Senin, 20 Desember 2010

LANGGAM DIPLOMASI RETNO MARSUDI


Kaki dan kiprahnya melanglang buana. Tapi hati dan cintanya tertambat pada akar kearifan Jawa.

Suara gending lamat-lamat menyapa telinga. Lembut, seakan datang dari dunia tak bernama. World music. Itu dugaan pertama yang melintas di kepala, mengingat pemilik ruangan apik beraroma sedap malam dan pandan itu adalah Retno Lestari Priansari Marsudi. Salah seorang Duta Besar di Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu-RI) yang sejak 2008 menjadi Direktur Jenderal Amerika dan Eropa (Dirjen Amerop). “Bukan world music. Ini klenengan asli Jawa,” kata Retno ketika ditanyakan perihal musik yang melantun di ruang itu. “Saya ini sangat Jawa. Lahir dan tumbuh besar di tengah keluarga Jawa yang kental memegang tradisi,” katanya. Itu sebab kenapa Retno menghadirkan atmosfer itu lewat musik dan aroma di ruang kerjanya. “Ketika menghadapi tekanan pekerjaan yang sangat tinggi, saya berusaha membangun suasana yang rileks dan homey,” katanya membuka rahasia. Dua hari sekali, ia mengganti bunga dan rajangan pandan agar atmosfer itu tetap sinambung nemenaninya. Irama pelog dan slendro terus berjalin dalam ritme lambat.

Ritme yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan aktivitas Retno yang demikian padat dan pesat. “Kadang-kadang, 24 jam terasa kurang,” cetusnya tertawa. Retno tak berlebihan. Seringkali ia berada di Jakarta seminggu saja dalam sebulan. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas hubungan Indonesia dengan dua benua sebesar Amerika dan Eropa yang berjarak ribuan mil dari tanah air, perempuan pertama sepanjang sejarah Kemlu-RI yang bisa menempati posisi sebagai dirjen ini memang harus kerap menghabiskan waktunya di perjalanan menuju negara-negara yang dilawatnya. “Kadang-kadang hanya untuk perjalanan saja saya harus menghabiskan waktu empat hari pulang pergi,” katanya. Ketika berada di Jakarta pun, hari-harinya telah dipadati jadwal yang mengantri. “Tiap jam ada jadwal meeting. Ini waktu terlama yang pernah saya alokasikan untuk sebuah pertemuan,” katanya, sambil menyebut waktu tiga jam yang diberikannya untuk wawancara dan pemotretan dengan Dewi.

Retno bukan sedang sambat. Setelah hampir seperempat abad, masa telah menempanya menjadi seorang diplomat tangguh yang tak gentar menghadapi berbagai rintangan. Hal itu dibuktikan, misalnya ketika ia ditugaskan menjadi salah satu anggota Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia, Munir pada 2004. Retno harus melakukan negosiasi diplomasi yang sangat alot dengan pihak Belanda, tempat di mana akhirnya Munir ditemukan tewas tatkala pesawat yang membawanya mendarat di Bandar udara Schipol. “Pengalaman bekerja dalam TPF Munir itu memberi saya pelajaran yang mungkin tidak akan pernah saya peroleh di sekolah mana pun,” katanya. Retno juga mengaku berhasil mematahkan stigma yang ia dengar dari banyak kalangan pemerintah yang acap menganggap bekerja dengan para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu sebagai sesuatu yang sulit. “Awalnya saya sempat khawatir memikirkan omongan-omongan itu. Tapi di akhir hari, saya bisa membuktikan kalau kerjasama dengan teman-teman LSM itu tidak sesulit yang dibayangkan. Bahkan sampai sekarang pun, saya masih berhubungan baik dengan teman-teman di TPF,” katanya.

Usman Hamid, seorang kolega Retno di TPF Munir, mengamini hal ini.
“Sesekali saya masih bertemu Mbak Retno, entah dalam acara formal atau sekadar ngopi santai membincangkan berbagai hal,” kata Usman. Retno, dalam pandangan Ketua Dewan Pengurus Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (Kontras) ini merupakan satu dari sedikit diplomat yang menjanjikan dedikasi besar terhadap dunia diplomasi Indonesia. Usman tak asal bicara. Dirinya dan Retno bersama-sama menjadi anggota tim negosiasi di Belanda . “Waktu itu saya mewakili keluarga Munir. Mbak Retno dari Kemlu. Kami harus melakukan negosiasi dengan pemerintah Belanda agar diizinkan membawa specimen dari jasad mendiang Munir ke Indonesia sebagai bukti dalam proses penyidikan,” katanya.

Proses negosiasi saat itu, menurut Usman, menjadi sangat alot karena ada perbedaan kebijakan antara Indonesia dan Belanda perihal penerapan hukuman mati. “Hal ini menjadi isu sentral kala itu. Belanda terikat dengan Konvensi Eropa untuk tidak menerapkan hukuman mati, sementara Indonesia, dalam beberapa kasus, masih meniscayakan kemungkinan itu. Pihak Belanda tidak berkenan memberikan bantuan hukum, dalam hal ini specimen sebagai barang bukti, jika di kemudian hari berakibat penjatuhan hukuman mati terhadap seseorang,” Usman menjelaskan. Tarik menarik kepentingan terjadi seperti dua magnet berkekuatan besar. “Posisi Mbak Retno jelas tidak mudah saat itu,” kata Usman. Dengan pemahaman, dan kemampuan word engineering yang dimilikinya, Retno dapat membuat kesepakatan yang membuat kedua belah pihak nyaman. “Mbak Retno itu negosiator ulung yang membuat misi kami tercapai,” kata Usman mengenang.

Diplomasi dan negosiasi barangkali telah mendarahdaging dalam dirinya. Retno kerap memimpin delegasi untuk banyak perundingan penting di berbagai negara. ”Dia punya pemahaman dasar yang sangat solid tentang apa yang dilakukannya. Bukan hanya urusan hubungan internasional yang dikuasainnya secara purna, tapi juga hukum internasional,” kata Usman. Retno, seperti yang telah terbukti di banyak meja negosiasi, memiliki naluri yang kuat sebagai seorang negosiator. “Masing-masing perundingan itu memilik karakter berbeda dan semua memerlukan ketekunan untuk diselesaikan,” kata Retno. Menurutnya, kombinasi antara fleksibiltas, semangat berkompromi dan keteguhan selalu diperlukan dalam setiap negosiasi. Retno biasanya juga mempelajari curriculum vitae sang ketua tim perunding. “Saya cari di mana persamaannya dengan kita. Walau pun urusannya urusan negara, tapi penting pula mengetahui faktor personal. Ini akan sangat membantu untuk mencairkan suasana,” jelasnya. Selain negosiasi kasus Munir, perundingan untuk menghapuskan larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia ke Eropa juga menjadi perundingan yang menantang buat Retno.

Karier perempuan kelahiran Semarang, 27 November 1962, melesat segegas meteor. Lulusan Fakultas Hubungan Internasional UGM 1985 ini tersaring lewat jalur rekrutmen langsung yang diadakan Kemlu-RI di kampusnya setahun sebelum ia usai kuliah. “Jadi saat wisuda, saya sudah enteng. Sudah punya tempat yang dituju,” katanya bersahaja. Jenjang demi jenjang dalam tangga birokrasi di Kemlu-RI, dengan pesat dan pasti dicapainya. Retno sendiri mengaku tak pernah membuat target jabatan apa yang ingin diraihnya. “I just always try to do my best,” katanya. Ini yang membuat ia cepat mendapat promosi. Bergabung sebagai staf pada Biro Analisa dan Evaluasi untuk kerjasama ASEAN pada 1986, Retrno diangkat menjadi Direktur Eropa Barat. Promosi yang mengejutkan baginya, “Sebab saat itu usia saya baru 38. Relatif sangat muda untuk ukuran birokrat,” katanya. Kejutan lain juga datang kemudian. Retno diangkat sebagai duta besar di usia 42 tahun dan menjadi Dirjen Amerop beberapa tahun kemudian.

