Rabu, 02 Desember 2009

PANGGUNG BARU RATNA & ATIQAH


Berdua, mereka bahu membahu membangun impian akan masa depan perfilman Indonesia yang lebih cerdas.

“Sahabat, aku pamit ke Mumbai untuk kasih keynote speech di sebuah kongres perempuan yang berlangsung di sana, lalu ke Rome untuk Festival Asiatica Filmmediale. Doain Jamila memang, siapa tahu berpengaruh pada posisi Jamila sebagai wakil Indonesia di Oscar. Salam, Ratna.”

Sebuah SMS bertanggal 31 Oktober 2009 yang diterima beberapa orang dalam lingkup pertemanan Ratna Sarumpaet, akan segera dapat mengabarkan gairah baru yang tersimpan dalam diri pemain teater kawakan itu. Jamila yang disebut-sebut Ratna dalam SMS itu maksudnya adalah Jamila dan Sang Presiden (JDSP), judul film perdana yang diluncurkan Satu Merah Panggung (SMP), rumah produksi yang merupakan pemekaran dari kelompok teater yang dibentuk Ratna puluhan tahun silam. Film adalah ranah karya baru yang dimasuki teater yang identik dengan pertunjukan bertema perlawanan. Berkisah tentang perdagangan perempuan, JDSP merangkum kegetiran yang sarat gugatan, layaknya karya Ratna di panggung teater. Kali ini di panggung yang berbeda: layar film.

Bersama putri bungsunya, Atiqah Hasiholan, Ratna mantap menyongsong era baru masa depan teater yang begitu selalu berada di belakang perlawanan Ratna terhadap kemapanan. Kondisi sulit, acap menghadang Ratna sebab pilihan sikapnya. Mulai dicekalnya pertunjukkan, hingga jeruji penjara. Atiqah tahu benar risiko yang harus diambil ibunya demi apa yang diyakini. Maka tak sekali pun Atiqah surut mendukung ibunya dengan cinta. Tak hanya sekadar menjadi pemain andalan SMP, Tiqah yang memerankan Jamila kini terjun langsung mengelola rumah produksi yang menghasilkan film yang kini tengah berkelana di berbagai festival film dunia.

Atiqah diproyeksikan untuk menjadi penanggung jawab Satu Merah panggung kelak?
Atiqah Hasiholan(AH): Sebenarnya, tanpa diproyeksi, semua sudah mengalir sendiri. Kami sudah sama-sama berjalan ke arah itu. Jadi saya tidak merasa terbebani. Kebetulan itu memang dunia yang saya sukai dan saya punya passion di situ. Saya malah bersyukur karena sudah punya wadah yang dipersiapkan oleh ibu saya selama puluhan tahun dan jadi tanggung jawab saya. Saya ingin membuktikan kemampuan, baik untuk Umi mau pun diri saya sendiri. Hidup itu kerja, bukan?
Ratna Sarumpaet (RS): Saya nggak perlu bicara sesuatu secara eksplisit padanya karena seringkali, Tiqah sudah berjalan lebih jauh dari apa yang saya duga. Sekarang ini, Tiqah menjadi produser di rumah produksi Satu Merah Panggung. Satu-satunya yang bisa saya wariskan pada anak-anak dan kebetulan Tiqah yang paling dekat dengan itu. Saya nggak akan minta dia untuk melakukan misalnya menjadi sutradara teater dan sebagainya. Tapi saya hampir yakin, bersama waktu, Tiqah akan tahu mengelola itu. Dalam beberapa percakapan saya dengannya, saya tahu dia sudah di sana. Saya tidak merasa perlu membuat perjanjian hitam di atas putih untuk meminta komitmennya pada Satu Merah Panggung, tapi saya merasa, dia sudah di sana. Satu yang saya harapkan dari dia adalah dia bisa meletakkan dirinya di dunia perfilman tidak dipengaruhi ambisi yang ada dipermukaan saja, supaya potensinya tidak mubazir. Tapi saya nggak mau membebani Atiqah untuk jadi seperti saya karena mungkin saja dia malah bisa berjalan lebih jauh daripada saya. Tugas saya adalah memberikan spirit baginya. Saya punya cita-cita, meskipun nanti saya sudah mati, SMP akan tetap bisa dihormati orang dan tetap bisa memberikan karya-karya yang signifikan secara kualitas baik kualitas kreatif juga misi. Saya tidak pernah membuat karya tanpa misi sebab itulah yang menurut saya paling penting. Kalau sekadar berani buka baju, atau bicara pornografi, itu keberanian yang masih sangat dangkal menurut saya. Tapi saya juga tidak membahas itu dengan Tiqah karena saya tahu, dengan apa yang dia lihat dari diri saya, dia mungkin berpendapat ‘ah, ini bukan ruang saya’. Tapi nggak tahu juga Tiqah.

Jamila dan Sang Presiden karya pertama rumah produksi Anda?
RS: Ya. Karya pertama yang diluncurkan oleh rumah produksi kami, juga karya pertama saya sebagai penulis skenario dan sutradara. Walau pun tidak terlalu laku di pasar film tanah air, film ini disambut baik terlihat dari animo di berbagai festival internasional. Film ini akan mewakili Indonesia di ajang Academy Award mendatang. Buat saya, yang penting bukan Oscar-nya, tapi bahwa Indonesia memilih JDSP sebagai wakil di Academy Award itu buat saya kemajuan. Pengakuan bahwa kita butuh bicara tentang peradaban, tidak lagi hanya sekadar bicara tentang hal-hal artsitik yang menurut saya sudah seharusnya disajikan oleh seorang pembuat film. Itu standar. Karya yang bisa menjadi lebih, menurut saya adalah, ketika karya itu juga berbicara tentang peradaban, jadi bukan sekadar dongeng yang dirangkai dari mimpi. Saya memilih satu cerita yang bisa menyiram orang untuk berpaling pada soal peradaban dan memahami, bagaimana kemiskinan membuat orang berubah dalam kultur. Tapi ini memang konsep pribadi saya yang mungkin berbeda dengan konsep SMP yang berfokus pada pembuatan karya yang baik. Untuk rumah produksi mungkin akan berbeda dengan teater. Rumah Produksi harus bisa membuat film cerdas, tapi juga laku dijual. Ini tantangannya. Dia (sambil menunjuk Atiqah) yang harus cari duit.

Anda berdua sempat menyinggung soal perdebatan yang acap terjadi. Sehebat apa perdebatan yang terjadi di antara Anda berdua selama proses produksi berlangsung?
AH
: Umi itu orangnya sering keras pada awalnya. Tapi kalau diberi waktu berpikir, dia akan bisa menerima, sekeras apa pun bantahannya di awal perdebatan. Kalau bicara sama Umi memang harus ‘muka tebal’. Kebetulan, saya termasuk orang yang sangat cuek dan konsisten. Kalau sudah A ya A, B ya B. Saya straight forward saja.
RS: (Tiba-tiba memotong dan mengabaikan gerutu protes Atiqah yang merasa giliran bicaranya diambil sang Umi) Dalam hal ini, yang membuat sangat sulit adalah saya dan Atiqah ada di pihak yang berseberangan. Dia produser, saya sutradara. Saya punya kebutuhan banyak dan dia larang saya terus. Ini membuat kami berdamai. Yang menyulitkan saya adalah karena dia juga pemain. Saya nggak mau karena dia stress sebagai produser, ekspresinya jadi jelek. Tapi saya harus terima semua protesnya karena pembengkakan biaya yang terjadi di lapangan, kan? Kalau sebagai pemain, dia saya lepas. Kalau pun ada kritik, saya bisa dengan santai menyampaikannya di kamar. Yang banyak membuat kami sikut-sikutan dan sangat mungkin mempengaruhi proses produksi justru dari posisisnya sebagai produser.
AH: Terlepas dari produser atau nggak, ini kita bicara secara general. What I said? Umi itu orangnya keras. Nggak banyak yang bisa kasih masukan buat Umi. Dengan sikap Umi yang keras begitu, orang sudah mundur duluan. Untungnya, saya ‘muka tebal’. Straight forward saja kalau bicara. Terserah Umi nggak setuju atau kesal dengan apa yang saya sampaikan. Umi selalu butuh waktu sebelum akhirnya setuju dengan pendapat saya. Kalau orang lain, begitu didebat Umi, langsung malas menanggapi dan akhirnya memilih mengalah saja. Itu salah satu faktor yang membuat saya bisa bekerja sama dengan Umi adalah, dia orang yang keras, tapi tetap bisa menerima masukan.
RS: Atiqah bisa meyakinkan saya. Itu kuncinya. Kebanyakan orang punya pendapat, tapi tidak bisa meyakinkan orang lain tentang pendapatnya. Mungkin kelebihan lain yang dimiliki Atiqah adalah dia kenal saya.

Kapan rencana produksi berikutnya?
RS: Sudah mulai berjalan sekarang. Keberhasilan JDSP mungkin buah dari kekompakan kami. Sebab sebagai pemeran dan produser, juga anak yang tinggal serumah dengan saya, banyak yang kami hadapi. Kami bergulat berdua. Beruntung Tiqah punya stamina yang kuat untuk menghadapi saya. Kalau kami tidak cukup kompak, produksi ini mungkin tidak akan berjalan lancar. Karena membuat film itu seperti membabat dan mereboisasi sebuah hutan. Tapi kami berhasil memperoduksi sebuah film dan menurut saya itu bukti dari kerjasama yang baik. Tapi berhasilnya film itu disukai orang, tentu ada andil banyak orang lain di luar kami berdua.

Sekarang sudah mulai produksi film berikutnya?
RS: Sekarang ini kami masih konsentrasi membawa JDSP ke berbagai festival. Kami masih meramu resep yang mungkin berbeda dari resep rumah produksi lain yang mungkin memakai tema horror atau percintaan atau komedi seperti yang marak akhir-akhir ini. Saya setuju orang harus menonton sebuah produksi, tapi tetap harus yang cerdas. Misalnya pun kami membuat film dengan tema-tema yang dipilih arus besar perfilman Indonesia, film itu tetap harus cerdas.

Apa yang akan dilakukan SMP ke depan?
RS: kalau diperhatikan, SMP memang bukan seperti teater yang produktif menggelar pertunjukan rutin setahun sekali, misalnya. Sebenarnya, saya super produktif juga, hanya tidak dalam konteks pertunjukan. Saya terlalu banyak memiliki cabang hingga pertunjukan kami bisa dibilang relatif jarang dan jadi sulit produktif. Tidak dengan keluhan-keluhan standar seperti dana yang sulit, atau tidak ada penonton. Itu sih masalah klasik dunia teater, tidak perlu dibicarakan. Masalah produktivitas itu lebih pada pertanggung jawaban saya terhadap karya. Saya hanya berkarya ketika saya memang yakin akan mempertunjukan karya yang baik, bukan sekadar karena saya harus membuat pertunjukkan walau pun sering, setelah dua tahun tidak membuat pertunjukan, kerinduan untuk itu selalu muncul. Apalagi, umumnya dalam sebuah teater, selalu ada central figure yang membuat ketergantungan pada anggota teater lainnya. Ini yang coba saya hindari di sini. Membuat production house (PH) ini salah satu upaya saya untuk menghindari ketergantungan itu. Saya sediakan tempat seluas mungkin bagi anak-anak muda untuk berkarya, dan hasilnya saya belum tahu. Kita lihat nanti. Paling tidak, saya sudah menitipkan PH ini pada Atiqah. Saya yakin, dia pun nanti akan punya kebutuhan untuk berteater dan nggak perlu saya atur-atur. Jadi semua memang mengalir saja. Mungkin nanti kalau sudah menjadi rumah produksi, akan ada pola kerja yang berbeda dari seperti yang selama ini saya terapkan di sini. Atiqah mungkin harus membangun manajeman yang tidak bisa serileks yang saya terapkan di teater. Sejauh ini, saya lihat Tiqah mampu menjalaninya dengan total. (Indah Ariani), Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Foto: Nelly Wibisono, Rias wajah&rambut: Aries

Selasa, 01 Desember 2009

SESEDERHANA IDE TEGUH OSTENRIK


Karya-karya besarnya, acap bermula dari sebuah ide sederhana

Karya seni spektakuler, seringkali berawal dari sebuah ide sederhana yang sama sekali jauh dari berbagai kajian filosofi yang rumit. Pada banyak kesempatan, itulah yang terjadi dalam proses kreatif Teguh Ostenrik. Perupa jebolan Hochschule der Künste, -kala itu masih Jerman Barat- ini acap berangkat dari kejadian-kejadian kecil dalam hidup yang memberinya ide besar. “DeFacement dan Wok With Me adalah dua dari sekian banyak karya saya yang dimulai dari ide sederhana,” katanya di sebuah petang yang hangat di beranda berpemandangan lembah di rumahnya yang artistik. Menurutnya, impresi yang ia rasakan ketika mengalami sesuatu lebih banyak memberi ide untuknya, ketimbang buku dengan berbagai teori dan filosofi. Dengan kesederhanaan itulah, Teguh berkelana ke berbagai pameran seni rupa penting di banyak belahan dunia.

Dalam banyak kali, langkah yang ia ambil dengan alasan kepraktisan teknis, mendapat apresiasi estetika yang demikian gempita. “Ada hal yang lucu terjadi pada saat saya memamerkan kerya berjudul The Light of Bromo di Koln. Ketika itu saya masih tinggal di sana dan baru saja pulang dari Indonesia. Sempat jalan-jalan ke Bromo dan begitu terpukau dengan keindahan matahari terbit di sana, saya membuat karya itu dalam ukuran cukup besar, 2,50m X 2,50 m. Karena studio saya berada di lantai lima dan harus melewati tangga dengan bentuk memutar, karya itu lantas saya pecah ke dalam lima panel. Alasannya sangat praktis. Begitu dipamerkan, seorang penulis seni yang kebetulan pernah ke Bromo dan jadi sangat suka lukisan itu karena katanya saya bisa menuangkan dengan tepat nuansa warna matahari Bromo mengira pembagian lima panel itu sebagai sebuah pertimbangan estetika,” katanya sambil tertawa.

Dari Sawah dan Wajan
Teguh yang baru-baru ini memukau publik Jakarta lewat puluhan patung baja berkarat di Gedung Arsip Nasional dan ratusan wajan melayang di kubah atrium mal mewah Pacific Place ini juga menemukan tanpa sengaja konsep ide karya yang ia beri judul DeFacement dan Wok With Me itu. DeFacement menurut ayah empat putra ini berasal dari keterpukauannya pada bentuk tanah dan sawah yang ia lihat dari jendela pesawat sementara Wok With Me tak sengaja ia temukan dari wajan berisi spaghetti. “Saya memang senang memasak dengan wajan, dan bukan pan. Ketika sedang kumpul-kumpul dengan keluarga dan saya memasak buat mereka, saya melihat pola menarik yang terbentuk ketika sebagian wajan itu tertutup makanan. Tida-tiba saja muncul ide untuk membuat karya dari wajan. Awalnya saya ingin membuatnya dari wajan bekas. Selain ingin memuliakan wajan yang kerap hanya dianggap sebagai sarana memasak dan tak lebih penting dari makanan yang dibuat di dalamnya, saya juga ingin karya saya mendaur ulang limbah, seperti yang saya terapkan pada DeFacement,” kisah seniman yang karyanya dikoleksi beberapa museum seperti Museum Dahlem Berlin, Jerman dan Museum Seni Modern, Fukuoka, Jepang.

Hal menarik dari proses berkarya putra keenam dari Marsini dan Ostenrik Tjitrosunarjo ini adalah kendati tak pernah menyerah pada persoalan teknis yang berpeluang menghambat idenya, ia memiliki ketaatan sangat tinggi terhadap perhitungan teknis. “Hal pertama yang saya lakukan sebelum memulai sebuah proyek adalah mencari perhitungan teknis,” Teguh menjelaskan. Keika mengerjakan Wok With Me, ia berkonsultasi tak hanya pada Hadi, pemilik pabrik pemotongan baja yang jadi mitranya, tapi berkonsultasi pada konsultan arsitektur mal untuk mencari tahu kapasitas teknis maksimal yang tak membahayakan orang yang berlalu lalang di bawah karyanya. “Keterbatasan teknis bagi saya adalah frame. Saya akan berkarya sesuai kemungkinan yang ada di dalam frame. Meski tak menyerah pada kendala teknis, saya menghormati sekali perhitungan itu. Ketika dibilang pada saya batas kekuatan senar baja tempat karya itu digantungkan adalah 50 kilogram, saya bermain di bawah itu. Juga ketika disebut bahwa jarak antara wajan yang satu dengan yang lain harus 75cm dengan diameter maksimal wajan adalah 70cm, semua saya taati.

