Jumat, 11 Oktober 2013

FENOMENA RADITYA DIKA




Dari cerita sehari-hari Raditya Dika berhasil mempopulerkan komedi. Tapi katanya, komedi sejatinya adalah ironi yang muncul dari kegetiran hidup.
Raditya Dika adalah fenomena dalam dunia komedi Indonesia. Tak percaya? Coba ketikkan namanya di mesin pencari. Hampir dua juta data tentangnya akan ditemukan dalam waktu 19 detik saja. Semua data itu akan menghubungkan kita pada satu kata: komedi. Lalu telusuri secara teliti data-data yang tersaji. Kita akan dibawa lebih lanjut pada ulasan buku-buku berjudul ajaib miliknya seperti Kambingjantan, Cinta Brontosaurus, Radikus Makankakus: Bukan Binatang Biasa, Babi Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang, Marmut Merah Jambu dan Manusia Setengah Salmon. Kita juga akan dipertemukan dengan puluhan video youtube yang memuat berbagai episode serial Malam Minggu Miko serta penampilannya di berbagai panggung Stand Up Comedy yang ia rintis bersama komedian lain, Pandji Pragiwaksono atau berbagai kabar terbaru tentang karya-karyanya di situs radityadika.com dan berita tentang kompetisi Stand Up Comedy di beberapa televisi. Itu masih akan diperpanjang pula oleh kicauannya pada lima juta lebih pengikutnya di akun Twitter tentang berbagai hal.
Ketika ditemui dewi pada sebuah siang di pertengahan Juli 2013 lalu, lelaki bernama lengkap  Dika Angkasa Moewarni itu tengah melakukan pengambilan gambar pertama untuk musim kedua serial komedi situasi Malam Minggu Miko yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta dan youtube pribadinya. Ketika tak sedang berakting di depan kamera, tak tampak tanda-tanda kelucuan pada diri Dika. Dia justru terlihat sebagai seorang sutradara yang tegas, disiplin, dan tak bisa ditawar. Ia memberi instruksi pada tim produksinya sembari memerankan sendiri Miko, tokoh ciptaannya. Di antara jeda syuting, Radit lebih banyak mengecek kesiapan berbagai hal teknis ketimbang bercanda meriah dengan timnya. Ia sesekali saja bergurau sembari berdiskusi tentang scene yang baru direkam. Serius mungkin kata yang tepat untuk menyebutnya.
Radit boleh jadi seorang tipe penyendiri. Ia lebih suka berkutat dengan dirinya ketimbang harus berbasa basi dengan orang lain. Di kalangan blogger pun, Radit memang dikenal sebagai seorang blogger yang jarang datang ke acara kopi darat yang kerap dilakukan. “Sesekali saja muncul, tapi tidak setiap kopdar blogger dia ada. Radit termasuk blogger yang jarang ngumpul dengan sesama blogger,” Wicaksono, blogger senior yang lebih dikenal dengan nama Ndorokakung mengatakan kesannya tentang Radit.  Dikonfirmasi soal ini, Radit tertawa dan mengiyakan apa yang dikatakan Wicak. “Itu terus terjadi sampai sekarang. Saya jarang sekali datang ke acara kumpul stand up comedy. Bukan karena sombong, tapi karena memang tidak senang ngumpul. Sampai sekarang di stan,” katanya sambil merujuk pada sebuah hasil tes psikologi yang skornya menunjukkan dirinya seorang anti sosial.
Ia mengaku tak jeri dianggap sombong karena tak suka berkumpul. Sama seperti ia tak khawatir dengan sifatnya yang anti sosial.  “Komedian itu umumnya membosankan. Pilihan untuk menjadi solitaire itu diambil biasanya karena mereka tak nyaman dan merasa bermasalah dengan kehidupan sosialnya,” kata Radit. Menurutnya, seorang komedian memang tak punya syarat mutlak untuk menjadi lucu di bawah panggung. “Menjadi seorang komedian itu tidak berarti harus naturally funny, tapi harus naturally gampang kesel. The more crancky you are, the funnier you are. Kalau dalam keadaan gelisah dan kesal, apa pun bisa jadi bahan komedi,” kata Radit.
Tak ada yang menyangka kiprah lelaki kelahiran Jakarta 28 Desember 1984 ini melesat secepat roket dan sukses meretas panggung komedi Indonesia. Tidak pula kedua orangtuanya, atau bahkan Radit sendiri. “Nggak pernah berpikir sama sekali. Dulu hanya semata-mata melakukan hobi saja. Cuma curhat sehari-hari di blog saya,” katanya. Curhat sehari-harinya itu lantas menjadi hiburan menyenangkan bagi para blog walker yang ribuan kali menginjakkan jejak di laman yang awalnya bernama kambingjantan.com sebelum berubah jadi radityadika.com. Radit merasa tak memplot apa-apa bagi perkembangan kariernya. Ia merasa beruntung memiliki orangtua yang mendukung apa pun yang ingin dilakukan anaknya. “Mungkin ini pengaruh dari bokap yang selalu mengingatkan saya untuk tidak mengejar uang ketika bekerja. Dan memang ini yang saya buktikan dan makin saya yakini bahwa kalau kita melakukan sesuatu bukan untuk mengejar uang, kita justru akan mendapatkan uang. Kalau bekerja karena uang, mungkin Malam Minggu Miko ini sudah mulai season keduanya sejak Kompas TV meminta saya membuat season dua. Tapi ini tidak. Lama dulu sampai saya merasa ingin membuat season kedua. Nunggu pengen-nya itu yang lama. Kata kuncinya buat saya itu ya pengen,” Radit mengatakan.
Rasa ingin pula yang membuatnya mencoba melakukan pencapaian-pencapaian lain. Dari blog menjadi buku, lalu membelah diri jadi film dan serial adalah diversifikasi karya yang tak ia duga sebelumnya. Kreatifitasnya berevolusi menjadi beberapa bentuk ekstensi dari aktivitas utamanya menulis. “Yang pasti, diversifikasi bukan karena kita mau mencoba suatu hal dan menjadi tidak fokus. Kalau dilihat mungkin memang beragam, tapi saya punya satu benang merah, menulis komedi. Kecuali bisnis pancake saya yang memang agak melenceng dari kerja saya sekarang. Tapi saya fokus pada menulis komedi, tidak random. Akarnya harus sama dan kuat, baru kita bisa ke mana-mana. Controlled randomness mungkin istilah yang tepat,” katanya.
