Rabu, 02 Desember 2009

PANGGUNG BARU RATNA & ATIQAH


Berdua, mereka bahu membahu membangun impian akan masa depan perfilman Indonesia yang lebih cerdas.

“Sahabat, aku pamit ke Mumbai untuk kasih keynote speech di sebuah kongres perempuan yang berlangsung di sana, lalu ke Rome untuk Festival Asiatica Filmmediale. Doain Jamila memang, siapa tahu berpengaruh pada posisi Jamila sebagai wakil Indonesia di Oscar. Salam, Ratna.”

Sebuah SMS bertanggal 31 Oktober 2009 yang diterima beberapa orang dalam lingkup pertemanan Ratna Sarumpaet, akan segera dapat mengabarkan gairah baru yang tersimpan dalam diri pemain teater kawakan itu. Jamila yang disebut-sebut Ratna dalam SMS itu maksudnya adalah Jamila dan Sang Presiden (JDSP), judul film perdana yang diluncurkan Satu Merah Panggung (SMP), rumah produksi yang merupakan pemekaran dari kelompok teater yang dibentuk Ratna puluhan tahun silam. Film adalah ranah karya baru yang dimasuki teater yang identik dengan pertunjukan bertema perlawanan. Berkisah tentang perdagangan perempuan, JDSP merangkum kegetiran yang sarat gugatan, layaknya karya Ratna di panggung teater. Kali ini di panggung yang berbeda: layar film.

Bersama putri bungsunya, Atiqah Hasiholan, Ratna mantap menyongsong era baru masa depan teater yang begitu selalu berada di belakang perlawanan Ratna terhadap kemapanan. Kondisi sulit, acap menghadang Ratna sebab pilihan sikapnya. Mulai dicekalnya pertunjukkan, hingga jeruji penjara. Atiqah tahu benar risiko yang harus diambil ibunya demi apa yang diyakini. Maka tak sekali pun Atiqah surut mendukung ibunya dengan cinta. Tak hanya sekadar menjadi pemain andalan SMP, Tiqah yang memerankan Jamila kini terjun langsung mengelola rumah produksi yang menghasilkan film yang kini tengah berkelana di berbagai festival film dunia.

Atiqah diproyeksikan untuk menjadi penanggung jawab Satu Merah panggung kelak?
Atiqah Hasiholan(AH): Sebenarnya, tanpa diproyeksi, semua sudah mengalir sendiri. Kami sudah sama-sama berjalan ke arah itu. Jadi saya tidak merasa terbebani. Kebetulan itu memang dunia yang saya sukai dan saya punya passion di situ. Saya malah bersyukur karena sudah punya wadah yang dipersiapkan oleh ibu saya selama puluhan tahun dan jadi tanggung jawab saya. Saya ingin membuktikan kemampuan, baik untuk Umi mau pun diri saya sendiri. Hidup itu kerja, bukan?
Ratna Sarumpaet (RS): Saya nggak perlu bicara sesuatu secara eksplisit padanya karena seringkali, Tiqah sudah berjalan lebih jauh dari apa yang saya duga. Sekarang ini, Tiqah menjadi produser di rumah produksi Satu Merah Panggung. Satu-satunya yang bisa saya wariskan pada anak-anak dan kebetulan Tiqah yang paling dekat dengan itu. Saya nggak akan minta dia untuk melakukan misalnya menjadi sutradara teater dan sebagainya. Tapi saya hampir yakin, bersama waktu, Tiqah akan tahu mengelola itu. Dalam beberapa percakapan saya dengannya, saya tahu dia sudah di sana. Saya tidak merasa perlu membuat perjanjian hitam di atas putih untuk meminta komitmennya pada Satu Merah Panggung, tapi saya merasa, dia sudah di sana. Satu yang saya harapkan dari dia adalah dia bisa meletakkan dirinya di dunia perfilman tidak dipengaruhi ambisi yang ada dipermukaan saja, supaya potensinya tidak mubazir. Tapi saya nggak mau membebani Atiqah untuk jadi seperti saya karena mungkin saja dia malah bisa berjalan lebih jauh daripada saya. Tugas saya adalah memberikan spirit baginya. Saya punya cita-cita, meskipun nanti saya sudah mati, SMP akan tetap bisa dihormati orang dan tetap bisa memberikan karya-karya yang signifikan secara kualitas baik kualitas kreatif juga misi. Saya tidak pernah membuat karya tanpa misi sebab itulah yang menurut saya paling penting. Kalau sekadar berani buka baju, atau bicara pornografi, itu keberanian yang masih sangat dangkal menurut saya. Tapi saya juga tidak membahas itu dengan Tiqah karena saya tahu, dengan apa yang dia lihat dari diri saya, dia mungkin berpendapat ‘ah, ini bukan ruang saya’. Tapi nggak tahu juga Tiqah.

Jamila dan Sang Presiden karya pertama rumah produksi Anda?
RS: Ya. Karya pertama yang diluncurkan oleh rumah produksi kami, juga karya pertama saya sebagai penulis skenario dan sutradara. Walau pun tidak terlalu laku di pasar film tanah air, film ini disambut baik terlihat dari animo di berbagai festival internasional. Film ini akan mewakili Indonesia di ajang Academy Award mendatang. Buat saya, yang penting bukan Oscar-nya, tapi bahwa Indonesia memilih JDSP sebagai wakil di Academy Award itu buat saya kemajuan. Pengakuan bahwa kita butuh bicara tentang peradaban, tidak lagi hanya sekadar bicara tentang hal-hal artsitik yang menurut saya sudah seharusnya disajikan oleh seorang pembuat film. Itu standar. Karya yang bisa menjadi lebih, menurut saya adalah, ketika karya itu juga berbicara tentang peradaban, jadi bukan sekadar dongeng yang dirangkai dari mimpi. Saya memilih satu cerita yang bisa menyiram orang untuk berpaling pada soal peradaban dan memahami, bagaimana kemiskinan membuat orang berubah dalam kultur. Tapi ini memang konsep pribadi saya yang mungkin berbeda dengan konsep SMP yang berfokus pada pembuatan karya yang baik. Untuk rumah produksi mungkin akan berbeda dengan teater. Rumah Produksi harus bisa membuat film cerdas, tapi juga laku dijual. Ini tantangannya. Dia (sambil menunjuk Atiqah) yang harus cari duit.

Anda berdua sempat menyinggung soal perdebatan yang acap terjadi. Sehebat apa perdebatan yang terjadi di antara Anda berdua selama proses produksi berlangsung?
AH
: Umi itu orangnya sering keras pada awalnya. Tapi kalau diberi waktu berpikir, dia akan bisa menerima, sekeras apa pun bantahannya di awal perdebatan. Kalau bicara sama Umi memang harus ‘muka tebal’. Kebetulan, saya termasuk orang yang sangat cuek dan konsisten. Kalau sudah A ya A, B ya B. Saya straight forward saja.
RS: (Tiba-tiba memotong dan mengabaikan gerutu protes Atiqah yang merasa giliran bicaranya diambil sang Umi) Dalam hal ini, yang membuat sangat sulit adalah saya dan Atiqah ada di pihak yang berseberangan. Dia produser, saya sutradara. Saya punya kebutuhan banyak dan dia larang saya terus. Ini membuat kami berdamai. Yang menyulitkan saya adalah karena dia juga pemain. Saya nggak mau karena dia stress sebagai produser, ekspresinya jadi jelek. Tapi saya harus terima semua protesnya karena pembengkakan biaya yang terjadi di lapangan, kan? Kalau sebagai pemain, dia saya lepas. Kalau pun ada kritik, saya bisa dengan santai menyampaikannya di kamar. Yang banyak membuat kami sikut-sikutan dan sangat mungkin mempengaruhi proses produksi justru dari posisisnya sebagai produser.
AH: Terlepas dari produser atau nggak, ini kita bicara secara general. What I said? Umi itu orangnya keras. Nggak banyak yang bisa kasih masukan buat Umi. Dengan sikap Umi yang keras begitu, orang sudah mundur duluan. Untungnya, saya ‘muka tebal’. Straight forward saja kalau bicara. Terserah Umi nggak setuju atau kesal dengan apa yang saya sampaikan. Umi selalu butuh waktu sebelum akhirnya setuju dengan pendapat saya. Kalau orang lain, begitu didebat Umi, langsung malas menanggapi dan akhirnya memilih mengalah saja. Itu salah satu faktor yang membuat saya bisa bekerja sama dengan Umi adalah, dia orang yang keras, tapi tetap bisa menerima masukan.
RS: Atiqah bisa meyakinkan saya. Itu kuncinya. Kebanyakan orang punya pendapat, tapi tidak bisa meyakinkan orang lain tentang pendapatnya. Mungkin kelebihan lain yang dimiliki Atiqah adalah dia kenal saya.

