Kamis, 04 Maret 2010

MENYIBAK HALIMUN DI LAWANGWANGI


Di ketinggian Dago Giri, ‘Halimun’ turun. Di Lawangwangi, kabut wacana yang melingkupi dunia seni rupa, sedang disibakkan.

Di sebuah Jumat malam yang masih muda dan dirembesi gerimis, Sunaryo, perupa kawakan pemilik Selasar Sunaryo melakukan aksi penembakan. ‘Target’nya berada di perbukitan, beberapa mil di seberang tempatnya berdiri. Tak terdengar letusan. Di seberang sana juga tak terdengar suara apa-apa, hanya senyap. Massa yang berdiri di sekeliling Sunaryo menahan napas, cemas menanti kejutan yang akan mereka saksikan. Sunaryo kembali mengarahkan ‘senjata’ ke seberang sana. Lagi-lagi tak terjadi apa-apa. Orang-orang makin penasaran dan memandang lebih tajam ke seberang. Di tembakan ketiga, tiba-tiba sebaris kata menyala di kejauhan sana: HALIMUN. Dengan huruf kapital dari jajaran neon, kata yang dalam bahasa Sunda berarti kabut itu, terlihat menyerupai tulisan Hollywood yang tersohor dari kejauhan. Semua orang di sekitar Sunaryo terpana menatap instalasi karya Deden Sambas tersebut, diam sejenak untuk kemudian tertawa. Sebagian lagi tersenyum sambil geleng-geleng kepala –tak sedikit pula yang menggerutu-. Barangkali mereka membayangkan permainan imaji yang melintasi kepala mereka beberapa detik sebelumnya. Sebuah saat ketika berbagai tanya bermain-main, sambil mencoba menjawab kemungkinan yang terjadi dari penembakan Sunaryo itu.

Kolaborasi Seni dan Sains
Performing art itu menjadi adegan paling berkesan dalam pembukaan Lawangwangi Art and Science Estate akhir Januari silam. Ratusan orang memadati pelataran curam pusat seni rupa baru untuk mengikuti seremoni dan juga pertunjukan menarik kelompok perkusi remaja Jendela Ide pimpinan Marintan Sirait. Mereka tampil dinamis dan memikat. Andonowati, profesor matematika yang juga penggagas berdirinya ArtSociates dan Lawangwangi tak mampu menutupi bahagianya ketika memberi sambutan. Dengan bersemangat dan suara bergetar, Aan –begitu Andonowati biasa disapa- menjelaskan ihwal yang melatarbelakangi mengapa ia membuka pusat seni dan menyandingkannya dengan sains. Ia juga menjelaskan tentang ArtSociates yang diresmikan pada 2007 silam, untuk memberi kontribusi pada dunia seni rupa Indonesia, lewat promosi yang diberikan untuk para seniman agar bisa makin berkibar di kancah internasional. “Banyak yang bertanya pada saya, apa beda Lawangwangi dan ArtSociates. Jawabannya, ArtSociate adalah penghuni Lawangwangi yang didesain oleh arsitek Baskoro Tejo, bersama LabMath- Indonesia,” kata Aan. LabMath Indonesia sendiri, adalah sebuah institusi riset yang menstimulasi dan membantu eksekusi riset saintifik tentang masalah-masalah penting yang meliputi oseanografi garis pantai dan lingkungan air, termasuk efek perubahan cuaca.

Keyakinan bahwa seni sejatinya bersaudara dengan sains, membuat Aan dan ArtSociates menggagas pula program residensi antara seniman dengan ilmuwan yang untuk kali pertama akan dijalani oleh Christine Ay Tjoe. Perupa yang akan berpameran di Lawangwangi pada April mendatang, direncanakan akan menjalani residensi di Belanda selama dua bulan, Mei hingga Juli dan akan berkolaborasi dengan fisikawan Detlef Lohse. Selain program itu, ArtSociates juga akan menggelar ajang Art Award yang terbuka bagi umum, untuk menjaring bakat-bakat baru berkualitas dalam kancah seni rupa Indonesia. Kurator Jim Supangkat, kritikus senirupa Carla Bianpoen, Deborah Iskandar dari balai lelang Sotheby’s, dan kolektor Syakieb Sungkar dipilih untuk menjadi juri ajang ini. Kolektor menjadi juri? Aan berkilah bahwa tanpa kolektor, pergerakan karya dan apresiasi terhadap benda seni tidak akan terjadi.

