Senin, 30 September 2013

INSPIRASI SEHAT SEIMBANG DOKTER TAN



Ia buktikan komitmen untuk menjadikan pasiennya sebagai subyek lewat pemberdayaan pada kekukuhan sikapnya. Mimpinya, Indonesia sehat lewat makanan sehat seimbang.


Langit siang yang biru cerah menaungi komplek Perkantoran CBD BSD City Serpong di Tangerang Selatan. Di depan salah satu ruko di Blok G, dua bilah besi melintang di tangga di depan pintu masuk yang digunakan sebagai jalur kursi roda untuk mereka yang karena kondisi kesehatannya harus memakai alat bantu itu. Di atas pintu masuk, terdapat dua papan nama yang pada tubuhnya masing-masing tertulis: Dr. Tan Wellbeing Clinics dan Remanlay Special Need’s Health. Di situlah, Dr. Tan Shot Yen membagi ilmu –ya, ilmu, bukan sekadar resep obat- pada pasien-pasiennya. 
Klinik itu sederhana saja. Layaknya ruang praktek dokter, putih melingkupi hampir seluruh bidang dinding dalam bangunan berlantai tiga itu. Di ruang tunggu yang jamnya menunjukkan angka 14.30 itu, telah ada beberapa pasien yang baru akan bertemu dokternya pada pukul 16.00, ketika waktu praktik dibuka. Di klinik itu, memang tak diterapkan nomor antrian. Pasiennya dengan sadar mengatur dan menempatkan diri pada urutan keberapa mereka bisa masuk ke ruang praktik. “Tak ada yang menyelak masuk meski kami tak punya nomor antrian,” kata salah satu pasien yang tengah menunggu di situ. Sedari ruang tunggu, atmosfer kasual sekaligus kritis telah dibangun.
Di belakang ruang tunggu yang hanya diisi kursi-kursi panjang yang menempel di dinding, ruang konsultasi Tan Shot Yen berada. Sebuah dipan untuk memeriksa pasien dipenuhi tumpukan dokumen. “Maaf ya ini sedang berantakan. Saya sedang membuat laporan untuk akreditasi ,” kata dokter bertubuh mungil itu bervolume suara tinggi itu dengan nada bersahabat.  Berbeda dari idealisasi sosok dokter yang konon selalu bertutur lemah lembut pada pasien-pasiennya, Tan Shot Yen yang biasa disapa dengan panggilan Dokter Tan itu bicara dalam volume suara maksimal seperti seorang soprano tengah menyanyikan aria. Cukup nyaring untuk bisa didengar di seluruh sudut ruangan itu pada pukul 14 siang yang terang dan mulai didatangi beberapa pasien yang baru akan ditemuinya pada pukul 16.
Intonasi suaranya berubah sesuai kebutuhan. Nada ramah bisa seketika berganti ketus manakala mendengar pasiennya melanggar komitmen untuk menerapkan pola makan sehat seimbang yang menjadi syarat kesehatan yang dicanangkan oleh Yen untuk pasien-pasiennya. Ia mengaku butuh kerjasama yang baik dari paseinnya untuk menata gaya hidupnya sendiri. “Karena saya ingin mengarahkan pasien-pasien saya pada pemberdayaan, dan tidak ingin meninabobokkan mereka dengan pola penyembuhan cepat (quick fix) yang banyak dipraktikkan dalam dunia kedokteran dewasa ini,” katanya. Nada suaranya masih sama, lugas dan lantang.
Shot Yen tak pernah main-main untuk urusan penerapan pola makan untuk memperbaiki kesehatan. Tak hanya pada pasein-pasein atau peserta seminarnya, ia juga menyampaikan soal itu lewat empat buku yang ia tulis yakni, Saya Pilih Sehat dan Sembuh, Resep Panjang Umur, Sehat dan Sembuh, Dari Mekanisasi dampai Medikalisasi Tubuh Holistik, dan Sehat Sejati yang Kodrati. Saat bicara tentang pola makan sehat dan seimbang, Shot Yen akan menjelma seorang guru killer yang siap menegur siapa saja –terutama pasien-pasiennya- yang tidak disiplin menerapkan ilmu yang mereka terima. “Sama seperti penyakit yang tidak datang secara tiba-tiba, kesehatan pun tidak akan bisa diperoleh dalam waktu seketika. Keduanya, amat bergantung pada pola makan dan gaya hidup seseorang. Jadi aneh sekali kalau orang datang ke dokter untuk mencari kesembuhan seakan-akan dokter adalah tukang sulap yang mengembalikan kesehatan yang dirusaknya bertahun-tahun dalam semalam,” katanya.