Tantangan Kanvas Kecil
Di mana pun berpameran, Teguh akan selalu memperhatikan hal itu. “Waktu memamerkan patung Yesus di Singapura, awalnya saya hanya ingin pakai satu sling-tali baja untung menggantungkan karya- agar tidak kelihatan. Tapi orang konstruksinya bilang harus pakai tiga supaya kuat dan aman, ya saya ikuti,” katanya. Akhirnya Teguh menggunakan tiga tali sesuai yang disarankan dan mengikuti aturan peletakan tali serta sudut kemiringan patung. “Saya percaya pembatasan teknis itu adalah struktur yang di dalamnya ada estetika. Saya tidak mau mengada-ada membuat estetika sampai mengabaikan struktur,” katanya.

Karya-karya Teguh umumnya berukuran besar. Khalayak seni rupa tentu masih ingat ketika ia membeli bagian-bagian Tembok Berlin dan memamerkannya sebagai karya seni. Kali lain, ia datang dengan lukisan-lukisan berukuran minimal 140 cm dengan ukuran maksimal tak terhingga. Hal ini sudah ia lakukan ketika mengerjakan tugas akhir masternya di Berlin, dengan karya berukuran 9 meter yang dibagi dalam 7 panel. “Mungkin karena saya suka dengan gerakan tubuh saya sendiri. Dengan media berukuran besar saya bisa melakukan gerakan dengan sangat leluasa ketika berkarya,” katanya. Teguh lantas membandingkan dengan karya-karya mutakhirnya yang baru saja dipamerkan di Galeri AOD di bilangan Panglima Polim. 500 panel lukisan yang dipamerkan hanya berukuran 10cm X 10cm. “Membuat karya yang kecil seperti ini jauh lebih susah karena kita harus membatasi ruang dan gerak,” katanya.

Kendati demikian, Teguh mengaku dari tingkat kepuasan, kanvas kecil memberi lebih karena keterbatasan ruang di kanvas kecil, menurutnya, menimbulkan masalah teknis yang sangat kompleks, “Tantangan kanvas kecil itu lebih besar. Kalau di kanvas besar, pelukis itu kayak tukan cat, bidang yang bisa digarap banyak.” Teguh lantas berkisah tentang sebuah gambar punggung perempuan berukuran kecil karya Pablo Picasso sangat bagus meski hanya terdiri dari empat gari. “Ketika seorang awam bertanya pada Picasso berapa lama mengerjakan karya tersebut, maestro itu bilang, 30 tahun. Pengalaman saya sendiri pun memang begitu. Butuh 34 tahun sebelum akhirnya saya bisa membuat karya berukuran 10cm X 10cm. Awam sering menyangka, makin kecil karya, makin singkat waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan. Itu asumsi yang tidak benar. Lalu awam juga sering menganggap realis bagus, tapi mereka tidak tahu bahwa untuk menjadi abstrak tiap seniman harus mempelajari realis dengan baik. Kalau tidak, dia tidak akan bisa mendekonstruksi imaji,” Teguh menjelaskan.

Persinggungannya dengan tari dan Buddha Zen, diyakini Teguh sebagai hal yang membuatnya dapat berdamai dengan bidang kecil kala berkarya. “Saya juga pernah membuat banyak sketsa (mencapai 1600 gambar) di sebuah block note kecil -juga berukuran 10cm X 10cm-. Semua saya buat di atas subway kota New York dan menghasilkan gambar yang menarik karena efek gerakan seismografis karena bukan tangan kanan saya saja yang bergerak, tapi juga tangan kiri karena gerakan kereta. Seri karya itu pernah saya pamerkan di Köln. Hal ini yang ingin saya ulangi dengan kanvas kecil itu,” ungkap perupa yang juga kerap merancang tata panggung dan cahaya bagi pertunjukan tari dan teater ini.

Kompleksitas Kesederhanaan
Pria yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti ini memang tak hanya bermain dalam satu bidang seni rupa saja. Selain lukis, patung, serta dekorasi panggung, Teguh pun membuat video art, bahkan koreografi untuk pertunjukan dan fashion show. Mana yang paling disukainya? “Semuanya sama.saja. Saya hanya selalu berusaha membuat karya yang provokatif. Provokatif terhadap ruang, juga provokatif terhadap orang-orang yang berada di ruang itu. Misalnya untuk Wok With Me. Otokritik saya terhadap karya itu adalah karena harus berkompromi dengan berbagai masalah teknis, kesan provokatif itu tak dapat dipenuhi dan berhenti pada kesan dekoratif saja,” katanya. Teguh mengatakan, awalnya, ia berencana menggunakan 40 wajan berdiameter 1,5m untuk menghasilkan kesan luar biasa. “Sayangnya secara teknis tidak memungkinkan,” katanya.

Ruang memang menjadi bagian penting dalam karya perupa ini. “Saya selalu berusaha menciptakan interaksi antara karya dan penikmatnya,” ungkapnya. Ia mengambil contoh karyanya yang berjudul Jalan Salib yang berada di Manado. “Kalau biasanya cukplikan Jalan Salib itu dibuat dalam diorama, maka saya membuatnya dengan patung-pantung berukuran life size yang mau tidak mau akan membuat penontonnya merasa jadi bagian dari karya itu,” kata perupa yang selalu melakukan pendalaman lewat bacaan untuk semua karya, bahkan yang berangkat dari hal-hal praktis sekali pun. “Karena bacaan itu penting untuk mencari penjelasan tentang apa yang dari pikiran praktis itu tak dapat diterapkan. Sebab saya lebih percaya bahwa ide itu lahir dari kerja, bukan dari bermimpi” ungkapnya lagi. Barangkali, ini serupa anomali dari konsep awam tentang seniman yang lebih sering berpandu mimpi ketika berkarya.

Dalam pandangan pria kelahiran Jakarta, 59 tahun silam ini, Seorang seniman sejatinya adalah pengamat sejati. “Kerja seniman yang sesungguhnya itu adalah observasi dan membuat keputusan. Karyanya adalah keputusan. Saya selalu mengajarkan murid-murid saya untuk melakukan observasi,” tutur Teguh yang juga mengadakan kelas melukis realis di rumahnya. Proses observasi, menurutnya merupakan kunci penting dalam kerja seorang seniman. Hal penting lainnya menurut Teguh adalah media. “Sebab media itu membuat karakter karya yang sama berubah menjadi lain. Beberapa karya, sengaja saya terapkan dalam lebih dari satu media. Misalnya saja karya saya yang berjudul Homo Sapiens. Selain di kanvas, saya menerapkannya juga di terracotta, perunggu, etching. Begitu juga karya saya yang berjudul Kamasutra. Ternyata memang, seniman tetap harus menghormati media, bukan hanya sebagai alat, tapi juga partner yang berinteraksi dengannya sepanjang proses berkarya,” ungkap Teguh yang mengaku menakzimi setiap media karena sifat dan daya tariknya yang berbeda.

Di luar kapabilitas teknis yang ia miliki, Teguh punya hal lain yang membuat karyanya selalu menjadi penting: kemampuan mengemas ide menjadi sebuah konsumsi public yang menarik. Misalnya saja ketika menggelar DeFacement. Teguh –dan timnya- berhasil membuat orang membicarakan pameran tersebut lewat rangkaian diskusi yang dengan sukses membentuk opini tentang karyanya.
“Kalau saya tidak punya kemampuan itu, mungkin saya akan mengada-ada dan membuat sesuatu yang over aesthetic dan akhirnya tidak memikirkan detail lagi. Justru karena saya selalu observe, selalu berpihak pada struktur, pada bentuk yang sederhana, semuanya menjadi terfokus. Membikin sesuatu yang sederhana itu tidak sederhana lho. Sama sekali nggak gampang,” katanya. Dalam pandangannya, kesederhanaan adalah proses deformasi segala kompleksitas menjadi sesuatu yang mudah dipahami, “Dan itu tidak mudah.”
Kedekatan Teguh dengan Buddha Zen barangkali bisa menjadi penjelasan tentang perjalanannya menuju kesederhanaan. “Itu yang dicari banyak orang sekarang: kekosongan dan zen memberi saya banyak pengaruh tentang pemahaman ini,” tandasnya. (Indah Ariani) Foto: Eliska, Leonardi Portaiture

TARIAN HATI HARTATI


Hartati hari ini adalah geliat gerak hati yang tak lagi takut pada jumud masa lalu atau ragu masa depan.


Perjalananku, pergerakanku, seluruh cerita hidupku sepertinya berlangsung di dalam kotak. Sudah bergerak ke mana saja aku? Sudah bergerakkah aku? Apa yang sudah kulakukan? Dari mana kotak ini berasal? Siapa yang meletakkan kotak ini di sini, mengurungku? Atau siapa yang meletakkan aku di dalam kotak ini?

Pertanyaan retoris itu terucap lirih di sela-sela gerak bisu dan musik sendu yang melingkupi panggung di Teater Salihara beberapa bulan lalu. Suara Hartati, koreografer pertunjukan bertajuk In/Out itu seperti tercekat kegalauan ketika membaca teks pendek itu. Tanpa tampil ke atas pentas, rangkaian pernyataan berimbuh deretan pertanyaan itu seperti dengan tepat melukiskan ekspresi hati Hartati. Seperti biasa, ada sejuta cerita (perempuan tepatnya) dalam tiap pertunjukan penata tari yang tumbuh besar di Muara Labuh, Solok, Sumatera Barat ini. Cerita yang mengungkap pergulatan batin yang mungkin terjadi dalam hati dan hidup banyak sekali perempuan. “Jadi sangat wajar ketika ada penonton yang lantas merasa karya saya mewakili mereka. Sebab ini tidak hanya tentang saya, tapi memang juga tentang mereka, kita semua,” kata Hartati beberapa jam setelah pertunjukkan malam itu. Bergabung dengan GUmarang Sakti

Berbincang dengan Hartati terasa seperti tengah menggali kuburan di mana segala kenangan tersimpan. Dalam dirinya, ada sebuah ruang tempat seluruh pergulatan batin perempuan berkulit sawo matang ini menggenang, lalu mengendap menjadi sumber bahan bakar kreativitasnya sebagai penata tari. “Sejak kecil, saya terbiasa melihat betapa tidak adilnya dunia ini pada perempuan,” katanya pelan. Tati –begitu ia biasa disapa- bercerita, ketika masih tinggal di kampung halaman, ia acap main ke rumah teman yang memiliki banyak anak. “Di rumah itu, saya sering melihat ibu teman saya menyediakan makan untuk suami dan anak-anaknya. Hanya sedikit makanan yang tersedia, dengan begitu banyak mulut yang harus dibagi. Semua orang di rumah itu kebagian, kecuali sang ibu. Saya bertanya, kenapa dengan pekerjaan dan tanggung jawab yang demikian banyak, justru ibu itu yang nggak kebagian makanan?” kesahnya. Di kemudian hari, endapan kisah itu ia gali dan olah menjadi koreografi berjudul Membaca Meja yang dipentaskan pada 2002.

Kisah itu hanya satu dari sekian banyak ketimpangan yang dialami perempuan. Sebab banyak karyanya yang lahir dengan cara seperti ini. Pertanyaan demi pertanyaan menyangkut kesetaraan antara lelaki dan perempuan, terus saja menghampiri Tati lewat berbagai pengalaman yang ia lalui. Perjalanannya mewujudkan obsesi menjadi penata tari, acap terbentur dinding kesempatan yang seperti berlaku tak seimbang baginya. “Status saya sebagai istri dan ibu, sering jadi alasan yang seperti pisau bermata dua. Beberapa kali saya kehilangan kesempatan karena pasangan tidak mengijinkan,” katanya tentang kejadian yang seirng terjadi di masa lalunya. Masa lalu karena pada 2007 Tati memutuskan berpisah dengan Boi G. Sakti, sesama koreografer yang selama lebih dari dua decade (sejak Tati bergabung dengan kelompok tari Gumarang Sakti pimpinan Ibunda Boi Gusmiati Suid) bersama-sama berjalan mengembangkan karier di dunia tari.

Membaca Tanya
Berbagai beasiswa Tati terima, kadang-kadang bersama dengan Boi seperti ketika mereka berangkat ke New York pada 2001 atas undangan Asian Cultural Center. “Baru pada tahun itu saya membuat karya dengan nama sendiri. Biasanya saya selalu muncul sebagai bagian dari Gumarang,” kenangnya. Karya itu berjudul Sayap Patah yang juga berkisah tentang perempuan yang dilumpuhkan oleh keadaan. Suara hati Tati lagi-lagi tertuang di sini. “Saya merasa ada sesuatu yang membuat kemampuan saya tak bisa tereksplorasi secara maksimal,” Tati menjelaskan. Karya solo perdana itu menjejakkan kaki Tati di kancah tari dengan cara yang berbeda. Ia menarik perhatian banyak pengamat dan membuatnya dipercaya menerima hibah dari Kelola, -sebuah lembaga yang berupaya mendukung kemajuan seni pertunjukan di Indonesia- yang menghasilkan karya Membaca Meja. “Meja adalah tempat kita belajar. Entah itu di sekolah mau pun di rumah. Dan meja makan, menurut saya adalah tempat pembelajaran hidup paling menarik jika merujuk apa yang saya lihat dulu, ketika masih kecil di kampung,” katanya.

Tati terus menari sambil berusaha mengatasi kegelisahannya tentang berbagai hal seputar perkembangan kariernya. Pada satu titik, ada semacam rentetan tanya yang berpusar pada persoalan eksistensi. Potensi yang ia miliki, sering tak berhasil menggapai tingkat tertinggi, karena keadaannya sebagai istri dan ibu seakan menjaringnya untuk kembali ke tanah. “Sistem matrilineal yang dielu-elukan sebagai penghormatan bagi perempuan, nyatanya tidak bisa menghalangi lelaki untuk memenjarakan perempuan dalam system yang walaupun sering tidak berpihak pada perempuan, tetap saja dibela mati-matian oleh para perempuan sendiri,” katanya geram. Tanya yang tak terjawab, seringkali memang terakumulasi menjadi satu kejumudan yang tak terhindari. Pada 1997, Tati memutuskan berhenti menari dan melipir ke pinggir panggung. Saya gamang dan marah. Sebagai penari, saya sudah berada di jenjang paling tinggi. Sudah mentok, tidak ada lagi yang lebih tinggi. Kalau tidak mulai menjadi koreografer, tentu karier saya akan selesai,” katanya dengan luka yang seperti masih bisa diraba. Ia benar-benar memutuskan tidak bersentuhan dengan dunia tari. Ia tenggelamkan dirinya dalam kesibukan mengurus keluarga. “Kalau pun terlibat kerja dalam sebuah pertunjukan, saya benar-benar memilih kerja yang jauh dari panggung, seperti menjadi penangung jawab ticketing,” kisahnya.



Bunda mertuanya lalu datang menawarkan solusi kala itu. “Ibu mengajak saya menjadi koreografer, tandem dengannya. Beliau memang mitra kerja yang baik dan sangat mengerti kegelisahan saya. Mungkin karena kami sama-sama penari dan perempuan, Ibu lebih mengerti gejolak yang terjadi dalam diri saya,” tutur Tati tentang Gusmiati yang ia kagumi. Ia menjawab tawaran Gusmiati dengan kreativitas. Ia buktikan kemampuannya dengan mengolah gejolak batinnya jadi gerak-gerak rancak yang membuat namanya terus melaju sebesar apa pun halangan yang diletakkan di hadapannya. Totalitas Tati diganjar beasiswa dari ACC untuk ia dan Boi. Mereka berangkat dengan anak pertamanya Menthari Ashia yang kala itu masih balita dan seorang adik iparnya.