Menghalau Pasar
Namun bukan berarti Aan dan ArtSociate mengagungkan pasar lebih tinggi dari ide dan karya itu sendiri. Sebab, pameran bertajuk Halimun -dikuratori oleh Rifky Effendi- yang digelar menandai dibukanya Lawangwangi sejatinya adalah upaya untuk kembali menempatkan karya seni di tempat semestinya: sebagai penentu pasar dan bukan sebaliknya, pasar menjadi penentu karya seni. Dalam pengantar pameran yang dibuat oleh Rifky, terbersit kecurigaan seni rupa yang bergantung pada pasar. Gaya artistik yang mapan saat ini dianggap sebagai akibat dari pusaran pusar belaka. Kondisi ini ditengarai membentuk lapisan tanda-tanda yang mengecoh dan mengganggu pengamatan penikmat seni rupa. “Suasana ini seperti membentuk lapisan kabut yang menyelubungi suatu tempat yang menyelimuti, menyelubungi, dan menghalangi pandangan, kendati kita masih bisa melihat sesuatu dengan batasan jarak pandang tertentu. Halimun dalam pameran ini menjadi metafora untuk menjelaskan gejala medan sosial kapital seni rupa Indoenesia saat ini,” Rifky menjelaskan.

Menurut Rifky, pameran ini merupakan upaya untuk kembali mengajak khalayak seni rupa untuk kembali masuk ke dalam pusaran lapisan nilai, dan meninggalkan sejenak keriuhan pasar, tempat di mana, nilai acap kehilangan makna. Diikuti 49 perupa, memang terlihat adanya upaya menjawab kegelisahan tersebut. Dalam pameran itu, karya yang bicara. Euforia pasar sedikit redam, terganti bisik-bisik penikmat seni yang lantas memberi nilai secara lebih objektif. Dalam pameran tersebut segala tema dan material menjadi sebuah keniscayaan. Banyak seniman yang tetap berpegang pada ciri khasnya. Beberapa lainnya, mengolah material baru untuk mendapatkan kesan berbeda, sisanya, mencoba memasuki ruang eksplorasi baru atau juga melakukan kilas balik dan mencoba datang dengan gaya mereka sebelumnya.

Sebut misalnya Mella Jaarsma. Ia masih senang bermain-main dengan jubah dari berbagai materi yang telah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Kali ini, ia mengambil piring kaleng sebagai material dan menghadirkan efek yang menarik, karena dua jubah yang diletakkan tepat di depan jendela kaca itu, serupa sepasang pengantin yang tengah bersanding menikmati hijau bukti di kejauhan. Radi Arwinda, mungkin tepat untuk menyontohkan perupa yang menggunakan material baru. Ia ‘menyalin’ Pet Pet, monster rekaannya ke dalam material kayu yang menghadirkan kesan baru dari objek jenaka itu. Dalam pameran ini, beragam gaya memang mewujudkan dirinya secara utuh. Realis terasa sebagai aliran yang sangat kuat terlihat. Sebagian besar seniman memang melandaskan kreativitasnya pada aliran ini. Yogie Achmad Ginanjar, Cecep M.T., juga kelompok TAXU dari Bali adalah sedikit dari sekian banyak seniman yang memilih garis realis. Di kelompok TAXU, hanya Gde Mahendra Yasa yang kali ini meninggalkan gaya realisnya. Seniman yang biasa menjadikan torehan cat yang baru keluar dari tube sebagai obyek eksplorasi karya, kali ini menampilkan lukisan abstrak dari seri apropriasi atas karya abstrak De Kooning. Citra abstak perempuan telanjang dalam berbagai paduan warna cerah akan terasa mengagetkan jika kita terbiasa dengan ketelitian realisme Hendra. Terlebih bila kita belum kenal karya De Kooning. Gambar itu akan terasa sangat asing dan barangkali menggelitik pikiran untuk bertanya, “Di mana indahnya?”

Namun begitulah, di Halimun, semua ide memang sah-sah saja digulirkan. Perubahan apa pun menjadi niscaya dan serupa tantangan untuk menyiapkan diri keluar dari lapisan pusaran pasar. Barangkali terlalu dini untuk berharap banyak pada Lawangwangi. Perjalanan panjang masih harus ditempuh baik oleh Aan, ArtSociates dan Lawangwangi untuk membuktikan diri bahwa komitmen mereka juga bukan sekadar euforia. Mampukah mereka? Kita tunggu saja kiprahnya. (Indah S. Ariani), Foto: ISA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar