Jumat, 23 April 2010

TUHAN, AY TJOE, DEDEN, DAN HAL-HAL YANG BELUM SELESAI *


Tunggu! Jangan baca dulu kisah tentang Christine Ay Tjoe dan Deden Sambas yang tertulis di halaman ini. Berhenti dulu sebentar.

Pejamkan mata Anda. Bayangkan di hadapan Anda sekarang, tubuh dan ruh Anda mewujud sebagai sebuah bingkisan berbungkus pemandangan bernyawa yang terus saja tertawa, mencibir, menghujat, dan melakukan banyak hal yang memancing berbagai emosi. Bingkisan itu mempermainkan Anda hingga murka dan ingin membunuhnya. Hari ini, Anda benar-benar membunuhnya, menghabisinya. Anda sobek habis lapis pertama itu, berharap bertemu diri sejati. Namun lapis lainnya menghadang Anda. Pemandangan demi pemandangan kembali terputar, terus tertawa, mencibir, menghujat dan melakukan banyak hal yang memancing emosi. Anda lakukan pembunuhan berulang kali, namun tetap itu yang terjadi, lagi, dan lagi. Tinggal Anda yang tak lagi punya energi untuk meneruskan dan membiarkan diri tersungkup sunyi yang lengang dengan lansekap lapang menyita pandangan, mengarahkannya pada tiga huruf saja: G, O, D. God. Tuhan. Dia, Sang Pencipta.

Baik, buka mata Anda sekarang, dan silakan lanjutkan bacaan.

Tuhan adalah ide dan kata yang menyita perhatian Chrstine Ay Tjoe dan Deden Sambas. Mereka tak juga jenuh mencoba mengolah rasa untuk bicara tentang Entitas Agung itu. Sejak kolaborasi pertama mereka untuk Hong Kong Art Fair 2009 silam, dua seniman ini makin asyik 'bermain-main' dengan Tuhan. Dalam pameran yang digelar di Lawangwangi bulan April silam, Christine dan Deden seakan ingin melanjutkan 'perbincangan' mereka dengan Tuhan, seperti yang mereka berdua lakukan lewat karya berjudul Today I Kill The First Layer. And Then I Find Other Layer As A Landscape, Landscape, Landscape (namun disimplifikasi oleh kurator pameran kala itu menjadi Panorama Without Distance-red) yang dipamerkan di ajang Hongkong Art Fair 2009 atau ART HK '09 silam. Instalasi berbentuk dua buah mesin ketik manual berkaki itu memikat para juri yang lantas menobatkannya sebagai pemenang Art Future Artist, perupa yang diyakini sangat menjanjikan di masa depan. Bulan Maret silam, karya itu juga dipamerkan di ART Paris bersama karya dari 19 seniman lainnya.

Ay Tjoe dan Deden bukan nama baru di kancah dengan tuts terlepas hingga hanya menyisakan tulang besi yang siap mematuk jemari yang dihempaskan di tubuh mereka. Huruf-huruf yang tertera di bantalan aksara tak lagi sempurna; kikisan gerinda merusaknya. Hanya tiga aksara yang masih utuh bentuknya: G, O, D. Selempeng plat aluminium sepanjang delapan meter terpasang menjuntai


Kalau sedang bekerjasama, siapa yang membuat konsep?
Christine Ay Tjoe (CAT): Kalau yang sudah-sudah, dari saya dulu. Biasanya, kami bertemu, Kang Eden masih blank, kosong dulu, saya cerita konsep saya seperti apa. Mungkin Kang Eden memang sengaja membiarkan dirinya kosong. Lalu kira-kira dia punya apa saat itu, dia utarakan dan pembicaraan pertama itu biasanya hanya menghasilkan sedikit sekali hasil. Lalu beberapa saat kemudian, kami ketemu lagi, bicara lagi, tambah banyak ide yang keluar. Kalau di interaksi yang sudah-sudah dengan dia, saya perhatikan potensinya memang sangat baik dalam urusan mengumpulkan banyak elemen dan yang dikumpulkan memang nggak sembarangan.

Misalnya?
CAT: Misalnya? Elemen-elemen kecil. Dia lebih melihat hal yang rinci, detail. Misalnya baut, jenis paku, binatang, dia punya kecenderungan untuk menyimpan barang-barang kecil. Temuan-temuan apa pun yang terkumpul, bisa dia jadikan sesuatu. Nah, kadang kalau membuat sesuatu, memang harus dibuat proyeksi, akan jadi seperti apa barang itu. Apakah sekadar barang pajangan, atau untuk pemuas diri sendiri, untuk kebutuhan desain atau memang mau jadi sesuatu yang lebih berbobot, yang akan diisi sesuatu yang berarti. Dari pertemuan-pertemuan kami, terasa sekali kami saling mengisi. Dia mengisi saya tentang banyak detail yang belum terbayang sebelumnya, dan dari saya, dia mungkin mendapat ‘gunting’ yang menyederhanakan imajinasi detailnya yang kadang terlalu berlebihan. Apalagi dia bertipe orang yang tekun, hobi bekerja setiap hari, tapi kalau itu tidak dilengkapi satu tujuan, saying kan? Dari beberapa kali kerjasama yang kami lakukan, idenya kadang sering melebar dan saya yang mengingatkan untuk tetap berada di jalur kami. Akan dibuat apa karya kami? Kami sering punya pertanyaan tentang banyak hal. Misalnya saja tentang patung. Kami sering bertanya, kenapa sekarang besar0besar sekali, bahannya juga sangat keras, dan menyita ruang. Kalau kita pikirkan beberapa tahun ke depan, mungkin kita menjadi terlalu padat. Kami berdua punya sisi yang selalu mengoreksi hingga kami berpikir, kok terlalu kejam sebagai seniman kalau hanya berpikir tentang sensasi hari ini atau sekian tahun ke depan dengan membuat karya-karya seperti itu. Tidak salah, tapi apakah mungkin kalau misalnya patung itu bisa dinikmati dalam ukuran besar, tapi juga tetap bisa dinikmati dalam ukuran kecil. Kami ingin mengadopsi prinsip antenna yang bisa dipanjangnkan dan dipendekkan. Memang dunia kreatif tidak ingin terbatasi. Tapi ini dari pemikiran kami. Contohnya kemarin. Kami berpikir apakah mungkin kami membuat patung yang bisa mengempis, jadi tidak secara permanent memenuhi ruang. Toh yang lebih penting sebenarnya manusia. Ok sebagai seniman ada sisi yang peka. Kalau itu tidak disadari sebagai hal yang juga dibutuhkan oleh manusia lainnya, rasanya kok agak kejam ya seorang seniman kalau hanya memikirkan tentang sensasi?

