungguhnya menentang keseragaman gaya majalah dan poster itu. “Ia mempertanyakan perihal kecantikan yang sesungguhnya dengan kecantikan gaya industri,” Jim menambahkan. Itu dari masalah ide. Dari segi teknis, Jim juga menggaris bawahi perkembangan Tantin dalam mengolah materi dan teknik yang menurutnya terbilang inovatif. “Ini tampak pada tekstur sobekan poster dan kanvas-kanvas yang sengaja dibuat kusut dengan bantuan resin,” katanya.

Menyimak karya Tantin, kita memang seperti diajak bermain-main dengan imajinasi visual yang melangkah dari satu potongan wajah ke potongan wajah berikutnya. Tanpa sadar, pikiran kita akan tergoda untuk menelusup ke bawah ‘sampah’ yang menutupi wajah-wajah cantik yang tak sempurna karena direcoki sobekan-sobekan kertas seperti yang tampak pada karya bertajuk The Broken Image 2. Atau, lihatlah sepotong bibir indah yang teronggok dalam selembar gambar kusut tanpa jejak siapa pemiliknya pada Wallpaper Series 1. Seperti yang dikatakan Jim, Tantin memang terlihat jelas berusaha menggali segala macam kemungkinan bentuk yang dapat dihasilkan dari eksplorasi material. Ia kawinkan kanvas dengan resin hingga muncul kekusutan yang lantas berinteraksi dengan sangat menarik bersama citra-citra yang ada di atasnya. Upaya ini terbilang sukses karena menghadirkan kesan baru pada karya Wallpaper Series 1- 4.

Eksplorasi material juga terlihat pada karya berjudul Shadow yang paling banyak menangguk perbincangan malam itu. Karya yang membentuk seraut wajah ini, terlihat seperti sebuah lukisan tanpa bingkai. Beberapa orang bahkan menduga itu adalah mural yang ia terapkan pada dinding galeri. Kejutan baru terasa ketika kita menghampirinya. Empat lapis tripleks tersusun dalam gradasi warna dari kelabu hingga hitam dan mengingatkan pada teknik kerajinan tangan paper tolle. “Saya mengambil teknik layering dari Photoshop untuk membuat karya ini,” kata Tantin. Rupanya, ia memang merekam imaji popnya dalam banyak cara, yang melintasi berbagai batas kemungkinan. Boleh jadi, pop art bagi Tantin memang arena bermain yang menyenangkan, yang memberinya sedikit sekali rintangan dengan kecantikan sebagai bunga yang menghiasinya. (Indah S. Ariani), Foto: ISA

1 komentar: