Senin, 20 Desember 2010

LANGGAM DIPLOMASI RETNO MARSUDI


Kaki dan kiprahnya melanglang buana. Tapi hati dan cintanya tertambat pada akar kearifan Jawa.

Suara gending lamat-lamat menyapa telinga. Lembut, seakan datang dari dunia tak bernama. World music. Itu dugaan pertama yang melintas di kepala, mengingat pemilik ruangan apik beraroma sedap malam dan pandan itu adalah Retno Lestari Priansari Marsudi. Salah seorang Duta Besar di Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu-RI) yang sejak 2008 menjadi Direktur Jenderal Amerika dan Eropa (Dirjen Amerop). “Bukan world music. Ini klenengan asli Jawa,” kata Retno ketika ditanyakan perihal musik yang melantun di ruang itu. “Saya ini sangat Jawa. Lahir dan tumbuh besar di tengah keluarga Jawa yang kental memegang tradisi,” katanya. Itu sebab kenapa Retno menghadirkan atmosfer itu lewat musik dan aroma di ruang kerjanya. “Ketika menghadapi tekanan pekerjaan yang sangat tinggi, saya berusaha membangun suasana yang rileks dan homey,” katanya membuka rahasia. Dua hari sekali, ia mengganti bunga dan rajangan pandan agar atmosfer itu tetap sinambung nemenaninya. Irama pelog dan slendro terus berjalin dalam ritme lambat.

Ritme yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan aktivitas Retno yang demikian padat dan pesat. “Kadang-kadang, 24 jam terasa kurang,” cetusnya tertawa. Retno tak berlebihan. Seringkali ia berada di Jakarta seminggu saja dalam sebulan. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas hubungan Indonesia dengan dua benua sebesar Amerika dan Eropa yang berjarak ribuan mil dari tanah air, perempuan pertama sepanjang sejarah Kemlu-RI yang bisa menempati posisi sebagai dirjen ini memang harus kerap menghabiskan waktunya di perjalanan menuju negara-negara yang dilawatnya. “Kadang-kadang hanya untuk perjalanan saja saya harus menghabiskan waktu empat hari pulang pergi,” katanya. Ketika berada di Jakarta pun, hari-harinya telah dipadati jadwal yang mengantri. “Tiap jam ada jadwal meeting. Ini waktu terlama yang pernah saya alokasikan untuk sebuah pertemuan,” katanya, sambil menyebut waktu tiga jam yang diberikannya untuk wawancara dan pemotretan dengan Dewi.

Retno bukan sedang sambat. Setelah hampir seperempat abad, masa telah menempanya menjadi seorang diplomat tangguh yang tak gentar menghadapi berbagai rintangan. Hal itu dibuktikan, misalnya ketika ia ditugaskan menjadi salah satu anggota Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia, Munir pada 2004. Retno harus melakukan negosiasi diplomasi yang sangat alot dengan pihak Belanda, tempat di mana akhirnya Munir ditemukan tewas tatkala pesawat yang membawanya mendarat di Bandar udara Schipol. “Pengalaman bekerja dalam TPF Munir itu memberi saya pelajaran yang mungkin tidak akan pernah saya peroleh di sekolah mana pun,” katanya. Retno juga mengaku berhasil mematahkan stigma yang ia dengar dari banyak kalangan pemerintah yang acap menganggap bekerja dengan para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu sebagai sesuatu yang sulit. “Awalnya saya sempat khawatir memikirkan omongan-omongan itu. Tapi di akhir hari, saya bisa membuktikan kalau kerjasama dengan teman-teman LSM itu tidak sesulit yang dibayangkan. Bahkan sampai sekarang pun, saya masih berhubungan baik dengan teman-teman di TPF,” katanya.

Usman Hamid, seorang kolega Retno di TPF Munir, mengamini hal ini.
“Sesekali saya masih bertemu Mbak Retno, entah dalam acara formal atau sekadar ngopi santai membincangkan berbagai hal,” kata Usman. Retno, dalam pandangan Ketua Dewan Pengurus Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (Kontras) ini merupakan satu dari sedikit diplomat yang menjanjikan dedikasi besar terhadap dunia diplomasi Indonesia. Usman tak asal bicara. Dirinya dan Retno bersama-sama menjadi anggota tim negosiasi di Belanda . “Waktu itu saya mewakili keluarga Munir. Mbak Retno dari Kemlu. Kami harus melakukan negosiasi dengan pemerintah Belanda agar diizinkan membawa specimen dari jasad mendiang Munir ke Indonesia sebagai bukti dalam proses penyidikan,” katanya.

Proses negosiasi saat itu, menurut Usman, menjadi sangat alot karena ada perbedaan kebijakan antara Indonesia dan Belanda perihal penerapan hukuman mati. “Hal ini menjadi isu sentral kala itu. Belanda terikat dengan Konvensi Eropa untuk tidak menerapkan hukuman mati, sementara Indonesia, dalam beberapa kasus, masih meniscayakan kemungkinan itu. Pihak Belanda tidak berkenan memberikan bantuan hukum, dalam hal ini specimen sebagai barang bukti, jika di kemudian hari berakibat penjatuhan hukuman mati terhadap seseorang,” Usman menjelaskan. Tarik menarik kepentingan terjadi seperti dua magnet berkekuatan besar. “Posisi Mbak Retno jelas tidak mudah saat itu,” kata Usman. Dengan pemahaman, dan kemampuan word engineering yang dimilikinya, Retno dapat membuat kesepakatan yang membuat kedua belah pihak nyaman. “Mbak Retno itu negosiator ulung yang membuat misi kami tercapai,” kata Usman mengenang.

Diplomasi dan negosiasi barangkali telah mendarahdaging dalam dirinya. Retno kerap memimpin delegasi untuk banyak perundingan penting di berbagai negara. ”Dia punya pemahaman dasar yang sangat solid tentang apa yang dilakukannya. Bukan hanya urusan hubungan internasional yang dikuasainnya secara purna, tapi juga hukum internasional,” kata Usman. Retno, seperti yang telah terbukti di banyak meja negosiasi, memiliki naluri yang kuat sebagai seorang negosiator. “Masing-masing perundingan itu memilik karakter berbeda dan semua memerlukan ketekunan untuk diselesaikan,” kata Retno. Menurutnya, kombinasi antara fleksibiltas, semangat berkompromi dan keteguhan selalu diperlukan dalam setiap negosiasi. Retno biasanya juga mempelajari curriculum vitae sang ketua tim perunding. “Saya cari di mana persamaannya dengan kita. Walau pun urusannya urusan negara, tapi penting pula mengetahui faktor personal. Ini akan sangat membantu untuk mencairkan suasana,” jelasnya. Selain negosiasi kasus Munir, perundingan untuk menghapuskan larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia ke Eropa juga menjadi perundingan yang menantang buat Retno.

Karier perempuan kelahiran Semarang, 27 November 1962, melesat segegas meteor. Lulusan Fakultas Hubungan Internasional UGM 1985 ini tersaring lewat jalur rekrutmen langsung yang diadakan Kemlu-RI di kampusnya setahun sebelum ia usai kuliah. “Jadi saat wisuda, saya sudah enteng. Sudah punya tempat yang dituju,” katanya bersahaja. Jenjang demi jenjang dalam tangga birokrasi di Kemlu-RI, dengan pesat dan pasti dicapainya. Retno sendiri mengaku tak pernah membuat target jabatan apa yang ingin diraihnya. “I just always try to do my best,” katanya. Ini yang membuat ia cepat mendapat promosi. Bergabung sebagai staf pada Biro Analisa dan Evaluasi untuk kerjasama ASEAN pada 1986, Retrno diangkat menjadi Direktur Eropa Barat. Promosi yang mengejutkan baginya, “Sebab saat itu usia saya baru 38. Relatif sangat muda untuk ukuran birokrat,” katanya. Kejutan lain juga datang kemudian. Retno diangkat sebagai duta besar di usia 42 tahun dan menjadi Dirjen Amerop beberapa tahun kemudian.

Perubahan yang dinamis dalam diplomasi diikuti dengan santai oleh Retno. Ia selalu terbuka terhadap berbagai perubahan. “Justru pada dinamika itu letak daya tariknya. Setiap hari isu yang harus saya tangani berbeda. Selalu ada perubahan setiap saat. Ini memaksa saya untuk selalu alert dan mengikuti perkembangan,” katanya membagi kiat. Menurutnya, dalam diplomasi modern diplomat hanya merupakan satu dari banyak pelaku yang terlibat dalam hubungan antar Negara. “Dalam kondisi hubungan yang baik, tentu tugas diplomat menjadi lebih mudah karena tugas utamanya menjaga dan meningkatkan hubungan yang sudah baik. Namun dalam kondisi yang tidak baik, diplomat harus bisa menjalankan tugas sebagai pendamai yang mencoba mengkonversikan situasi seburuk apapun menjadi situasi yang lebih baik,” katanya.

Dalam pandangan Retno, diplomasi ekonomi akan menjadi penekanan bagi diplomasi indonesia di masa mendatang. “Tugas para diplomat ke depan adalah bagaimana mengkonversikan hubungan politik yang baik yang dimiliki indonesia dengan semua negara menjadi hubungan baik di bidang lainnya, terutma bidang ekonomi,” katanya. Apalagi menurutnya, dari sisi diplomasi, Indonesia berada dalam posisi yang lebih ringan dari masa-masa yang lalu. “Kalau dulu, kita banyak sekali dibebani oleh isu hak asasi manusia, demokratisasi, good governance dan sebagainya. Isu-isu yang terus terang sangat membebani diplomasi kita pada saat itu, kini terus terang sudah tidak ada sama sekali,” katanya mantap. Retno menggaris bawahi, dari sisi perkembangan penghormatan hak asasi manusia, Indonesia sudah jauh lebih maju. Dari sisi demokrasi,menurutnya, Indonesia sekarang bisa dengan bangga mengklaim sebagai Negara demokratik ketiga di dunia, setelah Amerka dan India. Dari sisi good governance, kendati masih banyak hal yang harus dibenahi, komitmen pemerintah untuk melakukan perbaikan, pemberantasan korupsi, menurutnya layak dihargai karena hal tersebut membuat Indonesia dihormati di kancah diplomasi dunia. “Dengan semakin entengnya “beban” diplomasi itu, energi kita jadi bisa lebih banyak terfokus pada diplomasi ekonomi,” katanya.

Hal itu pula yang terus ia upayakan terjalin antara Indonesia dengan Amerika dan eropa. Retno mencatat respon yang sangat positif dari dua wilayah adidaya itu. “Indonesia dan Amerika saat ini tengah menjalin kemitraan komprehensif (Comprehensive partnership). Tidak banyak negara yang dapat membuat Amerika mau menjalin kerjasama ini. Peresmiannya memang belum karena kita menunggu kunjungan Presiden Obama. Tapi dalam praktiknya hubungan itu sudah mulai berjalan,” katanya. Tak hanya dengan Amerika, Indonesia juga punya kemitraan komprehensif dan strategis dengan Uni Eropa dan negara besar lain seperti Jepang, Cina, juga Australia. “Sebuah negara tidak akan mau menjalin kemitraan komprehensif atau strategis dengan negara yang tidak mereka pandang,” katanya. Di tangan Retno, segala hal memang terasa memiliki masa depan. Kerja yang demikian berat itu berhasil dipikulnya. Ini memberinya konsekuensi lain. Mobilitas yang sangat tinggi.

Hal ini sama sekali tidak mengganggunya. Sejak awal memilih diplomasi sebagai jalan hidup, Retno sudah tahu benar risiko yang harus diambilnya itu. “Memang harus membangun team work yang baik dengan suami dan anak-anak. Apalagi wilayah kerja saya Amerika dan Eropa yang secara geografis sangat jauh, waktu saya benar-benar habis di jalan. Pada saat saya masuk Deplu, dia sudah tahu benar apa risiko yang harus kami ambil,” kata istri Agus Marsudi yang seorang arsitek itu. Retno menolak pandangan yang mengatakan bahwa karier dan rumah tangga adalah pilihan. “Tidak ada yang perlu dikorbankan. Semua bisa berjalan beriringan jika rasa aman bisa sama-sama kita bangun,” kata Retno yang rutin jogging dan berdansa dengan suaminya setiap pagi. Mereka juga punya ritual tahunan yang mungkin jarang dilakukan pasangan lain: mendaki gunung. Baginya, mendaki gunung bukan hanya perkara raga. “Seperti gunung, hidup punya puncak yang harus didaki dan suatu saat juga harus dituruni,” katanya beramsal. Retno mengaku selalu rindu kembali mendaki punggung Merapi, bermalam di sana, menyesap sahaja penduduk desa sembari menyeruput hangat tawa mereka.

Rindu yang mungkin tak bisa ditunaikan oleh gagah Pulpit Rock di Norwegia yang pernah pula ia daki hingga puncak bersama sang suami. Jangan heran pula jika suatu kali melihat Retno dan Agus duduk santai berdua di emper Malioboro nggedabrus -berbincang ke sana ke mari- dengan pedagang wedang ronde dan tukang becak. Ia mengaku, saat-saat seperti itu serupa proses kalibrasi rasa baginya. “Menjadi bukan siapa-siapa seperti itu membawa saya kembali ke akar. Mengajak jiwa saya kembali eling bahwa hidup sejatinya begitu sederhana,” kata. Ya, seperti seekor elang, ibunda dua remaja putra Dyota dan Bagas ini memang selalu butuh sarang untuk pulang setelah jelajah panjang yang melelahkan. Rumah dengan segala cinta dan aroma Jawa yang bisa dihirup di dalamnya, adalah sarang menenangkan bagi Retno, sang elang, untuk kembali ke kesejatian diri. (Indah S. Ariani), Fotografer: Irene Iskandar, Pengarah gaya: Ayundha Wardhani, Rias wajah dan rambut: