Kamis, 25 Maret 2010

LAKON HIDUP TIO PAKUSADEWO


Berguru pada Musashi, ia tak pernah jeri melakoni berbagai peran dalam kehidupan.

Seorang anak lelaki yang baru saja menapak remaja dan sebuah makiwara –tiang untuk berlatih karate- di tengah ruangan. Tak seperti lazimnya makiwara digunakan, lelaki kecil itu justru merapat dan bukan menendang atau memukulinya. Ikatan tali menyatukan mereka, serupa kangguru dan anaknya. Beberapa saat beku, sebelum kemudian terdengar siulan dari bibir lelaki kecil itu. Segerombol anak sebayanya muncul, nekat melompati jendela. Sesaat kemudian, ‘anak kangguru’ itu lepas dari ‘induknya’, ikut melompati jendela dan melesat cepat ke lapangan bola. Senja hampir datang ketika ia –masih dengan rombongan yang sama saat berangkat- melompati lagi jendela tadi, merapat kembali ke makiwara dan mengambil posisi tepat seperti sebelumnya: tubuh terikat.

Anomali Keluarga
Remaja itu adalah Tio Pakusadewo, aktor yang pada 2009 silam menerima piala citra keduanya, sebagai Aktor Pemeran Utama Pria Terbaik dalam Festival Film Indonesia lewat penampilannya sebagai Adam, seorang penjaga kamar mayat dalam film Identitas. Kenangan terikat di makiwara itu tersimpan hingga kini, bersama ratusan kenangan lain yang bernada sama: hukuman. Kata itu akrab dengannya sejak ia berangkat remaja. “Saya paling bandel di antara anak ayah dan ibu saya yang lain,” katanya. Orangtuanya tentu bisa dikategorikan sebagai orang tertib dan berdisiplin tinggi. Ibunya seorang librarian yang bersekolah di London dan Australia. Ayahnya perwira militer berpangkat kolonel, yang tidak hanya berdisiplin tinggi juga seorang guru karate yang tegas. Tapi Tio tumbuh seperti anomali dengan ketidaktertiban sempurna. Langganan berkelahi, Sekolah Menengah Atas (SMA), ia lewati di enam sekolah berbeda. “Saya lulus dari SMA 34 Pondok Labu. Itu sekolah keenam dan terakhir,” kenang pria bernama lengkap Irawan Susetyo Pakusadwewo ini. Hari pertamanya di sekolah favorit SMA 6 Jakarta, hanya dijalaninya satu hari saja. “Hari pertama itu juga saya dipecat karena nama saya termasuk dalah daftar hitam lulusan SMP yang sering tawuran,” ungkap Tio menerawang.

Rentetan kenakalan yang ia lakukan, bisa dibilang membuatnya terbuang dari keluarga. “Saat kelas dua SMP, Bapak mengusir saya dari rumah. Penyebabnya, saya membobol rumah tetangga untuk mengambil jaket dan gitar abang saya yang dipinjam anak keluarga itu. Waktu itu, rumah tetangga saya itu kosong karena keluarga itu pindah karena ayahnya terjerat kasus korupsi dan ditangkap. Abang saya bilang kalau jaket dan gitar miliknya belum dikembalikan oleh anak itu. Saking kesalnya, saya nekat membobol rumah itu dan mengajak teman-teman untuk ikut masuk. Saya mengambil jaket dan gitar milik kakak saya saja, sementara teman-teman lain mengambil barang-barang yang ada di dalam rumah,” katanya. Aksi itu harusnya berjalan mulus, kalau saja seorang temannya tak kembali lagi ke rumah itu keesokan harinya. “Entah barang apa yang ingin dia ambil, teman saya kembali masuk ke rumah itu dan ketahuan oleh petugas keamanan kompleks. Ketika diinterogasi, teman saya bilang kalau saya yang menyuruhnya masuk. Itu pertama kalinya saya merasakan sakitnya dikhianati,” kata Tio yang karena kejadian itu sempat dua hari mendekam di penjara kantor polisi. “Bapak menebus saya dari penjara, tapi kemudian menyuruh saya pergi dari rumah,” kisahnya.

Siang hari, ia ‘menggelandang’ dari rumah teman yang satu ke rumah teman yang lain. “Malam hari, saya tinggal di sekolah, tidur di kelas-kelas kosong bersama pedagang yang berjualan di sekolah dan mandi di pancuran wudhu di mesjid,” kenangnya. Hal itu baru berakhir ketika ia dapat izin tinggal di Wisma Angkasa yang letaknya berhadapan dengan sekolahnya. “Kebetulan, seorang teman saya putra KSAL saat itu, Ashadi Cahyadi,” katanya. Ia senang bukan kepalang, karena merasa menemukan kemewahan dengan ruang lapang dan kolam renang yang selalu siap menyambutnya kapan saja. Sekolahnya pun dapat ia capai hanya dengan satu lompatan. Tiga bulan berjalan, sang ibu memintanya pulang ke rumah dan bersedia melakukan ‘gencatan senjata’ dengan sang ayah. Kondisi kesehatan ibunya, membuat kelahiran 2 September 1963 ini luluh. “Berkali-kali ibu mengirim abang saya ke sekolah untuk bicara dengan saya. Tapi saya selalu menghindar. Akhirnya ibu mengirim surat dan bilang di suratnya kalau sakit jantungnya kambuh. Dengan syarat minta diberi kamar sendiri, saya mengalah dan pulang. Saya dititipkan di rumah sepupu yang letaknya berdekatan dengan rumah ibu,” katanya. Rumah mereka, menurut Tio membuat setiap anak harus berbagi kamar dengan saudaranya. Walaupun perwira berpangkat Kolonel, Tio mengenang sang ayah sebagai perwira lurus yang hidupnya sangat sederhana hingga membuatkan kamar tambahan bukanlah hal yang dapat segera dilakukan dengan mudah.

Bukan Jalan Biasa
Pengusiran oleh sang ayah, diakui aktor yang kini mendirikan sekolah akting Satoe Acting Atelier ini sebagai luka yang torehannya terus menganga hingga lama. Hal yang setelah dewasa dan ketika sang ayah meninggal ia sesali habis-habisan. Kendati hubungan Tio dan ayahnya membaik seiring waktu, dinding yang telanjur terbangun tak bisa diruntuhkan. “Ada batas yang sulit sekali kami lintasi. Ketika Ibu bilang dia sakit dan saya kembali ke rumah, luka saya belum sembuh sepenuhnya. Hubungan saya dengan Bapak juga tidak bisa baik lagi. Komunikasi buruk sekali. Kami jarang bicara. Baru ketika saya menikah, hubungan kami mulai membaik lagi. Dia sering main ke rumah saya. Hubungannya sudah mulai enak, tapi juga tidak bisa dibilang akrab. Sudah telanjur tidak mesra. Kalau ketemu kami ngobrol biasa, tapi terbatas,” kenang ayah seorang putra dan dua putri ini .
Hal itu juga yang ia rasakan sempat ia alami dengan putra pertamanya, Nagra. “Terasa seperti ada dinding pemisah itu. Karena waktu kecil, dia saya tinggal karena saya bercerai dengan ibunya. Waktu saya tinggalkan rumah, Nagra masihberumur lima tahun. Baru ketemu lagi setelah dia kelas tiga SMP,” ungkap Tio.

Namun ia berusaha keras agar apa yang ia alami dengan sang ayah tak terulang serupa déjà vu dalam hubungannya dengan Nagra. “Untunglah, sepertinya ketakutan saya akan tidak punya alasan. Baru-baru ini ini saya lihat di kamar Nagra, ada coretan gambar wajah di dinding yang saya yakini sebagai wajah saya. Di bawahnya ada tulisan I love you, Dad. Ungkapan perasaan seperti itu tidak sempat saya utarakan pada Bapak pada saat dia masih hidup,” katanya. Baru ketika sang ayah sudah meninggal, Tio tahu betapa sesungguhnya, ia sangat mencintainya. Jadi banyak sekali yang saya sesali. Saya tidak pernah ngobrol dari hati ke hati. Hanya terakhir kali, sebelum dia meninggal, saya sedang di kamarnya bersama ibu saya. Dia bilang, “Saya ini sebetulnya sudah capek. Mau pergi saja. Cuma masih ada satu hal yang saya khawatirkan.” Saya Tanya, “Apa Pak?” Dia bilang, “Kalau saya meninggal, yang jaga bekas pacar saya siapa?” Saya bilang, “Itu nggak usah dikhawatirkan, Saya yang akan menjaga dalam segala keadaan. Semua tanggung jawab saya. Saya janji.” Besok hari setelah pembicaraan itu, Bapak pergi, kenangnya. Hal itu, seperti memberi sinyal pada Tio, betapa sang ayah sangat mempercayainya. “Sebab itu hanya ia sampaikan pada saya. Ke kakak saya yang paling tua saja dia tidak bilang begitu,” ungkap Tio yang lantas memenuhi janji untuk merawat ibunya. “Meski secara fisik kami tidak tinggal satu rumah, saya bersaha menjaga ibu sebaik mungkin. Dia tinggal di Bintaro sekarang, di rumah yang Bapak beli setahun sebelum dia meninggal,” jelasnya.