Ia tak ragu memarahi pasien yang tak disiplin. “Suami saya pernah diusir sama Dokter Tan karena tidak disiplin menjaga makanan hingga hipertensinya naik lagi,” Atiek Harman yang telah tujuh tahun menjadi pasien Shot Yen mengisahkan. Perempuan yang pertama kali mengetahui tentang Shot Yon lewat sebuah tayangan di televise berita swasta itu mengaku ia dan suaminya tak pernah terganggu dengan sikap dokternya yang kadang terlalu lugas. “Sebab meski sikapnya begitu, Dokter Tan sebenarnya orang yang sangat hangat dan selalu ingin berbagi pengetahuan apa pun yang ia miliki supaya pasiennya mempunyai pemahaman yang setara dan sama terbuka seperti dirinya. Pada paseien-pasiennya, ia sama sekali tak pelit ilmu. Ia  selalu mengajari pasiennya mengenali dan menghargai tubuh mereka,” kata Atiek.
Di kliniknya, Shot Yen memiliki banyak pasien loyal seperti Atiek. “Kebanyakan mereka yang sudah mengalami sendiri perbaikan kesehatannya setelah menerapkan pola makan sehat seimbang,” Veranita Dwiputri, pasien lain yang baru Maret 2013 lalu berkonsultasi pada Shot Yen. Perempuan ini mengidap diabetes dan kadar gula melampaui angka 500 yang mengantarnya ke klinik di BSD itu. “Untuk semua pasien yang baru pertama kali berkonsultasi, Dokter Tan selamlu membuat sesi gabungan di mana ia selama dua hingga tiga jam member kuliah tentang pola makan sehat seimbang,” katanya.  Menerapkan pola makan tersebut sehari setelah mengikuti sesi gabungan Shot Yen, Vera yang telah cukup lama bergantung pada obat-obat penurun kadar gula darah sempat panic ketika diminta menghentikan pemakaian obatnya seketika. “Tak sampai seminggu, gula darah saya turun ke angka 100 dan saya merasa lebih sehat karena berat badan saya turun,” kisah Vera. 
Berbeda dengan iklan bombastis klinik-klinik pengobatan yang marak di televisi, kisah-kisah  sukses pasien Shot Yen itu hanya bergulir serupa obrolan ringan penghalau bosan di ruang tunggu yang kemudian terbawa ke luar kliniknya dan menginspirasi mereka yang tengah sakit atau ingin menjaga kesehatannya. “Tetangga saya yang terkena diabetes stadium lanjut hingga harus terus mendapat suntikan insulin pun bisa sembuh mejalani pola makan yang sudah tujuh tahun saya terapkan,” kata Atiek. Informasi dan pengetahuan yang diberikan oleh Shot Yen nyata sekali menginspirasi pasien-pasien yang merasa memperoleh manfaat. “Tapi tidak sedikit juga yang mental dan tidak kembali karena merasa tidak nyaman dengan sikap keras dan gaya bicara Dokter Tan yang tanpa tedeng aling-aling,” Atiek mengatakan sambil tertawa. 
Menurut Shot Yen, seorang dokter seperti dirinya, memiliki tugas untuk membimbing pasien-pasiennya pulang kembali pada kesehatan kodratinya. “Dokter itu sesungguhnya adalah a lifetime coach. Sekarang ini, dengan derasnya informasi kesehatan yang bisa dengan mudah diperoleh di internet, sesungguhnya terjadi transformasi jabatan dalam dunia kedokteran.  Kedudukan seorang dokter terhadap pasiennya tidak lagi seperti dewa yang maha tahu melainkan sebagai pelatih yang berdiri di tepi lapangan pertandingan setelah ia mengajari pasiennya berbagai ilmu yang ia miliki tentang kesehatan,” katanya. Shot Yen menambahkan, tak cuma membantu menata hidup penderita untuk bisa menerima kenyataan ketika terjadi sesuatu yang tidak beres dalam kesehatannya, seorang dokter juga wajib menyadarkan pasiennya, kontribusi apa saja yang ia lakukan sehingga tubuhnya menjadi sakit, dan memberi tahu cara memperbaikinya.
