Kamis, 04 Maret 2010

Dunia Kata DIAN & LEILA


Dunia Tanpa Koma menghubungkan mereka. Kirana membuktikan bahwa keduanya teman sejiwa.

Lima tahun silam, sebuah keyakinan mampir di benak Leila S. Chudori ketika mulai membuat konsep mini seri Dunia Tanpa Koma (DTK). Sejak awal, ia sudah memastikan, Dian Sastro sebagai orang yang paling tepat memerankan Raya, wartawan cerdas rekaannya. Rasa sangsi sempat melintas di benak Leo Sutanto produser mini seri itu, tapi Leila tak surut. Di peluncuran Ungu Violet, sejilid skenario diangsurkan ke tangan Dian.

Mini seri 14 episode itu juga menandai dimulainya jalinan persahabatan antara Dian dan Leila. Kedekatan terjalin tak hanya karena kerja mereka. Banyak hal di luar pekerjaan yang mereka perbincangkan. Dari mulai kondisi politik internasional, hingga kepiawaian memasak si Mbok di rumah Leila. Sementara itu, kerjasama terus berlanjut. Drupadi, sebuah film pendek yang dibintangi Dian, adalah hasil kolaborasi mereka berikutnya. Film yang disutradari Riri Riza itu menangguk banyak perhatian.

Tahun lalu, ketika Leila meluncurkan kumpulan cerpennya, 9 Dari Nadira, mereka membuat produksi teater bersama. Diselenggarakan oleh Yayasan Dian Sastro, acara peluncuran buku yang di gelar di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki itu menjadi sangat berbeda. “Saya memang tidak mau acaranya sekadar baca cerpen. Lalu terpikir untuk mengadopsi salah satu cerita menjadi naskah teater,” kata Leila. Berpasangan dengan Lukman Sardi, Dian tampil cemerlang. Penampilan mereka menangguk banyak pujian.

Saat bertemu pertama di DTK, sudah pernah bertemu sebelumnya?
Dian Sastrowardoyo (DSW): Belum pernah, tapi saya sudah seringkali mendengar nama Leila Chudori dari ibu saya. Menurutnya, Mbak Leila adalah salah satu teman baik ayah.
Leila S. Chudori(LSC): Bayangkan, saya dulu berteman dengan ayahnya, sekarang dengan anaknya, hahaha. Dulu, ayahnya itu teman dekat kakak saya. Waktu awal kenal, Dian memanggil saya Tante, karena mamanya menyuruh dia memanggil begitu pada saya. Tapi saya keberatan dan meminta Dian memanggil Mbak saja.

Jadi hubungan itu sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum kerjasama dimulai, ya?
DSW: Iya, lewat orang tua saya dan kakak Mbak Leila.
LSC: Bahkan juga lewat eyang Dian, Pak Subagio Sastrowardojo, saya sudah kenal lama, ketika beliau mendirikan Yayasan Lontar bersama Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, John McKlein, dan beberapa orang lainnya. Jadi begitu Dian muncul di film pertamanya, Bintang Jatuh, saya langsung bertanya-tanya, anak ini siapanya Pak Subagio dan Marina Sastrowardoyo (Tante Dian-red), ya?

Di luar urusan kerja, apa yang biasanya Anda berdua bicarakan?
LSC: Banyak hal. Sering Dian menelepon saya sekadar untuk berdiskusi tentang hal-hal yang menarik perhatiannya, seperti konflik Palestina, atau urusan pribadi.

Interaksi seperti apa yang diperoleh dari hubungan ini?
DSW: Saya merasa bisa bertukar pikiran dengan orang yang punya logika berpikir yang sama dengan saya. Mbak Leila berasal dari keluarga yang cara berpikirnya tidak jauh berbeda dengan cara berpikir keluarga saya. Jadi saya seperti bertemu dengan anggota keluarga lainnya. Saya seperti bertemu Tante atau sepupu yang jauh lebih dewasa.
LSC: Hahaha, “Tante”? Tapi memang, waktu pertama kali bertemu di DTK, Dian berusia 27 tahun dan itu artinya kami berbeda usia tepat 20 tahun. Umur saya memang jauh lebih dekat dengan ibunya. Tapi jarak itu tidak terlalu jadi kendala. Kalau saya melihat keputusan-keputusan hidup Dian, saya pikir, keputusan itu memang yang seharusnya diambil oleh orang seusianya.