Setelah perceraian pertamanya terjadi, Tio kembali ke ‘jalanan’. Ia mengaku hidupnya kacau. “Ngaco banget pokoknya. Herannya, sejak Bapak meninggal, banyak sekali kejadian aneh yang menimpa saya dan saya selalu saja lolos dari lubang jarum. Itu terjadi berkali-kali,” katanya dengan nada heran yang tak tertutupi. Tio lalu berkisah, suatu ketika, ia ‘disapa’ alam ketika hendak menantang orang berkelahi. “Mungkin itu yang disebut malam Lailatul Qadr. Saya nyaris membunuh orang pada suatu malam bulan Ramadhan beberapa tahun lalu. Lalu ketika saya berangkat dengan golok yang sudah terasah, di tengah jalan saya merasa tidak nyaman. Saya piker karena letak golok yang tidak baik. Saya menepi dan ketika itulah saya merasa hembusan angina yang berbeda. Bukan seperti angin biasa yang bertiup, saya merasa udara saat itu menjadi sangat sejuk, seperti berada dalam ruangan berpendingin udara. Lagi pula, daun-daun tidak bergerak sama sekali,” kenangnya. Tio yang merasakan hal aneh itu segera menoleh. Ia hanya menemukan senyap di sekitarnya. Lantas ia dongakkan kepalanya ke langit. “Di arah kiblat ada bulan purnama dalam bentuk yang sangat sempurna, dikelilingi cincin cahaya. Lalu ada awan putih tebal mengelilingi bulan. Di bawah lingkaran itu, ada semacam awan berbentuk cerobong yang bergerak melandai mengikuti pergerakan bulan. Makin silam bulan, makin turun cerobong itu hingga menyerupai tangga,” kisahnya. Sempat sepuluh menit Tio tenggelam dalam ketertegunannya. Ketika mulai lepas dari kesima, ia segera menghubungi ibu dan beberapa teman yang ia pikir harus juga melihat kejadian itu. “Mereka juga melihat hal yang sama. Sampai jam setengah tujuh ,” katanya. Alhasil, malam itu, ia urung menyatroni orang. “Kadang ketika Ramadhan datang, saya berniat ingin lihat lailatul qadr lagi dan menunggu malam 17, selalu terlewat,” katanya.

Hidup yang dilalui Tio memang bukan hidup yang lurus. Ada banyak kelokan yang ia lintasi. Banyak halangan yang ia temui di dalamnya. Pada keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkannya, ia bergantung. “Spiritualitas bagi saya adalah ageman hidup. Pegangan. Tanpa itu kita pasti goyah. Cuma apa jadinya jika kita hanya diwajibkan shalat tapi tidak pernah mengenal bagaimana caranya berdoa. Padahal shalat itu kan isinya doa,” katanya. Maka, ia punya cara berdoa yang mungkin berbeda dengan orang lain. Ketika orang berdoa meminta hal-hal besar, ia meminta hal-hal kecil dan terasa remeh. “Saya sering membuktikan doa dari hal-hal yang sangat kecil. Misalnya, doa anti macet. Saya sering mengajak anak-anak membaca doa anti macet sebelum berkendara atau doa minta tempat parker. Dan selalu dikabulkan. Mungkin karena sedikit orang yang berdoa sesederhana itu. Kebanyakan orang kan berdoa untuk mendapat rezeki yang banyak. Antriannya panjang. Kalau doa saya, antriannya pendek jadi segera dikabulkan,” kelakarnya. Tio barangkali memang tak pernah menuntut banyak pada hidup. Ia mengalir dan mencari celah seperti air. Kegagalan bukan hal asing buatnya. Keterbuangan boleh jadi perasaan yang menemani sebagian besar waktunya menapaki hidup.

Tapi ia tak pernah menyesali apa pun. “Satu hal paling melekat dari apa yang pernah diajarkan Bapak adalah, jangan pernah menyesali apa yang pernah kamu buat. Jadikan sebagai anugerah yang harus kau syukuri,” katanya yakin. Maka ia jalani segala yang mampir dan ia temui dalam perjalanan hidup dengan terbuka. Banyak kekecewaan serta kemungkinan terburuk pernah ia lewati dan kini semua mengisi pundi pengalamannya. Tio yang dua kali mendapat MTV Indonesia Movie Awards sebagai Pemeran Pendukung Pria Terbaik dari Berbagi Suami (2006) dan Quickie Express (2008) ini pernah sangat terpukul dan nyaris yakin kalau ia tak akan pernah mengenyam bangku universitas. Harapannya untuk bisa kuliah di Amerika kandas setelah teman yang berjanji akan membantu mengurusnya mendapat visa pelajar mangkir setibanya Tio di sana. Dalam kecewa, ia berkelana dari Negara bagian satu ke Negara bagian lainnya. “Saya bermobil bersama teman-teman dari Boston sampai ke San Diego. Kami menjelajah sekitar 25 negara bagian di sana. Sempat juga jadi koresponden majalah Tempo ketika saya tinggal di sana,” kenangnya. Kendati kerap terombang ambing gelombang hidup, Tio tak pernah patah. Pulang ke Indonesia, ia masuk Jurusan Sinematografi Institut Kesenian Jakarta dan terbukti ia berjodoh dengan dunia peran.

Langganan Peran Watak
Kariernya di film, bisa dibilang berjalan mulus. Ikut terlibat dalam beberapa film seperti Bilur-bilur Penyesalan(1986) dan Catatan Si Boy II (!988), namanya mulai melekat di hati penikmat film Indonesia, ketika ia bersama Cut Rizki Theo bermain dalam film arahan Garin Nugroho, Cinta Dalam Sepotong Roti (1990). “Tio aktor yang menjanjikan. Dia punya spontanitas dan keliaran yang bagus. Dia salah satu dari sedikit pemain film yang punya keaktoran kuat. Semakin tinggi tantangan peran, makin kuat aktingnya,” kata Garin ketika ditanyai pendapatnya tentang pemeran Topan dalam film arahannya itu. Setelah Piala Citra pertama ia peroleh lewat peran sebagai Aria, seorang komponis dalam film Lagu Untuk Seruni, dunia perfilman Indonesia koma untuk waktu yang cukup lama. Namanya yang baru mulai menanjak dan disebut-sebut sebagai wajah baru actor Indonesia, menggeser Rachmat Hidayat, Didi Petet dan Mathias Muchus yang kala itu tengah berkibar kembali meredup kendati ia memiliki cukup banyak karya untuk tayangan televisi. Dalam periode itu juga, ia sempat iseng menjajal kemampuannya di bidang teknologi informasi dengan cara yang salah: menjadi hacker. “Tapi nggak berkah. Saya nggak lama nge-hack karena saat jadi hacker itu saya sering kehilangan. Lalu saya berhenti.”

Saat dunia film kembali menggeliat di awal dekade 2000an, ia kembali unjuk gigi. Banyak film ia bintangi sejak 2004. menempatkannya dalam jajaran pemeran watak yang selalu dicari para sutradara untuk memerankan karakter berspesifikasi khusus. Misalnya saja sebagai lelaki hidung belang di Virgin (2004), Koh Abun, pedagang bebek yang takut istri dalam Berbagi Suami, sebagai penjaga kamar mayat yang kompleks dalam Identitas atau sebagai raja copet di film komedi satir Alangkah Lucunya Negeri Kami arahan Deddy Mizwar yang akan dirilis tahun ini. “Sekarang ini saya tidak lagi memilih peran, tapi peran yang memilih saya,” katanya tanpa nada jumawa. Ia melihat, para sutradara dan produser seperti menyeleksi sendiri peran yang akan mereka tawarkan pada Tio. “Sepertinya harus aneh dan tidak jelas. Padahal tidak selalu begitu. Kalau secara finansial ok masak ditolak? Tergantung juga sih. Tapi kebanyakan saya memang menempatkan bargain karakter di awal. Kalau kira-kira bisa diolah, okelah. Tapi kalau sepertinya karakternya biasa-biasa saja, kompensasinya, harus ada hal lain yang lebih baik,” jelasnya sembari tertawa. Sekarang ini, menurut Tio kebanyakan peran yang datang padanya, meski tidak selalu kuat, tapi pasti memiliki keunikan. “Seperti misalnya penderita kanker paru, penjaga kamar mayat, atau raja copet. Untuk peran sebagai raja copet ini, saya melakukan observasi di kelompok pencopet di daerah Roxy selama seminggu. Tak gampang masuk ke dalam lingkungan mereka,” ungkapna. Pendekatan adalah cara yang selalu ia perhatikan karena itu akan sangat mempengaruhi kelancaran observasi. “Kebetulan, saya sempat lama di jalanan. Saya paham benar tata karma pergaulan orang jalanan. Mungkin kalau saya tidak tahu lingkungan mereka juga akan susah melakukan pendekatan,” katanya.

