Senin, 30 September 2013

ALIR RESIN ARIN DWIHARTANTO


Pada karya-karyanya, Arin menyematkan semangat zaman. Dengan resin, ia bekukan sejarah tentang sebuah masa di mana ia tumbuh di dalamnya.

Akhir maret 2010. Sebuah email dari Sigiarts Gallery tiba di kotak surat. Isinya undangan pameran berjudul Fluid Friction #2 dari seniman Arin Dwihartanto. Nama itu terasa jarang berseliweran di jagat senirupa Indonesia pada paruh tengah hingga akhir dekade itu. Namun kuratorial dan curiculum vitae yang menyertai undangan itu cukup menjelaskan bahwa sang seniman sejatinya tak benar-benar hijau di ranah seni rupa. Ia punya sederet pengalaman pameran dan pencapaian yang layak dicatat sejak masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan seni murni di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB). Mulai dari kompetisi nasional untuk mahasiswa seni PEKSIMINAS hingga kompetisi seni rupa bergengsi seperti Phillip Morris, Asia-Europe Young Artist Painting Competition, dan Indofood Art Award yang menjadi salah tiga kompetisi yang jadi acuan seni rupa di tingkat nasional dan regional.

Fluid Friction #2 pun bukan pameran tunggalnya yang pertama. Sebelumnya, ia pernah menggelar pameran Machine Head di Koong Gallery Jakarta, Unstable Ground di Toni Heath Gallery, London dan Liquid Friction di Artipoli Gallery Netherland. Sederet pameran bersama juga ia ikuti dalam rentang waktu cukup panjang antara 1997 hingga 2010 itu. Beberapa foto lukisan abstrak berwarna mencorong menyertai undangan itu. Cyan Magenta Yellow Black 3 – Resin on Canvas. Keterangan foto itu cukup mengganggu. Bagaimana resin diterapan pada kanvas? Pertanyaan tersebut menimbulkan rasa penasaran pada seniman berpembawaan tenang yang air mukanya lebih banyak terlihat datar dan tak banyak menebar senyum.

“Saya tak sengaja berniat memakai resin sebagai medium berkarya. Awalnya hanya iseng bermain-main dengan resin. Ternyata saya suka dan tmerasa terbantu karena resin lebih cepat kering disbanding medium lain yang saya gunakan sebelumnya seperti cat minya. Selain karena alasan teknis bahwa cairan resin lebih cepat kering dibanding cat minyak, saya tak menemukan alasan lain yang lebih tepat untuk menjawab kenapa saya menggunakan medium itu ketika pertama kali mencobanya pada 2008,” kata Arin. Kala itu, seniman yang lahir pada 1978 ini tengah mudik liburan ke Bandung, kota di mana ia lahir dan tumbuh besar dalam lingkungan artistik yang tersaji setiap hari lewat interaksi dengan ayahnya, seniman Sunaryo dan ibunya Heti Sunaryo, seorang perias pengantin Sunda. Pada tahun 2008 itu, Arin baru saja menyelesaikan master seninya di sekolah seni rupa bergengsi, Central Saint Martin’s College of Art and Design di London. Hingga sebelum menemukan resin, Arin yang karya-karya awalnya terasa kental terpengaruh komik dan manga Jepang itu menggunakan cat minyak yang lama sekali kering. Ketebalan cat yang ia butuhkan untuk menggoreskan idenya pada citra-citra di atas kanvas bahkan kerap belum kering, berbulan-bulan setelah karya itu selesai. “Itu sering sekali mengganggu pikiran saya dan membuat ingin sekali menemukan bahan lain yang bisa memberi solusi. Maka ketika suatu ketika saya tak sengaja menumpahkan resin dan melihat betapa cepat cairan itu mengering, saya segera mencoba mengeksplorasi kemungkinan yang bisa saya buat dari material itu,” kisahnya.

Pameran bersama berjudul GANTI OLI: Contemporary Paintings from Indonesia yang berlangsung nyaris sepanjang bulan Agustus 2008 di galeri Valentine Willie Singapura menjadi titik baru dalam perjalanan berkarya Arin. Tiga lukisan berbahan resin yang ia sertakan dalam pameran itu mendapat perhatian serius dunia seni rupa. “Sambutan baik itu membuat saya bersemangat mempelajari resin lebih dalam,” akunya. Dari sekadar ketidaksengajaan, Arin lantas membiarkan semangat dan rasa penasaran memandunya menemukan keajaiban-keajaiban resin yang secara alami diciptakan sebagai material preservasi karena sifatnya yang membekukan apa saja yang terlapisi oleehnya.

