Senin, 08 Juni 2009

DUNIA NADA DEWI DAN PETER





Lewat musik dan tangan dinginnya, mereka berdua berhasil ‘membawa dunia’ ke Indonesia.

Pada paruh akhir 2004, di tengah kesenyapan festival musik jazz tanah air, setelah vakumnya Jak Jazz yang cukup fenomenal pada dekade ‘90an, pecinta jazz Jakarta dikejutkan sebuah kabar tentang akan digelarnya Jakarta International Java Jazz Festival. Dengan slogan bringing the world to Indonesia, banyak orang yang memandang festival tersebut terlalu ambisius. Namun itu tak mengurangi antusiasme warga Jakarta menanti nama-nama besar seperti James Brown, Laura Fygi dan Incognito yang direncanakan datang ke festival itu. Sepanjang ‘penantian’ menuju Maret itu, aura jazz seakan membalut Jakarta. Radio-radio dan media cetak seperti menjadikan ajang yang lebih kerap disebut dengan nama Java Jazz ini sebagai tema seksi yang selalu menarik dibicarakan. Berbagai kuis berhadiah tiket masuk Java Jazz digelar beberapa radio dan selalu kebanjiran peserta. Semua dibuat penasaran oleh Java Jazz. Itu baru di udara. Di kantor Java Festival Production(JFP) di bilangan Permata Hijau, kesibukan tak henti berputar mempersiapkan hajatan besar yang debutnya digelar pada 2005. Belum lagi, sebulan terakhir sebelum hari H, setiap puluhan wartawan seliweran keluar masuk ruang media relation untuk mengurus kartu identitas mereka. Entah untuk difoto atau mengambil id card yang sudah jadi.

Memasuki awal 2005, debaran jantung para pecinta jazz berdetak makin kencang seiring semburan musik jazz yang terus saja mewarnai langit Jakarta. Dan degupan yang dipendam berbulan-bulan itu seakan tumpah di jantung Jakarta, tepatnya di Jakarta Convention Center(JCC) pada awal Maret 2005. Buncahan gembira itu bersambut gempita musik yang memancar dari berbagai ruang di seluruh JCC. Nyaris tak ada ruang yang sepi pengunjung. Dari konser besar James Brown, hingga klinik musik tak pernah ditampik pecinta jazz yang rela berlari-lari dari saru ruang ke ruang lainnya. Ratusan lainnya duduk menggeletak di tepi-tepi ruangan, melepas lelah, meluruskan kaki sambil berceloteh girang tentang apa yang barusan mereka lihat bersama teman-temannya. Pemandangan unik yang lantas jadi generik terjadi pada setiap Java Jazz yang terus saja meningkat pengunjungnya hingga tahun kelima digelar. Festival jazz yang dengan jujur diakui mengambil konsep North Sea Jazz Festival yang sangat terkenal itu, menangguk sukses bahkan melebihi acuannya.

Tahun 2009 ini, tak kurang dari 80 ribu orang memenuhi JCC untuk menyaksikan Java Jazz. Semua pengunjung seperti datang ke rumah sendiri dan sudah tahu aturan mainnya. Mereka mengantre berjam-jam untuk menonton artis idola mereka seperti Jason Mraz atau Bryan Mc Knight. Mereka membuang sampah di tong-tong sampah atau plastic-plastik besar yang disediakan di hamper setiap sudut ruangan. Yang paling mengharukan adalah, ketika sebuah konser akan dimulai, seisi ruangan dengan lantang menyanyikan Indonesia Raya yang membuat bulu kuduk akan meremang. Kendati mungkin terlihat kecil, hal-hal detail ini sanggup membuat kebanggaan sebagai Bangsa Indonesia muncul. “Kami memang ini menunjukkan pada dunia, bahwa Indonesia bangsa berbudaya yang bisa punya festival kelas dunia,” kata Peter F. Gontha yang bersama putrid tercintanya berhasil mengukuhkan Java Jazz sebagai sebuah festival penting di percaturan musik jazz dunia. Tapi bukan kberarti segalanya mudah bagi mereka. Ada banyak cerita tersimpan di balik sukses festival yang tahun 2010 mendatang akan menempati ‘rumah’ baru di area Jakarta Fair di Kemayoran. Tak ada kata coba-coba dalam kamus mereka karena apa yang dilakukan pasti sudah melalui pertimbangan dan perdebatan panjang yang kadang-kadang berujung ‘perseteruan’ antara Peter dan Dewi. Namun meski mereka berdua kerap lelah dan berpikir untuk menyudahi kerja mereka, keduanya toh sepakat kalau Java Jazz tak boleh mati. Namun mereka menolak disebut sebagai spesialis jazz. “Karena kami membuat festival musik lain juga.

Kelihatannya Java Jazz sekarang ini bukan lagi sekadar ajang musik, tapi sudah melebar menjadi sebuah ajang gaya hidup. Banyak hal yang biasanya seperti tidak bisa diterapkan nyatanya bisa diterapkan dengan baik pada JJF, misalnya soal kebersihan, soal budaya mengantri dan itu sebuah fenomena yang menarik. Bagaimana pendapat Anda tentang ini?

Peter F. Gontha(PFG): Gini, sebetulnya, kami sedang mendidik orang untuk menghargai industri kreatif. Kalau di dunia, entertainment industry itu industri yang paling besar, lebih besar dari pada industri otomotif atau yang lainnya. Di Amerika, pendapatan yang diperoleh dari industri kreatif ini paling besar nilainya. Ini termasuk dari televise, film, radio, talkshow, musik, drama dan sebagainya. Di Indonesia juga sebenarnya demikian. Hanya saja belum disadari. Bayangkan saja, dari ring back tone (RBT) volume pemakaiannya sedemikian besar di Indonesia dan revenue yang dibuat dari sana sedemikian besar. Tapi ini kan ada beberapa kendala. Kalau kita lihat penonton sebuah konser musik rock, itu yang datang rocker semua dan rocker itu punya tendensi konsernya akan terkesan ugal-ugalan. Padahal tidak. Ini kami buktikan ketika kemarin kami menghadirkan Slank di arena JJF. Nyatanya banyak orang yang suka musik rock juga. Cuma karena kesannya urakan, orang yang senang rock jadi tidak datang. Ketika kemarin konsernya digelar di ajang yang teratur, mereka datang dan meski pun dalam pertunjukan Kaka buka baju, tapi mereka menerima itu sebagai part of a concept. Sampai kemarin para personil Slank sendiri cukup kaget ketika menyadari penonton mereka kebanyakan perempuan. Mereka berkomentar lucu,” Kalau polisi punya polwan, ternyata kami punya Slank-wan. Perempuan penggemar Slank.” Ini kan sebuah bukti kalau musik itu punya kemampuan menembus batas apapun. Memang JJF ini jadi satu fenomena tersendiri. Tapi jangan salah, tiap kali kita bikin usaha, ada hal menarik yang saya amati, yang terjadi dengan pers. Pers punya tendensi untuk ‘memusuhi’ pengusaha yang membuat sesuatu dan memberi penilaian ‘miring’ pada apa yang dilakukan oleh pengusaha. Tapi itu tidak terjadi dengan JJF. Ini seperti anomaly. Mungkin karena musik entertaining, menyenangkan orang, jadi tanggapannya juga selalu positif. Wartawan ini contoh ekstremnya. Saya piir, hal yang sama juga terjadi pada lingkup masyarakat yang lebih luas. Melalui musik mereka jadi senang, sehingga, ini jadi sesuatu yang ditunggu. Dari pengamatan kami, begitu sudah Senin sebelum festival, itu sudah terasa hype jazz-nya. Semua terasa bersemangat dan ketika Senin setelah JJF terasa juga keengganan mereka meninggalkan JJF. Itu fenomena aneh menurut saya. Kalau kami sendiri, setelah ini selesai, kami plong.

Dewi Gontha – Sulisto(DGS): Tapi juga ada perasaan kosong setelah hari-hari padat menjelang Java Jazz.

Bisa dibilang Java Jazz ini adalah ‘bayi’ yang Anda berdua lahirkan dan asuh. Pasti ada pasang surutnya. Bisa diceritakan?

(Sebelum Dewi menjawab, Peter menyambar cepat, “ Ada yang harus diluruskan dulu. Java Jazz ini lahirnya memang dari saya. Tapi setelah itu bayinya ditinggal. Dewi yang mengasuh dan membesarkannya jadi seperti sekarang, hahaha...”)

DGS: Wah, Papa bisa saja. Sebenarnya sih kalau ditarik ke awal berdirinya Java Jazz ini, yang paling banyak membantu itu media. Karena dari tahun pertama, media memberi kontribusi besar pada JJF. Media cetak dan radio biasanya bahkan sudah memberitakan JJF sejak Desember tahun sebelumnya. Belum lagi beberapa grup media besar yang secara konsisten mendukung baik sebagai sponsor maupun media partner. Dengan pemberitaan yang demikian intensif dan luas, jelas tingkat keterdengaran tentang JJF jadi tinggi juga. Begitu juga dari sponsor. Awalnya sponsor bertanya-tanya apa yang kami jual? Lalu satu sponsor masuk dan akhirnya sponsor-sponsor lain ikut masuk. Pendekatannya memang dari Pak Peter karena saat itu kami belum punya akses ke perusahaan-perusahaan tersebut. Tapi pemilihan media juga membantu kami menentukan market yang hip dan kalau dilihat sekarang, akhirnya, media cetaknya juga memang yang dekat ke lifestyle, terutama untuk majalah. Kalau untuk surat kabar sifatnya lebih umum yang bisa menjangkau berbagai lapisan sosial dan umur. Cuma dari situ ternyata pasar terbentuk dengan sendirinya. Yang paling menentukan sebenarnya adalah pemilihan artis. Siapa saja artis yang akan tampil di pertunjukan, akan menentukan siapa saja yang datang, perempuan atau lelaki, umur berapa, itu akan terpengaruh dari artis yang datang.

PFG: Mungkin ini satu hal yang harus diceritakan, dan saya minta ini ditulis. Salah satu orang yang ikut melahirkan dan mensukseskan Java Jazz itu Angki Kamaro. Tanpa Angki Kamaro yang saat itu jadi Direktur Utama Sampoerna, nggak akan ada Java Jazz ini. Saat itu saya mengejarnya sampai ke Los Angeles, saya tunggui dia di hotel untuk menjelaskan tentang konsep acara ini. Angki langsung melihat keunikan acara ini dan langsung setuju bahwa acara ini harus terjadi. Dia, dengan A Mild memutuskan untuk menjadi sponsor pertama. Maka saya berpikir akan membuat Angki Kamaro Award di Java Jazz, karena tanpa dia tidak akan ada event ini.

Apa ini ‘bocoran’ apa yang akan terjadi di Java Jazz tahun depan?

DSG: Hahaha, mungkin. Karena biasanya, kalau sudah tercetus begini, tinggal dieksekusi saja.

PFG: Ya, boleh ditulis soal ini. Karena saya pikir, The Angki Kamaro Award ini akan jadi sebuah jadi penghargaan kami buat Angki Kamaro.

Untuk pemilihan artis penampil, porsi pengambilan keputusannya bagaimana? Di mana biasanya kompromi dilakukan?

DGS: We don’t compromised. Hahaha… Tapi sebenarnya begini, Papa membuat semua menjadi balance. Beliau yang menjaga keseimbangan sehingga apa yang disebut jazz oleh orang-orang, akan tetap pada tempatnya. Kalau saya mungkin lebih larinya ke acid jazz dan pop. Biasanya kami yang muda-muda mengusulkan beberapa nama yang memang menurut kami sedang hip, seperti misalnya Baby Face atau Jason Mraz.

PFG: Saya belum pernah dengar Jason Mraz dan saya Tanya pada mereka, siapa yang kalian datangkan ini? That’s what happened.

Artinya tingkat kepercayaan harus tinggi dalam pengajuan usulan nama ini ya? Bahwa nama-nama yang diajukan sudah sesuai dengan segmen Java Jazz dan akan bisa menyasar pasar dengan tajam, ya?

DGS: Iya. Tahun pertama, saya dan teman-teman tidak ikut campur . Hanya Papa dan bagian programming yang mengatur siapa saja artis yang akan tampil. Dari situ kami melakukan evaluasi sehingga tahun kedua, kami sudah tahu formatnya akan seperti apa. Kami menyarankan siapa yang harus tampil di tahun kedua, lalu Papa dan bagian programming menentukan mana yang akan diambil dan mana yang harus diganti. Makin ke sini, kami makin berani memberi usulan nama-nama baru.

PFG: Seperti sekarang, saya sudah mulai memutuskan untuk tahun 2010. Tahun 2010, umpamanya kalau kita lihat ini (Peter menunjukkan laptop Apple-nya yang tengah menayangkan deretan nama artis yang akan tampil tahun depan sementara Dewi berkomentar, “Waduh… di-release duluan nih, hahaha…”) kita sudah ada Arturo Ferrel, ada Four Brothers, Harry Allan, kemudian ada Sierra Walton, Hendrick Warkins dan untuk tahun depan, headliners kita ini, ada Santana, Baby King, Winton Merzalaes dan sebagainya. Ini email dari road manager-nya Santana, Chris Dalton (Peter kembali menunjukkan layer laptopnya). Saya akan ketemu dia minggu depan, kebetulan saya akan ke LA. Dia mau ketemu saya minggu besok. It takes a whole process untuk mendatangkan orang-orang seperti Santana. Sebab Santana harus ditarik kemari bukan hanya dengan uang. Santana nggak mau datang ke Indonesia karena dia tahu Indonesia tukang babat hutan sementara dia seorang environmentalist. That’s why the motto for next year will be Green and Clean.

Jadi memang harus ada isu-isu yang dimunculkan untuk memberi benang merah dalam setiap festival ya?

DGS: Iya. Tahun ini kami mengusung tema Festival for All. Tahun depan Green and Clean. Tapi sebenarnya, sudah dua tahun terakhir ini kami bekerja sama dengan LSM lingkungan hidup juga untuk recycling project. Kami bekerjasama dengan WWF dan beberapa lembaga lain. Makanya sejak 2008, di sudut-sudut tertentu kami memasang video tentang lingkungan hidup.

Efektifkah memasukkan isu-isu sosial seperti itu dalam sebuah festival gaya hidup seperti Java Jazz?

DGS: Efektif atau tidak, kami tidak tahu. Karena bukti apakah mereka menyerap dan melakukan pesan yang disampaikan di sini atau tidak akan terjadi di luar sana. Tapi paling tidak, pesannya itu sampai ke mereka. Kalau kami memberi flyer belum tentu mereka baca. Kalau ini, sebelum show, kami memutar videonya dan mereka akan melihat dengan harapan, awareness mereka tumbuh. Kami hanya bisa melakukan sampai di titik menyampaikan pesannya. Apakah mereka melakukan atau tidak, itu akan tergantung manusianya masing-masing.

Bicara soal ideal, apakah Java Jazz ini sudah memenuhi kriteria ideal Anda berdua untuk sebuah festival?

DSG: For me its never enough. Pasti selalu ada yang bisa diperbaiki. Pasti akan selalu ada perbandingan dengan tempat lainnya. Kalau tempat lain bisa membuat itu, kenapa kami tidak? Jadi biasanya kami juga melakukan studi banding dengan festival-festival sejenis di tempat lain. Biasanya Pak Peter yang sering keliling-keliling dan kalau kembali biasanya selalu dengan ide baru. Contohnya seperti kemarin, beliau ingin pakai e-ticket, tiba-tiba semuanya harus online. Memang inovasinya sering dalam hal-hal kecil yang mungkin tidak diperhatikan orang. Tapi pengerjaannya tetap memakan waktu. Bikin ID seperti apa, flownya seperti apa, itu biasanya kami belajar dari melihat di tempat lain lalu coba diaplikasikan dan digabungkan dengan yang sudah berjalan. It’s good enough for now tapi pasti bisa lebih baik. Kalau nggak, jadi nggak kreatif.

PFG: Dan kami selalu ingin menonjolkan musisi Indonesia. Artis-artis Indonesia sering salah memahami kami. Kebanyakan mereka punya perasaan kalau kami menganaktirikan mereka. Itu sama sekali tidak benar. Contohnya saja, kemarin kami membuat konser Dwiki Dharmawan dan Saung Angklung Udjo. Itu buat membuka mata orang asing kalau Indonesia juga punya talent yang luar biasa. Ada hal yang sangat membanggakan saya di Java Jazz kemarin ketika sedang ada musisi asing yang terkenal main, penonton justru membludak di tempat Kla Project. Itu kan bukti bahwa musik negeri sendiri tetap jadi tuan rumah. Saya benar-benar bangga melihat itu. Yang juga tidak banyak diketahui orang adalah bahwa kami juga memproduksi banyak sekali DVD Java Jazz yang kami pasarkan di seluruh dunia dan sekarang DVD itu sudah mulai sangat laku terjual. Setidaknya sudah lima proyek, seperti Bob James, Tetsuo Sakurai, Jody Watley, Baby Face

Ini kabar baik di tengah kebanyakan orang Indonesia justru membeli produk luar negeri kan?