Kapan rencana produksi berikutnya?
RS: Sudah mulai berjalan sekarang. Keberhasilan JDSP mungkin buah dari kekompakan kami. Sebab sebagai pemeran dan produser, juga anak yang tinggal serumah dengan saya, banyak yang kami hadapi. Kami bergulat berdua. Beruntung Tiqah punya stamina yang kuat untuk menghadapi saya. Kalau kami tidak cukup kompak, produksi ini mungkin tidak akan berjalan lancar. Karena membuat film itu seperti membabat dan mereboisasi sebuah hutan. Tapi kami berhasil memperoduksi sebuah film dan menurut saya itu bukti dari kerjasama yang baik. Tapi berhasilnya film itu disukai orang, tentu ada andil banyak orang lain di luar kami berdua.

Sekarang sudah mulai produksi film berikutnya?
RS: Sekarang ini kami masih konsentrasi membawa JDSP ke berbagai festival. Kami masih meramu resep yang mungkin berbeda dari resep rumah produksi lain yang mungkin memakai tema horror atau percintaan atau komedi seperti yang marak akhir-akhir ini. Saya setuju orang harus menonton sebuah produksi, tapi tetap harus yang cerdas. Misalnya pun kami membuat film dengan tema-tema yang dipilih arus besar perfilman Indonesia, film itu tetap harus cerdas.

Apa yang akan dilakukan SMP ke depan?
RS: kalau diperhatikan, SMP memang bukan seperti teater yang produktif menggelar pertunjukan rutin setahun sekali, misalnya. Sebenarnya, saya super produktif juga, hanya tidak dalam konteks pertunjukan. Saya terlalu banyak memiliki cabang hingga pertunjukan kami bisa dibilang relatif jarang dan jadi sulit produktif. Tidak dengan keluhan-keluhan standar seperti dana yang sulit, atau tidak ada penonton. Itu sih masalah klasik dunia teater, tidak perlu dibicarakan. Masalah produktivitas itu lebih pada pertanggung jawaban saya terhadap karya. Saya hanya berkarya ketika saya memang yakin akan mempertunjukan karya yang baik, bukan sekadar karena saya harus membuat pertunjukkan walau pun sering, setelah dua tahun tidak membuat pertunjukan, kerinduan untuk itu selalu muncul. Apalagi, umumnya dalam sebuah teater, selalu ada central figure yang membuat ketergantungan pada anggota teater lainnya. Ini yang coba saya hindari di sini. Membuat production house (PH) ini salah satu upaya saya untuk menghindari ketergantungan itu. Saya sediakan tempat seluas mungkin bagi anak-anak muda untuk berkarya, dan hasilnya saya belum tahu. Kita lihat nanti. Paling tidak, saya sudah menitipkan PH ini pada Atiqah. Saya yakin, dia pun nanti akan punya kebutuhan untuk berteater dan nggak perlu saya atur-atur. Jadi semua memang mengalir saja. Mungkin nanti kalau sudah menjadi rumah produksi, akan ada pola kerja yang berbeda dari seperti yang selama ini saya terapkan di sini. Atiqah mungkin harus membangun manajeman yang tidak bisa serileks yang saya terapkan di teater. Sejauh ini, saya lihat Tiqah mampu menjalaninya dengan total. (Indah Ariani), Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Foto: Nelly Wibisono, Rias wajah&rambut: Aries

Selasa, 01 Desember 2009

SESEDERHANA IDE TEGUH OSTENRIK


Karya-karya besarnya, acap bermula dari sebuah ide sederhana

Karya seni spektakuler, seringkali berawal dari sebuah ide sederhana yang sama sekali jauh dari berbagai kajian filosofi yang rumit. Pada banyak kesempatan, itulah yang terjadi dalam proses kreatif Teguh Ostenrik. Perupa jebolan Hochschule der Künste, -kala itu masih Jerman Barat- ini acap berangkat dari kejadian-kejadian kecil dalam hidup yang memberinya ide besar. “DeFacement dan Wok With Me adalah dua dari sekian banyak karya saya yang dimulai dari ide sederhana,” katanya di sebuah petang yang hangat di beranda berpemandangan lembah di rumahnya yang artistik. Menurutnya, impresi yang ia rasakan ketika mengalami sesuatu lebih banyak memberi ide untuknya, ketimbang buku dengan berbagai teori dan filosofi. Dengan kesederhanaan itulah, Teguh berkelana ke berbagai pameran seni rupa penting di banyak belahan dunia.

Dalam banyak kali, langkah yang ia ambil dengan alasan kepraktisan teknis, mendapat apresiasi estetika yang demikian gempita. “Ada hal yang lucu terjadi pada saat saya memamerkan kerya berjudul The Light of Bromo di Koln. Ketika itu saya masih tinggal di sana dan baru saja pulang dari Indonesia. Sempat jalan-jalan ke Bromo dan begitu terpukau dengan keindahan matahari terbit di sana, saya membuat karya itu dalam ukuran cukup besar, 2,50m X 2,50 m. Karena studio saya berada di lantai lima dan harus melewati tangga dengan bentuk memutar, karya itu lantas saya pecah ke dalam lima panel. Alasannya sangat praktis. Begitu dipamerkan, seorang penulis seni yang kebetulan pernah ke Bromo dan jadi sangat suka lukisan itu karena katanya saya bisa menuangkan dengan tepat nuansa warna matahari Bromo mengira pembagian lima panel itu sebagai sebuah pertimbangan estetika,” katanya sambil tertawa.

Dari Sawah dan Wajan
Teguh yang baru-baru ini memukau publik Jakarta lewat puluhan patung baja berkarat di Gedung Arsip Nasional dan ratusan wajan melayang di kubah atrium mal mewah Pacific Place ini juga menemukan tanpa sengaja konsep ide karya yang ia beri judul DeFacement dan Wok With Me itu. DeFacement menurut ayah empat putra ini berasal dari keterpukauannya pada bentuk tanah dan sawah yang ia lihat dari jendela pesawat sementara Wok With Me tak sengaja ia temukan dari wajan berisi spaghetti. “Saya memang senang memasak dengan wajan, dan bukan pan. Ketika sedang kumpul-kumpul dengan keluarga dan saya memasak buat mereka, saya melihat pola menarik yang terbentuk ketika sebagian wajan itu tertutup makanan. Tida-tiba saja muncul ide untuk membuat karya dari wajan. Awalnya saya ingin membuatnya dari wajan bekas. Selain ingin memuliakan wajan yang kerap hanya dianggap sebagai sarana memasak dan tak lebih penting dari makanan yang dibuat di dalamnya, saya juga ingin karya saya mendaur ulang limbah, seperti yang saya terapkan pada DeFacement,” kisah seniman yang karyanya dikoleksi beberapa museum seperti Museum Dahlem Berlin, Jerman dan Museum Seni Modern, Fukuoka, Jepang.

Hal menarik dari proses berkarya putra keenam dari Marsini dan Ostenrik Tjitrosunarjo ini adalah kendati tak pernah menyerah pada persoalan teknis yang berpeluang menghambat idenya, ia memiliki ketaatan sangat tinggi terhadap perhitungan teknis. “Hal pertama yang saya lakukan sebelum memulai sebuah proyek adalah mencari perhitungan teknis,” Teguh menjelaskan. Keika mengerjakan Wok With Me, ia berkonsultasi tak hanya pada Hadi, pemilik pabrik pemotongan baja yang jadi mitranya, tapi berkonsultasi pada konsultan arsitektur mal untuk mencari tahu kapasitas teknis maksimal yang tak membahayakan orang yang berlalu lalang di bawah karyanya. “Keterbatasan teknis bagi saya adalah frame. Saya akan berkarya sesuai kemungkinan yang ada di dalam frame. Meski tak menyerah pada kendala teknis, saya menghormati sekali perhitungan itu. Ketika dibilang pada saya batas kekuatan senar baja tempat karya itu digantungkan adalah 50 kilogram, saya bermain di bawah itu. Juga ketika disebut bahwa jarak antara wajan yang satu dengan yang lain harus 75cm dengan diameter maksimal wajan adalah 70cm, semua saya taati.

Tantangan Kanvas Kecil
Di mana pun berpameran, Teguh akan selalu memperhatikan hal itu. “Waktu memamerkan patung Yesus di Singapura, awalnya saya hanya ingin pakai satu sling-tali baja untung menggantungkan karya- agar tidak kelihatan. Tapi orang konstruksinya bilang harus pakai tiga supaya kuat dan aman, ya saya ikuti,” katanya. Akhirnya Teguh menggunakan tiga tali sesuai yang disarankan dan mengikuti aturan peletakan tali serta sudut kemiringan patung. “Saya percaya pembatasan teknis itu adalah struktur yang di dalamnya ada estetika. Saya tidak mau mengada-ada membuat estetika sampai mengabaikan struktur,” katanya.

Karya-karya Teguh umumnya berukuran besar. Khalayak seni rupa tentu masih ingat ketika ia membeli bagian-bagian Tembok Berlin dan memamerkannya sebagai karya seni. Kali lain, ia datang dengan lukisan-lukisan berukuran minimal 140 cm dengan ukuran maksimal tak terhingga. Hal ini sudah ia lakukan ketika mengerjakan tugas akhir masternya di Berlin, dengan karya berukuran 9 meter yang dibagi dalam 7 panel. “Mungkin karena saya suka dengan gerakan tubuh saya sendiri. Dengan media berukuran besar saya bisa melakukan gerakan dengan sangat leluasa ketika berkarya,” katanya. Teguh lantas membandingkan dengan karya-karya mutakhirnya yang baru saja dipamerkan di Galeri AOD di bilangan Panglima Polim. 500 panel lukisan yang dipamerkan hanya berukuran 10cm X 10cm. “Membuat karya yang kecil seperti ini jauh lebih susah karena kita harus membatasi ruang dan gerak,” katanya.