Buatnya, observasi adalah hal yang perlu dilakukan. “Perlu, dalam arti tidak harus dilakukan. Saya hanya melalukan observasi untuk peran-peran dengan tingkat kesulitan tertentu. Untuk peran-peran yang tergolong mudah seperti peran Bapak yang hidup dalam keluarga normal, mungkin tidak perlu membuat observasi karena saya sendiri juga seorang ayah. Kecuali jika ada cerita spesifik seperti dalam Kata Maaf Terakhir, di mana, saya harus berperan sebagai ayah yang mengidap kanker paru. Saya melakukan observasi selama dua hari di RS Ongkomulyo dan bicara dengan pasien-pasien terminal yang hidupnya sudah divonis hanya beberapa hari lagi. Ngeri sekali, karena mereka sudah tahu kapan mereka akan pergi. Ada yang tanpa sadar menangis sambil terus saja bercerita. Ada orang yang saya temui, dan seminggu kemudian sudah meninggal. Ayah saya juga meninggal karena paru-paru basah dan saya tahu bagaimana proses dari mulai sakit sampai ayah saya mengembuskan napas terakhir. Saya juga tidak tahu, FFI penilaiannya bagaimana, karena yang menang bukan peran saya dalam film itu dan justru yang dalam Identitas yang menang.

Untuk film Identitas saya tidak melakukan observasi, tapi saya melakukan eksplorasi gila-gilaan dalam film itu. Saya pakai gigi palsu karena Adam bergigi tonggos. Selain itu juga cara berjalannya harus diseret, sampai intonasi suara juga beda. Kalau yang memahami acting saya, akan merasakan bedanya. Adam itu digambarkan sebagai tokoh yang sakit, karena dia lebih suka bicara dengan mayat ketimbang manusia. Dari semua tokoh yang saya perankan, saya paling suka peran saya di film yang belum sempat dirilis, judulnya Senyum Yang Terampas yang juga disutradarai oleh Aria Kusumadewa. Film itu tidak tayang karena dianggap terlalu personal. Prosesnya sangat luar biasa, baik dari sisi produksi, pemain, sampai penokohan. Film ini baru selesai setelah enam tahun produksi dan tidak tayang karena tidak diterima di mana-mana. Film itu juga tidak beredar di festival-festival, karena Aria sendiri mengaku tak suka dengan festival yang ia anggap hanya berhenti sebatas perayaan. “Orang lain boleh suka festival, tapi saya tidak,” kata Aria. Untuk memahami jalan pikiran Aria yang unik, kita memang harus punya jalan berpikir yang unik juga. Kalau orang nggak bisa berpikir beda, akan sulit memahami jalan berpikir Aria. Meski baru dua kali telibat produksi filmnya, saya sudah mengenal Aria lama sekali. Dia salah satu orang yang mengajak saya terlibat dalam produksi televise. Dulu saya pernah terlibat pembuatan beberapa program TV Play di TVRI seperti Kamandaka, dan Bianglala. Baru bekerjasama lagi dengan Aria ketika ia mengajak saya ikut main dalam Senyum Yang Terampas. Tapi sampai sekarang, saya sendiri belum pernah melihat film itu., bagaimana jadinya, sata tidak tahu sama sekali. Peran dalam film itu menjadi sulit buat saya karena beberapa alasan. Pertama, pada saat itu ilmu saya belum banyak. (Tio lalu terlibat obrolan dengan seorang kru film, menanyakan lukisan orang itu yang ia buat. Temannya meminta Tio menandatangani lukisan itu). Saya memang senang membuat sketsa di lokasi syuting. Nanti gambarnya saya kasih untuk orang yang saya gambar. Saya selalu membawa buku sketsa, buat menggambar kalau sedang iseng menunggu. Dibilang seniman komplit tidak juga. Saya hanya suka belajar. Mungkin karena dulu saya tidak senang sekolah, jadi kehilangan masa-masa itu. Saya suka ke sekolah, tapi tidak suka belajar di kelas. Buat saya, belajar itu bisa di mana saja. (Indah S. Ariani), Foto: Denny Ramon, Pengarah Gaya: Ayunda Wardhani, Busana: Jeffry Tan

‘CINTA MONYET’ TITI & DJENAR


Penghargaan terbaik mereka dapat dari debut pertama di dunia perfilman. Monyet jadi kata kunci keberhasilan mereka.

Titi Sjuman dan Djenar Maesa Ayu seperti memulai langkah dengan kaki kanan di panggung perfilman. Sebelumnya, dua perempuan cantik ini hanya berada di ‘bibir panggung’. Djenar lebih dikenal sebagai penulis cerpen dan novel yang karyanya kerap dianggap kontroversial. Ibu dua putri ini memang pernah menjadi pemain di film Koper arahan Richard Oh beberapa tahun silam. Namun, akting Djenar sebentar saja dibicarakan. Sementara itu, Titi Sjuman adalah penabuh drum yang berkali-kali muncul di banyak majalah wanita. Ia juga sempat terlibat dalam pertunjukan tari Opera Jawa, berkeliling ke beberapa kota mancanegara. Di situ, ia pun tak jauh-jauh dari drum. Sambil menari, ia menabuh drum di panggung.
Dunia mereka berdua mulai berbeda ketika Djenar membuat film. Karya perdananya, yang berjudul sama dengan kumpulan cerpen perdana Djenar, Mereka Bilang Saya Monyet (MBSM) mendapat empat Piala Citra setelah dua tahun dirilis. Sejak awal, perempuan yang biasa disapa Nay ini bertekad untuk memproduksi sendiri filmnya. “Bisa dibilang kami sama-sama ‘pecah telur’. Tapi suasananya justru jadi enak. Karena tidak ada rasa ‘siapa yang lebih berpengalaman dari siapa’,” katanya.
Dirilis pada 2007, MBSM mendapat banyak pujian. Namun, film yang bercerita tentang pertentangan psikologis Adjeng, tokoh dalam film tersebut, tak bisa masuk dalam ajang Festival Film Indonesia karena film berformat digital tak bisa disertakan. Begitu panitia festival membolehkan film digital ikut dilagakan pada 2009, film ini menangguk penghargaan. Djenar diganjar penghargaan sebagai Sutradara Pendatang Baru Terbaik. Bersama Indra Herlambang, Djenar juga mendapat penghargaan sebagai Penulis Skenario Adaptasi Terbaik. Sementara Titi Sjuman, ditahbiskan sebagai Pemeran Utama Terbaik Wanita. Bersama suaminya, Aksan Sjuman, ia juga menerima penghargaan sebagai penata suara terbaik. Lengkap, bukan?
Sebagai debut, MBSM tentu membekaskan jejak penting dalam karier Djenar sebagai sutradara, dan Titi sebagai aktris. Namun, di balik riuh rendah kegembiraan seputar kerjasama mereka, Titi dan Djenar punya kisah menarik di balik persaudaraan mereka. Walaupun ipar –Djenar adalah adik Aksan (suami Titi)- mereka lebih sering dikira saudara kandung.

Banyak yang menganggap Anda berdua mirip satu sama lain.
Djenar Maesa Ayu (DMA): Banyak yang mengira kami berdua kakak-beradik. Saya juga agak heran. Lucunya, saat pertama kali kami bertemu adalah saat Titi dan Aksan akan menikah. Jadi kami bertemu di penjahit, mau bikin kebaya. Kami berdua memakai baju yang persis sama. Saat itu, kami berdua sama terkejutnya karena baju kami benar-benar sama. Waktu itu kami memakai atasan tank top hitam dan bawahan batik. Dari sekian banyak motif dan warna batik, kami memakai yang persis sama, baik motif mau pun warna. Di lokasi syuting juga sering sekali kami pakai baju kembar, sampai orang sering salah memanggil kami. Kalau sedang satu acara, memakai baju yang persis sama adalah hal yang biasa. Bahkan sampai ke luar negeri pun, kejadian itu tetap saja terjadi. Pernah, ketika kami mengikuti Singapore Film Festival, baju yang kami bawa, hampir semua kembar. Padahal kami packing di rumah masing-masing. Sebenarnya, kalau kami ditemukan langsung, kami berdua tidak terlalu mirip, kok. Tapi orang-orang yang tahu saya sejak kecil selalu bilang kalau saya dan Titi memang mirip. Nggak tahulah itu.
Titi Sjuman (TS): Hahaha, iya. Kejadian di penjahit kebaya itu paling mengagetkan. Tapi memang banyak sekali yang bilang kami mirip. Sebenarnya saya senang-senang saja, walau pun, kami berdua sering bingung, di mana miripnya. Tapi kalau kami dibilang mirip, yang untung itu Djenar. Karena orang piker Djenar masih muda. Saya yang rugi kalau dibilang mirip sama Djenar karena di lebih tua dari saya, hahaha…

Bagaimana hubungan dengan Aksan?
DMA: Kami memang bukan tipikal kakak beradik yang secara kuantitatif bertemu. Tapi ketika bertemu, kualitas hubungan kami sangat terasa bagus sekali. Kami bisa membicarakan apa saja bertiga. Enak banget punya Titi, Aksan dan Yudhis, kakak saya yang satu lagi.
TS: Kami bertiga kompak sekali. Mesra. Kami sering pelukan bertiga. Kalau sedang menginap di rumah, Djenar pasti maunya tidur bertiga dengan saya dan Aksan. Dia pasti ngerusuhin kalau saya sedang pelukan sama Aksan. Saya senang-senang saja. Djenar hanya mengesalkan saat syuting MBSM karena dia mendiamkan saya tanpa alasan. Baru belakangan saya tahu kalau mendiamkan saya adalah cara Djenar memaksa saya masuk ke dalam karakter Adjeng yang depresif.