PFG: Problemnya adalah, produk kami ini justru sudah dibajak di Indonesia. Padahal, Java Jazz ini juga terkenal di luar negeri itu karena DVD ini. Karena ini orang kenal Java Jazz, orang kenal Indonesia.

Bagaimana animo pasar luar negeri terhadap DVD ini?

PFG: Besar sekali. Sama dengan animo orang membeli produk Amerika.

DGS: Karena DVD ini, ada satu stasiun televisi Amerika yang ingin membeli semua program kami untuk tayang di channel mereka.

Apakah dengan begitu Anda lebih mudah mengadakan pendekatan dan mengundang artis-artis dunia untuk tampil di Indonesia?

DGS: Iya, tentu saja. Cuma kalau boleh mengutip Papa, the best ambassador for the festival, sebenarnya adalah artis yang tampildi Java Jazz. When they go back, they tell others, they wanna come back with the different project. Karena akhirnya, artis-artis yang kami undang hanya perlu melihat profil kami di website, melihat nama artis-artis yang pernah tampil festival dan mereka bilang iya. Tanpa sadar kami sudah membangun kredibilitas perusahaan dan jadi jauh lebih mudah untuk meminta mereka datang, termasuk untuk soal negosiasi. Posisi kami jadi lebih kuat. Enaknya kalau festival itu adalah kalau satu artis nggak bisa datang, kami bisa mendatangkan artis lain yang sekelas. Beda dengan konser tunggal yang kalau artisnya nggak datang, acaranya selesai. Jadi kami selalu punya kelebihan untuk nego lebih baik. Dan dari sisi eksekusi, kemudahan lainnya adalah kami sudah punya sistem yang baik dan hanya perlu disempurnakan terus menerus. Yang sedikit jadi hambatan itu justru menyangkut perijinan di dalam negeri. Selalu lama, meskipun kami banyak dapat dukungan dari pemerintah DKI dan Departemen Pariwisata. Tapi itu pun tetap kami cari solusinya supaya tiap tahun kendala yang menghadang kami bisa terus diminimalisir.

Ayah dan anak terlibat dalam satu kerjasama professional. Bagaimana menjaga profesionalitas ketika dalam keadaan hectic?

PFG: Justru itu yang sering membuat saya bilang, “Sudah deh, berhentiin saja Java Jazz kalau kita jadi berantem. Kadang hari saya piker, udah deh, nggak mau kerjain Java Jazz, kamu kerjain aja sendiri, saya nggak mau turut-turutan. Jadi ribut.” Biasanya itu terjadi karena ada satu pendapat ada yang saya anggap lebih penting, ada yang dia anggap lebih penting padahal dia musti jalanin. Contohnya saja kemarin, saya mengajak Dewi untuk ketemu dengan orang perizinan. Tapi di saat yang sama, dia janji juga ketemu dengan sponsor. Menurut saya, perizinan sebaiknya ditemui dulu karena kalau ada sponsor tapi izinnya nggak dapat kan sama saja, acaranya nggak mungkin bisa terlaksana. Kadang-kadang soal prioritas seperti ini yang membuat kami jadi ribut.

DGS: Padahal menurut saya kalau sponsornya nggak ada, acaranya nggak akan jalan. So that’s where’d they become an argument. Karena menurut saya, apa bisa kita bisa bagi badan? Sementara beliau ini agak susah ‘ditawar’. Kalau beliau mau ke perizinan dulu, maka saya harus ikut ke perizinan. Sementara saya memegang sponsor yang penting dan mereka ini punya kebiasaan kalau nggak ketemu langsung dengan saya, mereka nggak mau. Karena biasanya mereka langsung ngomong branding dan sebagainya. Nah, dalam kondisi seperti itu sebenarnya enak sekali bekerja dengan ayah, karena saya tahu beliau ini kreatif sekali dan pikirannya lebih maju dari kita-kita. Cuma memang beratnya justru karena jadi anak, beliau jadi lebih keras, (Dewi cepat-cepat menyelipkan kata “berasanya” setelah mengucapkan kalimat ini) kepada saya untuk menunjukkan pada yang lain, “I’m not giving you special priorities. You’re my daughter, but you part of company.” Nah, gitu-gitunya kadang-kadang yang membuat hati kecil saya bilang “waduh, aku kan anaknya. Tapi kok keras sekali ya sama aku?” Cuma pada akhirnya saya coba saja lakukan apa yang harus dilakukan. Untungnya tim kerja saya pun menyadari kalau ini memang perusahaan keluarga, jadi sudah maklum. Biasanya kalau sudah mentok sama saya, Papa akan minta tolong pada yang lain.