Proses kreatifnya kembali bergulir dan Tati dapat membuktikan bakat besarnya memang layak mendapat acungan jempol. Dalam masa ini, ia cukup produktif mencipta karya yang cukup fenomenal seperti Sayap Patah, Membaca Meja dan Ritus Diri. Karya yang terakhir itu disebutnya sebagai karyanya yang paling buuruk secara estetika. menjadi semacam salam perpisahan keduanya pada panggung tari. Ketidaksepahaman soal eksistensi mencuat lagi dan membuatnya tak bisa menghindari kenyataan paling buruk yang harus menimpa pernikahannya denga Boi yang dalam pandangan banyak orang begitu ideal. “Di satu titik, saya harus memilih. Tidak ada orang ketiga dalam pernikahan kami. Masalah terbesar mungkin memang hanya persoalan eksistensi,” katanya lirih.

“Saat itu. keputusan saya bulat untuk tidak berkesenian lagi. Saya merasa sangat bimbang dan putus asa soal eksistensi saya sebagai seorang seniman,” katanya. Saat itu, Tati mendapat beasiswa dari sebuah lembaga yang harusnya bisa menjadi ajang untuk menempatkannya sebagai sosok yang diakui di kancah tari internasional. “Paling tidak untuk Asia Pasifik dan Amerika. Tapi ijin keberangkatan tidak juga diberikan oleh suami saat itu,” kisahnya. Dengan rasa frustrasi yang sangat sarat, Tati kembali memilih keluar dari hiruk pikuk panggung pertunjukan. “Saya menyewa toko di pasar Depok dan berjualan baju. Itu saya pilih untuk tidak membiarkan diri saya terus memikirkan karier saya yang seperti kembali menemui jalan buntu,” katanya. Tati yang mengaku tak suka belanja itu pun harus bergelut dengan sekian banyak kerepotan standar yang harus dilalui seorang pedagang. “Saya belanja sendiri ke Pasar Pagi, berdamai dengan segala hal yang tak saya sukai seperti berpusing-pusing mencari model baju paling bagus, menawar, dan membawa pulang belanjaan,” katanya.

Belajar di Pasar
Upaya itu cukup berhasil tak hanya untuk menghapus kekecewaan, tapi juga memupus identitasnya sebagai seorang koreografer cemerlang. “Siapa juga yang tahu saya di pasar?” tukasnya ringan diimbuhi tawa. Untuk memperlancar usaha, Tati tak segan berjualan di pasar kaget yang biasa ada di perumahan dekat rumahnya pada minggu pagi. “Saya nggak malu melakukannya. Santai saja,” kata Tati yang mengaku banyak mendapat pelajaran dari kegiatan berdagang itu. Layaknya laku lain, merasa mendapat ‘kekayaan’ dari salah satu fase dalam hidupnya itu. “Hal paling mengejutkan saya adalah kesadaran untuk tidak lagi meremehkan diri sendiri. Kita bisa melakukan apa saja yang awalnya terasa tak mungkin kita lakukan. Tapi pada saat yang bersamaan, saya juga disadarkan untuk tidak bersikap percaya diri berlebihan, karena manusia itu sesungguhnya bukan siapa-siapa ,” ungkapnya. Kontradiksi itu juga menumbuhkan sebuah keyakinan menarik dalam dirinya, “Setinggi apa pun posisi kita dalam masyarakat, kita tidak pernah benar-benar berada di atas. Selalu ada yang menempati posisi di atas kita, Jadi sombong itu memang sesuatu yang nggak perlu dalam hidup ini,” katanya arif.

Dalam masa itu pula, relasinya mengalami cobaan besar. Ia berpisah beberapa tahun setelah Gusmiati mangkat. Tanpa mertua yang benar-benar mengerti isi hatinya, Hartati harus berjalan sendiri melewati masa paling sulit dalam hidupnya. Perceraian yang terjadi pada 2007, membawanya kembali ke panggung pertunjukan lewat komposisi tari Hari Ini yang dipentaskan di Goethe Institute. Seperti kelahiran baru, karya Tati terlihat mengalami pergeseran bentuk kala itu. Gerak-gerak rancak pencak silat menjadi lebih hening dengan tuturan ide yang lebih sublime. Perkenalannya dengan banyak hal baru –salah duanya adalah yoga dan buku Laa Tahzan- kala melewati masa sulitnya, memberi Tati cara pandang baru yang lebih tenang dan matang. “Hal yang membahagiakan saya adalah kenyataan, bahwa orang menerima saya dengan tangan terbuka ketika saya kembali pada 2008 silam. Support mereka sangat luar biasa bagi kemantapan saya kembali berkarya,” katanya.

Setelah semua yang ia lalui, Tati kini mengaku ingin bisa memberi kebaikan bagi banyak orang. “Saya hanya ingin bisa berguna bagi orang lain, entah lewat karya atau lewat mengajar,” kata Tati yang kini mengajar di almamaternya, Institut Kesenian Jakarta. Sepak terjang Tati memang makin terasa di kancah pertunjukan tari. Baru-baru ini, bersama Miroto dan Eko Supriyanto, ia mengomandoi pertunjukan kolaborasi tiga institute seni dalam Festival Kesenian Indonesia 2009. Dinamika yang sejak kemucnulannya kembali telah pelan-pelan ia sampaikan. Lewat karya Hari Ini, Tati mengaku ingin bercerita tentang dirinya yang baru, yang siap memasuki segala kemungkinan yang terjadi dalam hidup. Jelas ada otimisme di sana. Ia nyatanya memang kembali dengan nuansa estetika yang jelas lebih matang. Penerima penghargaan Empowering Women Artist dari Kelola dan Hivos ini masih mempertanyakan banyak hal tentang ketimpangan yang terjadi pada perempuan. Ia masih menggugat lewat karyanya yang terus saja bermunculan. Tapi Tati memang hanya mau bicara tentang hari ini. “Sebab hanya hari ini yang nyata buat kita. Masa lalu sudah lewat dan gelap, sementara masa dating masih jadi sesuatu yang gaib, yang tidak kita ketahui bentuknya,” katanya mengutip Laa Tahzan. Di luar segala keinginannya untuk eksis di kancah seni, ibunda Menthari Ashia (10) dan Mikhailham Muhammad (6) ini ternyata masih menyimpan satu harapan sederhana,” Saya ingin jadi ibu yang bisa mengekspresikan diri.” Apa pun harapan Tati, tentu itu muncul dari geliat hati yang senantiasa menari. (Indah Ariani), Foto: Hermawan, Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Rias wajah&rambut: Aries, Lokasi: Salihara

CINTA MATI KOLEKTOR SENI

Di mata para kolektornya, seni tak berhenti pada titik investasi, melainkan pada cinta yang penuh apresiasi.

Apa arti seni tanpa apresiasi? Menjadi kolektor adalah satu dari sekian banyak cara mengapresiasi. Siapa pula yang bisa secara intens memberikan apresiasi kalau tak mengoleksi benda seni? Kolektor dan koleksi pada akhirnya memiliki interaksi personal yang acap tak terjamah oleh berbagai teori. Hubungan yang terjalin, acap kali melompat melebihi sekadar pembeli dan benda yang dibeli. Hati yang ikut bekerja, membuat seni tak berhenti pada titik di mana ia menjadi berharga sebagai investasi.

CHRISTINE SALIM
Sekitar satu dekade silam, saat kuliah di Los Angeles, Christine Salim jatuh cinta pada seni rupa. Waktu senggangnya, lebih sering ia gunakan untuk berkeliling berbagai galeri dan museum yang ada di sana. Kekagumannya pada lukisan sebenarnya telah tumbuh saat itu. “Cuma uang saku saya nggak cukup untuk membeli real paiting yang di Amerika harganya selangit,” kisahnya. Alhasil, ia hibur dirinya dengan mengoleksi litograf yang hingga akhir masa kuliahnya berjumlah cukup banyak. Keadaan itu membuatnya

Kapan mulai mengoleksi karya seni?
Sejak masih kuliah. Hanya saja, saat itu saya baru mampu beli litograf saja, karena harganya jauh lebih murah dari lukisan yang di Amerika harganya setinggi langit.

Apa yang dirasakan ketika mengamati karya seni yang Anda miliki?
Heran dan takjub sambil kepala saya tidak berhenti bertanya, “Kok bisa ya senimannya membuat karya sebagus ini?” Sebab, seringkali, sebuah lukisan atau obyek dating dari ide yang sangat sederhana, tapi dipresentasikan dalam bentuk yang menakjubkan. Selain persoalan teknis seperti itu, saya juga merasa sebuah tempat atau rumah akan menjadi lebih bernyawa dengan penyematan karya seni di dalamnya.

Bagaimana cara Anda menilai sebuah karya seni?
Saya selalu melandaskan penilaian pada pendapat pribadi. Kalau suka, saya akan beli. Jarang sekali saya membeli karya seni hanya berdasarkan keinginan untuk ikut arus, misalnya karena senimannya sedang naik daun dan karyanya pasti akan berharga mahal. Buat apa saya membeli mahal-mahal kalau setelah itu saya tidak bias menikmati?

Karya seperti apa yang menarik minat Anda?
Feminin dan cute. Saya suka sekali karya-karya seniman muda seperti Indie Guerillas, Radi Arwinda, Wedhar Riyadi karena karya mereka yang jenaka. Saya juga mengoleksi karya-karya feminin milik Bunga Jeruk, Ay Tjoe Christine, dan Ayu Arista. Koleksi saya memang kebanyakan kontemporer. Kalau dari old master, saya suka Hendra Gunawan karena cenderung feminin dengan warna-warni cerah.

Seberapa gigih Anda mengejar koleksi yang diincar?
Kalau sudah naksir satu karya dan tidak berhasil membeli, biasanya saya akan ikuti terus pergerakan karya tersebut. Kalau tidak berhasil membelinya di galeri, kadang-kadang saya dapat lewat lelang. Kepuasannya beda lho, mendapatkan karya dari lelang. Dulu, saat masih kuliah di LA dan

Kapan biasanya Anda punya waktu menikmati semua koleksi?
Secara reguler, saya merotasi koleksi. Waktunya bisa dua atau tiga minggu sekali, kadang juga sampai sebulan, tergantung keinginan. Menikmati koleksi, biasanya saya lakukan malam hari, saat sudah santai. Saya senang berkeliling rumah untuk mengamati dan sampai saat ini, masih mengagumi koleksi yang ada. Biasanya saat keliling itu saya terpikir untuk merotasi karya. Saya juga sering mengajak anak-anak berkeliling melihat lukisan dan patung serta instalasi. Begitu pun kalau ingin membeli, saya juga menanyakan pendapat mereka. Hitung-hitung melatih apresiasi mereka terhadap seni rupa. Foto: Ferdy Adrian Yulianto (Kencana Art Photography, Yogyakarta


AZIZAH MARZUKI-PAPADIMITROU
Dari mertua dan sang suami, ia belajar mengeja seni. Dari sebutir benih ketertarikan, Azizah melangkah pada ranah keterikatan yang terus saja berbuah subur, menumpuk berbagai manik, keramik, dan benda antik yang terus saja berebut ruang di apartemennya di bilangan Pakubuwono. Ia mengaku tak punya kata yang tepat untuk menjabarkan cintanya pada seni. “Ya, suka saja dan itu sulit dijelaskan,” katanya ringan.

Kapan dan kenapa Anda tertarik mengoleksi benda seni?
Sepuluh tahun lalu. Awalnya karena mengamati mertua dan suami yang suka mengoleksi lukisan dan benda seni lainnya. Tapi saya tidak terlalu suka lukisan karena mertua saya punya banyak sekali koleksi lukisan. Keterbatasan ruang di rumah juga membuat saya tidak terlalu tertarik pada lukisan.

Karya pertama yang Anda beli berdasarkan pilihan Anda?
Keramik. Untuk urusan memilih keramik dan benda antic berkualitas, saya belajar pada dokter Hardojo dan mertua. Lalu saya bergabung dengan Himpunan Keramik Indonesia. Koleksi saya teridiri dari keramik seperti guci dan piring-piring, juga lemari antic dan beads. Saya suka sekali menumpulkan manik-mani dan bola-bola batu yang sering saya buat jadi hiasan digabung dengan perak. Manik-manik yang saya kumpulkan, sebagian saya untai jadi kalung. BIasanya saya tambahkan emas atau perak.

Ke mana Anda biasanya ‘berburu’ koleksi antik?
Kalau sekarang, biasanya ada yang menawarkan pada saya. Tapi banyak juga yang saya dapatkan di balai lelang atau saat saya sedang jalan-jalan ke luar negeri. Seperti beads Afrika ini, saya dapatkan di Paris. Ada juga manik-manik saya yang berasal dari jaman Majapahit. Saya juga mengumpulkan gading gajah yang dulu dijadikan mas kawin.

Kenapa Anda suka manik, gading, keramik dan furniture antik?
Lucu saja. Manik-manik itu bentuknya bisa di olah jadi benda lain yang lebih artistik seperti jadi kalung atau hiasan meja. Lagi pula, untuk saya yang tinggal di apartemen, koleksi benda antik berukuran kecil jauh lebih memungkinkan karena tidak memerlukan ruang terlalu banyak dan bisa jadi bagian dari interior.

Setelah sepuluh tahun, berapa banyak koleksi yang sekarang Anda miliki?
Belum terlalu banyak, kok. Beli sedikit-sedikit saja.

Anda menyediakan waktu khusus untuk berburu?
Sambil jalan saja. Malah kalau sekarang, tukang antiknya yang telepon kalau sedang ada barang bagus. Kalau diladeni bisa sering. Tapi saya lihat-lihat dulu. Biasanya tiga bulan atau enam bulan sekali saya beli koleksi baru. Tapi sekarang ini, saya makin selektif. Kalau benar-benar bagus, baru saya beli.

Kepuasan apa yang Anda rasakan saat memiliki koleksi baru?
Mmmm… Senang tentu dan ada rasa excited. Walaupun kadang-kadang suami saya sering protes karena barang di apartemen kami makin bertambah, saya selalu berkelit dengan alasan, barang ini akan bisa mempercantik rumah kami nanti. Sekarang ini, koleksi saya tersebar di beberapa tempat, seperti rumah mertua dan kantor suami saya. Jadi bias dibilang, hobi saya sering terkendala keterbatasan tempat, hahaha.

Koleksi Anda didominasi benda antik dari mana?
Macam-macam. Kalau keramik dan furniture kebanyakan dari Cina. Kalau dari Indonesia, kebanyakan manik-manik dan perangkat perak, juga batik kuno.

Anda mengikuti perkembangan lukisan?
Tidak secara intens. Kalau untuk lukisan, biasanya saya mengikuti perkembangannya lewat diskusi dengan mertua dan beberapa sahabat yang memang bergelut di dunia lukisan. Saya tidak terlalu tertarik pada lukisan, karena suami saya dan keluarganya sudah mengoleksi banyak sekali lukisan. Saya ingin sesuatu yang berbeda.

Seni bagi Anda bermakna apa?
Sesuatu yang saya senangi dan penilaiannya sangat personal. Kalau senang, saya beli saja tanpa berpikir apakah karya itu sedang jadi tren atau tidak, berseni atau tidak. Saya menurut kata hati saja.

Apakah koleksi yang dimiliki mencerminkan diri Anda?
Agak bingung ya, karena saya mengoleksi banyak sekali benda. Susah kalau harus mengidentifikasi diri saya dengan satu jenis koleksi saja. Tapi mungkin, apa yang saya pilih itu pasti saya sukai. Semua yang menurut saya bagus.

Sering berburu di lelang?
Cukup sering, tapi biasanya saya tidak datang ke tempat lelang. Seringnya lewat telepon saja. Kebanyakan koleksi, saya dapat di lelang Christie’s. Kebanyakan furniture antic saya dapat dari lelang. Kalau keramik dan pernak-pernik lain, biasanya pemilik toko antiknya yang datang dan menawarkan pada saya.