Titi pernah cemburu?
DMA: Ah, enggaklah. Masak dia cemburu sama saya? Tapi ada satu cerita lucu waktu kami sedang mengerjakan music scoring Monyet (Djenar selalu menyebut MBSM dengan kata singkat Monyet- red). Saat itu saya menginap berhari-hari di rumah mereka. Suatu ketika, saat sedang berjalan menuju kamar, saya menyadari kalau Aksan sedang berjalan di belakang saya. Tiba-tiba Aksan menggoda saya, ternyata dia mengira saya itu Titi. Begitu saya berbalik dia bukan main kagetnya. Dia bilang, “Wah, nggak bener nih, nggak bener nih,” sambil kami tertawa keras. Ketika diceritakan kejadian ini, Titi tertawa geli bukan main. Kalau orang lain yang sering tertukar melihat kami, saya masih maklum. Kalau sampai kakak saya yang adalah suami Titi yang salah, itu baru cerita
TS: Buat saya malah lucu. Kok ya bisa sampai keliru begitu. Saya cuma bilang sama Aksan, “Masak aku setua itu sampai tertukar sama Djenar?” Hahaha… Tapi Djenar itu memang tidak perlu dicemburui. Dia itu lucu dan tidak pernah menyebalkan. Paling kami cuma ledek-ledekan.

Hubungan Anda berdua di luar pekerjaan bagaimana?
DMA: Titi orang yang cepat melebur dan apa adanya. Sepanjang pengetahuan saya, dari begitu banyak pacarnya Aksan, Titi adalah yang paling kami suka. Biasanya, kalau Aksan punya pacar, kami sering ngerumpiin orang itu. Titi tidak. Semuanya lancar saja. Kami seperti sudah berkenalan lama sekali. Dia sudah seperti bagian keluarga. Kadang-kadang kangen juga sama Titi.
TS: Hubungan kami asyik banget. Djenar itu orang yang ceplas ceplos dan sering terlihat ekstrem. Kalau tidak terbiasa dengan dia, orang pasti terkaget-kaget mendengar ucapan atau melihat polahnya. Awalnya saya juga sempat kaget. Tapi Aksan sudah memberitahu sebelumnya, jadi saya bisa lebih cepat mengerti Djenar. Kami saling support. Apa pun yang Djenar lakukan dan alami, kami akan beri dukungan, begitu pun sebaliknya. Mungkin ini pengaruh dari pola hubungan di keluarga Aksan yang sama sekali tidak kaku.

Untuk produksi film berikutnya, apakah masih akan melibatkan Titi dan Aksan?
DMA: Iya. Kalau mereka sedang tidak sibuk pasti saya pakai mereka bila saya membuat film dan membutuhkan musik. Karena, sejauh pengamatan saya, I think, they are one of the best music scorer in Indonesia. Jadi buat apalagi cari yang lain?
TS: Untuk music scoring, kalau kami sempat pasti kami akan menyanggupi kalau ditawarkan. Kerja dengan Djenar menyenangkan karena dia easy going. Kami juga paham sekali keinginan dan kemampuan produksinya, yang seringkali low budget. Buat kami itu sama sekali tidak masalah. Saya dan Aksan selalu berupaya terlibat dalam produksinya.

Untuk memerankan Adjeng, berapa lama proses pendalaman yang dilakukan?
TS:
Saya sempat tidur di rumah Djenar selama dua hari untuk berdiskusi tentang Adjeng. Saya juga mengikuti acting coach karena itu debutku di seni peran. Saya bahkan sempat survei ke kelab-kelab di daerah Kota karena dalam cerita itu ada adegan di diskotik, gimana polah orang di tempat seperti itu. Bagaimana dengan anak muda yang pacaran dengan oom-oom dan sebagainya.

Apa kesulitan yang Anda temui saat membuat Mereka Bilang Saya Monyet?
DMA:
Karena saya produser sekaligus sutradara, jadi antara kebutuhan sebagai kreator, bertabrakan dengan masalah finansial dan itu terus-menerus terjadi di lapangan. Itu yang sering kali mengganggu. Makanya, sekarang saya cenderung bikin film-film berdana kecil. Saat membuat Monyet, saya belum paham bagaimana proses produksi sebuah film. Saya membuat skenario sesuai apa yang saya bayangkan. Pemainnya banyak, lokasi juga banyak.
TS: Buat saya, karena mungkin ini penampilan saya pertama kali di film, kadar ragunya lumayan banyak. Apalagi karakter Adjeng sendiri memang karakter yang sulit dengan semua konfliknya. Pemain lama saja pasti kesulitan, apalagi saya yang pemain baru? Tapi justru di situ tantangan dan daya tariknya. Lucunya, mungkin karena berusaha masuk secara total dalam karakter itu, Aksan merasa saya berubah sepanjang proses produksi. Bahkan setelah syuting selesai pun, Aksan melihat depresi Adjeng masih tertinggal dalam diri saya. Dia sampai mengajak saya berlibur ke beberapa tempat agar saya bisa lepas dari karakter itu.

Toleransi apa yang paling mengganjal saat pengerjaan film MBSM?
DMA:
Banyak sekali yang harus ditolerir, terlebih dalam hal waktu. Karena satu hari itu akan menghabiskan anggaran. Jadi ada beberapa pilihan-pilihan estetik yang akhirnya tidak terpenuhi. Tapi untungnya, saya juga tahu kapasitas saya sebagai sutradara baru yang belajar secara otodidak. Jadi proses learning by doing memang benar-benar terjadi dalam kerja saya. Dari awal, saya memang mengutamakan konsep cerita dan pemain. Jadi yang tidak bisa ditawar adalah pemain. Kalau pemain masih jelek, dan masih harus menunggu satu dua hari lagi, saya tidak akan bisa ditawar.

Karena semua pertama, apakah standar yang ditetapkan menjadi sangat ideal, atau lebih fleksibel?
(DMA):
Kami memaksimalkan apa yang kami bisa dan kami anggap baik. Karena karya pertama adalah tempat di mana kredibilitas profesional dipertaruhkan. Jadi kami berusaha melalukan yang terbaik. (Indah S. Ariani), Fotografer: Robin Alfian, Pengarah gaya: Quartini Sari, Rias wajah dan rambut: Gusnaldi dan Yazeed dari Gusnalid Salon.

Kamis, 04 Maret 2010

LUKISAN POP DARI POSTER CANTIK


Tantin berburu wajah-wajah cantik, melemparkannya ke dalam ramuan pop art, menyatukannya dengan kegelisahan industrial.

Cantik itu luka, kata novelis Eka Kurniawan. I Gusti Ngurah Udiantara punya kata lain yang maknanya setali tiga uang: curse of beauty. Kecantikan memang bisa berbalik serupa kutukan yang menghantui mereka yang mendapatkannya. Si cantik tak hanya menerima pujian, tapi juga cerca dan dengki. Maka ia gambarkan sepenggal kalimat tanya menempel di dada seorang perempuan cantik: “Why did you curse me with this beauty?”. Tak ada jawaban yang ia berikan, melainkan serangkaian wajah perempuan –yang semuanya cantik- tercabik-cabik, berebut tempat dengan beragam tulisan dari aneka poster dan selebaran yang saling tumpuk.

Udiantara, yang biasa disapa Tantin ini, memang secara intensif mengumpulkan citra perempuan cantik, baik dari majalah dan internet. Koleksinya sudah mencapai lebih dari seribu gambar itu berbuah pameran lukisan di Semarang Gallery, medio Januari lalu, salah satunya adalah lukisan Curse of Beauty tadi.