Kendati demikian, Teguh mengaku dari tingkat kepuasan, kanvas kecil memberi lebih karena keterbatasan ruang di kanvas kecil, menurutnya, menimbulkan masalah teknis yang sangat kompleks, “Tantangan kanvas kecil itu lebih besar. Kalau di kanvas besar, pelukis itu kayak tukan cat, bidang yang bisa digarap banyak.” Teguh lantas berkisah tentang sebuah gambar punggung perempuan berukuran kecil karya Pablo Picasso sangat bagus meski hanya terdiri dari empat gari. “Ketika seorang awam bertanya pada Picasso berapa lama mengerjakan karya tersebut, maestro itu bilang, 30 tahun. Pengalaman saya sendiri pun memang begitu. Butuh 34 tahun sebelum akhirnya saya bisa membuat karya berukuran 10cm X 10cm. Awam sering menyangka, makin kecil karya, makin singkat waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan. Itu asumsi yang tidak benar. Lalu awam juga sering menganggap realis bagus, tapi mereka tidak tahu bahwa untuk menjadi abstrak tiap seniman harus mempelajari realis dengan baik. Kalau tidak, dia tidak akan bisa mendekonstruksi imaji,” Teguh menjelaskan.

Persinggungannya dengan tari dan Buddha Zen, diyakini Teguh sebagai hal yang membuatnya dapat berdamai dengan bidang kecil kala berkarya. “Saya juga pernah membuat banyak sketsa (mencapai 1600 gambar) di sebuah block note kecil -juga berukuran 10cm X 10cm-. Semua saya buat di atas subway kota New York dan menghasilkan gambar yang menarik karena efek gerakan seismografis karena bukan tangan kanan saya saja yang bergerak, tapi juga tangan kiri karena gerakan kereta. Seri karya itu pernah saya pamerkan di Köln. Hal ini yang ingin saya ulangi dengan kanvas kecil itu,” ungkap perupa yang juga kerap merancang tata panggung dan cahaya bagi pertunjukan tari dan teater ini.

Kompleksitas Kesederhanaan
Pria yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti ini memang tak hanya bermain dalam satu bidang seni rupa saja. Selain lukis, patung, serta dekorasi panggung, Teguh pun membuat video art, bahkan koreografi untuk pertunjukan dan fashion show. Mana yang paling disukainya? “Semuanya sama.saja. Saya hanya selalu berusaha membuat karya yang provokatif. Provokatif terhadap ruang, juga provokatif terhadap orang-orang yang berada di ruang itu. Misalnya untuk Wok With Me. Otokritik saya terhadap karya itu adalah karena harus berkompromi dengan berbagai masalah teknis, kesan provokatif itu tak dapat dipenuhi dan berhenti pada kesan dekoratif saja,” katanya. Teguh mengatakan, awalnya, ia berencana menggunakan 40 wajan berdiameter 1,5m untuk menghasilkan kesan luar biasa. “Sayangnya secara teknis tidak memungkinkan,” katanya.

Ruang memang menjadi bagian penting dalam karya perupa ini. “Saya selalu berusaha menciptakan interaksi antara karya dan penikmatnya,” ungkapnya. Ia mengambil contoh karyanya yang berjudul Jalan Salib yang berada di Manado. “Kalau biasanya cukplikan Jalan Salib itu dibuat dalam diorama, maka saya membuatnya dengan patung-pantung berukuran life size yang mau tidak mau akan membuat penontonnya merasa jadi bagian dari karya itu,” kata perupa yang selalu melakukan pendalaman lewat bacaan untuk semua karya, bahkan yang berangkat dari hal-hal praktis sekali pun. “Karena bacaan itu penting untuk mencari penjelasan tentang apa yang dari pikiran praktis itu tak dapat diterapkan. Sebab saya lebih percaya bahwa ide itu lahir dari kerja, bukan dari bermimpi” ungkapnya lagi. Barangkali, ini serupa anomali dari konsep awam tentang seniman yang lebih sering berpandu mimpi ketika berkarya.

Dalam pandangan pria kelahiran Jakarta, 59 tahun silam ini, Seorang seniman sejatinya adalah pengamat sejati. “Kerja seniman yang sesungguhnya itu adalah observasi dan membuat keputusan. Karyanya adalah keputusan. Saya selalu mengajarkan murid-murid saya untuk melakukan observasi,” tutur Teguh yang juga mengadakan kelas melukis realis di rumahnya. Proses observasi, menurutnya merupakan kunci penting dalam kerja seorang seniman. Hal penting lainnya menurut Teguh adalah media. “Sebab media itu membuat karakter karya yang sama berubah menjadi lain. Beberapa karya, sengaja saya terapkan dalam lebih dari satu media. Misalnya saja karya saya yang berjudul Homo Sapiens. Selain di kanvas, saya menerapkannya juga di terracotta, perunggu, etching. Begitu juga karya saya yang berjudul Kamasutra. Ternyata memang, seniman tetap harus menghormati media, bukan hanya sebagai alat, tapi juga partner yang berinteraksi dengannya sepanjang proses berkarya,” ungkap Teguh yang mengaku menakzimi setiap media karena sifat dan daya tariknya yang berbeda.

Di luar kapabilitas teknis yang ia miliki, Teguh punya hal lain yang membuat karyanya selalu menjadi penting: kemampuan mengemas ide menjadi sebuah konsumsi public yang menarik. Misalnya saja ketika menggelar DeFacement. Teguh –dan timnya- berhasil membuat orang membicarakan pameran tersebut lewat rangkaian diskusi yang dengan sukses membentuk opini tentang karyanya.
“Kalau saya tidak punya kemampuan itu, mungkin saya akan mengada-ada dan membuat sesuatu yang over aesthetic dan akhirnya tidak memikirkan detail lagi. Justru karena saya selalu observe, selalu berpihak pada struktur, pada bentuk yang sederhana, semuanya menjadi terfokus. Membikin sesuatu yang sederhana itu tidak sederhana lho. Sama sekali nggak gampang,” katanya. Dalam pandangannya, kesederhanaan adalah proses deformasi segala kompleksitas menjadi sesuatu yang mudah dipahami, “Dan itu tidak mudah.”
Kedekatan Teguh dengan Buddha Zen barangkali bisa menjadi penjelasan tentang perjalanannya menuju kesederhanaan. “Itu yang dicari banyak orang sekarang: kekosongan dan zen memberi saya banyak pengaruh tentang pemahaman ini,” tandasnya. (Indah Ariani) Foto: Eliska, Leonardi Portaiture

TARIAN HATI HARTATI


Hartati hari ini adalah geliat gerak hati yang tak lagi takut pada jumud masa lalu atau ragu masa depan.


Perjalananku, pergerakanku, seluruh cerita hidupku sepertinya berlangsung di dalam kotak. Sudah bergerak ke mana saja aku? Sudah bergerakkah aku? Apa yang sudah kulakukan? Dari mana kotak ini berasal? Siapa yang meletakkan kotak ini di sini, mengurungku? Atau siapa yang meletakkan aku di dalam kotak ini?

Pertanyaan retoris itu terucap lirih di sela-sela gerak bisu dan musik sendu yang melingkupi panggung di Teater Salihara beberapa bulan lalu. Suara Hartati, koreografer pertunjukan bertajuk In/Out itu seperti tercekat kegalauan ketika membaca teks pendek itu. Tanpa tampil ke atas pentas, rangkaian pernyataan berimbuh deretan pertanyaan itu seperti dengan tepat melukiskan ekspresi hati Hartati. Seperti biasa, ada sejuta cerita (perempuan tepatnya) dalam tiap pertunjukan penata tari yang tumbuh besar di Muara Labuh, Solok, Sumatera Barat ini. Cerita yang mengungkap pergulatan batin yang mungkin terjadi dalam hati dan hidup banyak sekali perempuan. “Jadi sangat wajar ketika ada penonton yang lantas merasa karya saya mewakili mereka. Sebab ini tidak hanya tentang saya, tapi memang juga tentang mereka, kita semua,” kata Hartati beberapa jam setelah pertunjukkan malam itu. Bergabung dengan GUmarang Sakti

Berbincang dengan Hartati terasa seperti tengah menggali kuburan di mana segala kenangan tersimpan. Dalam dirinya, ada sebuah ruang tempat seluruh pergulatan batin perempuan berkulit sawo matang ini menggenang, lalu mengendap menjadi sumber bahan bakar kreativitasnya sebagai penata tari. “Sejak kecil, saya terbiasa melihat betapa tidak adilnya dunia ini pada perempuan,” katanya pelan. Tati –begitu ia biasa disapa- bercerita, ketika masih tinggal di kampung halaman, ia acap main ke rumah teman yang memiliki banyak anak. “Di rumah itu, saya sering melihat ibu teman saya menyediakan makan untuk suami dan anak-anaknya. Hanya sedikit makanan yang tersedia, dengan begitu banyak mulut yang harus dibagi. Semua orang di rumah itu kebagian, kecuali sang ibu. Saya bertanya, kenapa dengan pekerjaan dan tanggung jawab yang demikian banyak, justru ibu itu yang nggak kebagian makanan?” kesahnya. Di kemudian hari, endapan kisah itu ia gali dan olah menjadi koreografi berjudul Membaca Meja yang dipentaskan pada 2002.

Kisah itu hanya satu dari sekian banyak ketimpangan yang dialami perempuan. Sebab banyak karyanya yang lahir dengan cara seperti ini. Pertanyaan demi pertanyaan menyangkut kesetaraan antara lelaki dan perempuan, terus saja menghampiri Tati lewat berbagai pengalaman yang ia lalui. Perjalanannya mewujudkan obsesi menjadi penata tari, acap terbentur dinding kesempatan yang seperti berlaku tak seimbang baginya. “Status saya sebagai istri dan ibu, sering jadi alasan yang seperti pisau bermata dua. Beberapa kali saya kehilangan kesempatan karena pasangan tidak mengijinkan,” katanya tentang kejadian yang seirng terjadi di masa lalunya. Masa lalu karena pada 2007 Tati memutuskan berpisah dengan Boi G. Sakti, sesama koreografer yang selama lebih dari dua decade (sejak Tati bergabung dengan kelompok tari Gumarang Sakti pimpinan Ibunda Boi Gusmiati Suid) bersama-sama berjalan mengembangkan karier di dunia tari.

Membaca Tanya
Berbagai beasiswa Tati terima, kadang-kadang bersama dengan Boi seperti ketika mereka berangkat ke New York pada 2001 atas undangan Asian Cultural Center. “Baru pada tahun itu saya membuat karya dengan nama sendiri. Biasanya saya selalu muncul sebagai bagian dari Gumarang,” kenangnya. Karya itu berjudul Sayap Patah yang juga berkisah tentang perempuan yang dilumpuhkan oleh keadaan. Suara hati Tati lagi-lagi tertuang di sini. “Saya merasa ada sesuatu yang membuat kemampuan saya tak bisa tereksplorasi secara maksimal,” Tati menjelaskan. Karya solo perdana itu menjejakkan kaki Tati di kancah tari dengan cara yang berbeda. Ia menarik perhatian banyak pengamat dan membuatnya dipercaya menerima hibah dari Kelola, -sebuah lembaga yang berupaya mendukung kemajuan seni pertunjukan di Indonesia- yang menghasilkan karya Membaca Meja. “Meja adalah tempat kita belajar. Entah itu di sekolah mau pun di rumah. Dan meja makan, menurut saya adalah tempat pembelajaran hidup paling menarik jika merujuk apa yang saya lihat dulu, ketika masih kecil di kampung,” katanya.

Tati terus menari sambil berusaha mengatasi kegelisahannya tentang berbagai hal seputar perkembangan kariernya. Pada satu titik, ada semacam rentetan tanya yang berpusar pada persoalan eksistensi. Potensi yang ia miliki, sering tak berhasil menggapai tingkat tertinggi, karena keadaannya sebagai istri dan ibu seakan menjaringnya untuk kembali ke tanah. “Sistem matrilineal yang dielu-elukan sebagai penghormatan bagi perempuan, nyatanya tidak bisa menghalangi lelaki untuk memenjarakan perempuan dalam system yang walaupun sering tidak berpihak pada perempuan, tetap saja dibela mati-matian oleh para perempuan sendiri,” katanya geram. Tanya yang tak terjawab, seringkali memang terakumulasi menjadi satu kejumudan yang tak terhindari. Pada 1997, Tati memutuskan berhenti menari dan melipir ke pinggir panggung. Saya gamang dan marah. Sebagai penari, saya sudah berada di jenjang paling tinggi. Sudah mentok, tidak ada lagi yang lebih tinggi. Kalau tidak mulai menjadi koreografer, tentu karier saya akan selesai,” katanya dengan luka yang seperti masih bisa diraba. Ia benar-benar memutuskan tidak bersentuhan dengan dunia tari. Ia tenggelamkan dirinya dalam kesibukan mengurus keluarga. “Kalau pun terlibat kerja dalam sebuah pertunjukan, saya benar-benar memilih kerja yang jauh dari panggung, seperti menjadi penangung jawab ticketing,” kisahnya.



Bunda mertuanya lalu datang menawarkan solusi kala itu. “Ibu mengajak saya menjadi koreografer, tandem dengannya. Beliau memang mitra kerja yang baik dan sangat mengerti kegelisahan saya. Mungkin karena kami sama-sama penari dan perempuan, Ibu lebih mengerti gejolak yang terjadi dalam diri saya,” tutur Tati tentang Gusmiati yang ia kagumi. Ia menjawab tawaran Gusmiati dengan kreativitas. Ia buktikan kemampuannya dengan mengolah gejolak batinnya jadi gerak-gerak rancak yang membuat namanya terus melaju sebesar apa pun halangan yang diletakkan di hadapannya. Totalitas Tati diganjar beasiswa dari ACC untuk ia dan Boi. Mereka berangkat dengan anak pertamanya Menthari Ashia yang kala itu masih balita dan seorang adik iparnya.

Proses kreatifnya kembali bergulir dan Tati dapat membuktikan bakat besarnya memang layak mendapat acungan jempol. Dalam masa ini, ia cukup produktif mencipta karya yang cukup fenomenal seperti Sayap Patah, Membaca Meja dan Ritus Diri. Karya yang terakhir itu disebutnya sebagai karyanya yang paling buuruk secara estetika. menjadi semacam salam perpisahan keduanya pada panggung tari. Ketidaksepahaman soal eksistensi mencuat lagi dan membuatnya tak bisa menghindari kenyataan paling buruk yang harus menimpa pernikahannya denga Boi yang dalam pandangan banyak orang begitu ideal. “Di satu titik, saya harus memilih. Tidak ada orang ketiga dalam pernikahan kami. Masalah terbesar mungkin memang hanya persoalan eksistensi,” katanya lirih.

“Saat itu. keputusan saya bulat untuk tidak berkesenian lagi. Saya merasa sangat bimbang dan putus asa soal eksistensi saya sebagai seorang seniman,” katanya. Saat itu, Tati mendapat beasiswa dari sebuah lembaga yang harusnya bisa menjadi ajang untuk menempatkannya sebagai sosok yang diakui di kancah tari internasional. “Paling tidak untuk Asia Pasifik dan Amerika. Tapi ijin keberangkatan tidak juga diberikan oleh suami saat itu,” kisahnya. Dengan rasa frustrasi yang sangat sarat, Tati kembali memilih keluar dari hiruk pikuk panggung pertunjukan. “Saya menyewa toko di pasar Depok dan berjualan baju. Itu saya pilih untuk tidak membiarkan diri saya terus memikirkan karier saya yang seperti kembali menemui jalan buntu,” katanya. Tati yang mengaku tak suka belanja itu pun harus bergelut dengan sekian banyak kerepotan standar yang harus dilalui seorang pedagang. “Saya belanja sendiri ke Pasar Pagi, berdamai dengan segala hal yang tak saya sukai seperti berpusing-pusing mencari model baju paling bagus, menawar, dan membawa pulang belanjaan,” katanya.

Belajar di Pasar
Upaya itu cukup berhasil tak hanya untuk menghapus kekecewaan, tapi juga memupus identitasnya sebagai seorang koreografer cemerlang. “Siapa juga yang tahu saya di pasar?” tukasnya ringan diimbuhi tawa. Untuk memperlancar usaha, Tati tak segan berjualan di pasar kaget yang biasa ada di perumahan dekat rumahnya pada minggu pagi. “Saya nggak malu melakukannya. Santai saja,” kata Tati yang mengaku banyak mendapat pelajaran dari kegiatan berdagang itu. Layaknya laku lain, merasa mendapat ‘kekayaan’ dari salah satu fase dalam hidupnya itu. “Hal paling mengejutkan saya adalah kesadaran untuk tidak lagi meremehkan diri sendiri. Kita bisa melakukan apa saja yang awalnya terasa tak mungkin kita lakukan. Tapi pada saat yang bersamaan, saya juga disadarkan untuk tidak bersikap percaya diri berlebihan, karena manusia itu sesungguhnya bukan siapa-siapa ,” ungkapnya. Kontradiksi itu juga menumbuhkan sebuah keyakinan menarik dalam dirinya, “Setinggi apa pun posisi kita dalam masyarakat, kita tidak pernah benar-benar berada di atas. Selalu ada yang menempati posisi di atas kita, Jadi sombong itu memang sesuatu yang nggak perlu dalam hidup ini,” katanya arif.