Membeli lukisan di lelang?
Pernah juga, tapi itu untuk di kamar anak. Karena mertua saya kolektor lukisan, jadi suami sering bilang, nggak usah terlalu banyak membeli lukisan.

Perawatannya Anda percayakan pada siapa?
Saya sendiri. Lagipula benda seni saya kebanyakan furniture dan pernak pernik yang setiap hari dibersihkan. Sementara untuk kalung manik dan gelang-gelang, jarang sekali saya pakai. Jadi perawatannya bisa dibilang tidak merepotkan.

Mana yang paling Anda sukai?
Semua saya suka. Jadi susah juga kalau disuruh memilih mana yang paling suka. Sebab saya hanya membeli karya yang saya suka.

Apakah benda seni Anda mempunyai ‘efek terapi’ yang membuat Anda merasa lebih relaks setelah beraktifitas?
Nggak ya, biasa saja.


PAULA DEWIYANTI
Lahir di keluarga pecinta seni, Paula tumbuh besar di antara koleksi lukisan orangtuanya. Kecintaan kolektor yang membeli koleksi pertamanya pada usia 20 tahun ini pada seni terasah sejak usia belia. Kendati koleksi pertamanya adalah lukisan dekoratif karya seorang pelukis Vietnam, Paula justru terpikat karya seniman kontemporer yang menurutnya punya sihir yang menariknya masuk kedalam labirin keterpesonaan tak berujung. “Saya merasa sehati dengan karya kontemporer dan sanagt senang melihatnya,” katanya. Meski mengaku koleksinya belum terlalu banyak, Paula toh membutuhkan rumah dan kantor sebagai tempat memajang koleksi.

Sejak kapan Anda jatuh cinta pada seni rupa?
Sejak kecil saya suka seni. Dulu sempat les menggambar dan orang tua saya memang mengoleksi banyak lukisan. Tapi keinginan untuk benar-benar punya koleksi sendiri baru muncul pada usia 20-an.

Apa koleksi pertama Anda?
Koleksi pertama saya adalah lukisan dekoratif Vietnam, non kontemporer. Saat itu saya suka melihat pemandangan indah. Warna-warna dalam lukisan itu kebetulan atraktif dan vibrant.

Bila sekarang Anda lebih serius mengoleksi karya kontemporer, impresi apa yang Anda rasakan saat melihatnya.?
Hal menarik perhatian dari karya kontemporer adalah persoalan visual yang bagi saya -saat itu pertama kali bersinggungan dengan seni kontemporer- tidak biasa. Seperti agak minimalis. Saya langsung bisa menikmati dan mengerti karya tersebut tanpa membaca katalog. Saya merasa sehati dengan karya tersebut dan amat sangat senang melihatnya.


Berapa banyak karya seni yang Anda koleksi saat ini?
Baru sekitar 40-an. Belum banyak untuk ukuran kolektor. Lagipula jumlah terus bertambah. Saya juga gak sembarangan beli karena saya punya pertimbangan2 lain seperti saya harus suka sama karya2 senimannya secara total, bukan cuman karena 1 karya saja.

Di simpan di mana?
Sebagian dipajang di rumah, di kantor dan sebagian mau tak mau harus disimpan di gudang.

Kapan Anda menikmati koleksi tersebut? Punya waktu khusus?
Setiap waktu saat saya di rumah atau di kantor. Lebih sambil lalu daripada meluangkan waktu khusus.

Perasaan apa yang muncul dalam benak saat menikmati koleksi Anda?
Dari masing-masing koleksi saya punya imajinasi sendiri tentang karya tersebut dan relevansinya terhadap pengalaman pribadi saya. Ada banyak perasaan timbul waktu mengamati koleksi saya. Satu hal yang pasti, stres langsung hilang. Segala problema hidup sesaat seperti dapat dilupakan. Mungkin tepatnya membawa saya ke dunia lain dan saya sangat menikmati perasaan yang ditimbulkan itu.

Koleksi mana yang Anda anggap paling berharga? Ukuran yang Anda terapkan untuk membuat sebuah karya Anda anggap berharga, dari nominalnya, upaya mendapatkannya atau kisah di balik proses penciptaan karya tersebut?
Beberapa karya yang sudah jadi koleksi permanen, saya anggap sebagai yang paling berharga. Dan itu tidak melulu karena nominalnya. Ada sebagian karya yang saya anggap berharga sekali walaupun nominal harganya tidak atau belum tinggi. Tidak terbersit sedikit pun untuk menjual koleksi permanent itu karena karya-karya itu sudah menjadi bagian dari hidup saya. Mungkin karena ikatan emosionalnya, seperti kalau kita berpisah dengan karya tersebut ada bagian dari hidup kita hilang. Kesannya mungkin agak sentimental atau norak tapi saya rasa banyak kolektor berperasaan seperti itu. Saya rasa hal ini karena koleksi atau benda-benda sehari-hari yang kita miliki sadar atau tidak sadar itu adalah bagian dari identitas kita.

Di mana biasanya Anda berburu koleksi? Galeri, pameran, lelang, langsung pada seniman, dsb dan apa kelebihan serta kekurangan masing-masing tempat tersebut?
Biasanya lewat galeri. Ada kalanya membeli lewat lelang dan art fair. Sesekali beli langsung dari seniman tapi amat jarang sekali. Kelebihannya kalau lewat galeri karya sudah diseleksi. Senimannya juga sudah diseleksi. Kita bisa bertanya kepada pihak galeri informasi yang lebih dalam tentang karya dan senimannya. Lalu kalau pamerannya di galeri ada kurasinya. Kalau lewat artfair karya-karya yang dipamerkan jauh lebih banyak pada saat yang bersamaan, jadi lebih banyak pilihan. Lewat artfair tidak ada kurasinya walaupun kadang ada juga. Kalau lewat balai lelang pilihan juga banyak dan untung-untungan bisa dapat barangnya atau tidak di harga yang kita kehendaki. Jadi ada perasaan yang beda juga pada saat membeli lewat balai lelang. Ada perasaan kompetitif, cemas, semangat atau emosional pada saat bidding. Kekurangannya kalau di galeri pilihannya tertentu. Kalau tidak atau belum bisa menikmatinya maka tidak ada yang bisa dikoleksi saat itu. Kalau di artfair kita diburu waktu untuk mengambil keputusan. Kalau suatu karya diminati banyak orang kita jadi harus cepat mengambil keputusan, siap atau tidak. Padahal kadang untuk beli karya seni butuh waktu untuk mikir dan menimbang banyak hal apakah karya tersebut cocok untuk koleksi kita. Kalau di balai lelang adalah masalah harga, kadang kita mungkin beli kemahalan, tapi ya itu “winner’s curse” istilahnya.

Di tengah booming pasar seni rupa seperti sekarang, apa yang Anda jadikan landasan untuk menilai kualitas seni? Harga atau teknik?
Saya punya banyak landasan untuk menilai kualitas karya seni. Setidaknya ada enam hal yang selalu saya pertimbangkan saat akan membeli. Pertama, visualnya bagus atau tidak. Kedua seberapa tinggi tingkat kesulitan teknis dan skill dari sang seniman. Ketiga, pengolahan medium yang jadi indikasi akurat kreatifitas seniman itu. Keempat yang menurut saya sangat tidak bias diabaikan adalah konsep dari karya itu sendiri sebab ini akan menunjukan kecerdasan dan kepribadian sang seniman. Kelima adalah, apakah karya tersebut dapat dinikmati dan diapresiasi oleh saya atau kolektor lain dan hal terakhir yang tak kalah penting adalah apakah harga yang dipatok memang layak untuk seniman dan karya tersebut ditinjau dari rekam jejak sang seniman.

Koleksi apa yang punya kisah perburuan paling seru?
Buat saya sepertinya kadang koleksi itu seperti jodoh. Kadang karyanya datang ke kita atau akhirnya kita yang miliki padahal waktu pertama kita karya tersebut sepertinya tidak bisa dimiliki karena sudah direserve orang lain atau sudah laku. Tapi selang beberapa waktu tahu-tahu karya tersebut ditawarkan ke kita lagi dan akhirnya menjadi koleksi kita. Ada juga karya yang saya kepikiran terus sejak pertama kali melihatnya karena sangat suka tapi ragu-ragu untuk beli karena alasan tertentu. Beberapa bulan kemudian ternyata karya masih ada dan akhirnya saya tidak tahan juga untuk tidak membeli. Akhirnya saya pikir yang namanya mengoleksi itu adalah tentang kehidupan dan kepribadian kita dan kalau karya itu rasanya mencerminkan hal itu maka sayang kalau dilewatkan.

Mana yang Anda pilih, senirupa untuk diapresiasi atau senirupa sebagai investasi?
Sebagai apresiasi. Karena kalau sebagai investasi malah bikin saya stress, hahaha… Sebab, yang namanya investasi bisa saja rugi dan itu yang banyak orang lupa. Orang hanya berorientasi pada profit. Investasi saja tanpa diapresiasi tidak bisa dinikmati. Idealnya sih memang seni yang kita apresiasi juga meningkat nilai ekonomisnya.

Ketika membeli karya seni, apakah Anda meminta pendapat orang lain juga atau memutuskan sendiri?
Kadang meminta pendapat orang lain untuk assurance saja bahwa pilihan kita gak salah, bukan tanya untuk ambil keputusan. Pada akhirnya setelah mengolah pendapat orang lain dan diri sendiri saya ambil keputusan, beli atau tidak. Saya merasa saya harus punya pendirian juga. Tidak bisa hanya mendengarkan orang lain karena tiap orang punya selera, pengetahuan, dan pengalaman hidup berbeda.

Sebagai kolektor, adakah karya yang sampai sekarang ingin Anda miliki tapi belum tercapai?
Banyak. Sepertinya kolektor tidak pernah merasa cukup memiliki karya. Selalu ingin menambah terus, apalagi saat ini banyak sekali seniman baru dengan nuansa karya yang juga baru.

Siapa seniman favorit Anda? Kenapa?
Handiwirman Sahputra, karena karyanya amat progresif. Ay Tjoe Christine juga. Yunizar, Mantofani, Suwage, Stefan Buana juga saya suka. Karya Yuli Prayitno saya juga suka karena mengolah medium. Saya suka medium yang tidak melulu oil/acrylic on canvas. Bisa dua dimensi non acrylic on canvas atau tiga dimensi. Saya juga suka street art seperti Farhan Siki karena expressive dan spontan dalam merespon ruang atau benda.

Definisikan dalam tiga kata, kolektor seperti apa Anda…
Selektif, alternative minded, dan berharap nanti bisa bertambah dengan kritis dan berpengetahuan banyak. Kalau saat ini masih dalam perjalanan menuju definisi yang terakhir itu. (Indah S. Ariani), Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Foto: Dennie Ramon

LINGKARAN IMAJI SAM, NURULITA, & NICOLINE


Sederet rekan kerja dimiliki Sam Nugroho di agensi fotografi The Looop. Dua di antaranya bidadari yang punya kemampuan tinggi merangkai imaji.


The Looop adalah agen gaya hidup. Mereka membekukan imaji tentang keindahan dan kemewahan lewat bidikan sempurna. Sederet orang muda penuh semangat berdiri di belakangnya. Sam Nugroho, yang bersama Jen Halim menggagas agensi fotografi ini dibantu banyak associates –sebutan untuk para fotografer yang bergabung dengan The Looop- yang bersama-sama membangun citra tentang sebuah kemewahan. Jaringan yang tersebar di beberapa negara Asia, The Looop begitu terdengar gaungnya di kancah fotografi komersial. Puluhan perusahaan multinasional pernah merasakan tangan dingin meraka. Dari sekian banyak associates yang ada, terselip dua bidadari cantik yang bergabung pada kurun waktu berbeda. Nurulita Adriani Rahayu, dan Nicoline Patricia Malina. Dua perempuan yang bakat besarnya mengejutkan Sam.


Sejak kapan The Looop berdiri?
Sam Nugroho (SN): Sekitar delapan tahun yang lalu.

Sudah lama juga ya, bisa ceritakan perjalanan awalnya?
SN: Sebenarnya The Looop itu adalah soal memaksimalkan jejaring. Keinginan utama saya sebenarnya adalah mengembangkan jaringan di wilayah Asia. The Looop sendiri memang ada di beberapa Negara seperti Shanghai, Hongkong, Singapore dan Jakarta. Kami, saya dan Jen Halim memulai The Looop di Hongkong. Pertimbangan kami dulu adalah, kalau kami mulai di Indonesia, akan susah keluar karena Indonesia itu negara yang unik. Biar pun sama-sama di Asia, gaya hidup di Indonesia sangat berbeda dibandingkan negara lain, misalnya Cina, Jepang, bahkan Singapura yang terdekat. Makin ke utara, perbedaan itu makin kentara. Tapi pengembangan bisnis di sana menjadi penting karena mereka sudah menerapkan sistem global. Kalau kita mau menyasar pasar internasional, kita harus memulai di tempat yang sudah punya sistem berstandar itu bukan


Saat itu namanya sudah The Looop?
SN: Belum. Kami membawa nama masing-masing saja, dia Jen Halim Photography dan saya Sam Nugroho Photography. Setelah saya mulai punya associates seperti Anton dan Heret, saya merubah nama jadi Sam Nugroho and Associates. Karena saya piker, kalau lompat langsung ke The Looop akan susah. Kami baru membuat The Looop dua tahun setelah perubahan itu, sekitar tahun 2002. Jejaring adalah makna yang tersirat dalam tiga huruf O yang ada dalam nama The Looop, menggambarkan banyaknya kaitan, keterhubungan yang mencakup segalaha, tak hanya semata-mata fotografi, tapi juga manusia yang terlibat di dalamnya dan juga soal citra.

Sekarang ada berapa banyak associates yang dimiliki?
SN: Cukup banyak. Sekarang ini kami membagi associates dalam dua kategori, senior dan junior. Nurulita, Ully, dan Nicoline termasuk senior. Mereka ini bisa disebut sebagai brand-nya. Di Hongkong dan Shanghai, kami punya Jen Halim, we have Jen Halim, Marten von Rauschenberg, Anatol Kotte dari Germany dan beberapa yang lain. Ada juga yang junior seperti Glenn Prasetya dan ada yang masih benar-benar baru seperti Edwin, dan Andre Lee. Kami kini juga punya associates yang membuka kantor sendiri dan kami sebut sebagai The Looop Kemang yang ditangani oleh Iswanto yang berencana akan melebarkan sayap ke Vietnam.

Rekruitmen fotografernya gimana?
SN: Tidak mudah. Sebab ini menyangkut soal bagaimana perasaan setiap orang saat bekerjasama. Kalau cocok, silakan terus. Kami biasanya memberi waktu enam bulan percobaan. Tapi ada yang masa percobaannya lebih singkat dari ini, seperti Nurul dan Nicoline yang memang berbakat dan merasa sangat cocok dengan The Looop.

Anda sudah lama bergelut di bidang fotografi. Apakah Anda bisa dengan cepat mengidentifikasi orang yang berbakat dan punya taste bagus?
SN: Ada dua hal yang bisa dilihat ketika saya bertemu fotografer. Ada yang memang punya bakat besar hingga mereka bisa melaju dalam lompatan-lompatan besar, ada yang bakatnya tidak terlalu mengejutkan, tapi mereka gigih belajar dan konsisten, dan ini pun, mereka tetap bias maju karena kemauan mereka mengasah kemampuan. Bakat mengejutkan itu saya rasakan saat pertama melihat karya Nurul dan Nicoline. Nurul bilang saat itu, dia tidak punya kamera. Buat saya, itu sangat mengejutkan. Kalau tanpa kamera saja dia bias bikin portfolio begitu bagus, artinya, bakat besar itu memang miliknya. Begitu juga dengan Nicoline. Saya sama sekali tidak tertarik ketika seorang teman mengenalkan dia pada saya karena saya piker, teman saya membawa model. Saat itulah saya dihadapkan pada kebenaran pepatah Don’t judge a book by its cover. Karena begitu melihat portfolionya, saya menemukan sesuatu yang sangat menarik dan saya segera tahu Nicoline berbakat besar. Mereka berdua mungkin punya gaya foto berbeda, tapi keduanya akan sama ketika kita bicara bakat. Tapi tidak semua punya bakat alam yang begitu besar seperti mereka. Ada juga yang secara talenta tidak terlalu mengejutkan tapi karena ketekunan dan disiplin kerja yang baik, mereka bias juga membuat karya yang bagus. Bagi saya, saat bekerja yang penting itu hati, persistensi, komitmen dan hasrat.

Kenapa hati menjadi penting?
SN: Tanpa hati, orang tidak akan mau berjuang untuk apa yang diakerjakan. Banyak kan orang yang berpikir bisnis saja ketika bekerja? Padahal, saat bekerja banyak masalah, banyak kesakitan, dan kekecewaan yang kalau dihadapi tanpa hati, tentu tidak akan bisa dilampaui. Menurut saya, fotografi itu bisnis yang berat karena ini menyangkut rasa. Kalau tidak siap menghadapi kekecewaan, Anda bisa hancur. Sangat bias terjadi misalnya, tahun ini kondisi Anda sangat baik, dan tahun berikutnya Anda bukan siapa-siapa. Jadi memang ini semua menyangkut bagaimana kita bisa bekerjasama.

Pola kerja sama yang diharapkan bagaimana?
SN: Tiap orang berbeda-beda melakukan apa yang mereka kerjakan. Apalagi dalam bisnis ini, mereka ahlinya, mereka senimannya. Jadi memang rasa nyaman dengan pekerjaan harus ditumbuhkan, karena masing-masing orang punya kepribadian yang berbeda.

Nah, kalau dua bidadari ini, bagaimana awalnya bergabung dengan The Looop?
Nicoline Patricia Malina (NPM): Seperti yang diceritakan Sam. Saya bergabung di sini karena seorang teman mengenalkan, sebab saat itu saya masih tinggal di Belanda dan baru belajar fotografi. Sebenarnya awalnya saya hanya ingin minta masukan dari fotografer senior. Lalu dia bilang bagus dan menawarkan saya untuk bergabung. Saat itu saya belum bias menjawab karena saya masih di Belanda. Kembali ke Indonesia karena liburan saja. Tapi selama sebulan itu saya mulai mencari tahu tentang kantor ini, karena saat itu saya benar-benar orang asing yang tidak kenal siapa-siapa. Tapi saya sangat menghargai dukungan mereka yang demikian besar. Saya diberi kebebasan membuat portfolio di sini. Sam itu baik dan supportif. Saya piker, tidak ada salahnya bergabung. Tapi saat itu saya masih harus kembali ke Belanda selama setengah tahun untuk menyelesaikan urusan di sana. Begitu kembali kesini saya langsung menjadi associate di sini.

Nurulita Adriani Rahayu(NAR) : Sebelum di sini, saya sempat di media selama satu setengah tahun. Lalu saya dengar di sini mencari associate dan saya tanay, apa saya bias melamar ke The Looop. Tapi orang sini bilang, kami tidak menerima lamaran, tapi kami merekrut, jadi orang tidak bias melamar, melainkan dipilih. Tapi pihak The Looop menawari saya untuk meninggalkan portfolio saya untuk dipelajari. Saya santai saja menitipkannya. Beberapa hari kemudian, Sam menelepon saya menawari untuk bergabung dan saya memutuskan untuk bergabung

Apa perbedaan yang dirasakan antara The Looop dan tempat lainnya?
NAR: Kalau saya, yang jelas terasa itu adalah soal jam kerja. Kalau di majalah itu jam kerjanya baku, di sini saya hanya dating kalau sedang ada jadwal pemotretan saja. Hanya yang sempat membuat saya kaget adalah karena saya sama sekali tidak punya pengetahuan tentang sitstem kerja agensi fotografi. Jadi saya harus belajar lagi dari nol soal hal yang harus diurusi dari hulu ke hilir sebuah agensi foto.

Apa Sam ikut memberi arahan?
NPM: Iya, kalau dia sedang ada di sini. Sayangnya Sam itu kan sangat sibuk dan sesekali saja ada di kantor.
NAR: Iya, kalau ada di sini, Mas Sam pasti jadi teman diskusi yang asyik. Tapi di The Looop juga ada Account Executive yang akan mengarahkan kita bagaimana dealing dengan klien, gimana kalau mendapat layout yang rumit, jadi kendala yang ada tidak terlalu memusingkan.

Bagaimana pendapat Anda berdua tentang Sam?
NAR: Perfeksionis dan sangat idealis. Tapi yang paling saya kagumi dari Sam Nugroho adalah sistem pencahayaannya yang menurut saya tidak ada duanya. Saya bicara begini bukan karena saya ada di The Looop. Saya berani bilang begini setelah mengamati pencahayaan hampir semua fotografer komersial senior di sini (Jakarta). Bahkan, mungkin kalau dibandingkan dengan fotografer komersial Asia pun, Sam masih bisa diadu sistem pencahayaannya. Dia bisa melukis cahaya. Kalau sebuah objek difoto seorang fotografer lain, dengan lampu yang sama hasilnya tetap akan berbeda ketika difoto oleh Mas Sam. Itu yang banyak saya pelajari ketika ‘menonton’ Mas Sam memotret.

Yang paling berkesan dari kerja di The Looop?
NAR: Dukungan yang saya dapat di sini. Sejak lama saya memang ingin sekali terjun ke fotografi komersial. Ilmu saya tentang pencahayaan, tentang bagaimana dealing dengan klien meningkat pesat selama saya di sini karena dukungan Sam dan tim The Looop. Kalau saya jalan sendiri, mungkin proses yang sala lewati tidak berjalan secepat sekarang. The Looop bias dibilang katalisator saya menjadi fotografer komersial.
NPM: Setuju sama Mbak Nurul. Tapi kalau secara personal, yang berkesan buat saya adalah ketika Sam pameran foto fashion 1939 di Senayan City beberapa bulan lalu. Di sana dia kolaborasi sama saya. Buat saya ini sebuah penghargaan, sebab sepanjang pengetahuan saya dan teman-teman di sini, saya dan dia itu sangat bertolak belakang. Kalau Sam perfeksionis, maka saya kebalikannya, sangat tidak perfeksionis. Mungkin itu yang ingin dipertemukan, dia biasa sees beauty in perfection, sementara saya terbiasa sees beauty in imperfection.

Chemistry Anda berdua dengan Sam dan teman-teman lainnya?
NPM: Saya sih sayang sama dia (sambil menunjuk Nurul), dia aja yang sering nolak saya, hahaha… Tapi teman-teman The Looop itu asyik semua. Terutama dengan Glenn yang sudah saya kenal sejak kami masih di Surabaya.
NAR: Kalau sama Mas Sam, mungkin karena jarang ketemu, jadi chemistrynya tidak sekuat dengan teman-teman lain. Kalau dengan teman lain seperti Ully, karena frekuensi bertemunya lebih banyak, jadi kami lebih dekat. Kalau mau bergosip, saya datang ke Nicoline. Semua pada dasarnya okey, Cuma ya itu, susah ketemunya. Kita mau rapat lengkap saja susahnya minta ampun. Tapi kalau sudah ketemu sih asyik banget.

Sebagai Sebagai dua perempuan di antara sekian banyak lelaki, apakah ada perlakuan khusus yang diberikan, lebih dimanja misalnya?
NAR: Nggak ada sama sekali. Kami mungkin malah sering dianggap lelaki juga, hahaha… Eh, tapi kalau Nicoline masih dianggap perempuan ya, hahaha…
NPM: Itu karena saya pakai high heels. Tapi ada loh, perlakuan khusus, barang bawaan kita sering dibawakan, hahaha… (Cetusan NIcoline segera disambut Nurul dengan anggukan kepala bercampur tawa). (Indah Ariani), Fotografer: Glenn Prasetya

Senin, 30 November 2009

KEMEWAHAN HATI DELIA MURWIHARTINI


Berpandu hati, ia meraih sukses besar justru kala krisis terjadi. Baginya, hidup adalah kemewahan paling berharga yang pernah ia terima.

Kalau mampir ke rumah luasnya yang asri di Yogyakarta, kita akan segera bisa mengidentifikasi kesuksesan Delia Murwihartini dari sebagian hal mewah yang tampak. Sebuah Maserati seri terbaru dengan interior customized yang dipesan langsung di Italia dan VW Tuareg seharga Porche berjejer mengisi garasi luas di bagian samping rumah. Dapur barunya, terisi dengan kitchen set yang ia pesan langsung dari Jerman. Belum lagi jajaran koleksi pakaian dari runway label ternama serta sepatu-sepatu bermerek di kamarnya yang menyerupai paviliun besar. Sebuah ‘tempat persembunyian’ dibuat di belakangnya: kamar mandi besar dengan berbagai fasilitas perawatan untuk memanjakan tubuhnya.

Namun, kesan itu justru makin berkilau manakala kita berbincang dengan pengusaha tas berlabel The Sak dan Dowa ini. Sikapnya yang bersahaja dan apa adanya, sesungguhnya adalah kemewahan alami yang ia miliki. Boleh jadi, ini pula yang membuat ibu dua anak ini mampu meraih apa yang ia impikan. “Sejak mulai menjual tas, saya selalu bermimpi suatu saat punya pabrik besar yang bisa memproduksi tas dalam jumlah banyak dan pasar produksi yang luas hingga mancanegara,” katanya di sebuah senja di pendopo rumahnya yang langsung menghadap halaman luas berisi tanaman bunga dan buah. Sambil mengudap penganan, ia berkisah tentang perjalanannya yang tak mudah meretas jalan usaha hingga produknya berkibar di Eropa dan Amerika.

Putaran Roda Hidup
Memulai bisnis dengan menjajakan tasnya ke penginapan-penginapan di sekitar Prawirotaman, Delia tak pernah mau menyerah pada keterbatasan. Rintangan, sepelik apa pun, selalu berhasil ia atasi dengan ketenangan luar biasa. “Kita diberi hidup itu kan untuk menyelesaikan masalah,” katanya ringan. Misalnya saja ketika ia hendak memenuhi pesanan besar pertama yang dating padanya dari seorang eksportir Swedia. Kondisi keuangan yang tak memungkinkan, membuatnya kelimpungan mencari bantuan. Pengajuan pinjamannya pada beberapa bank, belum mendapat respon sementara waktu terus berjalan dan saat pengiriman bertambah dekat. Dengan nekat, Delia mendatangi beberapa pemasok bahan baku dan mengajak mereka bekerjasama menyediakan bahan baku untuknya dengan janji pembayaran dilakukan ketika ia sudah menerima pembayaran pesanannya. Masalah terselesaikan dan semua berjalan sesuai rencana.

Di matanya, tak ada masalah yang terlalu susah untuk dipecahkan, “Bukan menggampangkan, tapi kita memang hanya bisa menunggu masalah datang dan menyelesaikannya. Maka jadilah orang baik, bukan cuma sekadar pintar,” ungkapnya serius. Delia sepertinya punya segudang mutiara batin yang ia kumpulkan dengan telaten dari apa pun yang terjadi dalam hidup. Tekun mungkin adalah nama tengahnya. Sebab, meski sangat mungkin melamar kerja dengan mengandalkan ijazah sarjana, lulusan Fakultas Komunikasi Universitas Gajahmada ini lebih memilih bersusah payah belajar menjahit dan memasarkan tas-tas kreasinya door to door. Ia tak gentar harus memulai usaha dari titik nol. “Saya percaya Tuhan pasti akan menolong kalau kita mau berusaha,” cetusnya mantap. Hal lain yang membuatnya tak pernah surut menghadapi cobaan apa pun, adalah rasa syukurnya yang demikian besar atas hidup. “Kalau saya jatuh dan menangis, artinya saya tidak bersyukur. Sebenarnya hal yang paling penting itu adalah mengayakan diri kita. Nasib manusia itu tidak bias diprediksi,” katanya. Kekayaan yang ia maksud, tentu bukan semata soal materi. Ia bicara, lebih pada persoalan kematangan jiwa.

Delia sadar benar, kalau hidup serupa roda berputar. “Bisa jadi pada usia 40, kita akan jatuh lima meter. Kalau dari muda kita membangun batin setinggi-tingginya, sekaya-kayanya, ketika kejatuhan itu harus kita alami, ia tidak akan terlalu menyakitkan. Jatuhnya tidak akan di titik nol lagi. Jatuhnya orang kaya itu selalu beda dengan jatuhnya orang miskin secara batin,” katanya beranalogi. Delia tak hanya bicara. Sebab hidup dan usahanya pun, memang berputar seperti roda yang kadang bergulir cepat untuk kemudian melambat dan menghimpitnya di posisi sulit. Salah satunya ketika pada tahun 2000, saat pamor The Sak tengah berkibar di Amerika, masuklah produk Cina yang jauh lebih murah dengan meniru mentah-mentah desainnya. “Kala itu, saya tak hanya berperang kreativitas, tapi juga kecepatan menawarkan inovasi. Saya punya motto, jadilah pionir. Pembebek tak akan pernah bisa mengalahkan orang yang berjalan duluan,” kisahnya. Meski sebagian besar pasarnya direbut paksa, Delia tak limbung. “Semua sudah ada dalam perhitungan dan kontrol saya. Apalagi saya tak mengembangkan usaha dengan uang pinjaman. Maka saya lebih mudah mengakselerasi produksi,” kata wanita yang lebih senang menyetir sendiri ini. Masalah yang ia hadapi memang banyak dan besar. “Tapi kenapa saya tetap bisa menghadapinya dengan tersenyum dan optimis? Karena saya tahu di balik kesulitan itu ada kemudahan,” tukasnya yakin.

Ia melihat, kebanyakan orang merasa tamat ketika menemui kesialan bertubi dan terpaku pada masalah itu tanpa melakukan apa pun. “Padahal, di situlah ada kunci yang harus dicari. Kalau terpancang pada kesulitan-kesulitannya saja, rezeki besar tidak akan terlihat,” katanya lugas. Ia selalu memilih untuk tidak membesar-besarkan masalah itu, “Lebih baik introspeksi. Bukan untuk menyalahkan diri, tapi untuk mencari jalan keluar. Jadi pola pikir kita adalah solusi, solusi, solusi selain kita tahu apa penyebabnya sehingga kita tidak jatuh di lubang yang sama.” Hal yang juga selalu ia tanamkan dalam keyakinannya adalah, “Di dunia ini, tidak semua orang akan suka, sebaik dan sebersih apa pun kita. Nabi-nabi saja banyak yang membenci, apalagi kita yang derajatnya jauh di bawah mereka.” Keyakinan ini selalu membuat Delia santai saja, manakala menerima sikap tidak menyenangkan dari orang di sekelilingnya. Ia tak mudah sakit hati atau terpukul karena ia selalu yakin, yang melakukan itu bias dipastikan bukan sahabat atau teman dekatnya.

Hanya Ada Bahagia
Delia orang yang sangat senang mendengarkan kata hatinya. Saat memilih sahabat, ia selalu mengandalkan pesan yang ia tangkap dari hati. “Saya bergaul dengan sebanyak mungkin orang. Tapi siapa yang tepat untuk jadi sahabat, itu hati yang membisiki,” katanya. Takaran yang sama, juga ia terapkan manakala memilih berbagai benda koleksi, mulai benda fashion hingga karya seni. “Mungkin karena Taurus, saya memang cenderung tidak peduli apa yang sedang happening. Kalau menurut saya bagus dan pantas, saya beli,” katanya. Maka, apa yang melekat padanya, akan mencerminkan siapa Delia. Contohnya saja lukisan-lukisan yang memenuhi dinding rumahnya. Ia tak bergeming pada demam kontemporer yang melanda pasar seni rupa. Delia hanya akan membeli lukisan –karya seni yang paling banyak dikoleksinya- hanya jika ia merasa ada relasi kuat yang terjalin antara hatinya dan karya visual yang tengah ia amati. Baginya, nilai sebuah karya terletak pada bagaimana karya itu punya makna bagi orang yang memilikinya. “Kalau ketika melihat sebuah lukisan saya mendapat spirit darinya, maka saya akan membeli karya itu. Kalau tidak, buat apa saya memilikinya?” katanya lugas.