Melalui serangkaian lukisan, ia berpendapat bahwa pada satu titik wajah-wajah cantik itu menjadi sangat industrial. Kecantikan, sebagai sebuah bentuk keindahan, memang acapkali harus berebut tempat dengan banyak hal lain di muka bumi ini. Seperti kontradiksi lain, kecantikan memiliki juga dua kutub yang sama: baik dan buruk. Namun, Tantin, tak hendak berbicara soal untung rugi perempuan berwajah cantik. Ia lebih tertarik pada bagaimana kecantikan dimaknai lebih luas dari sekadar anugerah untuk tubuh. Ketertarikannya pada budaya pop, membuatnya menoleh pada fakta betapa banyak taburan wajah cantik di segala jenis publikasi, dari televisi, majalah, hingga poster-poster yang memenuhi dinding di tepi jalan.

“Kecantikan lantas terasa menjadi komodifikasi belaka dengan standar yang seragam. Saya lalu membayangkan, bagaimana perasaan para perempuan itu ketika melihat gambar mereka terpampang di media atau di poster untuk kemudian melihatnya disobek,” Tantin bertanya retoris. Ia juga bertanya-tanya, apakah pesan yang ada dalam poster itu akan sampai dengan baik manakala bagian-bagiannya tercabik. Di luar dua pertanyaan itu, pelukis kelahiran Gianyar Bali ini menangkap jiwa pop art yang kuat di dalamnya. Kontradiksi keindahan dan kesemrawutan diramu dengan sangat teliti hingga harmoni terpapar dengan sempurna di atas kanvas.

Menikmati lebih dari 15 lukisan yang dipajang, kontradiksi terasa kental. Daya tarik pop art terlihat begitu memikat buat Tantin. Dalam pameran bertajuk Pop Imagery ini, ia menyertakan sebuah karya dengan Marilyn Monroe sebagai obyek yang akan segera mengingatkan penikmatnya pada karya bapak pop art Andy Warhol. Ia memang tidak menjadikan Marilyn Monroe sebagai ikon. Namun tak lantas ia lepas dengan pengaruh imaji kecantikan ala Barat. Wajah-wajah cantik yang mengisi kanvasnya masih berpusar pada ikon cantik Barat salah satunya lewat wajah Megan Fox. “Tidak banyak orang yang memberi perhatian besar pada tekstur yang dihasilkan oleh sobekan-sobekan poster,” Jim Supangkat mengungkapkan dalam pidato pembukaan pameran.
Hal yang menarik adalah, meski kuat mengangkat pop art, Tantin justru tengah mengkritisi budaya pop itu sendiri. Ia secara tegas memunculkan gambaran pop sambil mempersoalkan konflik yang terjadi di dalamnya. Kebingungannya tentang makna kecantikan yang ada di majalah-majalah gaya hidup dibenturkan pada kesejatian diri yang sesungguhnya menentang keseragaman gaya majalah dan poster itu. “Ia mempertanyakan perihal kecantikan yang sesungguhnya dengan kecantikan gaya industri,” Jim menambahkan. Itu dari masalah ide. Dari segi teknis, Jim juga menggaris bawahi perkembangan Tantin dalam mengolah materi dan teknik yang menurutnya terbilang inovatif. “Ini tampak pada tekstur sobekan poster dan kanvas-kanvas yang sengaja dibuat kusut dengan bantuan resin,” katanya.

Menyimak karya Tantin, kita memang seperti diajak bermain-main dengan imajinasi visual yang melangkah dari satu potongan wajah ke potongan wajah berikutnya. Tanpa sadar, pikiran kita akan tergoda untuk menelusup ke bawah ‘sampah’ yang menutupi wajah-wajah cantik yang tak sempurna karena direcoki sobekan-sobekan kertas seperti yang tampak pada karya bertajuk The Broken Image 2. Atau, lihatlah sepotong bibir indah yang teronggok dalam selembar gambar kusut tanpa jejak siapa pemiliknya pada Wallpaper Series 1. Seperti yang dikatakan Jim, Tantin memang terlihat jelas berusaha menggali segala macam kemungkinan bentuk yang dapat dihasilkan dari eksplorasi material. Ia kawinkan kanvas dengan resin hingga muncul kekusutan yang lantas berinteraksi dengan sangat menarik bersama citra-citra yang ada di atasnya. Upaya ini terbilang sukses karena menghadirkan kesan baru pada karya Wallpaper Series 1- 4.

Eksplorasi material juga terlihat pada karya berjudul Shadow yang paling banyak menangguk perbincangan malam itu. Karya yang membentuk seraut wajah ini, terlihat seperti sebuah lukisan tanpa bingkai. Beberapa orang bahkan menduga itu adalah mural yang ia terapkan pada dinding galeri. Kejutan baru terasa ketika kita menghampirinya. Empat lapis tripleks tersusun dalam gradasi warna dari kelabu hingga hitam dan mengingatkan pada teknik kerajinan tangan paper tolle. “Saya mengambil teknik layering dari Photoshop untuk membuat karya ini,” kata Tantin. Rupanya, ia memang merekam imaji popnya dalam banyak cara, yang melintasi berbagai batas kemungkinan. Boleh jadi, pop art bagi Tantin memang arena bermain yang menyenangkan, yang memberinya sedikit sekali rintangan dengan kecantikan sebagai bunga yang menghiasinya. (Indah S. Ariani), Foto: ISA

MENYIBAK HALIMUN DI LAWANGWANGI


Di ketinggian Dago Giri, ‘Halimun’ turun. Di Lawangwangi, kabut wacana yang melingkupi dunia seni rupa, sedang disibakkan.

Di sebuah Jumat malam yang masih muda dan dirembesi gerimis, Sunaryo, perupa kawakan pemilik Selasar Sunaryo melakukan aksi penembakan. ‘Target’nya berada di perbukitan, beberapa mil di seberang tempatnya berdiri. Tak terdengar letusan. Di seberang sana juga tak terdengar suara apa-apa, hanya senyap. Massa yang berdiri di sekeliling Sunaryo menahan napas, cemas menanti kejutan yang akan mereka saksikan. Sunaryo kembali mengarahkan ‘senjata’ ke seberang sana. Lagi-lagi tak terjadi apa-apa. Orang-orang makin penasaran dan memandang lebih tajam ke seberang. Di tembakan ketiga, tiba-tiba sebaris kata menyala di kejauhan sana: HALIMUN. Dengan huruf kapital dari jajaran neon, kata yang dalam bahasa Sunda berarti kabut itu, terlihat menyerupai tulisan Hollywood yang tersohor dari kejauhan. Semua orang di sekitar Sunaryo terpana menatap instalasi karya Deden Sambas tersebut, diam sejenak untuk kemudian tertawa. Sebagian lagi tersenyum sambil geleng-geleng kepala –tak sedikit pula yang menggerutu-. Barangkali mereka membayangkan permainan imaji yang melintasi kepala mereka beberapa detik sebelumnya. Sebuah saat ketika berbagai tanya bermain-main, sambil mencoba menjawab kemungkinan yang terjadi dari penembakan Sunaryo itu.

Kolaborasi Seni dan Sains
Performing art itu menjadi adegan paling berkesan dalam pembukaan Lawangwangi Art and Science Estate akhir Januari silam. Ratusan orang memadati pelataran curam pusat seni rupa baru untuk mengikuti seremoni dan juga pertunjukan menarik kelompok perkusi remaja Jendela Ide pimpinan Marintan Sirait. Mereka tampil dinamis dan memikat. Andonowati, profesor matematika yang juga penggagas berdirinya ArtSociates dan Lawangwangi tak mampu menutupi bahagianya ketika memberi sambutan. Dengan bersemangat dan suara bergetar, Aan –begitu Andonowati biasa disapa- menjelaskan ihwal yang melatarbelakangi mengapa ia membuka pusat seni dan menyandingkannya dengan sains. Ia juga menjelaskan tentang ArtSociates yang diresmikan pada 2007 silam, untuk memberi kontribusi pada dunia seni rupa Indonesia, lewat promosi yang diberikan untuk para seniman agar bisa makin berkibar di kancah internasional. “Banyak yang bertanya pada saya, apa beda Lawangwangi dan ArtSociates. Jawabannya, ArtSociate adalah penghuni Lawangwangi yang didesain oleh arsitek Baskoro Tejo, bersama LabMath- Indonesia,” kata Aan. LabMath Indonesia sendiri, adalah sebuah institusi riset yang menstimulasi dan membantu eksekusi riset saintifik tentang masalah-masalah penting yang meliputi oseanografi garis pantai dan lingkungan air, termasuk efek perubahan cuaca.

Keyakinan bahwa seni sejatinya bersaudara dengan sains, membuat Aan dan ArtSociates menggagas pula program residensi antara seniman dengan ilmuwan yang untuk kali pertama akan dijalani oleh Christine Ay Tjoe. Perupa yang akan berpameran di Lawangwangi pada April mendatang, direncanakan akan menjalani residensi di Belanda selama dua bulan, Mei hingga Juli dan akan berkolaborasi dengan fisikawan Detlef Lohse. Selain program itu, ArtSociates juga akan menggelar ajang Art Award yang terbuka bagi umum, untuk menjaring bakat-bakat baru berkualitas dalam kancah seni rupa Indonesia. Kurator Jim Supangkat, kritikus senirupa Carla Bianpoen, Deborah Iskandar dari balai lelang Sotheby’s, dan kolektor Syakieb Sungkar dipilih untuk menjadi juri ajang ini. Kolektor menjadi juri? Aan berkilah bahwa tanpa kolektor, pergerakan karya dan apresiasi terhadap benda seni tidak akan terjadi.