Jadi enak tidak kerjasama dengan anak atau ayah?

PFG: Nggak juga. Mau marah itu anak, nggak dimarahin saya yang stres. Nggak juga kalau dibilang enak. Tapi ya oke-oke saja, hahaha...

DGS: Kalau saya, sejak pulang memang sudah kerja dengan Papa. Jadi ritme kerjanya yang sangat cepat itu yang justru membuat saya terpacu untuk ikut cepat maju. Soalnya kalau dapat orang yang lebih slow atau tidak sepintar papa, mungkin saya juga akan berkembang dengan lambat karena tantangannya kurang. Jadi kalau ditanya enak atau tidak, tentu enak karena saya bisa belajar banyak. Baru kemarin saya bilang, kalau nggak ada Papa, mungkin, I might, I might not wanna do it anymore. Karena yang nge-push ini Java Festival Production ini adalah Papa. (Peter menyahut cepat begitu mendengar kalimat ini. Katanya, “Itu satu kesalahan. Saya selalu bilang, ada atau tidak ada saya, Java Jazz tidak boleh tidak ada. Kalau Dewi tidak lagi mengerjakannya, orang lain saja yang mengerjakan. Karena Java Jazz ini tidak boleh lagi berhenti. Karena bagaimana pun, festival ini sudah jadi kebanggaan Indonesia.”). Tapi saya serius. Enaknya bekerja bersama Papa adalah karena saya bisa belajar banyak. Setiap tahun saya belajar banyak hal dari beliau dan ide-ide yang dilontarkannya. Papa itu punya kebiasaan, kalau maunya A, maka kemungkinan A yang akan terjadi itu lebih banyak. Papa tidak senang yang formatnya negosiasi. Kalau negosiasi itu terjadi jauh-jauh hari, fine, beliau masih bisa terima. Tapi kalau negosiasi itu terjadi sebulan sebelum acara, itu sudah tidak ada lagi kemungkinannya. Kalau beliau maunya ini ya sudah, ini yang harus jalan. Itu mungkin yang membuat kerjabarengnya jadi susah. Karena posisi saya adalah pemimpin perusahaan, di satu sisi, kondisi ini membuat dilemma buat saya karena pasti orang berpikir, ini kok pemimpin perusahaannya nggak bisa bicara apa-apa ya kalau komisarisnya datang? Tapi menurut saya semuanya enak-enak saja. (Peter tiba-tiba bertanya pada Dewi, “Tapi so far, masih ok ya apa yang kita putuskan? Dewi menjawab sambil tertawa, “Masih oke. Tambah kemari sih saya makin diberi kebebasan untuk memutuskan kok.” Peter melanjutkan, “Saya sekarang ini juga sudah semakin tidak involve kok.”)

Kabarnya lokasi penyelenggaraan Java Jazz akan dipindah dari Jakarta Convention Centre ke arena Jakarta Fair di Kemayoran. Ini rencana jangka panjang atau coba-coba yang akan di kembalikan ke tempat semula kalau ternyata jumlah pengunjung berkurang dan sebagainya?

PFG: Nggak boleh coba-coba. Kami sudah merencanakan kepindahan ini sejak tiga tahun yang lalu. Tapi kami memang menunggu sampai Java Jazz ini lima tahun berjalan dulu. Kami juga ingin membangun image baru tentang Jakarta Fair. Selain itu, di sana parker lebih gampang. Kalau dibilnag jauh, tidak juga. Saya dan Dewi sudah mengetes pergi bermobil ke sana pada hari Jumat sore, Sabtu sore dan Minggu sore. Dari Semanggi sampai ke Kemayoran, hanya 25 menit. Kalau sekarang kita lihat di Java Jazz, orang mau mengantri, parkirnya di lapangan tennis atau bahkan di Hotel Mulia dan harus berjalan kaki cukup jauh. Sementara kalau di Kemayoran nanti, parkir tersebut bisa diatasi. Orang nggak akan lagi kesulitan mencari parkir dan bisa menikmati jazz dengan tenang. (Indah S. Ariani) Pengarah Gaya: Ayunda Wardhani, Foto: Honda Tranggono, Busana (jaket dan kemeja Dewi): Sally Koeswanto, Rias Wajah: Billy Arya