Kamis, 14 Oktober 2010

SEPERCIK MIMPI BUDI & PEGGY


Sebuah keputusan kecil, mengubah jalan hidup pasangan ini. Mereka tak pernah bermimpi jadi pahlawan.

26 Oktober 2007. Sebuah batu besar melayang lewat jendela terbuka ke dalam mobil pick up yang ditumpangi Peggy Soehardi. Malam itu, mantan pramugari yang kini mendedikasikan diri menjadi ibu rumah tangga dan total menjadi pekerja kemanusiaan ini tertidur di mobil setelah lelah membangun pagar di sekeliling lahan sawah milik Roslin Orphanage, panti asuhan yang ia dirikan bersama Budi Soehardi suaminya, seorang pilot Singapore Airlines. Peggy terlalu pulas untuk menghindar, bahkan ketika batu yang dilemparkan seseorang yang terlibat dalam tawuran antar warga itu mendarat tepat di wajah dan mematahkan hidungnya. Ia tak sadar apa yang terjadi hingga matanya tertumbuk pada cairan merah yang tumpah ke baju jingga yang dikenakannya. Hidung Peggy telanjur hancur terhantam batu. Budi Soehardi yang saat itu tengah bertugas di Los Angeles segera terbang ke Kupang. Peggy dilarikan ke Singapura, menjalani perawatan intensif. Beberapa waktu sebelum wawancara dengan dewi terjadi, Peggy baru saja menjalani operasi hidung setelah hampir tiga tahun proses penyembuhan berlangsung. “Ini hidung palsu,” katanya ringan sambil tertawa.

“Saya sedih, marah, kecewa, dan sangat ingin menutup panti. Saya tidak bisa terima. Kenapa Peggy sampai harus celaka?” kenang Budi yang telah lama menetap di Singapura dan kini dipercaya menjadi Presiden Rotary Club di negeri jiran tersebut. ”Tapi saya sudah telanjur jatuh cinta pada anak-anak itu. Jangankan menutup, mempercayakan panti ini pada orang lain saja saya keberatan. Akhirnya kami sepakat untuk meneruskan ini,” tambah Peggy. Tak disangka, keteguhan itu diganjar dengan sebuah penghargaan bergengsi. “Budi terpilih sebagai peraih CNN Hero tahun 2008. Sesuatu yang sama sekali tak pernah kami bayangkan, karena kerja ini kami lakukan semata-mata karena panggilan hati, bukan ingin dapat penghargaan,” kisah Peggy. Boleh jadi itu, seperti yang diyakini Budi dan Peggy, adalah penghiburan Tuhan buat mereka. Tapi semua berawal dari perjuangan panjang mereka bagi cinta kasih dan kemanusiaan. Mengikuti ketergarakan hati, Budi, Peggy dan tiga anak mereka -Christine, Tasha, Christian yang kala itu tengah berangkat remaja- memutuskan mengubah rencana perjalanan mereka berlibur keliling dunia untuk pergi ke Kupang, di mana para pengungsi konflik Timor Timur menyelamatkan diri. Keputusan yang diambil pertengahan tahun 1999, lantas memang tak hanya mengubah rencana liburan, tapi juga jalan dan pilihan hidup mereka.

Bagaimana awal berdirinya Panti Roslin?
Budi Soehardi(BS): Kami tidak pernah berpikir akan punya panti asuhan. Suatu malam pada 1999, saat akan makan bersama sambil membicarakan rencana liburan keluarga keliling dunia, kami melihat sebuah siaran berita yang menayangkan kondisi para pengungsi Timor Timur di Kupang. Kami sangat prihatin melihat itu dan muncul ide untuk mengalihkan rencana liburan keliling dunia itu untuk datang ke Kupang membantu para pengungsi.
`
Apakah ide itu segera disambut istri dan anak-anak?
BS: Justru istri dan anak-anak yang mengusulkannya. Mereka ingin membantu. Jadi dana yang sedianya untuk jalan-jalan, kami belikan bantuan untuk para pengungsi di sana. Mereka berpikir, kelilng dunia masih bisa dilakukan kapan-kapan. Para pengungsi itu berhadapan dengan hidup dan mati. Mereka harus segera dibantu.
Peggy Soehardi (PS): Anak-anak senang sekali keputusan ini. Sejak kecil, mereka tidak pernah menetap di Indonesia. Jadi mereka tertarik sekali pada segala hal yang berhubungan dengan tanah airnya. Mereka juga prihatin melihat kondisi para pengungsi. Anak-anak tidak menyangka ada orang yang sampai kesulitan mendapat makanan sementara mereka bisa makan apa saja yang mereka suka kapan pun.