Komunikasi, menurut perempuan yang lahir di Beijing pada September 1964 ini adalah salah satu alat utama yang harus digunakan oleh seorang dokter ketika menjalankan praktiknya. “Dokter itu tidak boleh malas bicara seperti orang yang sedang sakit gigi. Dokter itu bukan Cuma orang yang meresepkan obat,” kata Shot Yen. Kekukuhan pendapatnya itu membuat ia kerap dianggap sebagai dokter yang anti obat. “Ini yang selalu ingin saya luruskan. Saya sama sekali tidak anti obat. Saya hanya menolak pemakaian obat yang tidak rasional dengan tujuan menyembuhkan penyakit secara instan,” dengan tegas ia menukas. Pada pasiennya, Shot Yen memang nyaris tak pernah memberikan resep obat, melainkan memberikan pemahaman tentang pola makan sehat seimbang.  “Di Indonesia, banyak sekali terjadi kesalahpahaman mengenai makanan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Hanya Negara kita yang mengenal istilah Sembilan bahan pokok makanan atau sembako. Pola makan itu erat kaitannya dengan budaya,” katanya.
Ia selalu geram melihat kurangnya edukasi tentang kesehatan makanan dan pengelanan bahan pangan bagi masyarakat. Dalam pandangan Shot Yen, perlu keseriusan pemerintah untuk melakukan itu. “Mungkin hanya hanya butuh tiga instatsi kementrian pendidikan, kesehatan, dan agraria untuk duduk bersama membahas tentang kekayaan dan ketersediaan pangan serta bantuan media yang mau mendedikasikan satu saja halamannya seminggu sekali pada departemen agraria atau pertanian untuk mengulas tentang bahan pangan lokal dan cara mengolahnya dengan sehat untuk membuat masyarakat sehat,” katanya. Itu sebabnya, selain menulis buku, dokter yang menyandang master untuk ilmu filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini juga aktif menjadi pengajar dokter perusahaan di beberapa Badan Usaha Milik Negara dan perusahaan-perusahaan swasta.    
Berayahkan Tan Tjiauw Liat yang juga seorang dokter, Shot Yen merasa karakter, kekritisan, dan gairah besarnya untuk berbagi ilmu terbentuk oleh interaksinya dengan sang ayah. “Saya  bisa begini karena ayah yang menurut saya adalah seorang yang mendedikasikan usianya untuk ilmu. Beliau orang yang selalu tidak bisa terima sesuatu menjadi stagnan. Dalam kamus beliau, orang harus menjadi lebih baik terus menerus setiap hari. Kabar baiknya, ada yang terus menepuk bokong saya supaya tidak berhenti menjadi lebih baik,” katanya dengan suara yang melembut.  Di balik sikap tegasnya, dokter yang tengah menjalani doktoralnya dalam bidan Behavioral Nutrition di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini sejatinya menyimpan hati yang hangat.
Ia punya segudang cerita tentang manusia ia yang peroleh dari kamar praktiknya. “Jangan kira saya selalu meledak-ledak menguliahi pasien tentang pola makan dan kesehatan mereka. Saya menempatkan mereka sebagai manusia berdaya. Ada kalanya saya bicara blak-blakan, tapi ada pula kali di mana saya akhirnya hanya memeluk pasien perempuan saya karena memang hanya pelukan yang membuatnya sehat saat itu,” katanya dengan mata berkaca. Bahagia dan bangga sering membuncah di hatinya tiap kali melihat pasien-pasien yang dengan disiplin tinggi menerapkan pola makan sehat seimbang menunjukkan perkembangan kesehatan yang positif. “Saya ini kan hanya pelatih. Mereka yang bertanding memperjuangkan kesehatannya sendiri. Coba, apa ada alas an saya tidak bahagia punya klinik ini? Apa saya punya alas an untuk tidak bangga punya pasien yang sudah teredukasi, bisa menginspirasi dan menyampaikan kabar baik pada orang lain?” katanya dengan suara berselimut haru. Perbincangan dengan Shot Yen harus terhenti. Jam di ruang praktiknya menunjuk angka empat. Ruang tunggu telah penuh dan ia harus bertemu dengan pasien-pasien yang ia banggakan, yang juga begitu mencintai Dokter Tan. (Indah S. Ariani), Fotografer: Lufti Hamdi, Pengarah Gaya: Muntik Dyah, Busana: Ghea Panggabean, Rias Wajah dan Rambut: Arlene, Lokasi: Dr. Tan Wellbeing Clinics & Remanly Special Needs Health 