Menghalau Pasar
Namun bukan berarti Aan dan ArtSociate mengagungkan pasar lebih tinggi dari ide dan karya itu sendiri. Sebab, pameran bertajuk Halimun -dikuratori oleh Rifky Effendi- yang digelar menandai dibukanya Lawangwangi sejatinya adalah upaya untuk kembali menempatkan karya seni di tempat semestinya: sebagai penentu pasar dan bukan sebaliknya, pasar menjadi penentu karya seni. Dalam pengantar pameran yang dibuat oleh Rifky, terbersit kecurigaan seni rupa yang bergantung pada pasar. Gaya artistik yang mapan saat ini dianggap sebagai akibat dari pusaran pusar belaka. Kondisi ini ditengarai membentuk lapisan tanda-tanda yang mengecoh dan mengganggu pengamatan penikmat seni rupa. “Suasana ini seperti membentuk lapisan kabut yang menyelubungi suatu tempat yang menyelimuti, menyelubungi, dan menghalangi pandangan, kendati kita masih bisa melihat sesuatu dengan batasan jarak pandang tertentu. Halimun dalam pameran ini menjadi metafora untuk menjelaskan gejala medan sosial kapital seni rupa Indoenesia saat ini,” Rifky menjelaskan.

Menurut Rifky, pameran ini merupakan upaya untuk kembali mengajak khalayak seni rupa untuk kembali masuk ke dalam pusaran lapisan nilai, dan meninggalkan sejenak keriuhan pasar, tempat di mana, nilai acap kehilangan makna. Diikuti 49 perupa, memang terlihat adanya upaya menjawab kegelisahan tersebut. Dalam pameran itu, karya yang bicara. Euforia pasar sedikit redam, terganti bisik-bisik penikmat seni yang lantas memberi nilai secara lebih objektif. Dalam pameran tersebut segala tema dan material menjadi sebuah keniscayaan. Banyak seniman yang tetap berpegang pada ciri khasnya. Beberapa lainnya, mengolah material baru untuk mendapatkan kesan berbeda, sisanya, mencoba memasuki ruang eksplorasi baru atau juga melakukan kilas balik dan mencoba datang dengan gaya mereka sebelumnya.

Sebut misalnya Mella Jaarsma. Ia masih senang bermain-main dengan jubah dari berbagai materi yang telah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Kali ini, ia mengambil piring kaleng sebagai material dan menghadirkan efek yang menarik, karena dua jubah yang diletakkan tepat di depan jendela kaca itu, serupa sepasang pengantin yang tengah bersanding menikmati hijau bukti di kejauhan. Radi Arwinda, mungkin tepat untuk menyontohkan perupa yang menggunakan material baru. Ia ‘menyalin’ Pet Pet, monster rekaannya ke dalam material kayu yang menghadirkan kesan baru dari objek jenaka itu. Dalam pameran ini, beragam gaya memang mewujudkan dirinya secara utuh. Realis terasa sebagai aliran yang sangat kuat terlihat. Sebagian besar seniman memang melandaskan kreativitasnya pada aliran ini. Yogie Achmad Ginanjar, Cecep M.T., juga kelompok TAXU dari Bali adalah sedikit dari sekian banyak seniman yang memilih garis realis. Di kelompok TAXU, hanya Gde Mahendra Yasa yang kali ini meninggalkan gaya realisnya. Seniman yang biasa menjadikan torehan cat yang baru keluar dari tube sebagai obyek eksplorasi karya, kali ini menampilkan lukisan abstrak dari seri apropriasi atas karya abstrak De Kooning. Citra abstak perempuan telanjang dalam berbagai paduan warna cerah akan terasa mengagetkan jika kita terbiasa dengan ketelitian realisme Hendra. Terlebih bila kita belum kenal karya De Kooning. Gambar itu akan terasa sangat asing dan barangkali menggelitik pikiran untuk bertanya, “Di mana indahnya?”

Namun begitulah, di Halimun, semua ide memang sah-sah saja digulirkan. Perubahan apa pun menjadi niscaya dan serupa tantangan untuk menyiapkan diri keluar dari lapisan pusaran pasar. Barangkali terlalu dini untuk berharap banyak pada Lawangwangi. Perjalanan panjang masih harus ditempuh baik oleh Aan, ArtSociates dan Lawangwangi untuk membuktikan diri bahwa komitmen mereka juga bukan sekadar euforia. Mampukah mereka? Kita tunggu saja kiprahnya. (Indah S. Ariani), Foto: ISA

MEMBURU SIMETRI



Pameran Ay Tjoe kali ini menantang penikmatnya untuk menjadi simetri: 20 meter kanvas, 20 potong lukisan, 20 orang kolektor.

Perburuan karya selalu punya kisah bagi tiap kolektor. Lazimnya, mereka berburu diam-diam. Kalau pun ada cerita, umumnya kisah perburuan itu beredar hanya sebatas teman. Kabar baru akan tersebar jika sebuah karya –apalagi karya seniman papan atas- sudah bertengger di dinding rumah atau museum pribadi sang kolektor. Tapi kelaziman ini dilompati di pameran tunggal Christine Ay Tjoe awal Januari lalu. Di sini, dua puluh kolektor yang berminat memiliki karya seniman jebolan Institut Teknologi Bandung ini diajak duduk bersama, berdiskusi, dan berembug soal bagian mana yang akan jadi bagian mereka.

Inovasi Perburuan
Sebuah ruang bulat mengisi bagian tengah ruang pamer utama di galeri Sigi Arts. Sebuah pintu kecil menjadi jalan masuk ke dalam ruang menyerupai tabung itu. Segerombol orang membagi diri mereka dalam kelompok lebih kecil, berpencar menelusuri dinding kayu berbentuk silinder dan menyimak gambar sepanjang 20 meter –mengingatkan kita pada wayang beber- yang dipajang di sana dengan intens. Mereka bergeser, berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya sambil sibuk berdiskusi. Beberapa orang di antara mereka memegang post it, menyobeknya dan menempelkan kertas kuning muda itu ke lukisan berwarna pastel yang direkatkan dengan tablet magnet ke bilah besi yang menempel di dinding tabung. Sebagian lain sibuk menunjuk-nunjuk, melakukan gerakan-gerakan memenggal kertas dengan ukuran lebar berbeda di udara. Wajah-wajah serius sesekali berganti senyum atau bahkan tawa. Celoteh segar acap berujung pada obrolan serius yang menyedot perhatian semua orang dalam tabung itu untuk ikut merubung.

Rombongan itu lalu kembali pindah ke ruang depan di mana sebelumnya berlangsung diskusi hangat yang membahas soal bagaimana ‘pembagian’ yang paling tepat untuk lukisan panjang itu. Awalnya, karya yang diberi judul Symmetrical Sanctuary itu akan digunting menjadi 20 bagian agar ke-20 kolektor yang mendapat ‘tiket’ hadir di acara siang itu mendapat karya tersebut. “Tapi akhirnya dibagi 19 dan sistem pembagian berdasarkan undian,” kisah Syakieb Sungkar, salah satu kolektor yang ikut serta memperebutkan karya Christine Ay Tjoe, seminggu setelah acara itu. Undian, adalah wacana yang mengemuka dari lantai diskusi ketika keduapuluh kolektor melihat langsung karya yang ditawarkan. “Kalau dibagi 20, sepertinya akan membuat pemenggalan gambar jadi tidak pas dan lukisan justru kehilangan estetikanya,” begitu alasan yang mereka lontarkan. Potongan lukisan tetap genap menjadi 20 karena Ay Tjoe membuat satu lukisan terpisah yang awalnya ia maksudkan sebagai contoh potongan. Karya ini belakangan ikut diperebutkan untuk memenuhi kuota 20 lukisan itu.

Interaksi Interaktif
Minat tinggi untuk memiliki karya Ay Tjoe bukan fenomena baru dalam dunia seni rupa kontemporer. Karya perempuan cantik berkulit putih ini selalu jadi incaran para kolektor karena orisinalitas gagasan yang ia tawarkan. Angka acap bergerak sangat elastis ketika berhadapan dengan karyanya dan itu adalah fakta yang biasa. Pameran dan antusiasme memang hal yang pasti terjadi. Maka, ketika ia datang dengan ide mempertemukan para kolektor, banyak yang sangsi apakah itu bisa dilakukan. Sebab seperti yang selama ini diyakini, perburuan koleksi adalah serupa arena kompetisi, di mana semua orang ingin menjadi pemenang. Mereka harus berhadapan dengan satu hal tak kasat mata bernama: ego.