Dalam masa itu pula, relasinya mengalami cobaan besar. Ia berpisah beberapa tahun setelah Gusmiati mangkat. Tanpa mertua yang benar-benar mengerti isi hatinya, Hartati harus berjalan sendiri melewati masa paling sulit dalam hidupnya. Perceraian yang terjadi pada 2007, membawanya kembali ke panggung pertunjukan lewat komposisi tari Hari Ini yang dipentaskan di Goethe Institute. Seperti kelahiran baru, karya Tati terlihat mengalami pergeseran bentuk kala itu. Gerak-gerak rancak pencak silat menjadi lebih hening dengan tuturan ide yang lebih sublime. Perkenalannya dengan banyak hal baru –salah duanya adalah yoga dan buku Laa Tahzan- kala melewati masa sulitnya, memberi Tati cara pandang baru yang lebih tenang dan matang. “Hal yang membahagiakan saya adalah kenyataan, bahwa orang menerima saya dengan tangan terbuka ketika saya kembali pada 2008 silam. Support mereka sangat luar biasa bagi kemantapan saya kembali berkarya,” katanya.

Setelah semua yang ia lalui, Tati kini mengaku ingin bisa memberi kebaikan bagi banyak orang. “Saya hanya ingin bisa berguna bagi orang lain, entah lewat karya atau lewat mengajar,” kata Tati yang kini mengajar di almamaternya, Institut Kesenian Jakarta. Sepak terjang Tati memang makin terasa di kancah pertunjukan tari. Baru-baru ini, bersama Miroto dan Eko Supriyanto, ia mengomandoi pertunjukan kolaborasi tiga institute seni dalam Festival Kesenian Indonesia 2009. Dinamika yang sejak kemucnulannya kembali telah pelan-pelan ia sampaikan. Lewat karya Hari Ini, Tati mengaku ingin bercerita tentang dirinya yang baru, yang siap memasuki segala kemungkinan yang terjadi dalam hidup. Jelas ada otimisme di sana. Ia nyatanya memang kembali dengan nuansa estetika yang jelas lebih matang. Penerima penghargaan Empowering Women Artist dari Kelola dan Hivos ini masih mempertanyakan banyak hal tentang ketimpangan yang terjadi pada perempuan. Ia masih menggugat lewat karyanya yang terus saja bermunculan. Tapi Tati memang hanya mau bicara tentang hari ini. “Sebab hanya hari ini yang nyata buat kita. Masa lalu sudah lewat dan gelap, sementara masa dating masih jadi sesuatu yang gaib, yang tidak kita ketahui bentuknya,” katanya mengutip Laa Tahzan. Di luar segala keinginannya untuk eksis di kancah seni, ibunda Menthari Ashia (10) dan Mikhailham Muhammad (6) ini ternyata masih menyimpan satu harapan sederhana,” Saya ingin jadi ibu yang bisa mengekspresikan diri.” Apa pun harapan Tati, tentu itu muncul dari geliat hati yang senantiasa menari. (Indah Ariani), Foto: Hermawan, Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Rias wajah&rambut: Aries, Lokasi: Salihara

CINTA MATI KOLEKTOR SENI

Di mata para kolektornya, seni tak berhenti pada titik investasi, melainkan pada cinta yang penuh apresiasi.

Apa arti seni tanpa apresiasi? Menjadi kolektor adalah satu dari sekian banyak cara mengapresiasi. Siapa pula yang bisa secara intens memberikan apresiasi kalau tak mengoleksi benda seni? Kolektor dan koleksi pada akhirnya memiliki interaksi personal yang acap tak terjamah oleh berbagai teori. Hubungan yang terjalin, acap kali melompat melebihi sekadar pembeli dan benda yang dibeli. Hati yang ikut bekerja, membuat seni tak berhenti pada titik di mana ia menjadi berharga sebagai investasi.

CHRISTINE SALIM
Sekitar satu dekade silam, saat kuliah di Los Angeles, Christine Salim jatuh cinta pada seni rupa. Waktu senggangnya, lebih sering ia gunakan untuk berkeliling berbagai galeri dan museum yang ada di sana. Kekagumannya pada lukisan sebenarnya telah tumbuh saat itu. “Cuma uang saku saya nggak cukup untuk membeli real paiting yang di Amerika harganya selangit,” kisahnya. Alhasil, ia hibur dirinya dengan mengoleksi litograf yang hingga akhir masa kuliahnya berjumlah cukup banyak. Keadaan itu membuatnya

Kapan mulai mengoleksi karya seni?
Sejak masih kuliah. Hanya saja, saat itu saya baru mampu beli litograf saja, karena harganya jauh lebih murah dari lukisan yang di Amerika harganya setinggi langit.

Apa yang dirasakan ketika mengamati karya seni yang Anda miliki?
Heran dan takjub sambil kepala saya tidak berhenti bertanya, “Kok bisa ya senimannya membuat karya sebagus ini?” Sebab, seringkali, sebuah lukisan atau obyek dating dari ide yang sangat sederhana, tapi dipresentasikan dalam bentuk yang menakjubkan. Selain persoalan teknis seperti itu, saya juga merasa sebuah tempat atau rumah akan menjadi lebih bernyawa dengan penyematan karya seni di dalamnya.

Bagaimana cara Anda menilai sebuah karya seni?
Saya selalu melandaskan penilaian pada pendapat pribadi. Kalau suka, saya akan beli. Jarang sekali saya membeli karya seni hanya berdasarkan keinginan untuk ikut arus, misalnya karena senimannya sedang naik daun dan karyanya pasti akan berharga mahal. Buat apa saya membeli mahal-mahal kalau setelah itu saya tidak bias menikmati?

Karya seperti apa yang menarik minat Anda?
Feminin dan cute. Saya suka sekali karya-karya seniman muda seperti Indie Guerillas, Radi Arwinda, Wedhar Riyadi karena karya mereka yang jenaka. Saya juga mengoleksi karya-karya feminin milik Bunga Jeruk, Ay Tjoe Christine, dan Ayu Arista. Koleksi saya memang kebanyakan kontemporer. Kalau dari old master, saya suka Hendra Gunawan karena cenderung feminin dengan warna-warni cerah.

Seberapa gigih Anda mengejar koleksi yang diincar?
Kalau sudah naksir satu karya dan tidak berhasil membeli, biasanya saya akan ikuti terus pergerakan karya tersebut. Kalau tidak berhasil membelinya di galeri, kadang-kadang saya dapat lewat lelang. Kepuasannya beda lho, mendapatkan karya dari lelang. Dulu, saat masih kuliah di LA dan

Kapan biasanya Anda punya waktu menikmati semua koleksi?
Secara reguler, saya merotasi koleksi. Waktunya bisa dua atau tiga minggu sekali, kadang juga sampai sebulan, tergantung keinginan. Menikmati koleksi, biasanya saya lakukan malam hari, saat sudah santai. Saya senang berkeliling rumah untuk mengamati dan sampai saat ini, masih mengagumi koleksi yang ada. Biasanya saat keliling itu saya terpikir untuk merotasi karya. Saya juga sering mengajak anak-anak berkeliling melihat lukisan dan patung serta instalasi. Begitu pun kalau ingin membeli, saya juga menanyakan pendapat mereka. Hitung-hitung melatih apresiasi mereka terhadap seni rupa. Foto: Ferdy Adrian Yulianto (Kencana Art Photography, Yogyakarta


AZIZAH MARZUKI-PAPADIMITROU
Dari mertua dan sang suami, ia belajar mengeja seni. Dari sebutir benih ketertarikan, Azizah melangkah pada ranah keterikatan yang terus saja berbuah subur, menumpuk berbagai manik, keramik, dan benda antik yang terus saja berebut ruang di apartemennya di bilangan Pakubuwono. Ia mengaku tak punya kata yang tepat untuk menjabarkan cintanya pada seni. “Ya, suka saja dan itu sulit dijelaskan,” katanya ringan.

Kapan dan kenapa Anda tertarik mengoleksi benda seni?
Sepuluh tahun lalu. Awalnya karena mengamati mertua dan suami yang suka mengoleksi lukisan dan benda seni lainnya. Tapi saya tidak terlalu suka lukisan karena mertua saya punya banyak sekali koleksi lukisan. Keterbatasan ruang di rumah juga membuat saya tidak terlalu tertarik pada lukisan.

Karya pertama yang Anda beli berdasarkan pilihan Anda?
Keramik. Untuk urusan memilih keramik dan benda antic berkualitas, saya belajar pada dokter Hardojo dan mertua. Lalu saya bergabung dengan Himpunan Keramik Indonesia. Koleksi saya teridiri dari keramik seperti guci dan piring-piring, juga lemari antic dan beads. Saya suka sekali menumpulkan manik-mani dan bola-bola batu yang sering saya buat jadi hiasan digabung dengan perak. Manik-manik yang saya kumpulkan, sebagian saya untai jadi kalung. BIasanya saya tambahkan emas atau perak.

Ke mana Anda biasanya ‘berburu’ koleksi antik?
Kalau sekarang, biasanya ada yang menawarkan pada saya. Tapi banyak juga yang saya dapatkan di balai lelang atau saat saya sedang jalan-jalan ke luar negeri. Seperti beads Afrika ini, saya dapatkan di Paris. Ada juga manik-manik saya yang berasal dari jaman Majapahit. Saya juga mengumpulkan gading gajah yang dulu dijadikan mas kawin.