Apakah konsep itu dapat disebut sebagai seni yang adaptif atau seni yang bisa berguna bagi orang lain?
CAT: Saya tidak bisa bilang begitu. Tapi menurut saya, itu cara melebarkan cara berpikir. Toh yang kita pikirkan tidak hanya material seni, tapi juga manusia yang berada di sekitarnya. Kita kompleks, orang lain kompleks, masalah juga kompleks, tapi kalau kita bisa membuka diri buat berpikir untuk juga memikirkan orang lain, tentu tidak salah.

Apakah itu artinya lebih berempati pada para penikmat karya Anda berdua?
CAT: Empati atau apa ya bilangnya?

Kami sedang membicarakan konsep. Tadi saya bertanya pada Christine, kalau sedang berkarya bersama, idenya muncul dari siapa dan apa yang terjadi pada saat eksekusi. Christine bilang, biasanya Anda berdua saling mempengaruhi dan saling tarik menarik ke jalur yang seharusnya. Bagaimana pendapat Anda?
Deden Sambas (DS): Ya, waktu berkarya bersama, yang sering terjadi memang selalu diawali dari kegelisahan salah satu dari kami yang lantas memunculkan ide. Kami membicarakannya bersama dan kemudian kami cari ide mana yang terasa sangat kuat konsep dan tujuannya. Kalau ada yang cukup kuat, baik dari segi estetika yang nampak semakin jelas, baru kami putuskan untuk diangkat, direalisasikan menjadi sebuah karya. Karena dari ide itu, salah satunya juga kemudian, kami harus membahas secara teknis. Ada juga yang mengalami beberapa perubahan seiring waktu berjalan.

Jadi perubahan ide dan bentuk adalah hal yang lazim terjadi dalam kerjasama Anda berdua?
DS: Kalau ada perubahan, biasanya berarti karena konsep sebelumnya belum begitu kental,.
CAT: Kang Eden itu lebih pandai menyimpan data. Kalau di awal saya sudah ngomong sesuatu dan banyak, dalam perjalanan idenya berkembang cukup jauh dari ide awal dan mentok, Kang Eden bisa merunut dan mengembalikannya ke awal.
DS: Saya biasa mencatat poin-poin pembicaraan karena ide atau apa yang diungkapkan oleh Christine, belum bisa saya cerna saat itu juga. Jadi saya catat, kalau sedang senggang saya baca ulang dan biasanya baru bisa saya tangkap maksudnya. Lucunya, ketika diskusi kami menemui jalan buntu dan saya tunjukkan catatan saya, Christine biasanya sudah lupa kalau pernah mengatakan hal yang tercatat. Tapi kalau saya yang lupa, biasanya Christine yang mengingatkan, terutama dalam urusan detail. Kalau diibaratkan orang yang sedang membatik, saya sering terlalu banyak memakai corak. Christine yang mengingatkan saya untuk mengurangi motif itu.

Tadi Ay Tjoe mengatakan kalau Deden adalah orang yang teliti terhadap detail dan punya kemampuan kemampuan elemen yang kuat. Setuju dengan pendapat itu?
DS: (Tertawa kecil) Nggak tahu ya… Saya hanya menyadari kalau saya senang mengamati banyak hal, sampai ke hal-hal yang kecil. Mungkin itu yang ditangkap Christine. Dan kalau karya saya mulai terlihat terlalu dekoratif, Christine yang akan memberitahu, bagian mana yang harus dihilangkan. Kalau sudah begitu baru saya sadar bagian mana yang penting dan mana yang tidak.

Kapan kerjasama pertama terjadi?
DS: Tahun lalu (2009). Bulannya lupa. Awalnya saya mencari kerjaan dan ketemu dia. Saya bilang saya sedang mencari kerja.
CAT: Saya tidak sengaja pulang ke Bandung. Janjian ketemu dan Kang Eden mengutarakan keadaannya. Saya sendiri pada saat itu sedang banyak kerjaan, pusing dan saya berpikir saya butuh orang untuk membantu. Nggak tahu tiba-tiba dating. Lucu juga. Momennya bisa pas beberapa bulan sebelum event yang kami kejar di Hongkong Art Fair 2009.

Saat itu, sebanyak apa kapasitas kerja yang tengah dilakukan hingga merasa memerlukan bantuan?
CAT: Terlalu banyak. Hampir tiap bulan ada dan saat itu yang saya tahu adalah saya butuh waktu buat istirahat. Tahu-tahu Kang Eden datang, semua jadi berjalan lagi.

Tadinya akan berhenti?
CAT: Saya tahu saya capek dan butuh istirahat. Saat itu saya berpikir kalau tidak mungkin saya meneruskan ini. Nggak akan bagus juga hasilnya kalau dipaksakan.
DS: Proyek di Hongkong tadinya nyaris dibatalkan karena waktunya terasa mepet sekali. Tapi saying sekali kan kalau dibatalkan? Saya malah merindukan pameran di luar. Tiba-tiba muncul ide dari Christine untuk meneksplorasi mesin ketik dan saya baru dating di Jogja satu bulan setelah pembicaraan kami di Bandung.

Dalam pertemuan awal, apakah sudah ada konsep karya dan sebagainya atau benar-benar memulai dari nol untuk keikutsertaan di Hong Kong Art Fair itu?
CAT: Saat itu baru kerasa sesuatu saja. Saya ingin bikin ini. Biasanya suka muncul rasanya dulu, kira-kira begini. Tapi belum tajam, belum jelas, tapi atmosfernya sudah dapat, sudah terasa. Waktu itu termasuk cepat.

Judul karyanya waktu itu apa?
CAT: Kalau dibahasakan oleh kuratornya, judulnya adalah Panorama without Distance. Tapi judul karya yang saya buat sebenarnya adalah Today I Kill The First Layer. And Then I Find Other Layer As A Landscape, Landscape, Landscape.