Meski sempat berkuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Raditya mengaku tanpa bekal saat mulai meniupkan ‘ruhnya’ pada blog Kambingjantan juga ketika coba melakukan pemekaran karya. “Kata kuncinya cuma, mau belajar menulis blog yang baik. Dan ternyata kalau kita mau belajar menulis blog yang baik, akan lebih banyak orang yang datang,” kata sulung dari lima bersaudara ini. Ketika menyadari bahwa tulisan-tulisannya bergenre komedi, Radit lantas mempelajari cara penulisan komedi dengan lebih serius. Hasilnya, blognya kian ramai dan tulisan-tulisan yang kemudian dibukukan berjudul sama dengan blognya menjadi best seller dalam waktu singkat. “Dari situ saya belajar bahwa segala hal itu bisa dipelajari. Dari sana, mulailah saya belajar banyak hal. Belajar stand up comedy, dan kemudian bikin acara sendiri. Belajar menulis skenario film. Hasilnya film Brontosaurus yang tahun ini termasuk box office di Indonesia. Di Malam Minggu Miko, saya belajar menulis serial, belajar  jadi sutradara, belajar punya tim penulis dan sebagainya. Jadi, berawal dari punya blog dan keyakinan bahwa segala sesuatu bisa dilakukan kalau kita mau belajar, sampailah saya di sini,” katanya.
Hal itu diamini Tyas Abiyoga, produser yang sejak 2007 bekerjasama dengan Dika. “Radit itu pembelajar dan pekerja keras. Dia selalu menantang dirinya untuk melakukan sesuatu yang baru. Saya sudah bekerjasama dengan dia sejak mulai menawarkan naskah Kambing Jantan pada perusahaan-perusahaan film. Untuk setiap hal baru yang ditemui dan terlihat akan jadi hambatan, Dika akan dengan senang hati duduk mempelajarinya sampai mahir,” kata Tyas. Ia juga mengaku kagum pada kemampuan Radit menjaga citra. “Radit konsisten pada citra yang dibentuknya. Dari dulu sampai sekarang, saya melihat Raditya yang sama. Dia nggak aneh-aneh latah ikut ini itu untuk mempertahankan eksistensinya di dunia showbiz. Dia konsisten pada apa yang sejak awal dikerjakannya dan fokus mengembangkan segala kemungkinan yang bisa dia dapat dari bidang yang ditekuninya,”  kata Tyas.  
Selain tak henti belajar, ia punya resep andalan lain yang membuat karya-karyanya diminati banyak orang, yakni menjadi diri sendiri sembari mencari irisan yang mengaitkan persoalan-persoalan personalnya dengan persoalan penikmat karyanya. Radit yang juga senang menyebut dirinya sebagai creativepreneur ini sadar benar bahwa ketika ia memasuki dunia industri, materi karya yang ia buat harus memiliki kaitan dengan demografi penikmat karya yang ia sasar. Ia analogikan keterkaitan itu sebagai cermin yang bukan hanya bisa memantulkan sosoknya, tapi juga demografi audiensnya. “Saya tidak akan mengambil pengalaman yang terlalu spesifik seperti bersekolah di Adelaide, menulis naskah, menjadi sutradara, atau bahkan merintis usaha pancake durian karena belum tentu orang bersekolah di kota yang sama atau menjalankan usaha yang sama dengan saya. Saya memilih mengambil sesuatu yang universal yang mungkin juga dialami oleh penonton saya. Contohnya pada Cinta Brontosaurus. Premisnya adalah fakta bahwa cinta bisa kadaluarsa. Atau Malam Minggu Miko yang saya pakai untuk mengkritisi tesis umum yang mengatakan bahwa lelaki lajang yang malam minggunya dilewatkan tanpa kencan itu menyedihkan. Jadilah saya buat tokoh si jomblo Miko yang malam minggunya lebih sering  dilewati tanpa kencan, atau sekalinya kencan pastilah kencan yang gagal,” Radit menjelaskan. 
Mengulik habis berbagai persoalan jomblo dalam serial komedinya, tak berarti Radit adalah jomblo sejati. “Nggak kok. Saya itu pacaran terus dan jarang menjomblo karena saya nggak tahan jadi jomblo,” katanya sambil tertawa. Kerja, barangkali kini menempati prioritas utama dalam hidupnya. Ia ingin membuat panggung yang baik untuk para komedian Indonesia. “Saya termasuk orang yang nggak sabaran saat mengarahkan syuting. Saya pernah meninggalkan syuting karena salah satu pemain nggak bisa akting. Tapi saya yakin, main itu masalah kemauan juga dan saya ingin sekali stand up comedian punya tempat di Indonesia. Karenanya saya selalu memakai stand up comedian untuk proyek-proyek saya,” katanya. Ia percaya, kesempatan adalah sesuatu yang dibutuhkan semua orang. “Saya ditemukan karena orang percaya sama saya dan saya ingin melakukan hal itu pada orang lain, memberi kepercayaan dan kesempatan pada bakat-bakat baru,” Radit menyatakan mimpinya.
Sementaraini, tampaknya kerja memang memenuhi sebagian besar benaknya. Sebab meski mengaku selalu punya pacar, Radit bukan orang yang terbuka membicarakan kehidupan pribadi dan kisah cintanya. Tapi Radit membocorkan sedikit tipe perempuan yang bisa mengusik hatinya: pandai, nyambung dan mandiri. Kenapa cantik tidak masuk dalam kriterianya? “Yang cantik banyak. Yang nyambung, pintar dan tidak manja itu susah dicari sekarang,” katanya. Semoga Radit segera menemukannya. (Indah S. Ariani), Foto: Dhany Indrianto, Pengarah gaya: Aldi Indrajaya, Busana: Sweater, Norse Project, Celana, Vanishing Elephant, Otoko.
*Artikel ini merupakan versi unedited artikel sama yang telah diterbitkan di Majalah Dewi Edisi Oktober 2013* 