Bagaimana kerjasama Anda bisa berlanjut hingga sekarang?
LSC: Semua berawal dari DTK. Sejak membuat konsep naskah, saya sudah membayangkan Dian yang harus memerankan tokoh Raya. Saya bilang pada produser dari Sinemart, Leo Sutanto dan dia menyambut baik. Dia bilang, bagus sekali kalau bisa menarik Dian, karena dia susah sekali diajak membintangi sinetron.
DSW: Saya bekerjasama dengan Mbak Leila selalu berhubungan dengan tulisan. Kalau tidak urusan script film, script serial, atau buku. Saya biasanya ‘jauh jodoh’ sama penulis. Banyak penulis di Indonesia, tapi jarang sekali yang saya langsung merasa cocok dengan tulisannya. Gaya penulisan Mbak Leila bagi saya distinctive sekali, gaya bahasanya, saya banget! Saat pertama membaca naskahnya, saya langsung berpikir, “Ok, saya mengerti jalan logikanya. Cara orang menulis itu kan cara orang berbahasa. Cara orang berbahasa itu cara orang berpikir dan saya rasa, saya suka sekali dengan caranya berpikir.

Kenapa saat itu yang terpikir adalah Dian?
LSC: Tokoh dalam mini seri itu, Raya, adalah perempuan cerdas yang juga punya kelemahan. Dia seperti manusia cerdas lainnya yang menginginkan hal baik, tanpa sadar kalau ada wilayah di luar dirinya yang terlanggar. Saya membayangkan, yang bisa memainkannya adalah dia. Pak Leo sampai memikirkan bagaimana strategi agar Dian mau bermain. Lalu saya membuat treatment lebih panjang, menyerupai script. Kami memberikan treatment itu di peluncuran film Ungu Violet. Saya tidak sempat kenalan juga saat itu, karena ramai sekali, dan saya tidak terlalu senang berada dalam kerumunan, kecuali untuk tugas reportase. Saya tidak tahu kalau treatment itu benar-benar diberikan pada Dian saat itu. Dua hari kemudian, Wisnu, manajer Dian menelepon saya dan memberitahu bahwa Dian bersedia main dalam mini seri kami. Dia bilang, selama ini belum pernah mendapat naskah sinteron seperti yang saya buat. Dia banyak tanya pada saya bagaimana agar bisa masuk ke dalam peran ini dengan baik. Saya menawarkan Dian untuk observasi kerja wartawan di kantor majalah Tempo. Dian sempat tandem dengan saya bekerja di Tempo selama beberapa hari. Dia ikut rapat redaksi, dan tur berkeliling ke redaksi sampai percetakan. Saya melihat itu sebagai bukti kesungguhannya dalam dunia peran. Dari situ kami merasa cocok. Dalam banyak kesempatan, dia juga memberi banyak masukan pada saya.

Apakah improvisasi yang Dian lakukan sesuai dengan apa yang Anda bayangkan?
LSC: Iya. Dian juga sangat kritis. Dia jauh lebih berpengalaman dari saya dalam dunia film. Maka masukan-masukannya, memperkaya wawasan saya di bidang film. Dia termasuk orang yang peduli pada produk, jadi ketika dia terlibat dalam sebuah produksi, biar pun hanya sebagai pemain, ia peduli dan ikut memikirkan bagaimana agar film itu bagus. Kalau ada jalan cerita yang aneh, dia pasti langsung bertanya, kenapa begini. Saya menghargai itu. Itu penting buat saya. Mungkin tidak semua kreator suka mendapat masukan seperti itu. Dian selalu ingin ending yang membuat bangga semua orang. Buat orang yang tidak terbiasa dengan kekritisan, Dian akan dianggap sebagai orang yang sok tahu.