Apa yang terbayang saat itu hingga muncullah judul dari Anda itu? Bagaimana Anda berdua mengkolaborasikan ide karena sangat mungkin terjadi perbedaan sudut pandang. Di mana titik temu yang Anda berdua peroleh?
DS: Kalau saya, titik temunya ada pada media. Ketika kami memutuskan kalau materinya adalah mesin tik. Dari situ kemudian banyak sekali elemen yang lantas memekatkan gagasan itu. Seperti misalnya ketika kami memutuskan bahwa hanya tiga huruf saja yang dapat terbaca jelas sementara huruf lainnya kami rusak. Karena itu juga merupakan karya interaktif, kami sengaja membuat agar karya itu meninggalkan sensasi terhadap orang yang berinteraksi dengan karya tersebut. Misalnya lewat tuts yang terbuka, sehingga orang yang mengetik akan merasakan sakit.
CAT: Font di mesin tik itu kami gerinda dan kikir sehingga tidak akan menorehkan bentuk huruf yang sempurna manakala diketikkan. Hanya huruf G, O, dan D saja yang kami biarkan utuh. Mungkin kami ‘ketemu’ karena kami masing-masing berada di posisi yang sedang membangun suasana dekat dengan Tuhan.

Keputusan menyelamatkan tiga huruf itu sudah sejak awal ada atau terpikir di tengah perjalanan?
CAT: Dari awal sudah kami putuskan begitu. Waktu kami ngobrol di awal, itu cukup seru, panas dan ide terus mengalir bahkan ketika sudah sangat larut. Itu selalu saja nyambung. Kami ingin karya itu menjadi sesuatu yang lengkap. Sisi yang personal menuju God itu ada, tidak diketahui, samar, tahu-tahu dari hasil ketikkan itu muncul tiga huruf itu. Dan tidak selalu muram. Kami menyelipkan juga unsur riang lewat bunyi yang muncul dari aktivitas mengetik itu. Bagaimana juga orang merasa tidak nyaman Karena harus mengetik sambil berlutut di landasan kasar yang cukup menyakitkan kulit. Kami ingin semua rasa bisa muncul ketika orang mencoba berinteraksi denagn karya kami. Riangnya ada, lucunya ada, sakitnya ada, serius juga ada.
DS: Tadinya kami ingin menggunakan kertas untuk media ketiknya. Tapi karena ada kekeliruan dari pihak produsen yang tak bisa mewujudkan kertas sesuai bayangan kami, akhirnya kami menggunakan plat almunium yang ternyata memberi kesan yang lebih dramatis.

Pernah dipamerkan di Indonesia?
CAT: Belum pernah. Hanya pernah ditampilkan sebagai bahan presentasi di sebuah diskusi di Galeri Sangkring. Karya itu dipamerkan lagi di Art Paris Maret lalu.
DS: Kuratornya yang meminta kami ikut pameran lagi. Lucunya, tema karya kami itu bertemu realitasnya di Hong Kong. Karena pada saat pembukaan, karya itu belum datang, dan booth kami kosong melompong. Hanya ada sederet tulisan tentang karya yang menempel di dinding. Banyak orang yang datang ke booth itu lalu membaca dengan muka heran. Saya sampai menangis karena putus asa. Saya tahu ini terlambat, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Saya mau memberitahu Christine, saya khawatir, Pak Deddy Irianto (pemilik Langgeng Galeri yang membawa mereka berpameran di sana-red) merasa saya mengadu. Kalau tidak, juga saya salah. Akhirnya, saya terima kondisi itu dan meminta Pak Deddy memberi tahu Christine. Saya sudah siap mengeksekusi apa pun. Sampai saya sempat berpikir kalau karya itu tidak datang juga, saya akan isi dengan performing art. Tapi saya tidak bisa juga melakukan itu, kan? Karya itu baru datang keesokan harinya, dua jam sebelum penjurian.

Jadi dia memilih kapan dia mau ikut serta ya?
DS: Iya. Jadi begitu dia datang, saya langsung display karena memang sudah dipersiapkan semua. Boothnya berukuran memanjang karena plat almuminiumnya menjuntai memanjang.

Ketika dikabari karya itu belum sampai, apa yang Anda rasakan di tanah air?
CAT: Saya waktu itu cuma bisa diam. Kalau mengikuti emosi, tentu ingin marah karena keterlambatan itu sesuatu yang sangat parah. Tap saat itu saya Cuma berpikir, “ini hari terakhir saya nggak boleh marah”. Kalau memang dia datang, ya datang. Kalau tidak, ya tidak. Saya membebaskan diri saya dari amarah ketika itu.
DS: Kalau dikaitkan dengan tema, mungkin itu kejadian yang sangat dalam.

Saat itu, bagaimana respon pengunjung terhadap booth Anda?
DS: Orang mengira bahwa karyanya adalah konsep yang terpasang di dinding itu. Saya sedih sekali. Perasaan saya campur aduk, bukan semata-mata karena karya itu terlambat datang, tapi karena itu kali pertama saya pergi ke luar negeri dan kejadiannya mengejutkan begitu.

Apa pelajaran penting yang Anda berdua petik dari kejadian itu?
DS: Dari penglaman itu, saya jadi merasa lebih rileks memang, meski tetap dalam kapasitas target. Karena saya melihat, ada orang lain yang juga mengalami saat sulit ketika itu. Saya melihat istrinya Pak Deddy begitu marah pada pihak kargo dan setelah dia marah dengan sangat hebat, dia tetap juga tidak bisa mengubah keadaan. Hal yang juga menarik adalah ketika akhirnya karya itu datang. Kepanikan terjadi lagi karena Pak Deddy menyangsikan kesanggupan saya mendisplay karya. Sekuat tenaga saya berusaha memasang karya sesuai tenggat waktu yang sangat mepet itu. Ketika akhirnya pemasangan selesai, saya menyalami Pak Deddy dan pamit jalan-jalan. Saya tidak menyaksikan proses penjurian berlangsung. Ketika pulang ke hotel, Pak Deddy dan istrinya memberitahu kalau karya kami berdua mendapat grant. Saya pikir mereka berdua menghibur saja. Ternyata benar. Kaget tapi sekaligus juga senang sekali. Luar biasa.