Cara Delia memaknai karya seni barangkali memang unik. Ia pernah melontarkan kritik. Sebab katanya, “Tidak ada karya yang jelek. Masalahnya adalah, apakah orang yang melihat cocok dan senang dengan karya itu atau tidak.” Maka, wanita yang memprioritaskan karya seniman Yogyakarta -ini sebagai solidaritas local, katanya- untuk dikoleksi ini tak pernah melontarkan kritik pada karya yang ia lihat. “Kalau tidak suka ya tidak usah dibeli. Itu sudah jadi bentuk kritik non verbal saya,” katanya santai. Karya seni yang ia miliki tersebar di rumah dan kantornya dengan jumlah ratusan. “Saya sedang membuatkan catalog supaya ada pencatatan yang baik. Lukisan-lukisan yang saya punya itu pasti saya suka. Jadi tidak terbersit sedikit pun untuk menjualnya,” kata Delia yang memesan lukisan pertamanya pada perupa perempuan ternama, Lucia Hartini. Ia memang menerapkan standar yang sangat personal untuk beberapa hal dalam hidup yang ia anggap sebagai ‘investasi batin’.

Begitu pula soal fashion. Ia selalu membeli yang terbaik dari koleksi terbaru, demi menghargai rezeki yang ia terima dari Sang Pencipta. “Kalau bias dibelanjakan dengan mudah, artinya memang itu porsi rezeki saya. Tiap orang kan diberi porsi berbeda dan harus bisa mensyukuri nikmat sesuai tingkatannya,” ungkap Delia. Hanya saja, untuk benda fashion, ia menerapkan aturan berbeda. Kalau lukisannya dijamin tak akan berpindah tangan, tidak begitu dengan fashion. “Saya tidak suka menumpuk baju. Jadi kalau saya beli lima, baju di lemari saya juga harus berkurang lima. Begitu juga dengan sepatu. Saya hanya mematok 50 sepatu untuk saya koleksi tiap kali. Alasannya sederhana saja, karena lemari sepatu saya sengaja saya buat hanya punya 50 kabinet ,” kisahnya sambil tertawa. Ia juga rutin ‘mencuci lemari’ dua bulan sekali untuk memastikan, hanya busana yang masih ia butuhkan saja yang ada di dalamnya. “Saya selalu merasa bersalah tiap kali melihat benda yang tidak bermanfaat teronggok di rumah atau lemari saya. Maka, dengan rutin ‘mencuci lemari’ saya bias yakin kalau benda yang saya miliki akan tetap bermanfaat. Caranya, saya berikan pada orang lain,” katanya serius.

Delia percaya, hidup semata hanya tamasya sesaat yang suatu saat harus berakhir. Menjadi bermanfaat adalah satu syarat mutlak yang ia cantumkan dalam tiap proposal hidupnya, setelah rasa ringan dan bahagia. Maka, ia lebih senang menggunakan kasih sebagai landasan hidupnya. Kekecewaan yang pernah ia alami, mengajarkannya untuk tak lagi mendewakan cinta. “Cinta itu cenderung materialistis. Hanya fisik. Kasih jauh lebih murni karena ketika kasih diberikan, bias dipastikan ada ketulusan di dalamnya,” Delia berteori. Itu sebabnya, meski berdarah, ia tak patah manakala ada yang menusuknya dari belakang, seperti yang pernah ia alami bebera tahun silam. Dikhianati seorang sahabat diakuinya sebagai masalah terberat yang pernah ia rasakan. “Sakit. Tapi saya juga bersyukur, karena kalau tidak mengalami itu, saya mungkin tidak akan tahu ada pintu lain yang terbuka buat saya,” katanya, tanpa mau merinci kejadiannya. Delia tahu, seburuk apa pun, sebuah kejadian hanya terjadi karena perkenan Tuhan. “Kita kadang tidak bias mengelak dari takdir. Yang bias kita lakukan hanyalah berdoa dan berusaha membelokkan takdir buruk menjadi baik,” papar penyuka buku manajemen praktis dan spiritual ini.

Berbekal keyakinan itulah, ia mengaku bisa menikmati tiap detik yang terjadi dalam hidupnya. Entah sedang berkutat dengan pekerjaan di kantor dan pabriknya di kawasan Parangtritis, mengunjungi satu persatu showroom tasnya dari Yogyakarta hingga Amerika, atau bersantai menikmati udara pantai di destinasi favoritnya di Savona Italia. Kita akan menjumpai orang yang sama. Delia yang selalu ceria, yang tak pernah berpura-pura. Dan ia bahagia karenanya. (Indah S. Ariani), Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Foto: Ferdy (Kencana Art Photography, Yogyakarta), Busana: Carmanita

BILA BATAS MAKIN MENCAIR



Seni rupa, kini memasuki ruang yang lebih lapang. Batas yang mencair, membuat orang tak lagi jeri mengapresiasi.

Ada yang berbeda di Pacific Place (PP) sepanjang bulan Agustus silam. Begitu melewati mesin pemindai di pintu masuk, mata pengunjung tak hanya disambut jajaran butik label ternama, tapi juga akan segera menangkap pemandangan tak biasa. Beberapa butir ‘kacang’ raksasa berkulit loreng tergeletak begitu saja di lantai, di depan sebuah butik yang tengah menawarkan koleksi Fall Winter terbaru. Di sisi lain, seorang lelaki bertubuh putih, berjongkok, mengukur lantai dengan meteran. Sedepa di depannya, sebuah gergaji raksasa teronggok entah untuk apa. Di ujung ruang, dekat Coffee Bean, mendadak ada sebuah traffic light yang tak henti bernyanyi. Berbelok sedikit, kita akan bertemu para perupa ternama yang membeku dalam berbagai gaya. Membingungkan? Tidak juga. Sebab pengunjung justru menikmatinya.

Benda-benda asing itu adalah sebagian karya yang tersebar di seantero mal di bilangan SCBD itu sepanjang ajang BRI Platinum – Bazaar Art Jakarta. Di bagi dalam dua pangsa, gelaran itu diawali dengan program Mall Art yang mencakup tiga segmen, pameran A Maze Public Art Project yang diikuti 53 seniman dengan karya dalam berbagai media, Artistocrat, pameran foto para perupa karya Indra Leonardi, dan Wok With Me, sebuah kerja besar Teguh Ostenrik yang didukung langsung oleh PP. Di antara karya lain yang tersebar berbagai sudut dan selasar lantai dasar hingga lantai empat, karya Teguh menjadi semacam centerpiece. Dipajang di atrium utama beratap jenjang, 500 wajan almunium yang melayang-layang sontak menarik perhatian setiap orang yang melintasi lokasi yang berada tepat di jantung mal itu. Dekonstruksi yang dilakukan Teguh, sesungguhnya adalah upaya perupa yang beberapa bulan lalu baru saja menggelar pameran tunggal bertajuk DeFacement ini untuk memuliakan wajan yang acap terlupakan. “Kapan wajan dianggap sebagai sesuatu yang penting? Padahal tiap hari, semua orang menggunakannya untuk memasak makanan mereka,” jelas Teguh tentang karyanya.

Wok With Me, adalah satu dari sekian banyak karya bercerita yang terdapat di pameran tersebut. Sejatinya, seni rupa kontemporer memang merupakan ‘bahasa’ yang sebagai reaksi atas sebuah kondisi seni rupa modern yang terlalu mapan yang tak bisa ditembus oleh genre lain yang tak sealiran dengannya. Maka, pada banyak kesempatan, aliran ‘sempalan’ ini mengususng tema yang sangat dekat dengan realitas masyarakat, yang tak tersuarakan, termarginalkan. Ketika kebaruan kerap dianggap sebagai liyan, maka seni memang selalu bisa jadi alas an untuk dipilih sebagai penyambung lidah. Dan lidah itu kini makin tajam mengupas tiap senti kejadian dalam kehidupan manusia kini. Simbol-simbol dan media yang digunakan, tak lagi baku. Semua mencair dan melebur jadi satu, tanpa batasan yang jelas. Lukisan, instalasi, video, boleh dibuat dari bahan apa saja dan semuanya tetap boleh disebut seni. Tak hanya berhenti di sini, ruang rupa pun kini boleh meluas ke mana saja seperti yang terlihat jelas pada pemilihan tempat art fair ini: mal.

Upaya ‘mencairkan’ batas antara seni dan khalayaknya, memang bukan baru kali ini dilakukan. Sebelum acara ini, Dewan Kesenian Jakarta dan Majalah C-Arts telah pula berusaha menggotong seni masuk ke dalam mal saat digelarnya Jakarta Biennale 2008 dan C-Arts Fair 2009. Dua acara itu digelar di Grand Indonesia dan mendapat animo besar dari pengunjung, seperti yang terjadi pada bulan seni di PP ini. Selain berminat mengamati lebih teliti karya yang dipamerkan dalam A Maze, Artistocrat, dan Wok With Me, pengunjung antusias melongok Art Fair yang diadakan pada 28 hingga 30 Agustus 2009. Diikuti sekitar 20 galeri dari Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Bali, pasar seni ini berhasil menggambarkan peta seni rupa Indonesia. Seksi khusus Islamic Modern and Contemporary Art of Indonesia, Koleksi Pribadi DR. Ing. H. Fauzi Bowo, Indonesia Odyssey, Fashionart, Museum Pasifika Bali, dan Heritage Indonesia memberi kemeriahan tambahan dalam acara yang digelar di Ballroom 1 The Ritz Carlton Jakarta itu.

Sebagai sebuah produk budaya, seni kini memang tak bisa lagi dipandang terpisah dari gaya hidup. Pelan tapi pasti, sepuluh tahun terakhir ini, seni telah punya tempat sendiri dalam kehidupan kaum urban. Berbagai tema seputar kedudukan seni dan pengaruhnya, dikupas tuntas dalam rangkaian diskusi yang digelar selama dua hari. Definisi seni kontemporer dipertanyakan kembali, bersama dengan bahasan tentang peluang dan tantangan galeri menyiasati perkembangan pasar seni rupa, hingga soal investasi seni. Semua memang makin mencair dalam seni rupa yang terus menelusup masuk ke berbagai ranah hidup manusia urban. Satu hal yang harus dipertanyakan mungkin, adalah seberapa siap kita membuka pintu dan membiarkannya masuk mewarnai hari-hari kita? (Indah S. Ariani), Foto: ISA, Repro katalog

BERJUMPA IVAA DI DUNIA MAYA


Apa arti sejarah tanpa pencatatan? Maka kiprah IVAA sangat layak ditakzimi. Kini mereka memasuki era digitalisasi dan merambah dunia maya.

Kegelisahan beberapa pelaku dan pengamat seni rupa kontemporer Yogyakarta -Nindityo Adi Purnomo, Mella Jaarsma, Agung Kurniawan, Anggi Minarni, Raihul Fajri, Neni dan Koni- lebih dari satu dekade lalu, berbuah sebuah langkah progresif yang ditujukan bagi lestarinya seni rupa kontemporer Indonesia. Kesadaran akan pentingnya pencatatan dan pengumpulan berbagai data, informasi dan referensi tentang wacana dan perkembangan seni rupa kontemporer, membuat keberadaan lembaga arsip dianggap menjadi sebuah kebutuhan krusial. Maka dibentuklah Indonesian Visual Art Archive (IVAA) yang saat pertama kali dibentuk bernama Yayasan Seni Cemeti (YSC). Langkah penting itu dilakukan bahkan sebelum pasar seni rupa kontemporer Indonesia menggeliat dan berkibar seperti saat ini.

Dokumentasi awal yang dimiliki IVAA saat didirikan pada 1995 itu adalah arsip-arsip seni rupa milik Nindityo dan Mella yang terus bertambah hingga kini memiliki sekitar 17.869.315 data dengan referensi seni kontemporer tertua bertahun 1960-an. Setahun setelah YSC berubah menjadi IVAA pada 2007, terbit ide mendigitalisasi seluruh data yang dimiliki. Upaya ini mendapat dukungan dari dua lembaga asing dari Amerika (Ford Foundation) dan Belanda (Hivos). Langkah itu diambil untuk memastikan kalau data yang dimiliki IVAA akan jauh lebih aman tersimpan. Proses digitalisasi yang mulai dikerjakan pada 2008 silam itu, lantas berkembang dan memunculkan ide untuk membuat format online untuk seluruh data IVAA yang bisa diakses dari seluruh pelosok dunia. “Bisa dibilang, kami memasuki wilayah baru dalam pola pengarsipan. Dari manual menjadi digital dan kini kami maju satu langkah lagi agar semua orang di dunia bias mengakses data yang kami sediakan,” ungkap Farah P. Wardani, Direktur Eksekutif IVAA.

Menurut Farah yang juga kurator independen ini, pengarsipan adalah sebuah kerja penting dalam seni –dan juga dalam banyak bidang lain- yang tak tergarap dengan baik oleh pemerintah. “Maka kami berusaha mengisi kekosongan itu dengan melakukan apa saja yang kami bisa. Harus ada yang mau melakukan kerja ini. Proses trial and error pasti terjadi, tapi kami harus ambil risiko itu. Anggap saja ini sebagai pilot project yang bisa diterapkan juga pada bidang seni lain semisal teater, tari, atau musik,” katanya. Upaya keras mendigitalisasi data itu, diakui Farah belum berakhir, karena masih cukup banyak teks koleksi IVAA yang belum tergarap. Tapi kini hasil kerja Farah dan timnya sudah dapat diunduh lewat www.ivaa-online.org/archive yang boleh jadi merupakan situs data seni rupa kontemporer pertama di Indonesia. “Siap tidak siap, kami sepakat melemparkan ini ke khalayak. Perkembangan bisa dilakukan sambil jalan,” jelas Farah di sela-sela persiapan peluncuran IVAA Online di Galeri Nasional beberapa waktu lalu. Ya, kerja memang masih belum selesai. Tapi harus ada langkah diayunkan, bukan? Dan ini layak diapresiasi. (Indah Ariani) Foto: ISA

Kamis, 20 Agustus 2009

PEMETA SENI RUPA

Di balik kemeriahan pameran seni rupa, tersimpan kerja keras dan kejelian kurator dalam mengonsep serta memilih gagasan dan karya terbaik para perupa.

Di antara gegap gempita pasar seni rupa dan eforia lonjakan harga karya ke tingkat paling fantastis, ada sebuah jalan yang hanya dilalui sedikit orang. Jalan para kurator ini, masih terbuka luas, karena masih sedikit orang yang memilih profesi tersebut. Dalam lingkaran kecil kurator yang dimiliki seni rupa Indonesia, ada bidang lebih kecil lagi yang diisi para perempuan kurator. Namun, meski sedikit, mereka bisa mewarnai dunia seni rupa kontemporer Indonesia lewat kiprah yang tak layak diabaikan. Empat orang pilihan dewi kali ini setidaknya akan bisa mewakili kiprah para perempuan kurator memetakan ranah seni rupa Indonesia.

Alia Swastika

Kurator Ark Galerie

Ketika bergabung dengan surat kabar mahasiswa, Newsletter Surat, yang diterbitkan Yayasan Cemeti Yogyakarta, Alia Swastika sama sekali tak menyangka kalau dunia tulis-menulis akan membawa langkahnya memasuki sebuah ‘jalan sunyi’ dalam seni rupa. Menjadi kurator bukan tujuan awal kariernya, meskipun Alia selalu punya ketertarikan pada dunia seni lain seperti teater, musik, dan film. Persinggungan intensif dengan seni rupa ketika ia bekerja di Surat, mempertemukannya dengan sebuah peluang yang ketika ia jajaki, memberi kepuasan tersendiri buatnya. “Suatu hari saya melihat lowongan sebagai manajer artistik di Rumah Seni Cemeti. Mengkurasi pameran adalah salah satu kerja yang harus dilakukan. Saya coba mengambil peluang itu dan ternyata menikmatinya,” kata Alia yang kini menjadi kurator in house Ark Galerie.