Kenapa Anda suka manik, gading, keramik dan furniture antik?
Lucu saja. Manik-manik itu bentuknya bisa di olah jadi benda lain yang lebih artistik seperti jadi kalung atau hiasan meja. Lagi pula, untuk saya yang tinggal di apartemen, koleksi benda antik berukuran kecil jauh lebih memungkinkan karena tidak memerlukan ruang terlalu banyak dan bisa jadi bagian dari interior.

Setelah sepuluh tahun, berapa banyak koleksi yang sekarang Anda miliki?
Belum terlalu banyak, kok. Beli sedikit-sedikit saja.

Anda menyediakan waktu khusus untuk berburu?
Sambil jalan saja. Malah kalau sekarang, tukang antiknya yang telepon kalau sedang ada barang bagus. Kalau diladeni bisa sering. Tapi saya lihat-lihat dulu. Biasanya tiga bulan atau enam bulan sekali saya beli koleksi baru. Tapi sekarang ini, saya makin selektif. Kalau benar-benar bagus, baru saya beli.

Kepuasan apa yang Anda rasakan saat memiliki koleksi baru?
Mmmm… Senang tentu dan ada rasa excited. Walaupun kadang-kadang suami saya sering protes karena barang di apartemen kami makin bertambah, saya selalu berkelit dengan alasan, barang ini akan bisa mempercantik rumah kami nanti. Sekarang ini, koleksi saya tersebar di beberapa tempat, seperti rumah mertua dan kantor suami saya. Jadi bias dibilang, hobi saya sering terkendala keterbatasan tempat, hahaha.

Koleksi Anda didominasi benda antik dari mana?
Macam-macam. Kalau keramik dan furniture kebanyakan dari Cina. Kalau dari Indonesia, kebanyakan manik-manik dan perangkat perak, juga batik kuno.

Anda mengikuti perkembangan lukisan?
Tidak secara intens. Kalau untuk lukisan, biasanya saya mengikuti perkembangannya lewat diskusi dengan mertua dan beberapa sahabat yang memang bergelut di dunia lukisan. Saya tidak terlalu tertarik pada lukisan, karena suami saya dan keluarganya sudah mengoleksi banyak sekali lukisan. Saya ingin sesuatu yang berbeda.

Seni bagi Anda bermakna apa?
Sesuatu yang saya senangi dan penilaiannya sangat personal. Kalau senang, saya beli saja tanpa berpikir apakah karya itu sedang jadi tren atau tidak, berseni atau tidak. Saya menurut kata hati saja.

Apakah koleksi yang dimiliki mencerminkan diri Anda?
Agak bingung ya, karena saya mengoleksi banyak sekali benda. Susah kalau harus mengidentifikasi diri saya dengan satu jenis koleksi saja. Tapi mungkin, apa yang saya pilih itu pasti saya sukai. Semua yang menurut saya bagus.

Sering berburu di lelang?
Cukup sering, tapi biasanya saya tidak datang ke tempat lelang. Seringnya lewat telepon saja. Kebanyakan koleksi, saya dapat di lelang Christie’s. Kebanyakan furniture antic saya dapat dari lelang. Kalau keramik dan pernak-pernik lain, biasanya pemilik toko antiknya yang datang dan menawarkan pada saya.

Membeli lukisan di lelang?
Pernah juga, tapi itu untuk di kamar anak. Karena mertua saya kolektor lukisan, jadi suami sering bilang, nggak usah terlalu banyak membeli lukisan.

Perawatannya Anda percayakan pada siapa?
Saya sendiri. Lagipula benda seni saya kebanyakan furniture dan pernak pernik yang setiap hari dibersihkan. Sementara untuk kalung manik dan gelang-gelang, jarang sekali saya pakai. Jadi perawatannya bisa dibilang tidak merepotkan.

Mana yang paling Anda sukai?
Semua saya suka. Jadi susah juga kalau disuruh memilih mana yang paling suka. Sebab saya hanya membeli karya yang saya suka.

Apakah benda seni Anda mempunyai ‘efek terapi’ yang membuat Anda merasa lebih relaks setelah beraktifitas?
Nggak ya, biasa saja.


PAULA DEWIYANTI
Lahir di keluarga pecinta seni, Paula tumbuh besar di antara koleksi lukisan orangtuanya. Kecintaan kolektor yang membeli koleksi pertamanya pada usia 20 tahun ini pada seni terasah sejak usia belia. Kendati koleksi pertamanya adalah lukisan dekoratif karya seorang pelukis Vietnam, Paula justru terpikat karya seniman kontemporer yang menurutnya punya sihir yang menariknya masuk kedalam labirin keterpesonaan tak berujung. “Saya merasa sehati dengan karya kontemporer dan sanagt senang melihatnya,” katanya. Meski mengaku koleksinya belum terlalu banyak, Paula toh membutuhkan rumah dan kantor sebagai tempat memajang koleksi.

Sejak kapan Anda jatuh cinta pada seni rupa?
Sejak kecil saya suka seni. Dulu sempat les menggambar dan orang tua saya memang mengoleksi banyak lukisan. Tapi keinginan untuk benar-benar punya koleksi sendiri baru muncul pada usia 20-an.

Apa koleksi pertama Anda?
Koleksi pertama saya adalah lukisan dekoratif Vietnam, non kontemporer. Saat itu saya suka melihat pemandangan indah. Warna-warna dalam lukisan itu kebetulan atraktif dan vibrant.

Bila sekarang Anda lebih serius mengoleksi karya kontemporer, impresi apa yang Anda rasakan saat melihatnya.?
Hal menarik perhatian dari karya kontemporer adalah persoalan visual yang bagi saya -saat itu pertama kali bersinggungan dengan seni kontemporer- tidak biasa. Seperti agak minimalis. Saya langsung bisa menikmati dan mengerti karya tersebut tanpa membaca katalog. Saya merasa sehati dengan karya tersebut dan amat sangat senang melihatnya.


Berapa banyak karya seni yang Anda koleksi saat ini?
Baru sekitar 40-an. Belum banyak untuk ukuran kolektor. Lagipula jumlah terus bertambah. Saya juga gak sembarangan beli karena saya punya pertimbangan2 lain seperti saya harus suka sama karya2 senimannya secara total, bukan cuman karena 1 karya saja.

Di simpan di mana?
Sebagian dipajang di rumah, di kantor dan sebagian mau tak mau harus disimpan di gudang.

Kapan Anda menikmati koleksi tersebut? Punya waktu khusus?
Setiap waktu saat saya di rumah atau di kantor. Lebih sambil lalu daripada meluangkan waktu khusus.

Perasaan apa yang muncul dalam benak saat menikmati koleksi Anda?
Dari masing-masing koleksi saya punya imajinasi sendiri tentang karya tersebut dan relevansinya terhadap pengalaman pribadi saya. Ada banyak perasaan timbul waktu mengamati koleksi saya. Satu hal yang pasti, stres langsung hilang. Segala problema hidup sesaat seperti dapat dilupakan. Mungkin tepatnya membawa saya ke dunia lain dan saya sangat menikmati perasaan yang ditimbulkan itu.

Koleksi mana yang Anda anggap paling berharga? Ukuran yang Anda terapkan untuk membuat sebuah karya Anda anggap berharga, dari nominalnya, upaya mendapatkannya atau kisah di balik proses penciptaan karya tersebut?
Beberapa karya yang sudah jadi koleksi permanen, saya anggap sebagai yang paling berharga. Dan itu tidak melulu karena nominalnya. Ada sebagian karya yang saya anggap berharga sekali walaupun nominal harganya tidak atau belum tinggi. Tidak terbersit sedikit pun untuk menjual koleksi permanent itu karena karya-karya itu sudah menjadi bagian dari hidup saya. Mungkin karena ikatan emosionalnya, seperti kalau kita berpisah dengan karya tersebut ada bagian dari hidup kita hilang. Kesannya mungkin agak sentimental atau norak tapi saya rasa banyak kolektor berperasaan seperti itu. Saya rasa hal ini karena koleksi atau benda-benda sehari-hari yang kita miliki sadar atau tidak sadar itu adalah bagian dari identitas kita.

Di mana biasanya Anda berburu koleksi? Galeri, pameran, lelang, langsung pada seniman, dsb dan apa kelebihan serta kekurangan masing-masing tempat tersebut?
Biasanya lewat galeri. Ada kalanya membeli lewat lelang dan art fair. Sesekali beli langsung dari seniman tapi amat jarang sekali. Kelebihannya kalau lewat galeri karya sudah diseleksi. Senimannya juga sudah diseleksi. Kita bisa bertanya kepada pihak galeri informasi yang lebih dalam tentang karya dan senimannya. Lalu kalau pamerannya di galeri ada kurasinya. Kalau lewat artfair karya-karya yang dipamerkan jauh lebih banyak pada saat yang bersamaan, jadi lebih banyak pilihan. Lewat artfair tidak ada kurasinya walaupun kadang ada juga. Kalau lewat balai lelang pilihan juga banyak dan untung-untungan bisa dapat barangnya atau tidak di harga yang kita kehendaki. Jadi ada perasaan yang beda juga pada saat membeli lewat balai lelang. Ada perasaan kompetitif, cemas, semangat atau emosional pada saat bidding. Kekurangannya kalau di galeri pilihannya tertentu. Kalau tidak atau belum bisa menikmatinya maka tidak ada yang bisa dikoleksi saat itu. Kalau di artfair kita diburu waktu untuk mengambil keputusan. Kalau suatu karya diminati banyak orang kita jadi harus cepat mengambil keputusan, siap atau tidak. Padahal kadang untuk beli karya seni butuh waktu untuk mikir dan menimbang banyak hal apakah karya tersebut cocok untuk koleksi kita. Kalau di balai lelang adalah masalah harga, kadang kita mungkin beli kemahalan, tapi ya itu “winner’s curse” istilahnya.