Sri Luce Rusna: “Sudah Seharusnya Perhiasan Bicara”


Dari ibunya, perempuan ini belajar menjadi desainer perhiasan andal. Kini, ia menginspirasi sang putri yang namanya ia abadikan sebagai label perhiasannya.

Pada peluncuran koleksi terbaru Tulola Jewelry di Dia.Lo.Gue Art Space beberapa waktu silam, Juwita Malam, lagu legendaris dari composer terbaik Indonesia, Ismail Marzuki melantun tenang dari kelompok Keroncong Tugu. “Lagu ini yang menginspirasi saya membuat koleksi yang lantas saya namai Juwita Malam ini,” kata Sri Luce Rusna, desainer dan juga pemilik Tulola Jewelry. Keindahan lagu itu ia terjemahkan dalam bunga, kupu-kupu, dan rel kereta yang menempel pada rancangannya. 

Bagi Sri, perhiasan sesungguhnya tak boleh menjadi sekadar perhiasan. Ia percaya, ekspresi adalah kata yang harus menjadi jiwa tiap rancangannya yang dalam tiga kata ia definisikan sebagai feminin, kuat, dan unik. Maka menjelajahlah inspirasi dan imjinasi Sri tiap kali akan membuat serangkaian koleksinya. Tak ada kata biasa dalam kamus desain yang ia gunakan tiap kali merancang perhiasan untuk “Tulola” label produk yang ia ambil dari nama sayang putrinya, Putu Lola. Keunikan rancangan Sri itu pada awal tahun ini tertangkap oleh W Magazine yang lantas menahbiskan koleksi Tulola sebagai The Most Wanted Product dalam edisi Januari tahun ini.