Perubahan yang dinamis dalam diplomasi diikuti dengan santai oleh Retno. Ia selalu terbuka terhadap berbagai perubahan. “Justru pada dinamika itu letak daya tariknya. Setiap hari isu yang harus saya tangani berbeda. Selalu ada perubahan setiap saat. Ini memaksa saya untuk selalu alert dan mengikuti perkembangan,” katanya membagi kiat. Menurutnya, dalam diplomasi modern diplomat hanya merupakan satu dari banyak pelaku yang terlibat dalam hubungan antar Negara. “Dalam kondisi hubungan yang baik, tentu tugas diplomat menjadi lebih mudah karena tugas utamanya menjaga dan meningkatkan hubungan yang sudah baik. Namun dalam kondisi yang tidak baik, diplomat harus bisa menjalankan tugas sebagai pendamai yang mencoba mengkonversikan situasi seburuk apapun menjadi situasi yang lebih baik,” katanya.

Dalam pandangan Retno, diplomasi ekonomi akan menjadi penekanan bagi diplomasi indonesia di masa mendatang. “Tugas para diplomat ke depan adalah bagaimana mengkonversikan hubungan politik yang baik yang dimiliki indonesia dengan semua negara menjadi hubungan baik di bidang lainnya, terutma bidang ekonomi,” katanya. Apalagi menurutnya, dari sisi diplomasi, Indonesia berada dalam posisi yang lebih ringan dari masa-masa yang lalu. “Kalau dulu, kita banyak sekali dibebani oleh isu hak asasi manusia, demokratisasi, good governance dan sebagainya. Isu-isu yang terus terang sangat membebani diplomasi kita pada saat itu, kini terus terang sudah tidak ada sama sekali,” katanya mantap. Retno menggaris bawahi, dari sisi perkembangan penghormatan hak asasi manusia, Indonesia sudah jauh lebih maju. Dari sisi demokrasi,menurutnya, Indonesia sekarang bisa dengan bangga mengklaim sebagai Negara demokratik ketiga di dunia, setelah Amerka dan India. Dari sisi good governance, kendati masih banyak hal yang harus dibenahi, komitmen pemerintah untuk melakukan perbaikan, pemberantasan korupsi, menurutnya layak dihargai karena hal tersebut membuat Indonesia dihormati di kancah diplomasi dunia. “Dengan semakin entengnya “beban” diplomasi itu, energi kita jadi bisa lebih banyak terfokus pada diplomasi ekonomi,” katanya.

Hal itu pula yang terus ia upayakan terjalin antara Indonesia dengan Amerika dan eropa. Retno mencatat respon yang sangat positif dari dua wilayah adidaya itu. “Indonesia dan Amerika saat ini tengah menjalin kemitraan komprehensif (Comprehensive partnership). Tidak banyak negara yang dapat membuat Amerika mau menjalin kerjasama ini. Peresmiannya memang belum karena kita menunggu kunjungan Presiden Obama. Tapi dalam praktiknya hubungan itu sudah mulai berjalan,” katanya. Tak hanya dengan Amerika, Indonesia juga punya kemitraan komprehensif dan strategis dengan Uni Eropa dan negara besar lain seperti Jepang, Cina, juga Australia. “Sebuah negara tidak akan mau menjalin kemitraan komprehensif atau strategis dengan negara yang tidak mereka pandang,” katanya. Di tangan Retno, segala hal memang terasa memiliki masa depan. Kerja yang demikian berat itu berhasil dipikulnya. Ini memberinya konsekuensi lain. Mobilitas yang sangat tinggi.