Ketika dikabari karya itu mendapat grant, apa yang Anda berdua rasakan?
CAT: Saya mengira itu bercanda dan hanya upaya menghibur kami berdua. Jadi saya tidak membalas sms pertama yang dikirimkan Pak Deddy pada saya. Kalimat sms-nya sangat lempang. “Kamu dapat hadiah, selamat ya.” Baru ketika sms kedua dikirimkan, saya membalas dengan kalimat tanya, “Serius, Pak?” Saat itu saya belum dapat informasi dari Kang Eden jadi nggak percaya. Baru setelah dijelaskan panjang lebar dan dikirimi foto, dan juga dapat sms dari Kang Eden, baru saya percaya. Senang tentu saja. Tapi anehnya, saya datar saja menerima kabar gembira itu. Saya hanya berpikir, bahwa momen yang dialami karya saya menjadi lengkap. Dari awal, saya merasa disangsikan sebagai seorang seniman. Pertanyaan ‘Bisa nggak kamu bikin karya yang berbeda untuk Hong Kong Art Fair ini?” yang dilontarkan di awal, sangat mengganggu saya. Saat itu saya berpikir, “Kalau tidak percaya sama saya, silakan pilih seniman lain. Kalau memang ingin tetap saya, tenang saja. Saya juga mikir, kok…” Ternyata, semua berjalan baik. Kang Eden datang, kerja juga lancer, material terkumpul semua, disediakan dalam waktu singkat. Dikasih pengalaman lucu pula seperti keterlambatan karya dan kemenangan itu. Jadi sempurna. Kalau semua lancar-lancar saja, rasanya seperti kurang garam, hahaha…
DS: Iya. Apalagi buat saya yang pertama kali ke luar negeri. Antara terkagum-kagum, antara ingin main tapi harus bertanggung jawab. Rasanya saya benar-benar tersesat di sana. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang sangat minim, saya harus melewati pengalaman begitu membingungkan. Rasanya seperti tersesat. Luar biasa.
CAT: Di event itu memang kami sudah mencanangkan program untuk memberangkatkan Kang Eden ke Hong Kong. Biar dia dapat pengalaman macam-macam, hahaha…

Setelah Kill The First Layer, apa lagi proyek bersama Anda?
CAT: Yang di Lawangwangi ini.

Bagaimana persiapannya?
DS: Cukup panjang juga.

Berapa lama pengerjaannya dari mulai konsep?
DS: Ini dari Oktober ya kalau nggak salah?
CAT: Iya, dari Oktober tahun lalu kami sudah ngobrol-ngobrol.
DS: Tapi normal startnya baru pada Februari karena saat itu Christine juga sedang mempersiapkan pameran tunggalnya di SigiArts. Cukup pendek juga akhirnya proses pengerjaannya.

Bagaimana konsep pameran kali ini? Apakah sedalam pameran yang sudah-sudah?
CAT: Semua berawal dari ketidakjelasan. Kami memulainya dari mengumpulkan material. Elemen-elemennya. Paling tidak, dalam proses tersebut kami jadi menghargai hal kecil yang pernah disebutkan oleh masing-masing kami. Itu direnungkan dan dipikirkan lagi keterkaitannya. Kalau yang kali ini fokusnya memang diarahkan pada karya-karya tiga dimensi. Kami ingin menampilkan ide-ide tak biasa. Misalnya, tahu-tahu muncul ide untuk menggunakan analogi mesin tenun, sarang dari jenis binatang, dan itu berhubungan lewat jalinan dan anyaman. Tapi yang harus lebih diambil bukan masalah anyaman atau jalinannya, tapi lebih seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Kang Deden, bahwa kalau kita lihat mesin tenun itu tidak pernah berhenti, sebisa mungkin terus berjalan, dan digerakkan oleh banyak orang. Itu yang mungkin cukup menarik untuk kami bawa ke karya tiga dimensi ini. Dalam konteks itu, subyek menjadi hilang, lebur ke dalam proses dan hasil kerja. Nama seseorang menjadi indah dan melekat di situ, ketika dia tidak lagi memikirkan apakah namanya akan tertera di kain. Semua berfokus pada kainnya, bukan siapa pembuatnya. Ketika orang melewati pekerjaan menenun itu yang terpikir adalah pakaian yang dipakai orang. Itu seperti proses yang menuju sebuah tujuan yang memang kami bilang kalau satu pabrik dibangun tanpa tujuan besar seperti itu, dia tidak akan berjalan lama. Sama seperti misalnya orang membuat usaha sekecil apa pun, kalau tidak menarik tali setinggi mungkin, dia akan berhenti. Bila dalam karya kami sebelumnya kami meninggikan Tuhan, di sini, kami ingin lebih lagi meninggikan-Nya. Kalau di sini, karena yang kami pakai sebagai penyampai pesan adalah karya tiga dimensi, kami bawa elemen yang banyak itu, kami masukkan elemen bunyi, gerak, dan sebagainya. Yang menuju sesuatu yang tinggi. Kami memang banyak mengeksplorasi suara. Kami memakai sejenis alat musik yang menyerupai gamelan. Semaraknya ingin kami munculkan.

Digerakkannya oleh mesin atau orang?
CAT: Karya yang besar memakai mesin . Di dua karya lain, tetap pakai mesin tik, diubah sedikit jadi lebih kecil, tapi tetap menghasilkan bunyi yang muncul lewat interaksi dengan pengunjung. Satu lagi, bunyi dihasilkan oleh kerja mekanik yang
DS: Nanti ada juga karya yang berzikir terus menerus.

Jadi temanya masih tentang Tuhan?
CAT: Iya.
DS: Iya. Tapi kali ini jadi clubber, sekumpulan orang yang mencintai Tuhan. Inspirasinya muncul dari seorang teman Christine, Elizabeth (pemilik Galeri Orasi di Surabaya-red).
CAT: Hahaha, iya, Elizabeth. Pernah saat kami mengobrol dengan Elizabeth yang aktivis gereja, dia bilang ingin membuat sebuah kafe khusus untuk para pemuja Tuhan.
DS: Nah, di seni rupa, kami mengawalinya di pameran ini, hahaha...