Bagaimana keterlibatan anak-anak di Panti Roslin?
BS: Delapan tahun terakhir ini, setiap libur sekolah mereka selalu menghabiskan waktu di Kupang, membantu ibunya mengurusi panti. Anak saya yang pertama dan kedua sekarang berkuliah di Australia dan Kanada, yang bungsu sudah sekolah menengah, tinggal bersama saya di Singapura, sementara mamanya ringgal di Kupang dan sesekali datang ke Singapura. Saya sendiri, segera pulang ke Kupang .
PS: Anak-anak punya macam-macam di sana. Punya anak asuh sendiri, celana pendek untuk ke pantai, dan waktu yang menyenangkan. Mereka bisa mengajak anak-anak panti bermain di pantai seharian tanpa ada yang menyuruh mereka segera pulang. Anak-anak panti juga selalu menunggu kedatangan anak-anak kami. Mereka menunggu Christine Tasha dan Christian, seperti menunggu kedatangan kakaknya.

Anda berdua orang asing di Kupang. Bagaimana Anda memulai langkah di sana?
BS: Pada saat kami datang ke sana tahun 1999, kami benar-benar sendiri dan harus bertanya ke sana kemari. Kami menginap di hotel saat itu. Ketika pertama kali kami punya anak asuh, kami belum punya panti. Kami lalu mengontrak sebuah rumah.

Lalu sejak kapan Panti Roslin punya gedung sendiri?
PS:
Sejak 2001. Saat masuk ke sana, rumah itu masih berlantai tanah dan hanya punya satu kamar. Pertimbangan saya saat itu hanya supaya uang sewa rumah bisa dialokasikan untuk pembangunan rumah. Daripada uangnya habis untuk mengontrak rumah, lebih baik saya pindah ke sana, apa pun kondisinya. Saat itu kami hidup benar-benar dalam kondisi yang tidak enak. Ada delapan anak yang beberapa di antaranya bayi saat itu. Saya tinggal di Kupang terus karena kalau tidak, bahan bangunan kami akan dicuri. Saya sampai tidak boleh masuk Singapura karena saya terjangkit malaria. Saya bahkan sempat di karantina di rumah sakit karantina yang biasa disebut Kandang kerbau. Di situ orang-orang yang terjangkit malaria, AIDS, dan berbagai penyakit menular dikarantina.

Pernah merasa frustrasi ketika membangun ini?
PS: Sering. Tapi saya tidak bisa menyalahkan mereka yang tidak pernah tahu bahwa ada cara untuk memperbaiki hidup mereka. Kalau sudah merasa frustrasi begitu, saya bekerja, menyibukkan diri, bikin ini itu dan tahu-tahu hari sudah malam, dan saya sudah terlalu lelah untuk merasa frustrasi.
BS: Dalam keadaan seperti itu, Peggy biasanya menelepon saya dan kami bicara lama sekali untuk saling menguatkan.

Bagaimana Anda berdua bisa begitu yakin?
BS: Tuhan memberi kami banyak sekali berkah. Di lahan sawah kami yang awalnya kering kerontang, Tuhan memberi mata air di sawah kami yang berjarak sekitar 40 kilometer dari panti. Lahan itu awalnya gersang, kering kerontang. Lahan seluas 10 hektar itu dijual pun karena tidak bisa lagi ditanami apa pun. Kami nekat membeli karena harganya sangat murah. Kami lalu coba membuat pompa, mencari air agar tanah gersang itu jadi lahan subur yang ditumbuhi pohon-pohon hijau. Kami berdua mencoba mencari tempat yang mungkin ada airnya. Enam titik kami tetapkan sebagai alternatif. Kami tidak memakai alat berteknologi tinggi, dan pencarian itu pun kami lakukan sendiri. Orang-orang mentertawakan kami. Tuhan ternyata ingin kami menyaksikan kekuasanNya. Bukannya sumur yang Dia berikan pada kami, tapi air mancur yang terus memancarkan air hingga sekarang. Kami sama sekali tidak membutuhkan pompa dan genset itu. Dari lahan tandus, tanah itu berubah jadi sawah yang bisa kami tanami sepanjang tahun dan memberi kami panen berlimpah. Sejak April 2008, kami swa sembada beras. Jadi apa yang kami rencanakan, selalu diberi hasil yang lebih baik oleh Tuhan.
PS: Kami memang harus punya sawah, karena kalau kami membeli beras, jelas kami tidak akan mampu mencukupi kebutuhan yang demikian besar. Sehari, kami harus memasak 45 kilogram beras untuk semua penghuni.