Dengan penuh semangat dan rasa penasaran, ia telusuri setiap informasi yang didapatnya tentang resin. “Di London, saya mendapat banyak kemudahan memperoleh informasi yang saya butuhkan. Ketatnya regulasi keselamatan dan kesehatan di sana juga memaksa saya menerapkan standar kerja paling aman dengan resin yang sesungguhnya material beracun yang bisa sangat berbahaya bagi kesehatan bila proses kerjanya tak dilakukan sesuai prosedur,” katanya.  Di studio kecilnya yang berada di sebuah distrik seni London di mana banyak seniman-seniman muda menyewa studio, Arin mencoba mengolah berbagai kemungkinan yang bisa ia buat bersama resin. Sayangnya, informasi dan pengetahuan yang leluasa ia peroleh di sana tak dibarengi kemudahan mendapatkan bahan dan bantuan kerja. “Sejak pindah ke London dan memulai kuliah di Saint Martin’s saya memang seperti kembali ke titik nol baik dari segi pengetahuan mau pun pengalaman kerja. Apa yang saya pelajari di ITB seperti dinihilkan dan dipaksa kembali mempelajari seni rupa dunia dari dasarnya. Begitu pula ketika praktek,” kata Arin yang mengaku sempat frustrasi di enam bulan pertamanya di Saint Martin.

Namun Arin memilih untuk tidak patah. Semua kendala yang ditemuinya ia coba urai dan pintal rapi. Ia menolak surut karena London adalah kota yang sangat ingin ia taklukkan kala itu. “Saya ingin sekali berpameran tunggal di sana,” katanya. London, dengan lembaga pendidikan seni rupa bergengsi yang berhasil Arin masuki itu adalah pilihan yang secara sadar ia pilih untuk merentang jarak bukan hanya dengan dunia seni rupa Indonesia, melainkan juga dengan kebesaran karya-karya ayahnya. “Sejak masuk seni rupa, saya sudah sangat biasa dikait-kaitkan dengan Papa. Kalau saya mencapai sesuatu, orang akan ringan saja bilang, “Ya jelaslah, dia kan anaknya Sunaryo,” Arin mengenang. Kondisi itu diakuinya sangat tidak menyenangkan. Namun Arin bukan juga putra yang merasa harus membenci dan secara frontal memilih berseberangan dengan ayhnya. “Saya tidak punya alasan marah dengan kondisi itu. Kenyataannya, saya memang anak Sunaryo yang memang banyak mempengaruhi perkembngan artistik saya seperti soal komposisi, dan sebagainya,” katanya.

Sunaryo, bukan tak tahu putranya merasakan tekanan bayang-bayangnya. “Saya merasakan itu sejak Arin mulai masuk ITB dan melihat bagaimana ia mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang saya dengan membangun karakter karya dan membuat pencapaiannya sendiri,” kata Sunaryo yang selalu ingat sikap datar Arin saat diberi selamat tiap kali ia memenangi sebuah kompetisi. “Satu-satunya pencapaian yang dengan sengaja ia sampaikan pada saya adalah ketika ia mendapat nilai A untuk tugas akhirnya di ITB. Laporan itu berakhir dengan pertanyaan, “Papa nggak kecewa, kan?” Sunaryo mengenang.

Beberapa tahun dari peristiwa itu, Sunaryo menjadi saksi betapa putranya menjelma seniman yang dimiliki bukan lagi cuma oleh Bandung dan Indonesia, melainkan dunia. Arin berkeliling menggelar pameran dai satu galeri ke galeri lain di lima benua. Salah satu karya dari pameran Frozen|Stratum yang menggunakan debu Merapi sebagai pigmen warnanya dikoleksi Museum Guggenheim yang kerap disebut sebagai the temple of the modern art itu. “Saya menemani dia mengikuti seluruh rangkaian acara yang digelar menandai pembukaan pameran koleksi Guggenheim berjudul No Countries di mana karya Arin ada di antara karya seniman lain dari Asia,” kata Sunaryo. Dalam semua rangkaian acara itu, ia sengaja selalu mengambil jarak dan menjadi pengamat di kejauhan.  “Bangga sekali melihat bagaimana publik seni dunia mengapresiasi karya Arin Dwihartanto yang punya karakter sendiri, yang melihat dan menggunakan bahasa berbeda dari saya,” kata Sunaryo. Suaranya tak bisa menutupi haru.

Arin sendiri masih sama dengan beberapa tahun lalu: menyikapi segala pencapaiannya dengan datar. “Tentu saja senang atas segala apresiasi yang saya peroleh. Tapi buat saya, pencapaian sesungguhnya adalah titik di mana saya harus mulai dengan sadar mengerti apa yang saya kerjakan,” kata Arin. Artinya, setiap pencapaian akan membuat ia punya lebih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Arin memberi dirinya sendiri tanggung jawab besar untuk memastikan ia tak pernah berhenti mengeksplorasi berbagai kemungkinan artistik dan terus menantang diri untuk selalu berkembang. “Karya Arin sekarang memang bisa dibilang berbeda 180 derajat dari karya-karya lamanya baik secara teknis mau pun caranya mengeksplorasi bahan,” Syagini Ratnawulan, seniman yang juga sahabat Arin sejak mereka kecil.

Namun perubahan dan perkembangan artistik itu menurut Cagi, panggilan Syagini tak mengubah sosok Arin di matanya. “Arin tetap teman yang baik dan menyenangkan seperti saat kami sama-sama kuliah 15 tahun lalu. Meski pendiam, leluconnya tak pernah garing dan selalu cerdas. Dia juga bukan sahabat yang mati-matian perlu saya jaga perasaannya karena ia bukan orang yang mudah tersinggung,” kata Cagi yang masih selalu ingat saat Arin menghadiahinya sekotak susu ultra yang bungkusnya sudah dikuliti, menyisakan bidang putih. “Arin tidak pernah berusaha terlihat perhtaian dengan memberi hadiah-hadiah mewah. Tapi kesederhanaan itu yang justru membuat persahabatan kami jadi terasa menyentuh,” Cagi mengungkapkan.    

Arin memang bukan orang yang mudah ditebak perasaannya. Air wajahnya yang hamper selalu datar dan tak terlalu banyak menebar senyum membuat orang kerap tak bisa membaca isi hatinya. Bicaranya lugas dan sedikit sekali basa – basi. Namun berbincang dengan Arin tak sedikitpun memunculkan bosan. Terutama ketika dia menceritakan nilai-nilai dan etika berkarya yang ia pegang. “Berkarya dengan resin menghadpkan saya pada satu persoalan serius karena sifatnya yang tak bisa diurai secara alami. Saya risau sekali karena tidak ingin proses berkarya saya merusak lingkungan,” katanya. Arin sempat gamang sampai akhirnya terbersit ide untuk membuat proses berkaryanya lebih aman untuk alam dengan membuang sampah kerjanya ke kotak-kotak transparan yang ia buat dalam berbagai ukuran. “Ternyata setelah kotak dibuka, sampah kerja saya itu jadi semacam instalasi. Senang sekali menemukan solusi,” katanya.

Arin memang tak pernah mau menafikkan nilai-nilai layak tentang sesuatu yang dianggapnya layak dan patut. “Pernah saya mengeluarkan uang cukup besar untuk membeli karya saya waktu kuliah di sebuah balai lelang. Bukan tak senang karya saya beredar di lelang, tapi saya kaget dengan harga yang terlalu tinggi yang mereka tawarkan. Menurut saya harga itu tak masuk akal dan bisa berbahaya buat kelangsungan proses kreatif saya,” kata Arin yang dengan tegas mengaku tak suka dengan proses ‘goreng menggoreng’ yang kerap terjadi di dunia seni. Ia memilih untuk menjadi seniman yang berkembang alami. Mengalir tenang untuk menemukan bentuk muara terbaik lebih ia sukai ketimbang melesat cepat, lalu tamat setelah sebuah ledakan dahsyat. “Hidup saya masih akan lama. Perjalanan karier saya juga masih akan panjang. Saya ingin membuatnya berarti dan dikenang orang dengan baik,” kata Arin bijak. Tampaknya, Arin belajar sangat banyak dari resin yang mengalir dan membeku pada bentuk terbaik di atas kanvasnya. (Indah S. Ariani) Pengarah Gaya: Rhino Madewa, Fotografer: Galih Sedayu, Busana: Kaos: Zara, Jaket: Otoko Lokasi: Studio CA3A, Cigadung, Bandung. 

#Tulisan ini merupakan versi unedited artikel tentang Arin Sunaryo yang telah diterbitkan dalam rubrik Dunia Pria Majalah Dewi edisi Juli 2013

   

          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar