Kamis, 07 Mei 2009

JAM SESSION Slank dan Ursula


Lewat gambar, mereka ‘menyanyikan’ Indonesia dengan irama yang tak biasa.

Siapa tak kenal Slank? Grup musik rock legendaris era 90-an yang eksistensinya masih terpancang kokoh hingga kini. Berbasis fans yang mereka sebut sebagai Slankers, mereka mewarnai tak hanya kancah musik, tapi juga sosial politik lewat lirik lagu mereka yang ‘slengean’ dan sangat lugas. Tahun 2008 silam, mereka menapak usia 25. Sebuah daya tahan cukup fantastis dari sebuah grup musik. Maka tak salah kalau Garin Nugroho tertarik membuat catatan tentang mereka dalam bahasa visual. Ide yang sempat tercetus saat jarig ke-20 Slank ini sempat beku oleh kesibukan dua pihak. Ide yang lalu menggeliat setelah lima tahun tertidur karena Garin bertemu Ursula Tumiwa yang setuju membiayai pembuatan filmnya. “Iya, seperti orang gila mencari orang gila. Kalau nggak gila, Ula (sapaan Ursula) tentu tidak akan mau membiayai film ini, “ tukas Bimbim sambil tertawa.

Maka mulailah mereka menyusun rencana. “Slank cuti konser dua minggu penuh supaya bisa mentaati jadwal syuting yang sangat berbeda dengan pola kerja mereka di musik. Tawar menawar waktunya juga cukup alot dengan pihak produksi,” cerita Masto, manajer Slank, di sela-sela latihan merka untuk tampil di Java Jazz 2009 lalu. Banyak hal baru yang ditemui para personil Slank, juga Ursula yang baru pertama kali memproduseri sebuah film musik. Banyak bahasa visual yang cukup susah mereka mamah. Namun banyak pula hal menyentuh yang mereka rasakan sepanjang proses pembuatan film yang diberi tajuk Generasi Biru. “Awalnya mau dibuat film biografi. Tapi saya nggak mau film yang terlalu mengkultuskan Slank. Saya pikir, akan lebih baik merekam kecintaan kami pada bangsa ini dengan lagu-lagu kami sebagai benang merahnya,” ungkap Bimbim.

Maka hadirlah Indonesia yang getir dan sedih, terlukai oleh berbagai kejadian tak berpihak pada rakyat seperti penculikan, kerusuhan dan kejahatan kemanusiaan. “Kami ingin bicara banyak sekali lewat film ini. Betapa rakyat kerap jadi korban demi Negara yang dicintainya,” air wajah Bimbim redup saat mengatakan ini. Tapi tak semua suram. Sebab asa adalah hal yang juga ingin mereka semat dan gantungkan di pucuk tertinggi segala pesan yang tersirat. Peace, Love, Unity, Respect, empat kata yang menjadi jiwa Slank, juga jadi pesan penting. “Indonesia akan bangkit kalau punya damai, cinta, kesatuan dan respek. Kelam dan muram yang terpampang dalam film kami sesungguhnya pengingat bahwa kerusuhan, penculikan dan penindasan hanya akan merusak. Bangsa ini bisa besar kalau itu tak ada.” Pesan yang sama sekali tak sumir dari sebuah film tentang sekelompok musisi rock.

Siapa yang punya ide awal membuat film Generasi Biru?

Ursula Tumiwa(UT) : Ide awal membuat film ini sebenarnya saya dan Mas Garin. Tapi film ini juga tidak akan pernah terwujud kalau teman-teman Slank tidak menerima ide kami. Mas Garin sendiri memang sudah pernah menawarkan ide ini ke mereka beberapa tahun lalu. Cuma belum sempat terwujud karena belum ketemu orang yang mau membiayai. Lalu kami bertemu, ngobrol dengan Bimbim dan senang sekali karena komunikasi berjalan lancar. Konsepnya meluncur dengan cepat. Saya sendiri memang senang dengan film musikal seperti biografi Pink Floyd. Saya berpikir, kalau di Indonesia, siapa ya yang paling tepat saya buatkan dokumentasinya. Ada tiga nama yang muncul dalam diskusi saya dan Mas Garin soal ini. Slank, Iwan Fals dan Koes Plus. Pilihan kami jatuh pada Slank.

Tanggapan Slank atas tawaran tersebut bagaimana?

Bimbim (BB) : Sebenarnya beberapa kali kami ketemu Mas Garin tanpa sengaja dan sempat berdiskusi soal film. Sempat pula tercetus ide membuat film kami. Sekitar lima tahun lalu, saat Slank ulang tahun ke-20 sempat ada upaya membuat dokumentasi tentang kami. Tapi saat itu kami sama-sama sibuk, jadi rencana itu tidak berjalan dengan baik.

Berapa lama persiapan yang dilakukan dari ide tercetus, datang persetujuan dari Slank sampai mulai syuting?