Kenapa Tuhan dan spiritualitas seperti menjadi sumber ide yang tak kering ditimba oleh Anda berdua?
CAT: Mungkin karena kami sama-sama sudah memiliki concern terhadap hal itu. Namun, kami sama-sama malu untuk masuk ke daerah itu karena selalu merasa berada di ruang seni rupa yang steril. Setiap perbincangan selalu menuju pada senirupa. Tapi hal seperti itu tidak tertahankan juga pada akhirnya dan ketika terlontar, titik itu langsung bertemu. Kalau kami lihat sebetulnya itu sesuatu yang tidak kebetulan. Kami bertemu juga seperti untuk sebuah niat baik. Saya hanya berpikir, selama masih ada jalannya, kami akan terus mengeksplorasi sisi ini. (Indah S. Ariani), Fotografer: Af Rizal, Pengarah Gaya: Quartini Sari, Busana Ay Tjoe & Deden: Deden Siswanto, Sepatu Ay Tjoe: Ronald V. Gaghana, Lokasi: Lawangwangi Art Estate, Bandung.

* Terinspirasi judul buku Goenawan Mohamad, Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai

MENGULIK KOMIK


Komik makin menggelitik. Ini tampak dari tiga acara yang berkaitan dengan komik di tempat dan waktu berbeda yang digelar Maret silam. Awal hingga medio Maret, duo kartunis Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad menggelar pameran karya-karya mereka dalam ajang Benny & Mice Expo di Bentara Budaya Jakarta. Pengunjung dapat melihat secara lengkap jejak karya mereka baik yang pernah dipublikasikan di harian Kompas Minggu, atau media lainnya di mana kedua kartunis itu bekerja, Harian Kontan dan Surabaya Post Minggu. Pada paruh akhir bulan tersebut, 22 perupa terlibat pameran The Comical Brothers yang diadakan di Galeri Nasional oleh Andi’s Gallery. Nama-nama kondang seperti Ugo Untoro, dan Eko Nugroho ikut terlibat dan menampilkan karya mereka yang memiliki ‘citarasa’ komik cukup kental. Dikuratori oleh Bambang ‘Toko’ Witjaksono, pameran itu mencoba merespon kemunculan karya-karya yang kerap disebut Lukisan Komikal. Kurator yang juga perupa ini, sadar benar bahwa sejatinya, komik pernah memiliki posisi signifikan dalam ranah seni rupa pada decade ‘60 hingga ‘70an. “Sayang pada era ‘80an, komik seakan kehilangan penerus,” ungkap Bambang dalam kuratorialnya. Namun, setelah hamper dua decade ‘bergerilya’ komik kini mulai kembali diminati. Generasi muda mulai mencari akar keberadaan komiknya setelah jenuh dengan serbuan komik asing. Tak mengejutkan bila nama-nama begawan komik seperti R.A. Kosasih, Kho Ping Ho, Teguh Santosa dan Saleh Ardisoma kembali muncul ke permukaan seiring diterbitkannya kembali karya-karya mereka. Nama yang disebut belakangan meluncurkan buku komik Wayang Purwa. Lewat komiknya, Saleh seakan ingin membuktikan bahwa komik masih jadi daya tarik besar di kancah seni. (ISA), Foto:Dok. Bambang Toko

MENYIMAK JOGJA DALAM ALMANAK


Apa yang ingin Anda ketahui seputar perkembangan seni rupa di Yogyakarta sepanjang kurun waktu 1999-2009? Jawabannya pasti dapat Anda temukan dalam Gelaran Alamanak Seni Rupa Jogja 1999-2009. Dalam buku setebal 872 halaman ini, berbagai informasi seputar perkembangan seni rupa di Yogyakarta diurai secara detail. Anda tak cuma bisa mengetahui aktivitas seni rupa yang terjadi sepanjang satu decade yang dirangkum dalam Kronik Seni Rupa, tapi juga membaca profil seniman-seniman, curator, juga kolektor penting di jagat seni rupa Jogja. Diterbitkan oleh Gelaran Budaya, almanak ini menggabungkan beragam bentuk pencatatan –ensiklopedia, kamus, Who’s Who, Katalog, juga daftar alamat- yang membuatnya layak disebut sebagai sebuah buku pintar. Dilengkapi satu bagian yang khusus membahas berbagai istilah dalam seni rupa, buku ini memang akan jadi bacaan yang sangat dibutuhkan oleh mereka yang terlibat dalam seni rupa. (ISA), Foto: Wijayanti Kusumawardani

DARI BALI, TENTANG MEREKA


Di balik kemahsyuran Bali, ada nama-nama yang menopangnya. Ini cerita tentang mereka. Dituturkan lewat mata sembilan warga dunia, kisah ini dihaturkan bagi hidup anak-anak alam.

Dua orang pria duduk berhadapan di tepi pantai, dinaungi payung besar. Tubuh keduanya menjelma siluet hitam di benderang siang. Mata mereka memandang jauh, jatuh mendarat di kaki lazuardi. Di kejauhan, tiga orang –satu wanita dan dua pria- bercengkerama dengan suasana. Payung mereka diterbangkan angin yang terlalu lasak mengajak mereka bermain. Payung yang mungkin membelah diri di udara dan tertangkap oleh enam pria yang berdiri berjajar di tepi kolam. Berwajah sumringah, mereka tengadah memandang ke sebuah arah. Pohon kelapa yang berdiri di antara mereka meliuk, melambai mengabarkan sukacita.

Sukacita yang terasa di ruang pamer Komaneka Fine Art Gallery, Ubud pada sebuah malam awal Maret 2010 silam, ketika tiga citra itu dipamerkan bersama puluhan citra lainnya dalam sebuah pameran bertajuk Bali Portraits. Terekam beku dalam kanvas, wajah-wajah pesohor Pulau Dewata tetap memancarkan aura yang sama. Taksu yang mereka punya seakan merebak di setiap sudut potret tak berbingkai yang digantung rapi dengan ukuran seragam. “Kami sengaja membuat ukuran seragam agar mood pameran ini bisa terjaga,” ungkap Indra Leonardi yang bersama Koman Wahyu Suteja menjadi kurator sekaligus koordinator pemotretan.