Berapa persen uang keluarga yang dialokasikan untuk panti?
PS: Kalau ditanya prosentasenya agak susah, karena kebutuhan setiap bulan berbeda-beda. Kami tidak punya simpanan. Untungnya, di Jakarta kami punya beberapa rumah kos yang disewakan. Ada asset yang menghasilkan yang bisa menunjang keuangan kami. Makanya di sana, saya juga membangun hotel kecil untuk mereka yang bertandang ke tempat kami. Saya sendiri tidak pernah takut saya tidak punya apa-apa.

Dibiayai oleh siapa operasional Panti Roslin?
PS:
Enam tahun pertama kami membiayai sendiri biaya operasional. Karena kami tidak bisa mengajak orang sebelum kami menunjukkan kerja nyata kami. Setelah panti ada, berjalan dan ada hasilnya, orang mulai membantu. Setelah Budi masuk dalam CNN Hero, perhatian masyarakat makin besar.

Berapa banyak lembaga yang mensupport Panti Roslin sekarang?
PS:
Tidak ada lembaga yang secara tetap mensupport kami. Kadang-kadang saja ada yang memberi sumbangan. Tapi selama ini kami tidak pernah kekurangan. Tidak pernah kami kekurangan makanan. Malah berkelimpahan. Kami sendiri tidak tahu itu semua datang dari mana, karena kalau dihitung secara matematis, uang kami tidak akan cukup membiayai seluruh operasional panti. Di situlah kami percaya, kalau sungguh-sungguh memperjuangkan niat, semua yang datang akan lebih dari apa yang kami niatkan.
BS: Harusnya istri saya yang dapat semua penghargaan karena dia yang memperjuangkan mimpi ini hingga dapat terjadi.
PS: Ah, ini kan kerja kita berdua. Kalau saya sendiri tidak mungkin, dan kalau Budi sendiri tidak mungkin. Kami harus melakukan ini berdua. Dia yang bekerja dan mencari sesuatu untuk keluarga besar kami ini. Saya yang menjaga dan merawat semua yang dia cari. Saya harus turun untuk berbuat sesuatu. Kami berterima kasih pada Tuhan karena hidup kami selalu diberkati, dipenuhi apa yang kami mau, dan selalu diberi keselamatan. Suami saya itu kan bekerja di dalam ‘tanganNya’ terus. Kalau belum dengar kabar Budi landing dengan selamat, saya belum bisa tenang. Dia tiangnya, kalau tidak ada dia, ke mana kami akan bergantung?

Jadi, siapa mendukung siapa sebenarnya?
BS
: Saya mendukung dia.
PS: Ah, nggak juga. Dia orang yang hidupnya tidak pernah diberikan untuk dirinya sendiri. Apa yang dia dapat, selalu diberikan untuk orang lain yang dia cintai. Anak, istri, dan anak-anak panti.

Apa pengalaman yang paling menggugah hati?
PS
: Menjadi ibu baptis buat 20 anak dalam sebuah acara yang sama. Kalau ibu-ibu lain hanya berdiri dengan seorang anak, saya harus berdiri di depan altar dua puluh kali dengan anak yang berbeda, berjanji di depan Tuhan untuk menjaga anak-anak yang tidak lahir dari rahim saya. Satu gereja menangis menyaksikan pembaptisan itu.

Apa yang dulu membuat Anda berdua saling tertarik?
BS
: Dia mandiri sekali. Apa yang tidak bisa dia lakukan? Di panti, semua bangunan dia yang gambar, dia hitung bahan bangungan. Mau masak? Apa saja yang dimasak Peggy pasti enak. Dia membereskan rumah hingga sangat bersih. Mengurus anak, tidak perlu ditanya. Peggy bahkan mengemudikan sendiri mobil perpustakaan Panti Roslin dan membawanya ke kampung-kampung agar anak kampung bisa menbaca. Ketika sekarang saya hidup sendiri di Singapura, saya makin yakin Peggy sangat berharga bagi saya.
PS: Kadang-kadang kita memang membutuhkan waktu sendiri untuk menghargai apa yang tidak kita rasakan ketika banyak orang di sekeliling kita. Bayangkan saja, keluarga kami terpencar di banyak tempat. Budi dan Christian di Singapura, saya di Kupang, Christine dan Tasha di Australia dan Kanada. Saya sendiri tidak pernah membayangkan kami akan hidup seperti sekarang. Tapi saya yakin, ini pilihan yang baik bagi kami semua. Saya hanya ingin anak-anak kami dan anak-anak panti akan jadi anak-anak berhasil suatu hari nanti. (Indah S. Ariani), Fotografer: Jennifer Antoinette, Pengarah gaya: Karin Wijaya, Busana Peggy: CK Calvin Klein