UT : Lumayan cepat. Sebenarnya ide ini oleh-oleh ketika kami pulang dari Berlin pada tahun lalu, setelah kami melihat film Rolling Stone. Februari 2008 saya menyambangi tempatnya Mas Bimbim dan diskusi tentang ini. Kebetulan ada momen yang tepat kala itu, seabad Kebangkitan Nasional. Saat itu saya masih bimbang soal sudut pandang yang ingin kami angkat. Kalau kami mengangkat Slank secara utuh, ini akan jadi film biografi. Tapi Mas Bimbim punya ide untuk membuat sebuah film tentang Indonesia yang benang merahnya ada dalam lagu-lagu Slank. Setelah ketemu format yang tepat, kami mulai melakukan syuting dokumenternya pada Maret, April, Mei. Untuk dokumenternya, selain menyorot konser Slank di beberapa tempat, kami juga mengangkat para Slankers di tiap kota. Sebab fenomena Slankers ini sangat menarik.

BB : Karena kalau kami tidak ada cuplikan konser dan Slankers, film ini akan menjadi sangat tidak hidup. Nyawa kami ada di atas panggung dan para Slankers itu. Bisa dibilang Slank itu akan jadi lebih keren ketika tampil di panggung ketimbang di album.

Ada kesulitan meleburkan ide?

UT : Kalau dari saya tidak, sebab kami sudah punya bayangan akan jadi seperti apa film ini. Jadi sebenarnya, tantangan itu lebih banyak datang pada Slank.

BB : Ya. Kami berusaha keras menerjemahkan ide Mas Garin yang memang lumayan berat dan tidak gampang dijabarkan. Kami berusaha membuatnya menjadi lebih enteng, tapi hasilnya ternyata tetap berat juga, hahaha… Untuk soal akting, kami terbantu sekali oleh kemampuan Mas Garin mengeksplorasi kami. Jadi kami ‘tidak sempat’ jaim di depan kamera dan bisa tampil natural. Tiap kali terasa kami akan akting, Mas Garin akan menegur, “Jangan akting. Jadi rock star saja.” Maka kami tampil apa adanya. Bisa dibilang, tidak ada kesulitan bagi saya untuk diajak gila-gilaan. Kalau bisa dianggap kesulitan, yang paling berat adalah mengatasi rasa malu. Canggung sekali ketika saya yang biasa pegang alat (drum) harus tampil di depan kamera, gila-gilaan tanpa pegang alat. Sempat terpikir untuk berhenti saat baru mulai latihan. Tapi setelah beberapa kali akhirnya terbiasa juga.

Kaka (KK) : Untungnya kami ini selalu punya ketertarikan pada hal-hal baru dan segala hal dalam pembuatan film ini sama sekali baru bagi kami. Tawaran untuk menari misalnya, itu sesuatu yang baru yang berusaha kami nikmati prosesnya. Akhirnya jadilah begitu.

Ridho (RD) : Saya dan Ivanka tidak mendapat porsi menari terlalu banyak, jadi relatif tidak terlalu masalah. Tapi memang ada beberapa gerakan yang harus kami hafal dan eksplorasi. Itu yang lumayan berat.

Di film Generasi Biru, Anda semua dapat ‘pasangan’ main yang berbeda. Bimbim dengan Lio yang tuna rungu, Abdee dengan para ibu yang mencari orang hilang, Ridho dan Ivanka dengan manusia hewan. Casting yang paling menyenangkan mungkin jatuh pada Kaka yang dipasangkan dengan Nadine. Apa yang lain puas dengan pembagian peran tersebut?

KK : (sambil tertawa keras) Wah… jangan mancing, dong

BB : Iya, saya minta tukar peran nggak boleh sama Mas Garin, hahaha

Ivanka (IV) : Tapi saya melihat, Mas Garin sangat jenius untuk memilih karakter. Dia bisa dengan tepat memberi peran sesuai karakter kami. Contohnya saya dan Ridho. Bisa dibilang, kami memang selalu kemana-mana berdua sampai orang sering keliru membedakan antara saya dan Ridho. Sering tertukar.

UT : Kalau dari sisi produser, saya benar-benar senang karena kesediaan mereka terlibat proses pembuatan film ini seperti sebuah penghargaan Slank bagi kami. Ketika proses produksi sudah selesai, saya berpikir, ini kerja berat yang tidak mudah dilakukan dan Slank melakukannya dengan sempurna. Mereka benar-benar berkelas, meski banyak yang menganggap film ini tidak cair. Tapi mereka sejak awal toh memang sudah berbeda. Bagus juga kalau mereka juga membuat film yang berbeda.

Bagaimana cara Slank menyesuaikan diri dengan hal dan lingkungan kerja baru?

UT : Mereka ber-jam session.

BB : Ya. Jam session. Itu istilah yang tepat. Kalau ketika bermusik kami ber-jam session dengan musisi, maka di sini kami melakukannya dengan kameramen, koreografer, dan animator. Persis seperti kalau kami datang ke tempat latihan dan mulai mencari nada untuk dipadukan. Kelihatannya, orang-orang yang terlibat dalam film ini memang sengaja dipilih yang pernah bekerja sama dengan kami dalam pembuatan klip atau produksi lain, sehingga tidak terlalu sulit menjalin komunikasi. Itu juga membuat mereka sudah paham musik dan jiwa Slank.