Desain perhiasan bukanlah dunia yang asing bagi Sri. Ia tumbuh dari keluarga pengusaha perhiasan etnik Indonesia yang memasarkan koleksi mereka di Amerika dan Eropa. Sejak remaja ia telah ikut terjun mengurusi bisnis keluarganya. Namun, belakangan ia melepaskan diri dari bisnis keluarganya memilih melangkah sendiri, membawa seluruh pengalaman yang ia dapat dan membuka diri seluasnya pada segala pengalaman yang akan ia temukan di depan. 

Apa yang membuat Anda memutuskan memulai bisnis sendiri dan apa juga yang menjadi motivasi Anda melakukannya?

Saya memulai studio desain saya sendiri tak lama setelah kelahiran putri saya pada 2007 karena ingin mendedikasikan karier saya untuk memaksimalkan metode tradisional kerajinan metal di Indonesia dan membuat produk yang meski memiliki desain tradisional otentik tapi juga bisa membawa daya tarik untuk klien berselera modern.

Dari mana inspirasi Anda biasanya datang dan siapa atau apa yang member pengaruh besar bagi Anda dalam berkarya?

Saya mendapat pengaruh besar dari ibu. Beliau adalah seorang desainer dan seniman yang selalu mengajarkan saya untuk melampaui tantangan dan selalu jujur pada diri sendiri, apa pun yang terjadi.

Benda apa yang pertama Anda buatkan desainnya?

Seingat saya, kartu ulang tahun yang saya buat saat usia delapan tahun.

Keahlian apa yang Anda miliki ketika memulai bisni dan apa ya Anda pelajari kemudian dalam perjalanan membangun bisnis ini?

Saya memulai karier saya dalam bidang perhiasan di perusahaan keluarga yang memang mendesain dan memproduksi perhiasan etnik Indonesia untuk kanal Home-Shopping di Amerika dan Inggris. Latihan saya di sana adalah dalam hal Jaminan Kualitas dan Produksi yang cukup berguna ketika memulai bisnis sendiri meski dalam perjalanannya, banyak sekali hal baru yang harus saya pelajari lagi. Sebagai bisnis yang terbilang berskala kecil, saya harus tahu bagaimana cara melakukan hampir semua hal sendiri mulai dari desain, pemasaran, public relation, sampai akuntansi. Administrasi bisnis yang saya lakukan sangat serabutan kala itu. Saya melakukan cukup banyak kesalahan dan setiap hari rasanya ada hal yang saya pelajari.   

Apa yang paling Anda sukai dari kerja mendesain dan membuat perhiasan?

Karena saya memiliki kebebasan untuk dapat jujur pada visi saya sendiri.

Bagaimana proses kerja Anda dari mulai dari hanya sebersit ide hingga kemudian menjelma menjadi benda nyata?

Pada banyak kali, kami memulainya dari membuat sebuah konsep desain yang lantas dituangkan ke dalam sketsa. Studio kami berbentuk sebuah ruang besar yang dengan sengaja saya buat tanpa sekat yang memisahkan saya, para seniman, dan perajin. Begitu sebuah konsep diterjemahkan ke dalam sketsa, dia akan segera diteruskan ke perajin. Pada tahap inilah terjadi perbincangan antara saya dan perajin.

Dari seluruh desain yang Anda buat, adakah desain perhiasan yang paling Anda banggakan? Kenapa dan apa maknanya bagi Anda?

Ada beberapa dari koleksi terbaru yang sangat saya banggakan. Alasannya? Karena dalam desain-desain yang benar-benar menerapkan motif dan teknik tradisional saya ternyata tetap bisa mewakili perempuan modern yang kuat.

Adakah “must have pieces” dari koleksi Tulola yang menurut Anda harus dimiliki setiap perempuan?

Saya sangat percaya setiap perempuan seharusnya punya perhiasan yang mengekspresikan diri sejati mereka entah itu bentuknya cincin untuk cocktail atau statement earrings. Barangkali tidak setiap desain Tulola harus dimiliki oleh semua perempuan karena setiap orang berbeda. Tapi saya percaya, sebagai perempuan, kita harus berusaha jujur pada diri dan gaya kita sendiri yang pada gilirannya menentukan desain-desain seperti apa yang cocok untuk kita. 

Dalam membuat perhiasan, adakah material-material yang menjadi favorit Anda?