Di tengah booming pasar seni rupa seperti sekarang, apa yang Anda jadikan landasan untuk menilai kualitas seni? Harga atau teknik?
Saya punya banyak landasan untuk menilai kualitas karya seni. Setidaknya ada enam hal yang selalu saya pertimbangkan saat akan membeli. Pertama, visualnya bagus atau tidak. Kedua seberapa tinggi tingkat kesulitan teknis dan skill dari sang seniman. Ketiga, pengolahan medium yang jadi indikasi akurat kreatifitas seniman itu. Keempat yang menurut saya sangat tidak bias diabaikan adalah konsep dari karya itu sendiri sebab ini akan menunjukan kecerdasan dan kepribadian sang seniman. Kelima adalah, apakah karya tersebut dapat dinikmati dan diapresiasi oleh saya atau kolektor lain dan hal terakhir yang tak kalah penting adalah apakah harga yang dipatok memang layak untuk seniman dan karya tersebut ditinjau dari rekam jejak sang seniman.

Koleksi apa yang punya kisah perburuan paling seru?
Buat saya sepertinya kadang koleksi itu seperti jodoh. Kadang karyanya datang ke kita atau akhirnya kita yang miliki padahal waktu pertama kita karya tersebut sepertinya tidak bisa dimiliki karena sudah direserve orang lain atau sudah laku. Tapi selang beberapa waktu tahu-tahu karya tersebut ditawarkan ke kita lagi dan akhirnya menjadi koleksi kita. Ada juga karya yang saya kepikiran terus sejak pertama kali melihatnya karena sangat suka tapi ragu-ragu untuk beli karena alasan tertentu. Beberapa bulan kemudian ternyata karya masih ada dan akhirnya saya tidak tahan juga untuk tidak membeli. Akhirnya saya pikir yang namanya mengoleksi itu adalah tentang kehidupan dan kepribadian kita dan kalau karya itu rasanya mencerminkan hal itu maka sayang kalau dilewatkan.

Mana yang Anda pilih, senirupa untuk diapresiasi atau senirupa sebagai investasi?
Sebagai apresiasi. Karena kalau sebagai investasi malah bikin saya stress, hahaha… Sebab, yang namanya investasi bisa saja rugi dan itu yang banyak orang lupa. Orang hanya berorientasi pada profit. Investasi saja tanpa diapresiasi tidak bisa dinikmati. Idealnya sih memang seni yang kita apresiasi juga meningkat nilai ekonomisnya.

Ketika membeli karya seni, apakah Anda meminta pendapat orang lain juga atau memutuskan sendiri?
Kadang meminta pendapat orang lain untuk assurance saja bahwa pilihan kita gak salah, bukan tanya untuk ambil keputusan. Pada akhirnya setelah mengolah pendapat orang lain dan diri sendiri saya ambil keputusan, beli atau tidak. Saya merasa saya harus punya pendirian juga. Tidak bisa hanya mendengarkan orang lain karena tiap orang punya selera, pengetahuan, dan pengalaman hidup berbeda.

Sebagai kolektor, adakah karya yang sampai sekarang ingin Anda miliki tapi belum tercapai?
Banyak. Sepertinya kolektor tidak pernah merasa cukup memiliki karya. Selalu ingin menambah terus, apalagi saat ini banyak sekali seniman baru dengan nuansa karya yang juga baru.

Siapa seniman favorit Anda? Kenapa?
Handiwirman Sahputra, karena karyanya amat progresif. Ay Tjoe Christine juga. Yunizar, Mantofani, Suwage, Stefan Buana juga saya suka. Karya Yuli Prayitno saya juga suka karena mengolah medium. Saya suka medium yang tidak melulu oil/acrylic on canvas. Bisa dua dimensi non acrylic on canvas atau tiga dimensi. Saya juga suka street art seperti Farhan Siki karena expressive dan spontan dalam merespon ruang atau benda.

Definisikan dalam tiga kata, kolektor seperti apa Anda…
Selektif, alternative minded, dan berharap nanti bisa bertambah dengan kritis dan berpengetahuan banyak. Kalau saat ini masih dalam perjalanan menuju definisi yang terakhir itu. (Indah S. Ariani), Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Foto: Dennie Ramon

LINGKARAN IMAJI SAM, NURULITA, & NICOLINE


Sederet rekan kerja dimiliki Sam Nugroho di agensi fotografi The Looop. Dua di antaranya bidadari yang punya kemampuan tinggi merangkai imaji.


The Looop adalah agen gaya hidup. Mereka membekukan imaji tentang keindahan dan kemewahan lewat bidikan sempurna. Sederet orang muda penuh semangat berdiri di belakangnya. Sam Nugroho, yang bersama Jen Halim menggagas agensi fotografi ini dibantu banyak associates –sebutan untuk para fotografer yang bergabung dengan The Looop- yang bersama-sama membangun citra tentang sebuah kemewahan. Jaringan yang tersebar di beberapa negara Asia, The Looop begitu terdengar gaungnya di kancah fotografi komersial. Puluhan perusahaan multinasional pernah merasakan tangan dingin meraka. Dari sekian banyak associates yang ada, terselip dua bidadari cantik yang bergabung pada kurun waktu berbeda. Nurulita Adriani Rahayu, dan Nicoline Patricia Malina. Dua perempuan yang bakat besarnya mengejutkan Sam.


Sejak kapan The Looop berdiri?
Sam Nugroho (SN): Sekitar delapan tahun yang lalu.

Sudah lama juga ya, bisa ceritakan perjalanan awalnya?
SN: Sebenarnya The Looop itu adalah soal memaksimalkan jejaring. Keinginan utama saya sebenarnya adalah mengembangkan jaringan di wilayah Asia. The Looop sendiri memang ada di beberapa Negara seperti Shanghai, Hongkong, Singapore dan Jakarta. Kami, saya dan Jen Halim memulai The Looop di Hongkong. Pertimbangan kami dulu adalah, kalau kami mulai di Indonesia, akan susah keluar karena Indonesia itu negara yang unik. Biar pun sama-sama di Asia, gaya hidup di Indonesia sangat berbeda dibandingkan negara lain, misalnya Cina, Jepang, bahkan Singapura yang terdekat. Makin ke utara, perbedaan itu makin kentara. Tapi pengembangan bisnis di sana menjadi penting karena mereka sudah menerapkan sistem global. Kalau kita mau menyasar pasar internasional, kita harus memulai di tempat yang sudah punya sistem berstandar itu bukan


Saat itu namanya sudah The Looop?
SN: Belum. Kami membawa nama masing-masing saja, dia Jen Halim Photography dan saya Sam Nugroho Photography. Setelah saya mulai punya associates seperti Anton dan Heret, saya merubah nama jadi Sam Nugroho and Associates. Karena saya piker, kalau lompat langsung ke The Looop akan susah. Kami baru membuat The Looop dua tahun setelah perubahan itu, sekitar tahun 2002. Jejaring adalah makna yang tersirat dalam tiga huruf O yang ada dalam nama The Looop, menggambarkan banyaknya kaitan, keterhubungan yang mencakup segalaha, tak hanya semata-mata fotografi, tapi juga manusia yang terlibat di dalamnya dan juga soal citra.

Sekarang ada berapa banyak associates yang dimiliki?
SN: Cukup banyak. Sekarang ini kami membagi associates dalam dua kategori, senior dan junior. Nurulita, Ully, dan Nicoline termasuk senior. Mereka ini bisa disebut sebagai brand-nya. Di Hongkong dan Shanghai, kami punya Jen Halim, we have Jen Halim, Marten von Rauschenberg, Anatol Kotte dari Germany dan beberapa yang lain. Ada juga yang junior seperti Glenn Prasetya dan ada yang masih benar-benar baru seperti Edwin, dan Andre Lee. Kami kini juga punya associates yang membuka kantor sendiri dan kami sebut sebagai The Looop Kemang yang ditangani oleh Iswanto yang berencana akan melebarkan sayap ke Vietnam.

Rekruitmen fotografernya gimana?
SN: Tidak mudah. Sebab ini menyangkut soal bagaimana perasaan setiap orang saat bekerjasama. Kalau cocok, silakan terus. Kami biasanya memberi waktu enam bulan percobaan. Tapi ada yang masa percobaannya lebih singkat dari ini, seperti Nurul dan Nicoline yang memang berbakat dan merasa sangat cocok dengan The Looop.