Film ini berarti apa bagi Anda semua?

BB : Saya ingin Indonesia punya film musik. Saya berharap ini jadi harta karun buat Indoensia karena tidak akan habis dimakan waktu. Entah itu ceritanya, lagunya, gambarnya. Mungkin sepuluh tahun lagi, film ini akan jadi acuan film musik dari Indonesia. Jadi nggak cuma Pink Floyd, The Doors atau Rolling Stones saja yang punya dan bisa dijadikan acuan. Indonesia pun punya. Saya agak prihatin melihat dokumentasi musik Indonesia. Setidaknya, ini adalah awal dan contoh bagaimana sebaiknya sebuah film musik dibuat. Saya yakin setelah ini, akan banyak yang membuat seperti ini. Bukankah budaya adalah jendela yang sangat biasa untuk melihat sebuah bangsa?

UT : Film ini, meski bercerita tentang Indonesia, sebenarnya juga mencerminkan sekali ruh Slank. Bagaimana mereka konsisten menyebarkan virus damai sekaligus tetap kritis pada fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.

KK : Buat saya, film ini menunjukkan kalau saya tidak cocok jadi bintang film, hahaha… Kapok sih tidak, tapi saya rasa, pola kerja film itu tidak pas dengan pola kerja saya. Kerja dari jam enam pagi dan kelarnya entah jam berapa. Tapi saya bangga sekali bisa membuat film ini bersamaan dengan 100 tahun Kebangkitan Nasional, ulang tahun Slank yang ke-25 dan 2008 kemarin, tahun yang baik bagi Slank karena banyak sekali kejadian baik yang kami terima, ditutup dengan selesianya film ini. Jadi ini sebuah fenomena yang bersejarah sekali bagi kami.

Abdee (AB) : Saya tidak tahu apakah pesan dalam film ini tersampaikan dengan baik. Tapi bagi saya dan Slank sendiri, ini hal baru yang sangat eksperimental. Cara tutur Slank dalam lagu yang sangat lugas, sebenarnya agak berbeda dengan cara tutur film ini yang sangat simbolik. Saya masih menyimpan pertanyaan besar itu. Apakah gaya tutur simbolik ini akan efektif menyampaikan pesan Slank yang biasa disampaikan secara lugas. Tapi memang seperti kata Bimbim, film ini akan jadi harta karun karena ini pola yang benar-benar baru untuk sebuah film tentang grup musik. Biasanya, sebuah film musik hanya butuh tiga unsur untuk membuatnya menarik. Musik, gambar dan drama. Di film ini, unsur itu ditambah lagi dengan unsur lain seperti animasi, pantomim, dokumenter, instalasi. Bisa dibilang hampir semua unsur seni ‘berat’ itu coba dimasukkan. Maka, saya penasaran sekali apakah ramuan itu akan berhasil atau tidak.

IV : Saya excited sekali karena terlibat dalam sebuah karya luar biasa yang belum pernah ada di Indonesia. Buat saya ini eksperimen yang dahsyat. Mungkin masyarakat memang akan perlu waktu untuk mencerna film ini sampai mereka mengerti benar pesan apa yang ingin kami sampaikan. Dan ketika saat itu tiba, film ini akan jadi buah tangan dari Garin dan Slank untuk bangsa ini, terutama bagi generasi setelah kami. Mereka akan bisa memahami bahwa Indonesia pernah punya permasalahan. Saya setuju dengan Abdee. Kami tinggal tunggu saja bagaimana film ini akan bergulir nanti.

RD : Film ini membuat saya punya penglaman pribadi terlibat dalam sebuah produksi film, ditangani oleh sutradara berkelas, temanya juga nggak jauh-jauh dari pekerjaan saya sebagai musisi walaupun perlu beberapa kali menonton untuk memahami dengan baik apa arti film kami sendiri. Tapi ini akan jadi pengalaman berarti yang bisa saya ceritakan pada anak cucu saya nanti.

Apakah personil Slank lain masih berminat main film lagi atau seperti Kaka yang sudah menyerah bilang tidak cocok main film?

IV : Mau kalau Nadine-nya ada lima, hahaha…

RD : Iya, akan dipikirkan lagi mau tidaknya kalau Nadine-nya ada lima.

KK : Hahaha, gue nggak minta lho untuk dipasangkan dengan Nadine! Tapi memang di awal pembicaraan tentang film ini, Mas Garin bilang kalau nanti, saya akan mendapat porsi koreografi lebih banyak dari teman-teman lain. Lalu ditanyakan juga pada saya siapa kandidat pemeran wanitanya. Saat itu nama yang muncul dari saya adalah Aura Kasih dan Kinaryosih. Nadine sama sekali tidak muncul. Tim produksi yang memilih.

BB : Asumsi saya tentang pertimbangan memilih Nadine barangkali adalah, kalau Slank dianggap sebagai rock band Indonesia, maka Putri Indonesia yang pas untuk jadi pendampingnya. Terserah Putri Indonesia tahun berapa, hahaha… (Indah S. Ariani) Pengarah Gaya : Karin Wijaya, Fotografer : Albert , Busana Ursula : , Rias wajah: Adi Wahono