Saya bekerja dengan perak dan emas. Tapi saya juga senang bereksperimen dengan finishin menggunakan metal dan pewarnaan lai . Misalnya untuk musim ini saya focus pada perak dan rhodium hitam.

Koleksi Anda juga menampilkan cukup banyak bebatuan yang tak biasa. Bagaimana Anda mendapatkan dan memilih bebatuan yang berbeda tersebut?

Saya mendapatkan bebatuan itu dari gemologist di Bangkok, Jaipur, New York dan saya memang hanya mau memilih bebatuan yang unik dan tak biasa.

Siapa sebenarnya konsumen ideal Tulola?

Perempuan yang sangat memahami dirinya dan tidak takut untuk menampilkan selera serta gayanya.

Bagaimana Anda menyeimbangkan kreativitas dengan tuntutan pengembangan usaha?

Saya seringkali tidak terlalu yakin saya sudah menemukan titik keseimbangan itu. Di kepala saya, dorongan berkarya dan admisnistrasi usaha seperti dua suara yang sangat berbeda yang saling berebut minta perhatian.

Menurut Anda, apa bagian yang paling menantang dari membangun sebuah bisnis?

Tantangan terbesarnya itu tadi, mencari keseimbangan antara kreativitas dan logika.

Pernahkah membuat keputusan bisnis yang belakangan Anda sesali?

Tentu pernah, bahkan cukup kerap. Tapi dari kesalahan yang saya buat (barangkali) setiap hari, saya belajar banyak hal.

Apa yang Anda anggap kunci kesuksesan?

Barangkali, kunci kesuksesan itu adalah ketidakpercayaan bahwa saya telah sukses dan itu membuat saya terus menerus berusaha lebih keras dari hari ke hari.

Model penjualan seperti apa yang Anda pakai untuk Tulola? Apakah dengan membuka gerai, atau  lebih memilih sistem penjualan online yang kini sedang sangat marak dipakai sebagai model penjualan?

Saya orang yang sangat selektif memilih di mana kami dapat memamerkan produk-produk Tulola. Tempat itu haruslah sangat pas dengan brand kami. Sejauh ini, selain butik milik sendiri, kami juga bekerja sama dengan beberapa galeri local serta sebuah situs mewah berbasis di Singapura. Hal ini kami lakukan karena kami tahu dengan pasti adalah penting bagi kami menyediakan pelayanan dan kedekatan tertentu untuk para klien dan menurut saya dua hal ini yang memiliki peran besar dalam penentuan di mana tempat yang harus kami pilih dan dengan siapa kami harus bekerja sama. 

Sepanjang bekerjasama dengan galeri-galeri pilihan itu, apa pengalaman yang Anda petik dan mempengaruhi desain-desain Anda?

Bekerjasama dengan galeri-galeri tersebut memungkinkan saya sebagai seorang desainer menciptakankarya-karya tunggal dan punya kesempatan berinteraksi dengan klien lewat berbagai pameran. Membangun relasi dengan para klien buat saya merupakan salah satu inspirasi utama dalam kerja saya.

Tempat atau media menarik mana yang pernah menampilkan karya Anda?
Kami pernah dipilih sebagai The Most Wanted Product oleh W Magazine dalam terbitan mereka pada Januari 2012 lalu.

Apa yang ingin Anda capai dalam 12 bulan ke depan?

Kami memiliki beberapa rencana yang menurut saya sangat menarik untuk tahun depan (2013), salah satunya memulai Tulola Members Club di mana kami akan menawarkan pelayanan yang sangat personal dan memungkinkan kami menawarkan produk-produk yang benar-benar unik dan sangat cantik untuk mereka.

Apa tiga hal yang paling menarik bagi Anda?

Keluarga selalu ada di urutan pertama, karena soal ini mendapat seluruh waktu yang saya miliki. Mencari kebenaran atas segala sesuatu berada setelahnya, di urutan kedua, karena sejatinya kita berada dalam perubahan dan proses pembelajaran yang konstan. Ketiga, tentu saja pekerjaan saya.

Apa hal paling mendasar yang Anda pakai untuk menilai orang lain?

Kejujuran, kasih sayang, dan rasa humor.

Apa situs favorit dan sumber berita utama Anda?

New York Times.com dan Business of Fashion.com

Punya hobi lain yang menarik?

Hewan-hewan peliharaan saya. Kami punya banyak hewan peliharaan dan merawat hewan ini jadi hobi rahasia sejak saya kecil selain berkebun.

Di mana tempat liburan favorit Anda dan kenapa?

Nusa Ceningan. Tempat itu membawa saya pada suasana yang tenang dan simple.

Apa yang membuat Anda santai?

Segelas wine dan olahraga.

Pencapaian terbesar sepanjang karir Anda?

Ketika putri saya, Putu Lola atau “Tulola” suatu hari bilang kalau suatu hari, ia ingin jadi desainer seperti Mommy. Mendengar itu, saya bahagia sekali. (Indah S. Ariani), Foto: Dok. Tulola Jewelry  

*Artikel ini merupakan versi unedited dari artikel sama yang telah dimuat dalam rubrik Persona dalam  Edisi Wathces & Jewelry/ Desember 2012*

Senin, 30 September 2013

INSPIRASI SEHAT SEIMBANG DOKTER TAN



Ia buktikan komitmen untuk menjadikan pasiennya sebagai subyek lewat pemberdayaan pada kekukuhan sikapnya. Mimpinya, Indonesia sehat lewat makanan sehat seimbang.


Langit siang yang biru cerah menaungi komplek Perkantoran CBD BSD City Serpong di Tangerang Selatan. Di depan salah satu ruko di Blok G, dua bilah besi melintang di tangga di depan pintu masuk yang digunakan sebagai jalur kursi roda untuk mereka yang karena kondisi kesehatannya harus memakai alat bantu itu. Di atas pintu masuk, terdapat dua papan nama yang pada tubuhnya masing-masing tertulis: Dr. Tan Wellbeing Clinics dan Remanlay Special Need’s Health. Di situlah, Dr. Tan Shot Yen membagi ilmu –ya, ilmu, bukan sekadar resep obat- pada pasien-pasiennya. 
Klinik itu sederhana saja. Layaknya ruang praktek dokter, putih melingkupi hampir seluruh bidang dinding dalam bangunan berlantai tiga itu. Di ruang tunggu yang jamnya menunjukkan angka 14.30 itu, telah ada beberapa pasien yang baru akan bertemu dokternya pada pukul 16.00, ketika waktu praktik dibuka. Di klinik itu, memang tak diterapkan nomor antrian. Pasiennya dengan sadar mengatur dan menempatkan diri pada urutan keberapa mereka bisa masuk ke ruang praktik. “Tak ada yang menyelak masuk meski kami tak punya nomor antrian,” kata salah satu pasien yang tengah menunggu di situ. Sedari ruang tunggu, atmosfer kasual sekaligus kritis telah dibangun.
Di belakang ruang tunggu yang hanya diisi kursi-kursi panjang yang menempel di dinding, ruang konsultasi Tan Shot Yen berada. Sebuah dipan untuk memeriksa pasien dipenuhi tumpukan dokumen. “Maaf ya ini sedang berantakan. Saya sedang membuat laporan untuk akreditasi ,” kata dokter bertubuh mungil itu bervolume suara tinggi itu dengan nada bersahabat.  Berbeda dari idealisasi sosok dokter yang konon selalu bertutur lemah lembut pada pasien-pasiennya, Tan Shot Yen yang biasa disapa dengan panggilan Dokter Tan itu bicara dalam volume suara maksimal seperti seorang soprano tengah menyanyikan aria. Cukup nyaring untuk bisa didengar di seluruh sudut ruangan itu pada pukul 14 siang yang terang dan mulai didatangi beberapa pasien yang baru akan ditemuinya pada pukul 16.
Intonasi suaranya berubah sesuai kebutuhan. Nada ramah bisa seketika berganti ketus manakala mendengar pasiennya melanggar komitmen untuk menerapkan pola makan sehat seimbang yang menjadi syarat kesehatan yang dicanangkan oleh Yen untuk pasien-pasiennya. Ia mengaku butuh kerjasama yang baik dari paseinnya untuk menata gaya hidupnya sendiri. “Karena saya ingin mengarahkan pasien-pasien saya pada pemberdayaan, dan tidak ingin meninabobokkan mereka dengan pola penyembuhan cepat (quick fix) yang banyak dipraktikkan dalam dunia kedokteran dewasa ini,” katanya. Nada suaranya masih sama, lugas dan lantang.
Shot Yen tak pernah main-main untuk urusan penerapan pola makan untuk memperbaiki kesehatan. Tak hanya pada pasein-pasein atau peserta seminarnya, ia juga menyampaikan soal itu lewat empat buku yang ia tulis yakni, Saya Pilih Sehat dan Sembuh, Resep Panjang Umur, Sehat dan Sembuh, Dari Mekanisasi dampai Medikalisasi Tubuh Holistik, dan Sehat Sejati yang Kodrati. Saat bicara tentang pola makan sehat dan seimbang, Shot Yen akan menjelma seorang guru killer yang siap menegur siapa saja –terutama pasien-pasiennya- yang tidak disiplin menerapkan ilmu yang mereka terima. “Sama seperti penyakit yang tidak datang secara tiba-tiba, kesehatan pun tidak akan bisa diperoleh dalam waktu seketika. Keduanya, amat bergantung pada pola makan dan gaya hidup seseorang. Jadi aneh sekali kalau orang datang ke dokter untuk mencari kesembuhan seakan-akan dokter adalah tukang sulap yang mengembalikan kesehatan yang dirusaknya bertahun-tahun dalam semalam,” katanya.
Ia tak ragu memarahi pasien yang tak disiplin. “Suami saya pernah diusir sama Dokter Tan karena tidak disiplin menjaga makanan hingga hipertensinya naik lagi,” Atiek Harman yang telah tujuh tahun menjadi pasien Shot Yen mengisahkan. Perempuan yang pertama kali mengetahui tentang Shot Yon lewat sebuah tayangan di televise berita swasta itu mengaku ia dan suaminya tak pernah terganggu dengan sikap dokternya yang kadang terlalu lugas. “Sebab meski sikapnya begitu, Dokter Tan sebenarnya orang yang sangat hangat dan selalu ingin berbagi pengetahuan apa pun yang ia miliki supaya pasiennya mempunyai pemahaman yang setara dan sama terbuka seperti dirinya. Pada paseien-pasiennya, ia sama sekali tak pelit ilmu. Ia  selalu mengajari pasiennya mengenali dan menghargai tubuh mereka,” kata Atiek.
Di kliniknya, Shot Yen memiliki banyak pasien loyal seperti Atiek. “Kebanyakan mereka yang sudah mengalami sendiri perbaikan kesehatannya setelah menerapkan pola makan sehat seimbang,” Veranita Dwiputri, pasien lain yang baru Maret 2013 lalu berkonsultasi pada Shot Yen. Perempuan ini mengidap diabetes dan kadar gula melampaui angka 500 yang mengantarnya ke klinik di BSD itu. “Untuk semua pasien yang baru pertama kali berkonsultasi, Dokter Tan selamlu membuat sesi gabungan di mana ia selama dua hingga tiga jam member kuliah tentang pola makan sehat seimbang,” katanya.  Menerapkan pola makan tersebut sehari setelah mengikuti sesi gabungan Shot Yen, Vera yang telah cukup lama bergantung pada obat-obat penurun kadar gula darah sempat panic ketika diminta menghentikan pemakaian obatnya seketika. “Tak sampai seminggu, gula darah saya turun ke angka 100 dan saya merasa lebih sehat karena berat badan saya turun,” kisah Vera. 
Berbeda dengan iklan bombastis klinik-klinik pengobatan yang marak di televisi, kisah-kisah  sukses pasien Shot Yen itu hanya bergulir serupa obrolan ringan penghalau bosan di ruang tunggu yang kemudian terbawa ke luar kliniknya dan menginspirasi mereka yang tengah sakit atau ingin menjaga kesehatannya. “Tetangga saya yang terkena diabetes stadium lanjut hingga harus terus mendapat suntikan insulin pun bisa sembuh mejalani pola makan yang sudah tujuh tahun saya terapkan,” kata Atiek. Informasi dan pengetahuan yang diberikan oleh Shot Yen nyata sekali menginspirasi pasien-pasien yang merasa memperoleh manfaat. “Tapi tidak sedikit juga yang mental dan tidak kembali karena merasa tidak nyaman dengan sikap keras dan gaya bicara Dokter Tan yang tanpa tedeng aling-aling,” Atiek mengatakan sambil tertawa. 
Menurut Shot Yen, seorang dokter seperti dirinya, memiliki tugas untuk membimbing pasien-pasiennya pulang kembali pada kesehatan kodratinya. “Dokter itu sesungguhnya adalah a lifetime coach. Sekarang ini, dengan derasnya informasi kesehatan yang bisa dengan mudah diperoleh di internet, sesungguhnya terjadi transformasi jabatan dalam dunia kedokteran.  Kedudukan seorang dokter terhadap pasiennya tidak lagi seperti dewa yang maha tahu melainkan sebagai pelatih yang berdiri di tepi lapangan pertandingan setelah ia mengajari pasiennya berbagai ilmu yang ia miliki tentang kesehatan,” katanya. Shot Yen menambahkan, tak cuma membantu menata hidup penderita untuk bisa menerima kenyataan ketika terjadi sesuatu yang tidak beres dalam kesehatannya, seorang dokter juga wajib menyadarkan pasiennya, kontribusi apa saja yang ia lakukan sehingga tubuhnya menjadi sakit, dan memberi tahu cara memperbaikinya.