#Tulisan ini adalah versi unedited artikel tentang Dr. Tan Shot Yen dalam Profil Majalah Dewi edisi Juli 2013

ALIR RESIN ARIN DWIHARTANTO


Pada karya-karyanya, Arin menyematkan semangat zaman. Dengan resin, ia bekukan sejarah tentang sebuah masa di mana ia tumbuh di dalamnya.

Akhir maret 2010. Sebuah email dari Sigiarts Gallery tiba di kotak surat. Isinya undangan pameran berjudul Fluid Friction #2 dari seniman Arin Dwihartanto. Nama itu terasa jarang berseliweran di jagat senirupa Indonesia pada paruh tengah hingga akhir dekade itu. Namun kuratorial dan curiculum vitae yang menyertai undangan itu cukup menjelaskan bahwa sang seniman sejatinya tak benar-benar hijau di ranah seni rupa. Ia punya sederet pengalaman pameran dan pencapaian yang layak dicatat sejak masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan seni murni di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB). Mulai dari kompetisi nasional untuk mahasiswa seni PEKSIMINAS hingga kompetisi seni rupa bergengsi seperti Phillip Morris, Asia-Europe Young Artist Painting Competition, dan Indofood Art Award yang menjadi salah tiga kompetisi yang jadi acuan seni rupa di tingkat nasional dan regional.

Fluid Friction #2 pun bukan pameran tunggalnya yang pertama. Sebelumnya, ia pernah menggelar pameran Machine Head di Koong Gallery Jakarta, Unstable Ground di Toni Heath Gallery, London dan Liquid Friction di Artipoli Gallery Netherland. Sederet pameran bersama juga ia ikuti dalam rentang waktu cukup panjang antara 1997 hingga 2010 itu. Beberapa foto lukisan abstrak berwarna mencorong menyertai undangan itu. Cyan Magenta Yellow Black 3 – Resin on Canvas. Keterangan foto itu cukup mengganggu. Bagaimana resin diterapan pada kanvas? Pertanyaan tersebut menimbulkan rasa penasaran pada seniman berpembawaan tenang yang air mukanya lebih banyak terlihat datar dan tak banyak menebar senyum.

“Saya tak sengaja berniat memakai resin sebagai medium berkarya. Awalnya hanya iseng bermain-main dengan resin. Ternyata saya suka dan tmerasa terbantu karena resin lebih cepat kering disbanding medium lain yang saya gunakan sebelumnya seperti cat minya. Selain karena alasan teknis bahwa cairan resin lebih cepat kering dibanding cat minyak, saya tak menemukan alasan lain yang lebih tepat untuk menjawab kenapa saya menggunakan medium itu ketika pertama kali mencobanya pada 2008,” kata Arin. Kala itu, seniman yang lahir pada 1978 ini tengah mudik liburan ke Bandung, kota di mana ia lahir dan tumbuh besar dalam lingkungan artistik yang tersaji setiap hari lewat interaksi dengan ayahnya, seniman Sunaryo dan ibunya Heti Sunaryo, seorang perias pengantin Sunda. Pada tahun 2008 itu, Arin baru saja menyelesaikan master seninya di sekolah seni rupa bergengsi, Central Saint Martin’s College of Art and Design di London. Hingga sebelum menemukan resin, Arin yang karya-karya awalnya terasa kental terpengaruh komik dan manga Jepang itu menggunakan cat minyak yang lama sekali kering. Ketebalan cat yang ia butuhkan untuk menggoreskan idenya pada citra-citra di atas kanvas bahkan kerap belum kering, berbulan-bulan setelah karya itu selesai. “Itu sering sekali mengganggu pikiran saya dan membuat ingin sekali menemukan bahan lain yang bisa memberi solusi. Maka ketika suatu ketika saya tak sengaja menumpahkan resin dan melihat betapa cepat cairan itu mengering, saya segera mencoba mengeksplorasi kemungkinan yang bisa saya buat dari material itu,” kisahnya.

Pameran bersama berjudul GANTI OLI: Contemporary Paintings from Indonesia yang berlangsung nyaris sepanjang bulan Agustus 2008 di galeri Valentine Willie Singapura menjadi titik baru dalam perjalanan berkarya Arin. Tiga lukisan berbahan resin yang ia sertakan dalam pameran itu mendapat perhatian serius dunia seni rupa. “Sambutan baik itu membuat saya bersemangat mempelajari resin lebih dalam,” akunya. Dari sekadar ketidaksengajaan, Arin lantas membiarkan semangat dan rasa penasaran memandunya menemukan keajaiban-keajaiban resin yang secara alami diciptakan sebagai material preservasi karena sifatnya yang membekukan apa saja yang terlapisi oleehnya.