Foto-foto yang dipamerkan sembilan fotografer yang tergabung dalam organisasi fotografer Internasional, Societ of Twenty-five –biasa juga disebut dengan XXV-, ini dilakukan hanya satu hari, di tiga tempat berbeda. “Lumayan susah mengatur waktunya, mengingat model yang begitu banyak. Tapi syukurlah, semua berjalan lancar. Fotografer dan model sama antusianya,” kisah Indra sembari tertawa. BUkan tanpa halangan. Seniman Nyoman Gunarsa, menurut Indra bahkan nyaris urung ikut berfoto. “Pak Gunarsa waktu itu sedang sakit. Kami sudah berpikir bahwa pemotretan akan berlangsung tanpa kehadirannya. Tapi Pak Gunarsa ternyata memaksa diri datang. Mengharukan sekali,” katany Indra yang merupakan satu-satunya fotografer dari Asia yang tergabung dalam XXV.

Para tokoh berasal dari latar belakang yang berbeda, termasuk pendiri museum, visual artis, fotografer, perancang busana dan perhiasan, arsitek dan interior designer, musisi dan produser musik, pemilik galleri, ahli kuliner, penulis/sastrawan, dan ikon budaya. Nama-nama besar seperti Nyoman, Made Wianta, Jean Cotteau, Delia von Rueti adalah beberapa dari sekitar 30-an tokoh yang difoto oleh sembilan fotografer. Marcus Bell (Australia), Peter Dyer(UK), Hanson Fong (USA), Indra Leonardi (Indonesia), Curt Littlecott (USA), Susan Michal (USA), Ralph Romaguera (USA), Paul Skipworth (USA), Vicky Taufer (USA).

Pameran ini akan dibawa ber keliling ke beberapa Negara, di mana anggota kelompok XXV berada setelah sebelumnya dipamerkan selama sepuluh hari di Komaneka. “Hasil penjualan foto yang dipamerkan akan disumbangkan kepada Komunitas Anak Alam,” jelas Indra. Komunitas Anak Alam adalah sebuah komunitas anak-anak muda Indonesia dengan latar belakang berbeda yang bertujuan untuk membantu pendidikan, juga mensejahterakan kaum marginal dan anak-anak yang kurang beruntung di Desa Blandingan, sebuah area di bukit sekitar Danau Batur di Kintamani, Bali.

Tiga Tempat Pertama
Untuk mereka yang berjasa membawa nama harum Bali di mancanegara, Indra dan Koman memilih lokasi yang memiliki arti tersendiri di kancah budaya Bali. “Kami memilih tiga tempat yang menjadi pionir di Bali. Ada Puri Lukisan di Ubud yang merupakan museum seni dan budaya pertama di Bali. Lalu di Tandjung Sari, Sanur butik hotel, dan terakhir di Kendra Gallery Seminyak yang merupakan galeri seni kontemporer pertama di pulau Dewata ini,” para Indra pangjang lebar. Namun, untuk alasan artistik dan suasana yang sesuai, beberapa pemotretan dilaksanakan di tempat para tokoh penting tersebut.

Hal lain yang menarik dari pameran ini adalah waktu eksekusi dan persiapannya yang demikian pendek. “Hanya lima hari. Pemotretan satu hari, empat hari proses cetak dan display. Semua dilakukan serba ngebut,” tukas Indra sambil tertawa. Tentu bukan hal mudah mengkoordinasi sejumlah fotografer senior dan tersohor yang masing-masing memiliki gaya berbeda. Beruntung, semangat para fotografer yang datang dari berbagai belahan bumi itu terus terjaga hingga pameran dibuka. “Itu tadi, fotografer dan model sama excitednya. Jadi semua bisa berjalan lancer,” ungkap Indra tanpa menutupi rasa senangnya.

Para fotografer dan modelnya, kisah Indra, berkolaborasi dengan sangat antusias untuk mencoba dan menciptakan berbagai pose yang berbeda pada setiap sesi pengambilan foto. Ratusan bingkai tercipta dari tiga sesi pemotretan yang berlangsung pada waktu yang bersamaan di tiga lokasi berbeda. Cuaca yang kurang baik tak menghalangi mereka semua membuat karya-karya dramatis dengan konsep yang kuat, kendati mereka memotret hanya dengan bantuan pencahayaan alami. Upaya yang layak ditakzimi. (Indah S. Ariani), Foto: Dok. Societ of Twenty-five

Kamis, 15 April 2010

TUHAN KEDUA JAKARTA ART MOVEMENT



Tiga huruf berukuran raksasa berjajar di pelataran gedung utama Galeri Nasional akhir Februari silam. Tubuh huruf G, O, D, berwarna jingga itu dihinggapi beberapa sosok hitam kelam, ada yang bersimpuh, memanjat, terjerembab, ada pula yang bersandar lunglai tak berdaya di huruf berukuran besar tersebut. Tersusun menjadi kata GOD, yang berarti Tuhan, instalasi tersebut adalah interpretasi Herry Kardjono dan Driananda yang tergabung dalam TIGADE Studio. Karya mereka adalah satu dari sekian banyak karya lain yang tampil dalam pameran bertajuk The Second God yang digelar oleh Jakarta Art Movement (JAM), komunitas senirupa yang baru saja diproklamirkan pada medio Februari, seminggu sebelum pameran ini diadakan.

Dengan kredo semua orang bisa jadi seniman, komunitas ini mencoba mengajak para perupa bergabung di dalamnya untuk mengeksplorasi ide-ide mereka. Maka tak heran jika dalam pameran perdana mereka, ada begitu banyak tawaran yang diberikan sebagai respon terhadap tema The Second God. Kenapa Tuhan kedua? “Dunia urban demikian kompleks. Perkembangan sains dan inovasi-inovasi teknologi komunikasi telah sedemikian jauh menentukan dan mengubah hubungan antar-manusia,” tulis empat kurator – Bambang Asrini Widjanarko, Ilham Khoiri, Seno Joko Suyono, dan Imam Muhtarom- yang menggawangi ajang ini. Mereka menangkap kegelisahan yang terus saja membalut Jakarta, “Sebab Jakarta adalah kota yang sampai kini masih butuh merumuskan siapa dirinya.” Fenomena kemelekatan masyarakat pada banyak hal material, dan kini juga bergerak pada hal-hal virtual, tak ayal menambah pekat gelisah itu.

‘Tuhan-tuhan’ baru ini menjelma dalam beragam benda mulai busana hingga piranti elektronik canggih dan membenamkan banyak orang pada kenisbian. Dalam The Second God, ‘penuhanan’ itu menelusup pada banyak simbol kekinian. Tengok karya Ario Hendrasto dan tim Robotic Untar yang menerjemahkan penuhanan itu pada sesosok robot berkepala monitor yang separuh tubuhnya terdiri atas rangkaian perangkat elektronik yang lekat dengan masyarakat urban. Atau lihat beberapa permainan paling popular di jejaring sosial Facebook, yang menginspirasi kelompok seniman Fakebook membuat replika permainan-permainan itu dalam ukuran nyata. Penonton dapat masuk ke dalam tiga bilik instalasi tersebut secara berkelompok dan membiarkan diri mereka diarahkan oleh penonton di luar bilik sembari menertawakan betapa kelekatan pada permainan-permainan daring (online) itu membuat orang tanpa sadar membiarkan diri mereka diarahkan, ditonton, bahkan ditertawakan.

Karya lainnya menyampaikan muatan yang nyaris serupa. Busana, uang, kendaraan, tepukan tangan, bahkan spirit yang menjelma jadi ambisi yang membuat manusia tak pernah punya rasa puas, diterjemahkan sebagai tuhan-tuhan kedua yang kini mungkin diimani secara lebih takzim ketimbang tuhan dengan ‘t’ besar. (ISA), Foto: Dok. JAM/ Bambang Asrini Widjanarko

RADEN SALEH DAN SUBYEKTIVITAS SEJARAH


Sejarah selalu punya subyektivitas, bahkan ketika ia dituangkan ke atas kanvas. Keberpihakan menjadi muatan yang niscaya ada dalam sebuah karya rupa. Dan itu bukan sesuatu yang diharamkan. Bukankah seni, apa pun bentuknya adalah sebuah pernyataan sikap? Dalam pergelaran Opera Diponegoro arahan Sardono W. Kusumo di Salihara beberapa pekan silam, ada kisah menarik di balik lukisan Penangkapan Diponegoro yang dipakai sebagai latar depan pertunjukan libretto dalam bahasa Jawa tersebut. Kisah itu disampaikan dengan menarik oleh sejarawan Inggris Peter Carey. Menurut penyusun biografi Diponegoro berjudul "The Power of Prophecy Prince Dipanagara and The End of An Old Older in Java 1785-1855," Raden Saleh dengan gamblang menjelaskan keberpihakannya pada heroisme Diponegoro. “Berbeda dengan lukisan N. Pieneman, pelukis Belanda yang berjudul Penaklukan Diponegoro, karya Saleh menempatkan Diponegoro dalam sudut pandang yang berbeda. “Jika dalam karya Pieneman, Diponegoro ditempatkan sebagai pesakitan yang kalah lewat pose terpuruk dan bersimpuh di bawah kaki serdadu Belanda, Saleh menempatkannya sebagai seorang pahlawan terhormat,” Carey menjelaskan. Saleh, menurut Carey juga menunjukkan keberpihakannya dengan cara yang cukup terbuka. “Ia menempatkan sekaligus tiga gambar dirinya di antara para serdadu Belanda dengan pose menakzimi Diponegoro,” katanya. Jika diamati, ketiga sosok Raden Saleh itu memang dengan mudah dapat dibedakan dari ‘penghuni’ kanvas lainnya. Ia berpakaian beskap dalam tiga warna berbeda, dengan kumis melintang khasnya, menatap kagum pada Diponegoro. Hal lain yang juga dapat dengan mudah ditangkap sebagai keberpihakan Saleh adalah ukuran kepala serdadu Belanda yang tidak proporsional dengan tubuhnya. “Keanehan proporsi tubuh ini menjelaskan sikapnya secara eksplisit. Mungkin Saleh ingin menganalogikan para penjajah dengan buta (raksasa-red) dalam pewayangan yang selalu digambarkan dengan proporsi tubuh yang bermasalah,” jelas Carey yang segera menangguk tawa penonton. Memang, kisah di balik sebuah karya –terlebih karya fenomenal- selalu menyimpan daya tarik yang sama kuat dengan karya itu sendiri. (ISA), Foto: Dok. Salihara/ Witjak Widhi Cahya

RASA KAYA KRONCONG TENGGARA


Setelah dua tahun rehat karena Nyak Ina Raseuki atau yang lebih dikenal dengan nama Ubiet, pergelaran Keroncong Tenggara kembali menggugah kancah musik Indonesia. Albumnya sendiri telah dilansir tiga tahun silam. Pergelaran di Salihara pada medio Februari silam, disambut antusias penikmat musik keroncong dan juga jazz. Maklum, musisi-musisi jazz yang punya acara, sebut saja Dian HP (akordeon, keyboard), Riza Arshad (akordeon), Donny Koeswinarno (flute, saxophone), Dimawan Krisnowo Adji (cello), Arief Suseno (ukulele ‘cak’), Maryono (ukulele ‘cuk’), Adi Darmawan (bas elektrik), Jalu Pratidina (kendang sunda, perkusi) ini. Tiga belas lagu mereka bawakan dengan komposisi prima yang menyandingkan keroncong dengan beragam jenis musik lain. Lagu-lagu keroncong klasik seperti Keroncong Kemayoran, Stambul Jauh di Mata, Gambang Semarang, Di Bawah Sinar Bulan Purnama, dan Keroncong Sapulidi, berbaur dengan lagu-lagu baru yang diaransemen dengan indah oleh Dian HP, seperti Kroncong Tenggara (Nirwan Dewanto), Penghujung Musim Hujan, dan Cinta Pertama (keduanya karya Sitok Srengenge). Ramuan tango, jazz, melayu, pop, dan klasik yang diberikan pada beberapa lagu, memberi nuansa kontemporer yang meruakkan citarasa baru musik keroncong. Langkah yang layak diapresiasi. (ISA), Foto: Dok Salihara / Witjak Widhi Cahya

MENAKZIMI NIETZSCHE?