Komunikasi, menurut perempuan yang lahir di Beijing pada September 1964 ini adalah salah satu alat utama yang harus digunakan oleh seorang dokter ketika menjalankan praktiknya. “Dokter itu tidak boleh malas bicara seperti orang yang sedang sakit gigi. Dokter itu bukan Cuma orang yang meresepkan obat,” kata Shot Yen. Kekukuhan pendapatnya itu membuat ia kerap dianggap sebagai dokter yang anti obat. “Ini yang selalu ingin saya luruskan. Saya sama sekali tidak anti obat. Saya hanya menolak pemakaian obat yang tidak rasional dengan tujuan menyembuhkan penyakit secara instan,” dengan tegas ia menukas. Pada pasiennya, Shot Yen memang nyaris tak pernah memberikan resep obat, melainkan memberikan pemahaman tentang pola makan sehat seimbang.  “Di Indonesia, banyak sekali terjadi kesalahpahaman mengenai makanan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Hanya Negara kita yang mengenal istilah Sembilan bahan pokok makanan atau sembako. Pola makan itu erat kaitannya dengan budaya,” katanya.
Ia selalu geram melihat kurangnya edukasi tentang kesehatan makanan dan pengelanan bahan pangan bagi masyarakat. Dalam pandangan Shot Yen, perlu keseriusan pemerintah untuk melakukan itu. “Mungkin hanya hanya butuh tiga instatsi kementrian pendidikan, kesehatan, dan agraria untuk duduk bersama membahas tentang kekayaan dan ketersediaan pangan serta bantuan media yang mau mendedikasikan satu saja halamannya seminggu sekali pada departemen agraria atau pertanian untuk mengulas tentang bahan pangan lokal dan cara mengolahnya dengan sehat untuk membuat masyarakat sehat,” katanya. Itu sebabnya, selain menulis buku, dokter yang menyandang master untuk ilmu filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini juga aktif menjadi pengajar dokter perusahaan di beberapa Badan Usaha Milik Negara dan perusahaan-perusahaan swasta.    
Berayahkan Tan Tjiauw Liat yang juga seorang dokter, Shot Yen merasa karakter, kekritisan, dan gairah besarnya untuk berbagi ilmu terbentuk oleh interaksinya dengan sang ayah. “Saya  bisa begini karena ayah yang menurut saya adalah seorang yang mendedikasikan usianya untuk ilmu. Beliau orang yang selalu tidak bisa terima sesuatu menjadi stagnan. Dalam kamus beliau, orang harus menjadi lebih baik terus menerus setiap hari. Kabar baiknya, ada yang terus menepuk bokong saya supaya tidak berhenti menjadi lebih baik,” katanya dengan suara yang melembut.  Di balik sikap tegasnya, dokter yang tengah menjalani doktoralnya dalam bidan Behavioral Nutrition di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini sejatinya menyimpan hati yang hangat.
Ia punya segudang cerita tentang manusia ia yang peroleh dari kamar praktiknya. “Jangan kira saya selalu meledak-ledak menguliahi pasien tentang pola makan dan kesehatan mereka. Saya menempatkan mereka sebagai manusia berdaya. Ada kalanya saya bicara blak-blakan, tapi ada pula kali di mana saya akhirnya hanya memeluk pasien perempuan saya karena memang hanya pelukan yang membuatnya sehat saat itu,” katanya dengan mata berkaca. Bahagia dan bangga sering membuncah di hatinya tiap kali melihat pasien-pasien yang dengan disiplin tinggi menerapkan pola makan sehat seimbang menunjukkan perkembangan kesehatan yang positif. “Saya ini kan hanya pelatih. Mereka yang bertanding memperjuangkan kesehatannya sendiri. Coba, apa ada alas an saya tidak bahagia punya klinik ini? Apa saya punya alas an untuk tidak bangga punya pasien yang sudah teredukasi, bisa menginspirasi dan menyampaikan kabar baik pada orang lain?” katanya dengan suara berselimut haru. Perbincangan dengan Shot Yen harus terhenti. Jam di ruang praktiknya menunjuk angka empat. Ruang tunggu telah penuh dan ia harus bertemu dengan pasien-pasien yang ia banggakan, yang juga begitu mencintai Dokter Tan. (Indah S. Ariani), Fotografer: Lufti Hamdi, Pengarah Gaya: Muntik Dyah, Busana: Ghea Panggabean, Rias Wajah dan Rambut: Arlene, Lokasi: Dr. Tan Wellbeing Clinics & Remanly Special Needs Health 

#Tulisan ini adalah versi unedited artikel tentang Dr. Tan Shot Yen dalam Profil Majalah Dewi edisi Juli 2013