Dengan penuh semangat dan rasa penasaran, ia telusuri setiap informasi yang didapatnya tentang resin. “Di London, saya mendapat banyak kemudahan memperoleh informasi yang saya butuhkan. Ketatnya regulasi keselamatan dan kesehatan di sana juga memaksa saya menerapkan standar kerja paling aman dengan resin yang sesungguhnya material beracun yang bisa sangat berbahaya bagi kesehatan bila proses kerjanya tak dilakukan sesuai prosedur,” katanya.  Di studio kecilnya yang berada di sebuah distrik seni London di mana banyak seniman-seniman muda menyewa studio, Arin mencoba mengolah berbagai kemungkinan yang bisa ia buat bersama resin. Sayangnya, informasi dan pengetahuan yang leluasa ia peroleh di sana tak dibarengi kemudahan mendapatkan bahan dan bantuan kerja. “Sejak pindah ke London dan memulai kuliah di Saint Martin’s saya memang seperti kembali ke titik nol baik dari segi pengetahuan mau pun pengalaman kerja. Apa yang saya pelajari di ITB seperti dinihilkan dan dipaksa kembali mempelajari seni rupa dunia dari dasarnya. Begitu pula ketika praktek,” kata Arin yang mengaku sempat frustrasi di enam bulan pertamanya di Saint Martin.

Namun Arin memilih untuk tidak patah. Semua kendala yang ditemuinya ia coba urai dan pintal rapi. Ia menolak surut karena London adalah kota yang sangat ingin ia taklukkan kala itu. “Saya ingin sekali berpameran tunggal di sana,” katanya. London, dengan lembaga pendidikan seni rupa bergengsi yang berhasil Arin masuki itu adalah pilihan yang secara sadar ia pilih untuk merentang jarak bukan hanya dengan dunia seni rupa Indonesia, melainkan juga dengan kebesaran karya-karya ayahnya. “Sejak masuk seni rupa, saya sudah sangat biasa dikait-kaitkan dengan Papa. Kalau saya mencapai sesuatu, orang akan ringan saja bilang, “Ya jelaslah, dia kan anaknya Sunaryo,” Arin mengenang. Kondisi itu diakuinya sangat tidak menyenangkan. Namun Arin bukan juga putra yang merasa harus membenci dan secara frontal memilih berseberangan dengan ayhnya. “Saya tidak punya alasan marah dengan kondisi itu. Kenyataannya, saya memang anak Sunaryo yang memang banyak mempengaruhi perkembngan artistik saya seperti soal komposisi, dan sebagainya,” katanya.

Sunaryo, bukan tak tahu putranya merasakan tekanan bayang-bayangnya. “Saya merasakan itu sejak Arin mulai masuk ITB dan melihat bagaimana ia mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang saya dengan membangun karakter karya dan membuat pencapaiannya sendiri,” kata Sunaryo yang selalu ingat sikap datar Arin saat diberi selamat tiap kali ia memenangi sebuah kompetisi. “Satu-satunya pencapaian yang dengan sengaja ia sampaikan pada saya adalah ketika ia mendapat nilai A untuk tugas akhirnya di ITB. Laporan itu berakhir dengan pertanyaan, “Papa nggak kecewa, kan?” Sunaryo mengenang.

Beberapa tahun dari peristiwa itu, Sunaryo menjadi saksi betapa putranya menjelma seniman yang dimiliki bukan lagi cuma oleh Bandung dan Indonesia, melainkan dunia. Arin berkeliling menggelar pameran dai satu galeri ke galeri lain di lima benua. Salah satu karya dari pameran Frozen|Stratum yang menggunakan debu Merapi sebagai pigmen warnanya dikoleksi Museum Guggenheim yang kerap disebut sebagai the temple of the modern art itu. “Saya menemani dia mengikuti seluruh rangkaian acara yang digelar menandai pembukaan pameran koleksi Guggenheim berjudul No Countries di mana karya Arin ada di antara karya seniman lain dari Asia,” kata Sunaryo. Dalam semua rangkaian acara itu, ia sengaja selalu mengambil jarak dan menjadi pengamat di kejauhan.  “Bangga sekali melihat bagaimana publik seni dunia mengapresiasi karya Arin Dwihartanto yang punya karakter sendiri, yang melihat dan menggunakan bahasa berbeda dari saya,” kata Sunaryo. Suaranya tak bisa menutupi haru.

Arin sendiri masih sama dengan beberapa tahun lalu: menyikapi segala pencapaiannya dengan datar. “Tentu saja senang atas segala apresiasi yang saya peroleh. Tapi buat saya, pencapaian sesungguhnya adalah titik di mana saya harus mulai dengan sadar mengerti apa yang saya kerjakan,” kata Arin. Artinya, setiap pencapaian akan membuat ia punya lebih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Arin memberi dirinya sendiri tanggung jawab besar untuk memastikan ia tak pernah berhenti mengeksplorasi berbagai kemungkinan artistik dan terus menantang diri untuk selalu berkembang. “Karya Arin sekarang memang bisa dibilang berbeda 180 derajat dari karya-karya lamanya baik secara teknis mau pun caranya mengeksplorasi bahan,” Syagini Ratnawulan, seniman yang juga sahabat Arin sejak mereka kecil.

Namun perubahan dan perkembangan artistik itu menurut Cagi, panggilan Syagini tak mengubah sosok Arin di matanya. “Arin tetap teman yang baik dan menyenangkan seperti saat kami sama-sama kuliah 15 tahun lalu. Meski pendiam, leluconnya tak pernah garing dan selalu cerdas. Dia juga bukan sahabat yang mati-matian perlu saya jaga perasaannya karena ia bukan orang yang mudah tersinggung,” kata Cagi yang masih selalu ingat saat Arin menghadiahinya sekotak susu ultra yang bungkusnya sudah dikuliti, menyisakan bidang putih. “Arin tidak pernah berusaha terlihat perhtaian dengan memberi hadiah-hadiah mewah. Tapi kesederhanaan itu yang justru membuat persahabatan kami jadi terasa menyentuh,” Cagi mengungkapkan.    

Arin memang bukan orang yang mudah ditebak perasaannya. Air wajahnya yang hamper selalu datar dan tak terlalu banyak menebar senyum membuat orang kerap tak bisa membaca isi hatinya. Bicaranya lugas dan sedikit sekali basa – basi. Namun berbincang dengan Arin tak sedikitpun memunculkan bosan. Terutama ketika dia menceritakan nilai-nilai dan etika berkarya yang ia pegang. “Berkarya dengan resin menghadpkan saya pada satu persoalan serius karena sifatnya yang tak bisa diurai secara alami. Saya risau sekali karena tidak ingin proses berkarya saya merusak lingkungan,” katanya. Arin sempat gamang sampai akhirnya terbersit ide untuk membuat proses berkaryanya lebih aman untuk alam dengan membuang sampah kerjanya ke kotak-kotak transparan yang ia buat dalam berbagai ukuran. “Ternyata setelah kotak dibuka, sampah kerja saya itu jadi semacam instalasi. Senang sekali menemukan solusi,” katanya.

Arin memang tak pernah mau menafikkan nilai-nilai layak tentang sesuatu yang dianggapnya layak dan patut. “Pernah saya mengeluarkan uang cukup besar untuk membeli karya saya waktu kuliah di sebuah balai lelang. Bukan tak senang karya saya beredar di lelang, tapi saya kaget dengan harga yang terlalu tinggi yang mereka tawarkan. Menurut saya harga itu tak masuk akal dan bisa berbahaya buat kelangsungan proses kreatif saya,” kata Arin yang dengan tegas mengaku tak suka dengan proses ‘goreng menggoreng’ yang kerap terjadi di dunia seni. Ia memilih untuk menjadi seniman yang berkembang alami. Mengalir tenang untuk menemukan bentuk muara terbaik lebih ia sukai ketimbang melesat cepat, lalu tamat setelah sebuah ledakan dahsyat. “Hidup saya masih akan lama. Perjalanan karier saya juga masih akan panjang. Saya ingin membuatnya berarti dan dikenang orang dengan baik,” kata Arin bijak. Tampaknya, Arin belajar sangat banyak dari resin yang mengalir dan membeku pada bentuk terbaik di atas kanvasnya. (Indah S. Ariani) Pengarah Gaya: Rhino Madewa, Fotografer: Galih Sedayu, Busana: Kaos: Zara, Jaket: Otoko Lokasi: Studio CA3A, Cigadung, Bandung. 

#Tulisan ini merupakan versi unedited artikel tentang Arin Sunaryo yang telah diterbitkan dalam rubrik Dunia Pria Majalah Dewi edisi Juli 2013