Masa awal memulai kerjanya sebagai manajer artistik, Alia mengaku banyak mengamati dan mempelajari bagaimana duo pemilik Rumah Seni Cemeti, Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo mengelola galeri. “Saya perhatikan cara mereka membuat konsep kurasi dan berhubungan dengan seniman. Banyak yang bisa saya pelajari dari sana, karena mereka juga sering kedatangan publik seni internasional,” Alia berkisah. Perempuan yang menyukai teater ini, lantas mendapat sebuah ide menarik saat ia menonton sebuah pertunjukan. “Saya melihat properti pertunjukan itu seperti sebuah patung. Lalu saya pikir, kenapa tidak membuat pameran dengan properti panggung teater dan tari sebagai instalasi seni?” Ia lalu mengajukan proposal kurasi ke Cemeti yang langsung disetujui. Orisinalitas ide Alia menjadi daya tariknya.

Saat itu Alia mengundang Teater Garasi, Teater Payung HItam di Bandung, dan Boi G. Sakti untuk terlibat dalam pameran yang ia beri judul In The Shadow of Light. “Sebab saya melihat, cahaya juga merupakan elemen seni rupa yang penting dalam sebuah pertunjukan teater,” kenangnya. Debutnya pada 2005 itu mendapat sambutan baik, karena saat itu jarang sekali ada pameran dengan format yang berhasil menarik pula publik teater dan tari yang berada di luar seni rupa. “Karena dianggap memiliki ketertarikan pada kerja kurasi, setelah pameran pertama itu saya dipercaya mengambil alih beberapa proyek kurasi di Cemeti. Bersama Mella dan Nindit, saya menangani beberapa pameran rutin dan mempersiapkan pameran di luar negeri,” katanya.

Ada proses kerja panjang yang harus dilalui seorang kurator untuk menggelar sebuah pameran. “Tiap pameran, persiapannya bisa mencapai 8-12 bulan. Walaupun untuk pameran kelompok, saya melakukan pendektan yang sama seriusnya dengan pameran tunggal. Begitu pula perlakuan saya terhadap seniman, baik seniman senior, yang sudah tenar atau seniman baru. Tidak ada perbedaan,” katanya. Integritas, adalah hal penting untuk memastikan setiap proses persiapan berjalan lancar. “Saya orang yang sangat percaya prinsip integritas. Ketika bekerja dengan para seniman, itu yang saya pegang. Saya mencoba bekerja sesuai prosedur dan kesepakatan dengan mereka,” katanya tegas. Menurutnya, kerja kurasi yang baik baik adalah bentuk apresiasinya pada kerja kreatif seniman.

Hal penting yang juga perlu dilakukan dalam profesi ini menurutnya adalah melakukan riset, mengenal seniman, dan juga mengetahui jenis karya yang akan dipamerkan. “Dia harus kenal seniman, harus tahu kecenderungan karyanya dan paham bagaimana itu harus dipresentasikan. Karena dari situ, konsep bisa dielaborasi lebih jauh dan dipresentasikan ke publik dengan cara yang tepat,” kata kurator yang baru saja menggelar pameran pameran Golden Age di Museum Akili itu. Seorang kurator, dalam pandangan Alia, tak bisa dibilang sukses jika publik seni hanya menemukan karya-karya bagus dalam ruang pamerannya. “Kalau itu yang terjadi, yang berhasil adalah senimannya, bukan kuratornya. Karena yang mengerjakan itu senimannya. Keberhasilan kurator diukur dari apakah publik bisa membaca gagasan di balik pameran itu,” tukas kurator yang menghindari melakukan ‘kerja jarak jauh’ dengan senimannya ketika sedang mempersiapkan pameran.

“Modal utama menjadi kurator adalah persahabatan dengan seniman. Sepintar apa pun seorang kurator, kalau tidak bisa menjalin hubungan baik dengan seniman atau tidak bisa membuat seniman percaya, ya tidak akan ada manfaatnya. Pasti susah sekali,” kata kurator. Tanpa latar belakang seni rupa, lulusan Komunikasi dari Universitas Gajah Mada ini yakin, bahwa pengetahuan dan ketajaman rasa dalam seni, itu bisa dipelajari sambil jalan. “Saya merasa banyak diuntungkan oleh kesempatan untuk pergi ke luar negeri. Kalau saya tidak mengalami itu, mungkin yang saya ketahui hanya sebatas apa yang ada di katalog dan buku-buku,” ungkapnya. Ia merasa diperkaya pengalaman itu, yang berimbas langsung pada sensibilitasnya terhadap seni.

Sensibilitas, menurut kurator yang sempat magang di Asia Society Museum New York ini merupakan hal penting yang tidak berdiri sendiri. “Dia dikonstruksi oleh konsep, pengetahuan, dan pengalaman,” ungkap Alia yang senang memerhatikan kerja seniman karena memperkaya pengetahuan teknisnya. (Untuk itu ia sering menyempatkan diri bertandang ke studio seniman dan melihat langsung proses pembuatan karya).

Lalu apa sebenarnya yang membuatnya jatuh cinta pada profesi ini? “Buat saya, bersahabat dengan seniman adalah kemewahan yang tidak semua orang punya kesempatan untuk itu. Mereka punya pola pikir yang berbeda dengan kebanyakan orang. Saya menikmati sekali petualangan gagasan yang sangat menarik. Seperti duduk di roller coaster ketika berinteraksi dengan para seniman yang memiliki latar pengaruh berbeda,” tandasnya.

Farah P. Wardani

Kurator Independen

Di antara kurator yang terlibat dengan sebuah institusi seni, terdapat pula mereka yang memilih untuk tidak terikat satu lembaga seni sebagai kurator dan bahkan menjalani profesi kurator hanya sebagai profesi pendamping. Salah satu yang memilih itu adalah Farah P. Wardani. Sejak awal, ia memang memilih untuk menjadi kurator lepas. Farah yang kini menjadi manajer Indonesian Visual Art Archive (IVAA), memilih untuk lebih berfokus pada lembaga nirlaba yang mengurusi pendokumentasian catatan tentang perkembangan seni rupa Indonesia itu. “Apalagi sekarang ini saya dan IVAA sedang sibuk mempersiapkan peluncuran Online Archive. Jadi sementara memang tidak terlalu aktif sebagai kurator,” katanya.

Tapi itu tidak lantas membuatnya sama sekali vakum mengkurasi. Setelah menjadi kurator dalam pameran di Nadi Galeri dan Galeri Nasional Jakarta, Farah sempat juga mengkurasi pameran Bambang Toko di Valentine Willy Gallery di Kuala Lumpur. “Sekarang ini saya lebih banyak menulis pengantar pameran saja, seperti untuk pameran Bob Sick dan S. Teddy D. kemarin di Yogyakarta,” ujar Farah yang kini juga sedang membantu Edwin Rahardjo dari Edwin’s Gallery mempersiapkan pameran untuk memperingati 25 tahun galerinya – salah satu dari 25 kurator yang diminta menangani pameran koleksinya.

Mengkurasi koleksi sebuah lembaga seni, menurut Farah yang pernah aktif di Ruang Rupa Jakarta ini, memang kerja seorang kurator yang umumnya bekerja di museum, “Tapi dalam perkembangannya, di luar museum juga ada lembaga-lembaga seni lain seperti galeri dan biennale.” Hal ini, dalam pandangannya, membuat infrastruktur seni rupa jadi berkembang makin kompleks. Kurator akhirnya tidak lagi hanya mendekam di museum, tapi melangkah ke luar, menjadi partner seniman untuk menciptakan inovasi atau perkembangan baru dalam seni rupa. “Sayangnya, hal itu belum berjalan terlalu sempurna di sini. Karena di sini, museum seni rupa yang sangat memadai seperti Museum of Modern Art (MOMA) di New York, atau Fukuoka Asian Art Museum itu belum ada,” katanya. Tak heran, Farah menangkap fakta kalau kurator di Indonesia akhirnya lebih berperan sebagai penggagas pameran. “Saya lebih suka menyebutnya dengan istilah program director untuk acara seni, entah pertunjukan atau pameran, ketimbang kurator. Mirip dengan music director, tapi untuk acara seni rupa,” Farah menambahkan.

Kondisi dilematis itu, menurut analisisnya, terjadi karena belum adanya dukungan memadai dari pemerintah terhadap pengembangan seni rupa. “Memang belum memungkinkan selama pemerintah juga belum memberi dukungan yang memadai. Sekarang memang seni rupa sedang sangat meriah dan sudah bisa jadi sumber penghidupan. Tapi kalau boleh bicara, secara esensi, kerja seni rupa itu belum selesai,” ungkapnya. Farah mengambil IVAA sebagai contoh. Kerja pendokumentasian yang dilakukan di IVAA menurutnya adalah upaya untuk mengisi kekurangan referensi yang seharusnya menjadi begian kerja pemerintah. “Orang yang ingin tahu sejarah seni rupa, ingin tahu proses yang terjadi di situ, belum punya banyak sarana untuk itu. IVAA ini adalah salah satu sarana yang bisa digunakan untuk hal tersebut,” Farah menjelaskan.

Di luar keterbatasan sarana itu, lulusan Desain Komunikasi Visual dari Universitas Trisakti ini merasa referensi adalah elemen penting yang sangat membantu kerjanya sebagai seorang kurator. “Saya dapat banyak referensi untuk kerja kurasi dan kerja kurasi saya juga menambah daftar rujukan di IVAA,” ungkapnya. Kadar kebutuhan atas referensi itu sendiri, menurut salah satu penulis buku Indonesian Women Artist The Curtain Opens ini sangat tergantung pada pameran yang digelar. “Kalau seperti saya yang banyak menangani seniman muda dan bertindak layaknya seorang talent scout sekaligus memberi masukan untuk seniman muda itu, referensi yang saya gunakan tidak banyak mengenai seniman muda itu, tapi lebih pada soal kajian budaya dan fenomena apa yang diwakili dan sebagainya meski kadarnya berbeda tergantung skala pameran,” jelasnya.

Farah yang memang lebih sering membawa nama-nama baru dalam pamerannya itu, merasa perlu menjelaskan tak hanya penilaian secara estetik, melainkan juga kedudukan seniman itu dalam peta generasi seni dan fenomena sosial tertentu. “Ini sama halnya seperti dalam musik. Selalu perlu ada sesuatu yang ditawarkan. Itu memang pekerjaan yang tak pernah habis kalau memang terus dipelajari. Itu bagian dari profesi,” katanya. Untuk menjaga bobot kualitas pameran yang ia tangani, Farah mengaku mematok hanya mau menerima maksimal lima saja tawaran menggelar pameran. “Karena saya sebenarnya lebih suka antara pameran yang satu dengan pameran lainnya tidak berbarengan. Satu pameran saja tiap kali,” ungkap peraih master sejarah seni dari London’s Goldsmith College ini. Apalagi saat ini, prioritas utamanya memang tengah tertuju pada IVAA dan kurator diakuinya sebaai kerja sampingan saja.

Namun, kendati sudah mengatur agar kelima pameran itu tidak terjadi dalam bulan yang sama, tak jarang tenggat waktu perupa yang mundur membuatnya harus mengerjakan beberapa proyek di waktu yang berbarengan. “Kerja kurator itu memang susah-susah gampang. Dibilang susah dan menyita waktu sekali juga tidak. Tapi saya juga harus menjaga mood saat memantau seniman-senimannya, butuh fokus sendiri. Jadi ketika ada yang menawarkan pekerjaan, biasanya saya menolak. Tapi seringkali terjadi, dalam prosesnya, seniman seringkali mengundur pameran, jadilah ujung-ujungnya numpuk juga. Tapi itu juga sudah saya perkirakan. Karena seniman seringkali menunda hingga galeri pun terpaksa mengikuti mereka,” keluhnya.

Kondisi itu tak jarang menempatkannya pada posisi tengah yang tak nyaman. “Seringnya berada pada posisi sebagai jembatan yang melintang antara manajemen galeri dan proses berkarya seniman yang sangat cair. Itu sudah bagian kerja kurator sebenarnya, tak bisa dihindari,” katanya. Karena itu biasanya Farah memilih bekerajsama dengan galeri yang memang bisa memahami proses kerja seniman. “Apalagi sekarang banyak sekali galeri. Saya sangat selektif memilih galeri supaya bisa menghindari kondisi seperti itu,” katanya menambahkan. Untuk mengatasi hal itu, ia lantas selalu membuat tenggat waktu yang tegas untuk para seniman, dengan toleransi penangguhan waktu yang hanya boleh dilakukan dua kali saja. “Lebih dari itu, saya biasanya memilih membatalkan pameran, walau ini belum pernah terjadi,” kisahnya.

Konsekuensi dari pilihan tidak membatalkan pameran itu, membuat Farah justru kerap harus berkompromi dengan idealisme konsepnya sendiri. “Buat saya, kalau memang jadi, ya jadi. Tapi ya itu, ide-ide saya akhirnya banyak yang belum bisa terealisasi,” katanya sambil tertawa. Ia lantas mengambil pameran Bohemian Carnaval di Galeri Nasional beberapa waktu lalu sebagai contoh yang tak memungkinkannya menerapkan seluruh ide. Membawa 18 seniman muda dari Yogyakarta, ia harus mengurangi banyak konsep artistik yang tak mungkin diterapkan karena terbentur kondisi para seniman yang tengah disibukkan oleh tugas akhir kuliah mereka. “Tadinya kami ingin sesuatu yang sangat eksperimental dan ingin merepresentasikan spirit anak Jogja sekarang. Tapi akhirnya saya bilang pada mereka kalau kami tidak mungkin melakukannya karena waktu pameran tidak mungkin diundur. Alhasil, jadi tidak seheboh yang kami bayangkan,” Farah mengenang.

Sebagai seorang kurator, Farah menganggap gagasan adalah hal paling utama yang harus dimunculkan, dan juga dipertanggungjawabkan. Itu sebabnya, ia sangat peduli pada soal penyebutan dirinya dalam sebuah pameran. “Saya, hanya menyebut diri saya sebagai kurator kalau konsep pameran itu muncul dari saya atau bisa juga idenya muncul dari seniman, tapi saya benar-benar mengikuti proses berkaryanya sejak awal, seperti waktu saya membantu pameran Angki Purbandono di Biasa Artspace tahun lalu,” ungkapnya. Akan berbeda keadaannya jika ia baru terlibat belakangan dan hanya membuat tulisan tentang pameran tersebut. “Misalnya saat saya membantu pameran Teddy dan Bob Sick. Saya hanya menyebut diri saya sebagai penulis karena tidak terlibat sama sekali dalam proses kreatifnya,” ia menjelaskan.

Bagi Farah, kerja kurasi menjadi sah hanya ketika ia juga memiliki otoritas untuk menentukan pesan. Soal ini bukan tanpa alasan. Ia tak mau terjebak kerancuan istilah dan mengambil tanggung jawab yang tak seharusnya ia pikul. Seperti juga Inda, ia berpendirian bahwa tidak semua penulis yang membahas sebuah pameran di dalam katalog bertindak sebagai kurator pameran itu. Oleh karenanya, penulis tidak bertanggung jawab akan konsep sebuah pameran, karena ia hanya membuat semacam review, merespons apa yang terlihat, bukan menyampaikan sebuah pesan. “Kalau saya mengkurasi pameran, saya punya ide dan mengajak mereka berkarya atas konsep yang saya buat. Kalau itu, silakan tanya apa yang ingin saya ungkapkan,” kata Farah yang senang dengan perkembangan seniman sekarang yang umumnya sudah matang secara konsep.

Inda C. Noerhadi

Kurator Galeri Nasional

Di antara deretan laki-laki yang menjadi kurator di Galeri Nasional (Galnas) Jakarta, terdapat satu perempuan yang tak asing bagi publik seni, Inda C. Noerhadi. Bersama Rizki A. Zaelani, Agus Burhan, dan mendiang Maman Noor, pada 2003 ia diangkat menjadi tim kurator. Namun jauh sebelum itu, ia sudah menjalani kerja kurator saat Galeri Cemara 6 didirikan pada 1993. “Karena harus mempersiapkan pameran, mau tidak mau saya terlibat banyak dalam pemilihan karya Mochtar Apin dan Salim yang digelar untuk meresmikan galeri. Diskusi dengan Mochtar yang terjadi secara intensif saat itu, tanpa saya sadari melibatkan saya pada kerja kurator, misalnya menentukan fokus pameran, diskusi dengan seniman, dan sebagainya. Saat itu, belum banyak orang yang menjadi kurator. Baru ada nama seperti Jim Supangkat, Asikin Hasan, dan beberapa lainnya,” kenang Inda.