Anda sudah lama bergelut di bidang fotografi. Apakah Anda bisa dengan cepat mengidentifikasi orang yang berbakat dan punya taste bagus?
SN: Ada dua hal yang bisa dilihat ketika saya bertemu fotografer. Ada yang memang punya bakat besar hingga mereka bisa melaju dalam lompatan-lompatan besar, ada yang bakatnya tidak terlalu mengejutkan, tapi mereka gigih belajar dan konsisten, dan ini pun, mereka tetap bias maju karena kemauan mereka mengasah kemampuan. Bakat mengejutkan itu saya rasakan saat pertama melihat karya Nurul dan Nicoline. Nurul bilang saat itu, dia tidak punya kamera. Buat saya, itu sangat mengejutkan. Kalau tanpa kamera saja dia bias bikin portfolio begitu bagus, artinya, bakat besar itu memang miliknya. Begitu juga dengan Nicoline. Saya sama sekali tidak tertarik ketika seorang teman mengenalkan dia pada saya karena saya piker, teman saya membawa model. Saat itulah saya dihadapkan pada kebenaran pepatah Don’t judge a book by its cover. Karena begitu melihat portfolionya, saya menemukan sesuatu yang sangat menarik dan saya segera tahu Nicoline berbakat besar. Mereka berdua mungkin punya gaya foto berbeda, tapi keduanya akan sama ketika kita bicara bakat. Tapi tidak semua punya bakat alam yang begitu besar seperti mereka. Ada juga yang secara talenta tidak terlalu mengejutkan tapi karena ketekunan dan disiplin kerja yang baik, mereka bias juga membuat karya yang bagus. Bagi saya, saat bekerja yang penting itu hati, persistensi, komitmen dan hasrat.

Kenapa hati menjadi penting?
SN: Tanpa hati, orang tidak akan mau berjuang untuk apa yang diakerjakan. Banyak kan orang yang berpikir bisnis saja ketika bekerja? Padahal, saat bekerja banyak masalah, banyak kesakitan, dan kekecewaan yang kalau dihadapi tanpa hati, tentu tidak akan bisa dilampaui. Menurut saya, fotografi itu bisnis yang berat karena ini menyangkut rasa. Kalau tidak siap menghadapi kekecewaan, Anda bisa hancur. Sangat bias terjadi misalnya, tahun ini kondisi Anda sangat baik, dan tahun berikutnya Anda bukan siapa-siapa. Jadi memang ini semua menyangkut bagaimana kita bisa bekerjasama.

Pola kerja sama yang diharapkan bagaimana?
SN: Tiap orang berbeda-beda melakukan apa yang mereka kerjakan. Apalagi dalam bisnis ini, mereka ahlinya, mereka senimannya. Jadi memang rasa nyaman dengan pekerjaan harus ditumbuhkan, karena masing-masing orang punya kepribadian yang berbeda.

Nah, kalau dua bidadari ini, bagaimana awalnya bergabung dengan The Looop?
Nicoline Patricia Malina (NPM): Seperti yang diceritakan Sam. Saya bergabung di sini karena seorang teman mengenalkan, sebab saat itu saya masih tinggal di Belanda dan baru belajar fotografi. Sebenarnya awalnya saya hanya ingin minta masukan dari fotografer senior. Lalu dia bilang bagus dan menawarkan saya untuk bergabung. Saat itu saya belum bias menjawab karena saya masih di Belanda. Kembali ke Indonesia karena liburan saja. Tapi selama sebulan itu saya mulai mencari tahu tentang kantor ini, karena saat itu saya benar-benar orang asing yang tidak kenal siapa-siapa. Tapi saya sangat menghargai dukungan mereka yang demikian besar. Saya diberi kebebasan membuat portfolio di sini. Sam itu baik dan supportif. Saya piker, tidak ada salahnya bergabung. Tapi saat itu saya masih harus kembali ke Belanda selama setengah tahun untuk menyelesaikan urusan di sana. Begitu kembali kesini saya langsung menjadi associate di sini.

Nurulita Adriani Rahayu(NAR) : Sebelum di sini, saya sempat di media selama satu setengah tahun. Lalu saya dengar di sini mencari associate dan saya tanay, apa saya bias melamar ke The Looop. Tapi orang sini bilang, kami tidak menerima lamaran, tapi kami merekrut, jadi orang tidak bias melamar, melainkan dipilih. Tapi pihak The Looop menawari saya untuk meninggalkan portfolio saya untuk dipelajari. Saya santai saja menitipkannya. Beberapa hari kemudian, Sam menelepon saya menawari untuk bergabung dan saya memutuskan untuk bergabung

Apa perbedaan yang dirasakan antara The Looop dan tempat lainnya?
NAR: Kalau saya, yang jelas terasa itu adalah soal jam kerja. Kalau di majalah itu jam kerjanya baku, di sini saya hanya dating kalau sedang ada jadwal pemotretan saja. Hanya yang sempat membuat saya kaget adalah karena saya sama sekali tidak punya pengetahuan tentang sitstem kerja agensi fotografi. Jadi saya harus belajar lagi dari nol soal hal yang harus diurusi dari hulu ke hilir sebuah agensi foto.

Apa Sam ikut memberi arahan?
NPM: Iya, kalau dia sedang ada di sini. Sayangnya Sam itu kan sangat sibuk dan sesekali saja ada di kantor.
NAR: Iya, kalau ada di sini, Mas Sam pasti jadi teman diskusi yang asyik. Tapi di The Looop juga ada Account Executive yang akan mengarahkan kita bagaimana dealing dengan klien, gimana kalau mendapat layout yang rumit, jadi kendala yang ada tidak terlalu memusingkan.

Bagaimana pendapat Anda berdua tentang Sam?
NAR: Perfeksionis dan sangat idealis. Tapi yang paling saya kagumi dari Sam Nugroho adalah sistem pencahayaannya yang menurut saya tidak ada duanya. Saya bicara begini bukan karena saya ada di The Looop. Saya berani bilang begini setelah mengamati pencahayaan hampir semua fotografer komersial senior di sini (Jakarta). Bahkan, mungkin kalau dibandingkan dengan fotografer komersial Asia pun, Sam masih bisa diadu sistem pencahayaannya. Dia bisa melukis cahaya. Kalau sebuah objek difoto seorang fotografer lain, dengan lampu yang sama hasilnya tetap akan berbeda ketika difoto oleh Mas Sam. Itu yang banyak saya pelajari ketika ‘menonton’ Mas Sam memotret.

Yang paling berkesan dari kerja di The Looop?
NAR: Dukungan yang saya dapat di sini. Sejak lama saya memang ingin sekali terjun ke fotografi komersial. Ilmu saya tentang pencahayaan, tentang bagaimana dealing dengan klien meningkat pesat selama saya di sini karena dukungan Sam dan tim The Looop. Kalau saya jalan sendiri, mungkin proses yang sala lewati tidak berjalan secepat sekarang. The Looop bias dibilang katalisator saya menjadi fotografer komersial.
NPM: Setuju sama Mbak Nurul. Tapi kalau secara personal, yang berkesan buat saya adalah ketika Sam pameran foto fashion 1939 di Senayan City beberapa bulan lalu. Di sana dia kolaborasi sama saya. Buat saya ini sebuah penghargaan, sebab sepanjang pengetahuan saya dan teman-teman di sini, saya dan dia itu sangat bertolak belakang. Kalau Sam perfeksionis, maka saya kebalikannya, sangat tidak perfeksionis. Mungkin itu yang ingin dipertemukan, dia biasa sees beauty in perfection, sementara saya terbiasa sees beauty in imperfection.

Chemistry Anda berdua dengan Sam dan teman-teman lainnya?
NPM: Saya sih sayang sama dia (sambil menunjuk Nurul), dia aja yang sering nolak saya, hahaha… Tapi teman-teman The Looop itu asyik semua. Terutama dengan Glenn yang sudah saya kenal sejak kami masih di Surabaya.
NAR: Kalau sama Mas Sam, mungkin karena jarang ketemu, jadi chemistrynya tidak sekuat dengan teman-teman lain. Kalau dengan teman lain seperti Ully, karena frekuensi bertemunya lebih banyak, jadi kami lebih dekat. Kalau mau bergosip, saya datang ke Nicoline. Semua pada dasarnya okey, Cuma ya itu, susah ketemunya. Kita mau rapat lengkap saja susahnya minta ampun. Tapi kalau sudah ketemu sih asyik banget.

Sebagai Sebagai dua perempuan di antara sekian banyak lelaki, apakah ada perlakuan khusus yang diberikan, lebih dimanja misalnya?
NAR: Nggak ada sama sekali. Kami mungkin malah sering dianggap lelaki juga, hahaha… Eh, tapi kalau Nicoline masih dianggap perempuan ya, hahaha…
NPM: Itu karena saya pakai high heels. Tapi ada loh, perlakuan khusus, barang bawaan kita sering dibawakan, hahaha… (Cetusan NIcoline segera disambut Nurul dengan anggukan kepala bercampur tawa). (Indah Ariani), Fotografer: Glenn Prasetya