Pertanyaan tentang hakikat manusia selalu saja berulang. Frederich Wilhelm Nietzche termasuk filsuf yang pernah ikut memikirkannya dan melontarkan pertanyaan tentang ‘aku.’ Pemikiran ini menjadi bahan diskusi yang berujung pada pameran 14 perupa. Diskusi antara seorang kurator, Heru Hikayat, dan dosen filsafat, Roy Voragen, membuahkan visualisasi. Pameran di Semarang Gallery awal Maret lalu itu memang meminjam judul buku otobiografi Nietzsche itu, Ecce Homo. Nurdian Ichsan, misalnya, menafsirkan Ecce Homo sebagai seorang pria yang berbaring miring, menekuk lutut serupa janin yang menggeletak sendiri di tengah lantai lapang dalam karya berjudul Man on The Center. Nuansa yang mirip hadir dari karya seri Agus Suwage berjudul The Beginning dan The End. Selain persoalan ‘aku’ yang merujuk pada individu tunggal, sebagian perupa lain mengambil langsung sosok Nietzsche ke atas kanvas untuk menerjemahkan Ecce Homo. Roumy Handayani Pesona, dan Aminuddin Th. Siregar. Karya yang menggelitik dan menarik hadir dari Iswanto. Alih-alih mengurusi ‘aku’ dan Nietzsche, ia malah bermain-main dengan sosok Pramoedya Ananta Toer. Judul mbeling ia sematkan untuk salah satu karyanya, Saya Lebih Suka Pram Daripada Nietzsche. Tapi, siapa pun yang disukai, Ecce Homo tetap menarik untuk ditakzimi karena ia bicara tentang eksistensi manusia. (ISA), Foto: Dok. Semarang Gallery.

MUDAHNYA BELANJA SENI


Ada bagian baru yang menyenangkan di Grand Indonesia. Sembilan galeri papan atas (dari 12 galeri yang menjadi anggota) yang tergabung dalam Asosiasi Galeri Seluruh Indonesia (AGSI) melebarkan sayap mereka ke sana. Jakarta Art District yang diresmikan akhir Februari silam ini memberi kemudahan bagi para pencinta seni untuk bisa cuci mata kala berada di sana. Karya-karya perupa ternama dapat dengan mudah ditemukan di dinding Galeri Semarang, Mon Décor Galeri, Edwin’s Gallery, Nadi Gallery, Canna Gallery, Langgeng Gallery, Vanessa Art Link, Puri Art Gallery, dan Andy’s Gallery yang berdiri berderet di Upper Ground East Mall. Sebuah upaya mendekatkan seni dengan penikmatnya. (ISA), Foto: Dok AGSI

SEMBILAN WINDU JEIHAN


Sembilan model berjajar di depan Jeihan Sukmantoro. Pelukis lulusan Institut Teknologi Bandung itu bermarathon menggambar kesembilan modelnya sementara Lena Guslina, penari senior dari Bandung mengiringi aksi Jeihan melukis dengan tariannya. Kolaborasi unik itu terjadi dalam pembukaan pameran Between Tehcniques and Instinctive Framing: 9 Windu Jeihan di Bentara Budaya Bali, Desember 2009 silam. Dalam pameran ini, pelukis yang selalu menghitamkan mata obyeknya ini, Jeihan menampilkan 42 karya terbaru yang menunjukkan kematangan teknik serta pencapaian spiritual yang unik. Sembilan windu atau 72 tahun, dan lima decade lebih menggeluti teknik lukis model tentu tak bisa dianggap waktu yang pendek untuk sebuah perjalanan. Bekal pengetahuan sebagai manusia Jawa yang dekat dengan kehidupan mistik, membuatnya mampu tiba di titik pertemuan intelektualitas dan spiritualitas. Ia menjadikan model-modelnya sebagai sarana pencarian spiritualitasnya. Misalnya saja ketika ia menggambar maestro tari topeng Cirebon Mimi Rasinah. Alih-alih menangkap wujud Rasinah, Jeihan justru menyapu kelebatan tari Panji itu sebagai sebuah esensi. Ia tak sekadar menggambar potret, tapi berusaha menangkap jiwa di baliknya. Hakikat itu pula yang ia hadirkan dalam karya-karya yang ditampilkan dalam pameran yang dibuka oleh I Gede Wiratha, Ketua Kadinda Bali ini. (ISA), Foto: Dok. Bentara Budaya Bali

KANTATA UNTUK HAK ASASI MANUSIA



Ananda Sukarlan, kembali membuka tahun dengan kantatanya. Kali ini ia beri tajuk Libertas. Setelah sukses kantata Ars Amatoria yang diusung dalam pergelaran Jakarta New Year Concert (JNYC) 2008, Ananda Sukarlan kembali dengan kantata lainnya di JNYC 2010, Januari silam. Lewat Libertas, Ananda tak lagi bicara cinta secara personal. Ia memasuki ruang yang lebih luas, dan bicara tentang kemerdekaan serta hak asasi manusia. Kendati bertutur tentang tema serius seperti itu, Ananda toh tak lantas membuat komposisi-komposisi yang sulit dinikmati. Komposer yang kini menetap di Cantabria Spanyol masih mendasarkan karyanya pada puisi-puisi penyair favoritnya, baik dalam mau pun luar negeri. Bila dalam pertunjukan perdana Libertas di ballroom Dharmawangsa Hotel pada November 2009 Ananda tampil dengan kelompok musisi dan paduan suara lebih sedikit, dalam pertunjukan ini, Andy, panggilan Ananda, memaksimalkan eksplorasi musikalitas lewat perpaduan cantik antara musisi dan paduan suara yang dalam jumlah dua kali lebih banyak. Aning Katamsi (sopran) dan Joseph Kristianto (bariton) tampil baik dalam beberapa komposisi. Kehadiran Paragita UI dan Paduan Suara ITB memungkinkan rentang irama yang dihasilkan menjadi sangat kaya. Dibuka dengan Rhapsodia Nusantara, dan Bibirku Bersujud di Bibirmu (Hasan Aspahani), konser ini menempatkan Libertas di bagian kedua setelah jeda. Kantata ini dibuka komposisi Bentangkan Sayapmu Indonesia! (Ilham Malayu), dilanjutkan I Understand the Large Hearts of Heroes (Walt Whitman), A Un Poeta Muerto (Luis Cernuda), Palestina (Hasan Aspahani), Ia Telah Pergi (W.S. Rendra), dan Kita Ciptakan Kemerdekaan (Sapardi Djoko Damono). Krawang Bekasi (Chairil Anwar) menjadi penutup cantata. (ISA), Foto: Dok. Yayasan Musik Sastra