Sambil terus mengasah kematangannya dalam pengelolaan galeri, perempuan pelukis ini juga terus melakukan kerja kuratorial, bersinergi dengan kurator lain. “Pada 1998, atas anjuran Jim Supangkat, saya mengikuti workshop kurator yang pertama kalinya diadakan Japan Foundation bekerjasama dengan Departemen Pendidikan. Pada saat bersamaan, saya juga sedang sibuk menyiapkan pameran Galeri Cemara 6 yang diadakan di Vatikan, berjudul Woman in the Realm of Spirituality yang diikuti para perempuan perupa,” kisahnya. Sepuluh peserta dari workshop itu dikirim ke Jepang, termasuk Inda. Perjalanannya ke sana memberi banyak masukan pada pemahamannya tentang kerja kurasi. “Di sana, kami berkeliling ke berbagai museum untuk melakukan studi banding, mulai dari melihat koleksi, berdiskusi dengan para kurator dan kepala museum, hingga melihat loading barang,” kisah Inda.

Menurut Inda yang menyelesaikan pendidikan Sejarah Seni di University of Pittsburgh itu, ada perbedaan mendasar antara pemahaman kurator di luar negeri dengan di Indonesia. “Di sana, kurator adalah penanggung jawab koleksi museum. Mereka yang tahu soal asal-usul dan segala hal tentang sebuah karya termasuk kedudukannya dalam sejarah seni rupa. Kerjanya lebih banyak berhubungan dengan arkeologi. Karya seni dalam konteks itu jadi mirip dengan artefak,” Inda menjelaskan. Kerja kurator yang juga ia pahami adalah sebagai kritikus seni yang menulis, menggali problem, dan presentasi yang disuguhkan oleh seniman. “Tapi mungkin akhirnya kerja kritikus seni tidak populer lagi karena orang malas membaca kritik seni. Maka pergeseran itu mulai terjadi. Kurator lebih populer dalam konteks sebagai pengesah pameran. Karena pameran kalau tidak ada kurator dianggap tidak seru, tidak berbobot. Itu kecenderungan yang terjadi sekarang dan menurut saya, ini membahayakan,” katanya.

Kekhawatiran Inda memang cukup beralasan. Sebab menurutnya, membuat kritik seni sebenarnya adalah bagian terbesar kerja seorang kurator. Dengan pola kerja seperti yang lazim dilakukan sekarang, Inda curiga akan terjadi degradasi pemahaman profesi kurator hanya sebagai event organizer. “Istilah kurator mulai populer di sini setelah terbuka akses untuk berpameran ke dunia internasional. Perupa-perupa kita banyak peluang pameran ke luar negeri, dan kebutuhan adanya orang yang bisa menjelaskan konsep dan pesan karya serta persoalan seni di baliknya menjadi penting.“ Ini, menurut Inda, menjadikan kurator mempunyai otoritas cukup tinggi dalam percaturan seni rupa. “Ketika kita bicara dalam konteks pasar seni, kurator akhirnya menjadi seperti legitimasi dan penentu posisi seorang seniman dalam pasar,” katanya.

Kerja kurator sekarang ini juga menjadi sangat tergantung pada bagaimana sebuah institusi seni – seperti museum atau galeri – menempatkannya. “Ada yang terlibat penuh sejak urusan membuat konsep hingga memajang karya di ruang pamer, ada juga yang hanya mengantar pameran, dan sebenarnya ia sedang melakukan kritik seni,” Inda memaparkan. Itu sebabnya, salah besar jika mengartikan semua orang yang menulis kuratorial dalam katalog sebagai kurator. Selain memiliki porsi kerja yang berbeda, penulis pengantar tidak lantas menjadi kurator yang bertanggung jawab atas konsep pameran. Melihat perkembangan yang ada, Inda mengaku ingin sekali ada sebuah standarisasi yang mengatur rambu dan etika profesi ini. “Bukan untuk mengekang, tapi memberi arahan, supaya kurator tidak lantas sekadar menjadi humas seniman. Sebab sekarang ini, ada kecenderungan kurator memegang seniman tertentu sehingga nilai seniman terutama soal harga menjadi booming karena nama kuratornya,” katanya. Inda tidak menyalahkan hal itu, namun ia mengaku khawatir hal itu akan memengaruhi objektivitas kurator dan itu akan berimbas pula pada kualitas kurator itu sendiri.

Lebih dari satu dekade bergelut dalam dunia kurasi, Inda menangkap adanya kondisi tak seimbang antara posisi kurator dan dinamika pasar. “Kurator seperti terbanting oleh dinamika pasar yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Dia mau tidak mau dipaksa mengikuti arus besar pasar yang mengarah pada seni kontemporer. Asumsi bahwa seni kontemporer yang bagus, membuat orang tak lagi tertarik pada banyak karya bagus yang tidak masuk dalam seni kontemporer dan itu membuat kurator cenderung tak berani menyuguhkan sesuatu yang berada di luar seni kontemporer,” keluhnya. Inda lalu memberi contoh pameran Umi Dahlan, di Galeri Nasional. ”Meski Jim Supangkat mengatakan bahwa itu adalah pameran yang sangat penting, tetap saja pameran itu tidak menarik minat pencinta seni karena tidak termasuk aliran kontemporer. Sedangkan dalam seni kontemporer, yang akhirnya dibicarakan hanya sebatas besarnya perputaran uang yang terjadi di sana, tapi abai pada persoalan seberapa penting sebuah karya atau perupa dalam percaturan seni rupa,” ungkapnya prihatin.

Tapi Inda, menganggap, keleluasaan pilihan ada di tangan para kurator. Bidang seni rupa yang masih tidak terlalu diminati ini menurutnya masih membutuhkan lebih banyak orang dengan peluang eksplorasi yang juga masih sangat luas. “Semua kembali pada masing-masing kurator untuk memilih bagaimana cara mereka menggali kelebihan, kesungguhan menjalani profesi, dan sebagainya. Peluang di bidang ini sangat baik. Beberapa orang dulu selalu bilang pada saya, buat apa jadi perupa, karena sudah banyak. Lebih baik jadi kurator yang masih jarang.”

Mella Jaarsma

Kurator Rumah Seni Cemeti

Berbicara tentang seni rupa kontemporer Indonesia, kita pasti akan menyebut Yogyakarta sebagai salah satu kantung seni rupa. Dan membicarakan Yogyakarta, tak akan sah rasanya kalau tidak membicarakan Rumah Seni Cemeti yang bisa dibilang merupakan lokomotif pembawa perubahan dalam perkembangan seni rupa kontemporer di sana. Dan bicara tentang Cemeti, tak akan lengkap tanpa menyebut dua penggagasnya, suami istri Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo.

Perjalanan kedua orang itu dimulai dari kesadaran mereka akan ketiadaan ruang pamer di Yogyakarta. Mereka ingin membangun ruang pamer yang memiliki pusat informasi seni rupa serta ruang berdiskusi. “Pada era 1980-an, sudah banyak sekali mahasiswa di ISI dan seniman yang membuat karya menarik seperti Heri Dono atau Eddie Hara. Tapi biasanya, ketika mereka selesai kuliah, susah memamerkan karyanya di sini, apalagi untuk mencari uang. Mereka kebanyakan lalu pindah ke Bali atau Jakarta dan selalu hilang,” kenang Mella tentang Rumah Seni Cemeti yang kini menjadi satu institusi seni penting dalam percaturan seni rupa Indonesia..

Itu juga yang lantas menghubungkan perupa kelahiran Emmloord, Holland ini berkesplorasi dengan berbagai media dengan kerja kurasi. “Satu alasan kami membuat ruang pamer itu supaya orang bisa melihat perkembangan seni rupa di sini. Karena pada waktu itu yang tampil hanya galeri batik komersial yang benar-benar seperti toko. Kami ingin sesuatu yang berbeda yang lebih menampilkan kreativitas teman-teman,” katanya. Menurut Mella, di balik ide pembukaan galeri itu, ada kerja yang terfokus pada bagaimana mengedukasi masyarakat agar bisa mengapresiasi seni. Ia lalu terlibat dalam penentuan, siapa saja seniman yang akan ditampilkan di galeri yang berawal dari ruang tamu sebuah rumah di daerah Keraton yang berukuran 4X7 meter. “Dari ruang itu, kami mengembangkan visi yang lebih luas,” kata Mella yang selalu menyebut dirinya sebagai kami, ketimbang saya.

Dulu, ia mengenang, karena keterbatasan ruang yang ada, hanya pameran tunggal yang bisa digelar dengan jumlah karya yang tergantung pada ukuran karya tersebut. “Kalau seniman membawa lukisan kecil, yang dipamerkan bisa banyak. Tapi kalau ukurannya lumayan besar, hanya beberapa saja. Ya, apa yang bisa diharapkann dari dinding di ruangan seluas 4X7 meter, yang masih pula dipotong pintu dan jendela,” tukasnya sambil tertawa. Sejak awal, Mella sebenarnya telah melakukan kerja kurasi di Cemeti. “Tapi pada waktu itu kata kurator belum dikenal. Bahkan istilah contemporary art saja belum terdengar, baru ada modern art,” katanya menjelaskan. Mengandalkan kesenimanannya, Mella dan Nindityo melakukan pengamatan, penilaian, dan pemilihan seniman untuk diajak berpameran di ruang rupa mereka.

“Kalau kami dengar ada teman yang punya karya menarik, kami undang mereka untuk berpameran di Cemeti. Lama-lama, kami memang mengkurasi pameran. Tapi tidak selalu saya dan suami yang melakukan. Kami juga sering mengundang kurator untuk mengkurasi pameran atau bisa juga senimannya yang memilih kuratornya sendiri,” ungkapnya. Sejauh pengamatan dan pengalamannya, Mella mengaku, ada banyak fungsi yang harus dijalani oleh seorang kurator. “Dalam kancah seni rupa Indonesia, mungkin bisa juga dibilang kurator ini satu profesi yang tidak begitu jelas kerjanya,” kata Mella yang hanya setahun saja berkuliah di Institut Seni Indonesia. Ia memberikan sinyalemen, telah terjadi kerancuan yang acap terjadi dalam mendefinisikan kurator. “Kadang-kadang hanya menulis satu artikel dalam katalog sudah disebut kurator. Menurut saya, kurator harusnya lebih mengikuti perkembangan seni rupa seorang seniman. Jadi bukan hanya memikirkan tema, mengundang seniman dan menulis kuratorial, tapi juga harus melakukan survei mendalam tentang perkembangan seorang seniman,” katanya.

Namun Mella merasa, hal penting itu kerap diabaikan oleh beberapa orang yang menyebut diri sebagai kurator. “Kadang-kadang kurator sama sekali tidak turun langsung ke lapangan untuk mengikuti proses kreatif yang dialami seniman dan hanya mengambil teori dari berbagai buku,” ujarnya gusar. Padahal, ia melihat, upaya itu penting dilakukan dan harus dilihat sebagai sebuah riset terhadap perkembangan seniman. Itu sebabnya, Mella melakukan aturan itu secara ketat di Cemeti. Ketika ia mengundang seorang seniman untuk berpameran, itu selalu terjadi setelah beberapa lama ia menjalin hubungan dan melewati banyak sesi diskusi. “Jarang sekali kami langsung mengundang seniman di saat pertama kami melihat karyanya. Pasti semua melalui proses. Biasanya kami datang ke studionya, ngobrol, melihat karya lama dan membandingkannya dengan perkembangan karyanya yang sudah kami amati,” Mella memaparkan.

Untuk kerja kurasinya, Mella memang tak pernah mengabaikan hal itu. Baginya, survei dan membangun hubungan personal dengan seniman sama pentingnya, karena karena dari situ ia akan bisa melihat sikap, cara berpikir, dan bagaimana konsep di belakang karya seniman tersebut. “Saya jarang sekali berangkat dari objek visualnya saja,” katanya. Itu ia lakukan karena pameran baginya bukan sekadar bertujuan menjual karya, tapi lebih pada keinginan untuk mencatat perkembangan artistik setiap seniman yang ditampilkan. “Kami ingin bisa memberi sesuatu yang terus bisa diingat, membawa orang pada sesuatu. Bukan sekadar membuat objek yang indah, nikmati sebentar dan selesai,” katanya. Itu sebabnya, konsistensi seorang seniman menjadi indikasi penting pula dalam pengamatan Mella. “Tapi ini juga akan menunjukkan tingkat keseriusan seorang kurator. Apakah dia benar-benar melakukan riset yang serius atau hanya sekadarnya saja dan mengundang seniman hanya karena alasan nama besar atau karena karyanya pasti laku dijual,” paparnya dengan kritis.

Namun, kendati begitu tegas dalam soal pengamatan, Mella mengaku menerapkan litasi waktu yang relatif untuk setiap seniman. “Kadang-kadang bisa agak cepat, kalau dibantu rekomendasi untuk mengamati karya seorang seniman dan atau saya melihat karya menariknya di sebuah pameran. Tapi bisa juga prosesnya lebih lama, bisa mencapai setahun sampai dua tahun setelah pengamatan, kami baru berani mengajak seorang seniman berpameran,” ungkapnya. Buat Mella, referensi memang juga hal yang tak bisa diabaikan dalam proses pengamatan. “Itu sebabnya saya berusaha selalu aktif datang ke pameran di tempat lain, browsing internet, dan sebagainya. Tapi sekarang begitu banyak pameran, tidak sanggup juga mendatanginya semua,” cetusnya sambil tertawa.

Dengan usia yang terbilang panjang dan menjadi saksi lahirnya aliran kontemporer dalam seni rupa Indonesia, tak pelak banyak seniman besar saat ini yang pernah menjadi ‘anak asuh’ Mella dan Cemeti. Tapi, kendati lebih dari 30 seniman kontemporer yang 'dihasilkannya', Mella dengan rendah hati menolak sebutan sebagai ‘pengorbit’ seniman. “Tidak adil kalau dibilang seperti itu. Karena kemajuan seniman pun tergantung cara mereka membangun jejaring. Kami membantu mereka awal kariernya dengan coba mencarikan mereka residensi di luar negeri, mempromosikan mereka ikut di biennale dan triennale di luar negeri. Karena pada saat itu, kurator dan kolektor Indonesia juga belum terlalu mengikuti perkembangan seni kontemporer di sini.” ungkapnya.

Sebagai kurator yang juga seniman, Mella punya indikasi sendiri tentang kerja kurasi. Menurutnya, secara ideal, kurator harus paham benar perkembangan seniman yang dia kurasi, bukan hanya dari baca dan berbincang, tapi juga bisa mengupas dan melihatnya dalam konteks besar seni rupa. “Kurator juga harus bisa menulis. Itu sebabnya, saya sebenarnya tidak berani menyebut diri saya kurator, karena meski mengkurasi pameran, saya merasa tidak pandai menulis,” cetussnya sambil tergelak. Mengapa menulis menjadi indikasi penting? “Karena seorang kurator harus bisa menjelaskan pada khalayak tentang kenapa karya seorang seniman menjadi penting dengan bahasa yang mudah dipahami dan diterima lingkup yang lebih luas,” katanya berteori. “Tak hanya bagus,” lanjutnya, “Tulisannya juga harus analitis. Kurator juga sebaiknya pandai berbahasa Inggris, karena ini penting untuk membuka jejaring yang lebih luas dan tidak hanya berkutat dengan perkembangan seni rupa local,” tandasnya. Satu hal yang tak boleh absen dari seorang kurator, menurut Mella, adalah memiliki visi khusus, “Kalau tidak punya visi, bagaimana dia bisa mengambil posisi? Dan pilihan visi itu boleh berbeda dengan orang lain. Dia harus ambil sikap yang jelas,” tandasnya tegas. (Indah Ariani) Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Dany David, Fotografer: Suryo Tanggono, Ferdy, Busana: Rias Wajah& Rambut Alia Swastika:Aries, Lokasi: Museum Akili, Galeri Nasional, Rumah Seni Cemeti, IVAA