Selain karena chemistry yang nyambung, apa ada alasan lain yang membuat kerjasama Anda berdua terjalin begini baik dan panjang?
LSC: Saya sudah tahu how she is, mostly biarpun kami tidak ketemu tiap hari. Maksudnya, saya sudah tahu dia akan bereaksi bagaimana seperti juga dia sudah tahu saya akan bereaksi seperti apa ketika menanggapi hal-hal tertentu. Hal lainnya, saya kan single mother, Dian juga dibesarkan oleh seorang single mother. Ada banyak hal yang saya pelajari dari dia dalam menanggapi persoalan-persoalan tertentu dan bagaimana saya menghadapi anak saya karena saya membesarkan anak saya sendirian.

Di antara Dunia Tanpa Koma ke kerjasama berikutnya, Drupadi, dan lalu yang terbaru kemarin, Kirana, Anda berdua tetap berhubungan?
LSC: Iya. Beberapa kali kami punya rencana kerjasama. Tapi sering tidak jadi. Ada saja kendala yang membuat kerjasama itu tidak jadi. Baru pada saat Drupadi, kerjasama kami terjalin lagi. Lalu yang terakhir Kirana. Tadinya saya tidak bermaksud membuat pertunjukan ini. Saat saya bicara pada Wisnu, manajer Dian, saya hanya ingin bertanya bagaimana cara kalau ingin bikin acara di Goethe (Goethe Institut-Jakarta-red). Wisnu malah menawarkan diri membantu saya mengurusi semua. Saya bilang padanya, kalau saya tidak ingin acara peluncuran buku ini hanya berisi pembacaan cerpen karena cerpen saya panjang dengan kalimat-kalimat yang juga panjang. Lebih menarik kalau dibuat seperti teater. Dian awalnya bilang tidak bisa tampil karena ia memang sedang sibuk kerja. Tapi setelah skenarionya jadi, Dian bilang kalau ia siap bermain. Kami lalu memilih Arswendi sebagai sutradaranya.

Dari semua kerjasama yang pernah di lakukan, mana yang paling berkesan?
DSW: Kalau saya pribadi, yang terakhir kemarin, 9 Dari Nadira. Ketika saya berperan menjadi Kirana. Karena itu proyek yang kami persiapkan secara kilat.
LSC: Oya? Saya malah menyangka Dian tidak menikmati karena dia sempat nggak pe-de berteater dan memang terlihat agak nervous. Saya sampai berpikir, “Dian enjoy nggak ya?” Baru pada gladi resik terakhir saya lihat Dian sudah terlihat mulai rileks. Saat pertunjukan, Goenawan Mohamad bilang pada saya, kalau Dian dan Lukman Sardi bermain sangat baik.
DSW: Memang. Itu sebabnya, ketika pentas dan semua berlangsung lancar, saya kaget dan gembira sekali. Sampai gladi resik pun, saya masih susah menghapal naskah. Akting Lukman juga memang luar biasa. Dia, saat itu, bisa membuat saya melihat padanya dan benar-benar merasa kalau dia adalah suami saya. Begitu kuat aktingnya hingga saya terbawa masuk dan bisa mengimbangi.
LSC: Saya terpaku di bangku sampai akhir pertunjukan, padahal saya harus segera naik panggung untuk memberi bunga.

Buat Anda, mana yang paling berkesan?
LSC: Saya suka DTK dan Kirana. Tapi bagi saya, yang paling berkesan justru ketika DTK. Mungkin karena itu pertama kalinya saya terlibat produksi film. Biasanya saya selalu bekerja secara soliter.
DSW: Iya, saya pun pertama kalinya terlibat pembuatan film televisi. Dan hanya Mbak Leila yang bisa bikin saya main mini seri.

Sekarang kabarnya Anda berdua sedang mengerjakan buku?
DSW: Kami mau membukukan skripsi saya.
LSC: Sebenarnya sudah lama, tapi saya saja yang belum sempat menyelesaikan editing, jadi tertunda terus peluncurannya. Mudah-mudahan bisa tahun ini. Tunggu saja. (Indah S. Ariani), Fotografer: Arino Mangan, Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Tata Rias Wajah & Rambut: Oscar Daniel, Busana Dian Sastro: Tomodachi, Lokasi: Bibliotheque

Tidak ada komentar:

Posting Komentar