Nyatanya, di ruang diskusi itu, sebuah interaksi menarik terjadi. Mereka yang diragukan kesediaannya untuk duduk bersama, terbukti mau berkumpul dan sama-sama berbagi wacana. “Saya memang ingin menawarkan nuansa baru pada cara orang menikmati karya. Hal yang utama, di sini bukanlah tema melainkan interaksi yang terjadi antara mereka,” kata Ay Tjoe di sela-sela kesibukan menjawab pertanyaan para kolektor. Ia, Asmudjo Jono Irianto sang kurator, dan Rachel Ibrahim pemilik Sigi Arts memang berusaha tidak mengintervensi diskusi itu. Mereka hanya duduk mendengar dan sesekali menjawab atau memberi masukan pada diskusi yang berjalan sangat dinamis itu. Ketika perbincangan antar para kolektor itu mulai mengerucut pada soal bagaimana membagi karya Ay Tjoe, Rachel bahkan menarik Ay Tjoe dan Asmudjo keluar arena dan melipir ke ruang kantornya. “Supaya keputusan mereka benar-benar murni hasil diskusi. Kami sengaja tidak mau terlibat,” kata Rachel.

Tentu bukan hal mudah menerapkan pola itu. Kebingungan terlihat jelas dalam sesi yang baru pertama kali diadakan ini. “Bagaimana menentukan bagian mana yang harus dipotong?” tanya seorang peserta diskusi. Ay Tjoe mengaku, “Sama sekali tak mudah memutuskan di bagian mana karya ini harus dipotong.” Itu sebabnya, ia memberi kesempatan pada ke-20 orang itu untuk menyimak dan menentukan sendiri bagian mana yang mereka sukai. Nyatanya, cara seperti itu cukup sulit menghasilkan kesepakatan. Bagaimana kalau satu bagian disukai beberapa orang sekaligus? “Justru itu yang saya harapkan. Jadi mereka harus berkompromi untuk mendapat jalan keluar,” katanya sambil tersenyum. Menurutnya, interaksi antar-kolektor itu sesungguhnya yang menjadi muatan utama pamerannya kali ini, “Lukisan hanya saya tempatkan sebagai sarana dan bukan obyek utama.”

Ziarah Hidup
Namun, kendati diposisikan tidak sebagai obyek utama, lukisan Ay Tjoe tetap saja jadi pusat perbincangan. Citra, tarikan garis dan pilihan warna yang ‘sangat Ay Tjoe’, mengundang berbagai penafsiran. Dalam dua puluh meter kanvas yang ia jadikan taman bermain ide-idenya, Ay Tjoe menyodorkan begitu banyak peluang penafsiran. Kekuatan garisnya yang ‘sangat grafis’ membentuk citra sarat makna. Ambiguitas terasa jelas pada tarikan garis dan pulasan warna, meruakkan paradoks yang begitu kuat. Introvert-ekstrovert, rapuh-tegar, banal-lembut, sederhana-kompleks, diam-lantang, dan beragam tarik menarik kutub mengundang berbagai interpretasi personal yang berbeda akan muncul antara satu orang dengan yang lainnya.

Mungkin Ay Tjoe tak bermaksud menuangkan begitu banyak paradoks ke dalam Symmetrical Sanctuary. Ia hanya bercerita tentang apa yang selama ini ia amati, alami, dan serap dari hidup –baik hidupnya, maupun pusaran kehidupan di sekelilingnya- untuk ia tuangkan kembali menjadi imaji yang bisa mewakili. Seperti yang diungkapkan Asmudjo dalam kuratorialnya, berkarya adalah katarsis bagi Ay Tjoe. Kecenderungan Ay Tjoe untuk melakukan pendekatan intuitif –berbeda dengan perupa lain yang cenderung menggunakan perencanaan visual yang pasti- meniscayakan terjadinya percikan atau bahkan ledakan perasaan ke permukaan kanvasnya. Alih-alih bersuka ria dalam euforia realis yang tengah mendominasi ‘etalase’ seni rupa, Ay Tjoe memilih jalan sepi ke dalam dirinya, menziarahi, dan lantas menggali tumpukan-tumpukan kesan, pikiran, perasaan yang mengendap untuk kemudian menariknya satu persatu sebagai imaji multi-tafsir yang sangat mungkin lantar bersimetri dengan geliat jiwa penikmatnya.

Ini diakui Ay Tjoe. Pada Asmudjo, ia mengatakan bahwa yang tertuang pada bidang panjang itu adalah rangkaian fragmen hidupnya yang terjadi dalam babak yang lantas ia sebut sebagai symmetrical sanctuary. “Sulit untuk dapat menduga sejak kapan fase ini berlaku dalam perjalanan hidupnya,” tulis Asmudjo. Maka buramlah batasan rentang masa lalu yang dikunjungi Ay Tjoe. Bisa setahun, dua tahun, sewindu, juga bisa saja satu atau dua dekade di belakangnya. Dalam ranah waktu, Ay Tjoe menarik kembali karyanya sebagai sebuah catatan personal yang hanya ia sendiri yang paham huruf dan simbol yang tertera di dalamnya. Ia pemegang kunci yang membiarkan orang yang berada di hadapan ‘buku’ itu untuk memprediksi secara bebas bicara tentang apa kisah di dalamnya. Menurutnya, memahami cerita adalah hal yang tak terlalu penting dilakukan oleh penikmat lukisannya. Ia mungkin lebih senang mengajak mereka menyimetrikan cerita, mengambil peran dalam kisah tersebut dan bersama-sama menyebut ‘kita’ untuk dirinya dan mereka. (Indah S. Ariani) Foto: ISA

Dunia Kata DIAN & LEILA


Dunia Tanpa Koma menghubungkan mereka. Kirana membuktikan bahwa keduanya teman sejiwa.

Lima tahun silam, sebuah keyakinan mampir di benak Leila S. Chudori ketika mulai membuat konsep mini seri Dunia Tanpa Koma (DTK). Sejak awal, ia sudah memastikan, Dian Sastro sebagai orang yang paling tepat memerankan Raya, wartawan cerdas rekaannya. Rasa sangsi sempat melintas di benak Leo Sutanto produser mini seri itu, tapi Leila tak surut. Di peluncuran Ungu Violet, sejilid skenario diangsurkan ke tangan Dian.

Mini seri 14 episode itu juga menandai dimulainya jalinan persahabatan antara Dian dan Leila. Kedekatan terjalin tak hanya karena kerja mereka. Banyak hal di luar pekerjaan yang mereka perbincangkan. Dari mulai kondisi politik internasional, hingga kepiawaian memasak si Mbok di rumah Leila. Sementara itu, kerjasama terus berlanjut. Drupadi, sebuah film pendek yang dibintangi Dian, adalah hasil kolaborasi mereka berikutnya. Film yang disutradari Riri Riza itu menangguk banyak perhatian.

Tahun lalu, ketika Leila meluncurkan kumpulan cerpennya, 9 Dari Nadira, mereka membuat produksi teater bersama. Diselenggarakan oleh Yayasan Dian Sastro, acara peluncuran buku yang di gelar di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki itu menjadi sangat berbeda. “Saya memang tidak mau acaranya sekadar baca cerpen. Lalu terpikir untuk mengadopsi salah satu cerita menjadi naskah teater,” kata Leila. Berpasangan dengan Lukman Sardi, Dian tampil cemerlang. Penampilan mereka menangguk banyak pujian.

Saat bertemu pertama di DTK, sudah pernah bertemu sebelumnya?
Dian Sastrowardoyo (DSW): Belum pernah, tapi saya sudah seringkali mendengar nama Leila Chudori dari ibu saya. Menurutnya, Mbak Leila adalah salah satu teman baik ayah.
Leila S. Chudori(LSC): Bayangkan, saya dulu berteman dengan ayahnya, sekarang dengan anaknya, hahaha. Dulu, ayahnya itu teman dekat kakak saya. Waktu awal kenal, Dian memanggil saya Tante, karena mamanya menyuruh dia memanggil begitu pada saya. Tapi saya keberatan dan meminta Dian memanggil Mbak saja.

Jadi hubungan itu sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum kerjasama dimulai, ya?
DSW: Iya, lewat orang tua saya dan kakak Mbak Leila.
LSC: Bahkan juga lewat eyang Dian, Pak Subagio Sastrowardojo, saya sudah kenal lama, ketika beliau mendirikan Yayasan Lontar bersama Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, John McKlein, dan beberapa orang lainnya. Jadi begitu Dian muncul di film pertamanya, Bintang Jatuh, saya langsung bertanya-tanya, anak ini siapanya Pak Subagio dan Marina Sastrowardoyo (Tante Dian-red), ya?

Di luar urusan kerja, apa yang biasanya Anda berdua bicarakan?
LSC: Banyak hal. Sering Dian menelepon saya sekadar untuk berdiskusi tentang hal-hal yang menarik perhatiannya, seperti konflik Palestina, atau urusan pribadi.

Interaksi seperti apa yang diperoleh dari hubungan ini?
DSW: Saya merasa bisa bertukar pikiran dengan orang yang punya logika berpikir yang sama dengan saya. Mbak Leila berasal dari keluarga yang cara berpikirnya tidak jauh berbeda dengan cara berpikir keluarga saya. Jadi saya seperti bertemu dengan anggota keluarga lainnya. Saya seperti bertemu Tante atau sepupu yang jauh lebih dewasa.
LSC: Hahaha, “Tante”? Tapi memang, waktu pertama kali bertemu di DTK, Dian berusia 27 tahun dan itu artinya kami berbeda usia tepat 20 tahun. Umur saya memang jauh lebih dekat dengan ibunya. Tapi jarak itu tidak terlalu jadi kendala. Kalau saya melihat keputusan-keputusan hidup Dian, saya pikir, keputusan itu memang yang seharusnya diambil oleh orang seusianya.

Bagaimana kerjasama Anda bisa berlanjut hingga sekarang?
LSC: Semua berawal dari DTK. Sejak membuat konsep naskah, saya sudah membayangkan Dian yang harus memerankan tokoh Raya. Saya bilang pada produser dari Sinemart, Leo Sutanto dan dia menyambut baik. Dia bilang, bagus sekali kalau bisa menarik Dian, karena dia susah sekali diajak membintangi sinetron.
DSW: Saya bekerjasama dengan Mbak Leila selalu berhubungan dengan tulisan. Kalau tidak urusan script film, script serial, atau buku. Saya biasanya ‘jauh jodoh’ sama penulis. Banyak penulis di Indonesia, tapi jarang sekali yang saya langsung merasa cocok dengan tulisannya. Gaya penulisan Mbak Leila bagi saya distinctive sekali, gaya bahasanya, saya banget! Saat pertama membaca naskahnya, saya langsung berpikir, “Ok, saya mengerti jalan logikanya. Cara orang menulis itu kan cara orang berbahasa. Cara orang berbahasa itu cara orang berpikir dan saya rasa, saya suka sekali dengan caranya berpikir.

Kenapa saat itu yang terpikir adalah Dian?
LSC: Tokoh dalam mini seri itu, Raya, adalah perempuan cerdas yang juga punya kelemahan. Dia seperti manusia cerdas lainnya yang menginginkan hal baik, tanpa sadar kalau ada wilayah di luar dirinya yang terlanggar. Saya membayangkan, yang bisa memainkannya adalah dia. Pak Leo sampai memikirkan bagaimana strategi agar Dian mau bermain. Lalu saya membuat treatment lebih panjang, menyerupai script. Kami memberikan treatment itu di peluncuran film Ungu Violet. Saya tidak sempat kenalan juga saat itu, karena ramai sekali, dan saya tidak terlalu senang berada dalam kerumunan, kecuali untuk tugas reportase. Saya tidak tahu kalau treatment itu benar-benar diberikan pada Dian saat itu. Dua hari kemudian, Wisnu, manajer Dian menelepon saya dan memberitahu bahwa Dian bersedia main dalam mini seri kami. Dia bilang, selama ini belum pernah mendapat naskah sinteron seperti yang saya buat. Dia banyak tanya pada saya bagaimana agar bisa masuk ke dalam peran ini dengan baik. Saya menawarkan Dian untuk observasi kerja wartawan di kantor majalah Tempo. Dian sempat tandem dengan saya bekerja di Tempo selama beberapa hari. Dia ikut rapat redaksi, dan tur berkeliling ke redaksi sampai percetakan. Saya melihat itu sebagai bukti kesungguhannya dalam dunia peran. Dari situ kami merasa cocok. Dalam banyak kesempatan, dia juga memberi banyak masukan pada saya.

Apakah improvisasi yang Dian lakukan sesuai dengan apa yang Anda bayangkan?
LSC: Iya. Dian juga sangat kritis. Dia jauh lebih berpengalaman dari saya dalam dunia film. Maka masukan-masukannya, memperkaya wawasan saya di bidang film. Dia termasuk orang yang peduli pada produk, jadi ketika dia terlibat dalam sebuah produksi, biar pun hanya sebagai pemain, ia peduli dan ikut memikirkan bagaimana agar film itu bagus. Kalau ada jalan cerita yang aneh, dia pasti langsung bertanya, kenapa begini. Saya menghargai itu. Itu penting buat saya. Mungkin tidak semua kreator suka mendapat masukan seperti itu. Dian selalu ingin ending yang membuat bangga semua orang. Buat orang yang tidak terbiasa dengan kekritisan, Dian akan dianggap sebagai orang yang sok tahu.

Selain karena chemistry yang nyambung, apa ada alasan lain yang membuat kerjasama Anda berdua terjalin begini baik dan panjang?
LSC: Saya sudah tahu how she is, mostly biarpun kami tidak ketemu tiap hari. Maksudnya, saya sudah tahu dia akan bereaksi bagaimana seperti juga dia sudah tahu saya akan bereaksi seperti apa ketika menanggapi hal-hal tertentu. Hal lainnya, saya kan single mother, Dian juga dibesarkan oleh seorang single mother. Ada banyak hal yang saya pelajari dari dia dalam menanggapi persoalan-persoalan tertentu dan bagaimana saya menghadapi anak saya karena saya membesarkan anak saya sendirian.

Di antara Dunia Tanpa Koma ke kerjasama berikutnya, Drupadi, dan lalu yang terbaru kemarin, Kirana, Anda berdua tetap berhubungan?
LSC: Iya. Beberapa kali kami punya rencana kerjasama. Tapi sering tidak jadi. Ada saja kendala yang membuat kerjasama itu tidak jadi. Baru pada saat Drupadi, kerjasama kami terjalin lagi. Lalu yang terakhir Kirana. Tadinya saya tidak bermaksud membuat pertunjukan ini. Saat saya bicara pada Wisnu, manajer Dian, saya hanya ingin bertanya bagaimana cara kalau ingin bikin acara di Goethe (Goethe Institut-Jakarta-red). Wisnu malah menawarkan diri membantu saya mengurusi semua. Saya bilang padanya, kalau saya tidak ingin acara peluncuran buku ini hanya berisi pembacaan cerpen karena cerpen saya panjang dengan kalimat-kalimat yang juga panjang. Lebih menarik kalau dibuat seperti teater. Dian awalnya bilang tidak bisa tampil karena ia memang sedang sibuk kerja. Tapi setelah skenarionya jadi, Dian bilang kalau ia siap bermain. Kami lalu memilih Arswendi sebagai sutradaranya.

Dari semua kerjasama yang pernah di lakukan, mana yang paling berkesan?
DSW: Kalau saya pribadi, yang terakhir kemarin, 9 Dari Nadira. Ketika saya berperan menjadi Kirana. Karena itu proyek yang kami persiapkan secara kilat.
LSC: Oya? Saya malah menyangka Dian tidak menikmati karena dia sempat nggak pe-de berteater dan memang terlihat agak nervous. Saya sampai berpikir, “Dian enjoy nggak ya?” Baru pada gladi resik terakhir saya lihat Dian sudah terlihat mulai rileks. Saat pertunjukan, Goenawan Mohamad bilang pada saya, kalau Dian dan Lukman Sardi bermain sangat baik.
DSW: Memang. Itu sebabnya, ketika pentas dan semua berlangsung lancar, saya kaget dan gembira sekali. Sampai gladi resik pun, saya masih susah menghapal naskah. Akting Lukman juga memang luar biasa. Dia, saat itu, bisa membuat saya melihat padanya dan benar-benar merasa kalau dia adalah suami saya. Begitu kuat aktingnya hingga saya terbawa masuk dan bisa mengimbangi.
LSC: Saya terpaku di bangku sampai akhir pertunjukan, padahal saya harus segera naik panggung untuk memberi bunga.

Buat Anda, mana yang paling berkesan?
LSC: Saya suka DTK dan Kirana. Tapi bagi saya, yang paling berkesan justru ketika DTK. Mungkin karena itu pertama kalinya saya terlibat produksi film. Biasanya saya selalu bekerja secara soliter.
DSW: Iya, saya pun pertama kalinya terlibat pembuatan film televisi. Dan hanya Mbak Leila yang bisa bikin saya main mini seri.

Sekarang kabarnya Anda berdua sedang mengerjakan buku?
DSW: Kami mau membukukan skripsi saya.
LSC: Sebenarnya sudah lama, tapi saya saja yang belum sempat menyelesaikan editing, jadi tertunda terus peluncurannya. Mudah-mudahan bisa tahun ini. Tunggu saja. (Indah S. Ariani), Fotografer: Arino Mangan, Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Tata Rias Wajah & Rambut: Oscar Daniel, Busana Dian Sastro: Tomodachi, Lokasi: Bibliotheque