Hal ini sama sekali tidak mengganggunya. Sejak awal memilih diplomasi sebagai jalan hidup, Retno sudah tahu benar risiko yang harus diambilnya itu. “Memang harus membangun team work yang baik dengan suami dan anak-anak. Apalagi wilayah kerja saya Amerika dan Eropa yang secara geografis sangat jauh, waktu saya benar-benar habis di jalan. Pada saat saya masuk Deplu, dia sudah tahu benar apa risiko yang harus kami ambil,” kata istri Agus Marsudi yang seorang arsitek itu. Retno menolak pandangan yang mengatakan bahwa karier dan rumah tangga adalah pilihan. “Tidak ada yang perlu dikorbankan. Semua bisa berjalan beriringan jika rasa aman bisa sama-sama kita bangun,” kata Retno yang rutin jogging dan berdansa dengan suaminya setiap pagi. Mereka juga punya ritual tahunan yang mungkin jarang dilakukan pasangan lain: mendaki gunung. Baginya, mendaki gunung bukan hanya perkara raga. “Seperti gunung, hidup punya puncak yang harus didaki dan suatu saat juga harus dituruni,” katanya beramsal. Retno mengaku selalu rindu kembali mendaki punggung Merapi, bermalam di sana, menyesap sahaja penduduk desa sembari menyeruput hangat tawa mereka.

Rindu yang mungkin tak bisa ditunaikan oleh gagah Pulpit Rock di Norwegia yang pernah pula ia daki hingga puncak bersama sang suami. Jangan heran pula jika suatu kali melihat Retno dan Agus duduk santai berdua di emper Malioboro nggedabrus -berbincang ke sana ke mari- dengan pedagang wedang ronde dan tukang becak. Ia mengaku, saat-saat seperti itu serupa proses kalibrasi rasa baginya. “Menjadi bukan siapa-siapa seperti itu membawa saya kembali ke akar. Mengajak jiwa saya kembali eling bahwa hidup sejatinya begitu sederhana,” kata. Ya, seperti seekor elang, ibunda dua remaja putra Dyota dan Bagas ini memang selalu butuh sarang untuk pulang setelah jelajah panjang yang melelahkan. Rumah dengan segala cinta dan aroma Jawa yang bisa dihirup di dalamnya, adalah sarang menenangkan bagi Retno, sang elang, untuk kembali ke kesejatian diri. (Indah S. Ariani), Fotografer: Irene Iskandar, Pengarah gaya: Ayundha Wardhani, Rias wajah dan rambut:

Kamis, 14 Oktober 2010

SEPERCIK MIMPI BUDI & PEGGY


Sebuah keputusan kecil, mengubah jalan hidup pasangan ini. Mereka tak pernah bermimpi jadi pahlawan.

26 Oktober 2007. Sebuah batu besar melayang lewat jendela terbuka ke dalam mobil pick up yang ditumpangi Peggy Soehardi. Malam itu, mantan pramugari yang kini mendedikasikan diri menjadi ibu rumah tangga dan total menjadi pekerja kemanusiaan ini tertidur di mobil setelah lelah membangun pagar di sekeliling lahan sawah milik Roslin Orphanage, panti asuhan yang ia dirikan bersama Budi Soehardi suaminya, seorang pilot Singapore Airlines. Peggy terlalu pulas untuk menghindar, bahkan ketika batu yang dilemparkan seseorang yang terlibat dalam tawuran antar warga itu mendarat tepat di wajah dan mematahkan hidungnya. Ia tak sadar apa yang terjadi hingga matanya tertumbuk pada cairan merah yang tumpah ke baju jingga yang dikenakannya. Hidung Peggy telanjur hancur terhantam batu. Budi Soehardi yang saat itu tengah bertugas di Los Angeles segera terbang ke Kupang. Peggy dilarikan ke Singapura, menjalani perawatan intensif. Beberapa waktu sebelum wawancara dengan dewi terjadi, Peggy baru saja menjalani operasi hidung setelah hampir tiga tahun proses penyembuhan berlangsung. “Ini hidung palsu,” katanya ringan sambil tertawa.

“Saya sedih, marah, kecewa, dan sangat ingin menutup panti. Saya tidak bisa terima. Kenapa Peggy sampai harus celaka?” kenang Budi yang telah lama menetap di Singapura dan kini dipercaya menjadi Presiden Rotary Club di negeri jiran tersebut. ”Tapi saya sudah telanjur jatuh cinta pada anak-anak itu. Jangankan menutup, mempercayakan panti ini pada orang lain saja saya keberatan. Akhirnya kami sepakat untuk meneruskan ini,” tambah Peggy. Tak disangka, keteguhan itu diganjar dengan sebuah penghargaan bergengsi. “Budi terpilih sebagai peraih CNN Hero tahun 2008. Sesuatu yang sama sekali tak pernah kami bayangkan, karena kerja ini kami lakukan semata-mata karena panggilan hati, bukan ingin dapat penghargaan,” kisah Peggy. Boleh jadi itu, seperti yang diyakini Budi dan Peggy, adalah penghiburan Tuhan buat mereka. Tapi semua berawal dari perjuangan panjang mereka bagi cinta kasih dan kemanusiaan. Mengikuti ketergarakan hati, Budi, Peggy dan tiga anak mereka -Christine, Tasha, Christian yang kala itu tengah berangkat remaja- memutuskan mengubah rencana perjalanan mereka berlibur keliling dunia untuk pergi ke Kupang, di mana para pengungsi konflik Timor Timur menyelamatkan diri. Keputusan yang diambil pertengahan tahun 1999, lantas memang tak hanya mengubah rencana liburan, tapi juga jalan dan pilihan hidup mereka.

Bagaimana awal berdirinya Panti Roslin?
Budi Soehardi(BS): Kami tidak pernah berpikir akan punya panti asuhan. Suatu malam pada 1999, saat akan makan bersama sambil membicarakan rencana liburan keluarga keliling dunia, kami melihat sebuah siaran berita yang menayangkan kondisi para pengungsi Timor Timur di Kupang. Kami sangat prihatin melihat itu dan muncul ide untuk mengalihkan rencana liburan keliling dunia itu untuk datang ke Kupang membantu para pengungsi.
`
Apakah ide itu segera disambut istri dan anak-anak?
BS: Justru istri dan anak-anak yang mengusulkannya. Mereka ingin membantu. Jadi dana yang sedianya untuk jalan-jalan, kami belikan bantuan untuk para pengungsi di sana. Mereka berpikir, kelilng dunia masih bisa dilakukan kapan-kapan. Para pengungsi itu berhadapan dengan hidup dan mati. Mereka harus segera dibantu.
Peggy Soehardi (PS): Anak-anak senang sekali keputusan ini. Sejak kecil, mereka tidak pernah menetap di Indonesia. Jadi mereka tertarik sekali pada segala hal yang berhubungan dengan tanah airnya. Mereka juga prihatin melihat kondisi para pengungsi. Anak-anak tidak menyangka ada orang yang sampai kesulitan mendapat makanan sementara mereka bisa makan apa saja yang mereka suka kapan pun.

Bagaimana keterlibatan anak-anak di Panti Roslin?
BS: Delapan tahun terakhir ini, setiap libur sekolah mereka selalu menghabiskan waktu di Kupang, membantu ibunya mengurusi panti. Anak saya yang pertama dan kedua sekarang berkuliah di Australia dan Kanada, yang bungsu sudah sekolah menengah, tinggal bersama saya di Singapura, sementara mamanya ringgal di Kupang dan sesekali datang ke Singapura. Saya sendiri, segera pulang ke Kupang .
PS: Anak-anak punya macam-macam di sana. Punya anak asuh sendiri, celana pendek untuk ke pantai, dan waktu yang menyenangkan. Mereka bisa mengajak anak-anak panti bermain di pantai seharian tanpa ada yang menyuruh mereka segera pulang. Anak-anak panti juga selalu menunggu kedatangan anak-anak kami. Mereka menunggu Christine Tasha dan Christian, seperti menunggu kedatangan kakaknya.

Anda berdua orang asing di Kupang. Bagaimana Anda memulai langkah di sana?
BS: Pada saat kami datang ke sana tahun 1999, kami benar-benar sendiri dan harus bertanya ke sana kemari. Kami menginap di hotel saat itu. Ketika pertama kali kami punya anak asuh, kami belum punya panti. Kami lalu mengontrak sebuah rumah.

Lalu sejak kapan Panti Roslin punya gedung sendiri?
PS:
Sejak 2001. Saat masuk ke sana, rumah itu masih berlantai tanah dan hanya punya satu kamar. Pertimbangan saya saat itu hanya supaya uang sewa rumah bisa dialokasikan untuk pembangunan rumah. Daripada uangnya habis untuk mengontrak rumah, lebih baik saya pindah ke sana, apa pun kondisinya. Saat itu kami hidup benar-benar dalam kondisi yang tidak enak. Ada delapan anak yang beberapa di antaranya bayi saat itu. Saya tinggal di Kupang terus karena kalau tidak, bahan bangunan kami akan dicuri. Saya sampai tidak boleh masuk Singapura karena saya terjangkit malaria. Saya bahkan sempat di karantina di rumah sakit karantina yang biasa disebut Kandang kerbau. Di situ orang-orang yang terjangkit malaria, AIDS, dan berbagai penyakit menular dikarantina.

Pernah merasa frustrasi ketika membangun ini?
PS: Sering. Tapi saya tidak bisa menyalahkan mereka yang tidak pernah tahu bahwa ada cara untuk memperbaiki hidup mereka. Kalau sudah merasa frustrasi begitu, saya bekerja, menyibukkan diri, bikin ini itu dan tahu-tahu hari sudah malam, dan saya sudah terlalu lelah untuk merasa frustrasi.
BS: Dalam keadaan seperti itu, Peggy biasanya menelepon saya dan kami bicara lama sekali untuk saling menguatkan.

Bagaimana Anda berdua bisa begitu yakin?
BS: Tuhan memberi kami banyak sekali berkah. Di lahan sawah kami yang awalnya kering kerontang, Tuhan memberi mata air di sawah kami yang berjarak sekitar 40 kilometer dari panti. Lahan itu awalnya gersang, kering kerontang. Lahan seluas 10 hektar itu dijual pun karena tidak bisa lagi ditanami apa pun. Kami nekat membeli karena harganya sangat murah. Kami lalu coba membuat pompa, mencari air agar tanah gersang itu jadi lahan subur yang ditumbuhi pohon-pohon hijau. Kami berdua mencoba mencari tempat yang mungkin ada airnya. Enam titik kami tetapkan sebagai alternatif. Kami tidak memakai alat berteknologi tinggi, dan pencarian itu pun kami lakukan sendiri. Orang-orang mentertawakan kami. Tuhan ternyata ingin kami menyaksikan kekuasanNya. Bukannya sumur yang Dia berikan pada kami, tapi air mancur yang terus memancarkan air hingga sekarang. Kami sama sekali tidak membutuhkan pompa dan genset itu. Dari lahan tandus, tanah itu berubah jadi sawah yang bisa kami tanami sepanjang tahun dan memberi kami panen berlimpah. Sejak April 2008, kami swa sembada beras. Jadi apa yang kami rencanakan, selalu diberi hasil yang lebih baik oleh Tuhan.
PS: Kami memang harus punya sawah, karena kalau kami membeli beras, jelas kami tidak akan mampu mencukupi kebutuhan yang demikian besar. Sehari, kami harus memasak 45 kilogram beras untuk semua penghuni.

Berapa persen uang keluarga yang dialokasikan untuk panti?
PS: Kalau ditanya prosentasenya agak susah, karena kebutuhan setiap bulan berbeda-beda. Kami tidak punya simpanan. Untungnya, di Jakarta kami punya beberapa rumah kos yang disewakan. Ada asset yang menghasilkan yang bisa menunjang keuangan kami. Makanya di sana, saya juga membangun hotel kecil untuk mereka yang bertandang ke tempat kami. Saya sendiri tidak pernah takut saya tidak punya apa-apa.

Dibiayai oleh siapa operasional Panti Roslin?
PS:
Enam tahun pertama kami membiayai sendiri biaya operasional. Karena kami tidak bisa mengajak orang sebelum kami menunjukkan kerja nyata kami. Setelah panti ada, berjalan dan ada hasilnya, orang mulai membantu. Setelah Budi masuk dalam CNN Hero, perhatian masyarakat makin besar.

Berapa banyak lembaga yang mensupport Panti Roslin sekarang?
PS:
Tidak ada lembaga yang secara tetap mensupport kami. Kadang-kadang saja ada yang memberi sumbangan. Tapi selama ini kami tidak pernah kekurangan. Tidak pernah kami kekurangan makanan. Malah berkelimpahan. Kami sendiri tidak tahu itu semua datang dari mana, karena kalau dihitung secara matematis, uang kami tidak akan cukup membiayai seluruh operasional panti. Di situlah kami percaya, kalau sungguh-sungguh memperjuangkan niat, semua yang datang akan lebih dari apa yang kami niatkan.
BS: Harusnya istri saya yang dapat semua penghargaan karena dia yang memperjuangkan mimpi ini hingga dapat terjadi.
PS: Ah, ini kan kerja kita berdua. Kalau saya sendiri tidak mungkin, dan kalau Budi sendiri tidak mungkin. Kami harus melakukan ini berdua. Dia yang bekerja dan mencari sesuatu untuk keluarga besar kami ini. Saya yang menjaga dan merawat semua yang dia cari. Saya harus turun untuk berbuat sesuatu. Kami berterima kasih pada Tuhan karena hidup kami selalu diberkati, dipenuhi apa yang kami mau, dan selalu diberi keselamatan. Suami saya itu kan bekerja di dalam ‘tanganNya’ terus. Kalau belum dengar kabar Budi landing dengan selamat, saya belum bisa tenang. Dia tiangnya, kalau tidak ada dia, ke mana kami akan bergantung?

Jadi, siapa mendukung siapa sebenarnya?
BS
: Saya mendukung dia.
PS: Ah, nggak juga. Dia orang yang hidupnya tidak pernah diberikan untuk dirinya sendiri. Apa yang dia dapat, selalu diberikan untuk orang lain yang dia cintai. Anak, istri, dan anak-anak panti.

Apa pengalaman yang paling menggugah hati?
PS
: Menjadi ibu baptis buat 20 anak dalam sebuah acara yang sama. Kalau ibu-ibu lain hanya berdiri dengan seorang anak, saya harus berdiri di depan altar dua puluh kali dengan anak yang berbeda, berjanji di depan Tuhan untuk menjaga anak-anak yang tidak lahir dari rahim saya. Satu gereja menangis menyaksikan pembaptisan itu.

Apa yang dulu membuat Anda berdua saling tertarik?
BS
: Dia mandiri sekali. Apa yang tidak bisa dia lakukan? Di panti, semua bangunan dia yang gambar, dia hitung bahan bangungan. Mau masak? Apa saja yang dimasak Peggy pasti enak. Dia membereskan rumah hingga sangat bersih. Mengurus anak, tidak perlu ditanya. Peggy bahkan mengemudikan sendiri mobil perpustakaan Panti Roslin dan membawanya ke kampung-kampung agar anak kampung bisa menbaca. Ketika sekarang saya hidup sendiri di Singapura, saya makin yakin Peggy sangat berharga bagi saya.
PS: Kadang-kadang kita memang membutuhkan waktu sendiri untuk menghargai apa yang tidak kita rasakan ketika banyak orang di sekeliling kita. Bayangkan saja, keluarga kami terpencar di banyak tempat. Budi dan Christian di Singapura, saya di Kupang, Christine dan Tasha di Australia dan Kanada. Saya sendiri tidak pernah membayangkan kami akan hidup seperti sekarang. Tapi saya yakin, ini pilihan yang baik bagi kami semua. Saya hanya ingin anak-anak kami dan anak-anak panti akan jadi anak-anak berhasil suatu hari nanti. (Indah S. Ariani), Fotografer: Jennifer Antoinette, Pengarah gaya: Karin Wijaya, Busana Peggy: CK Calvin Klein

Kamis, 05 Agustus 2010

MEGHAN, KADEK, ROBERT Menggali Spirit Bali

Berangkat dari ide ingin mengundang kebaikan karma, perjalanan mereka berlabuh di ranah yang lebih kaya.

Sebuah wacana tentang karma yoga di benak Meghan Pappenheim, menggulirkan ide menarik yang lantas berkembang jadi jadi ajang yoga, musik, dan tari berskala internasional kala diimbuhi semangat dua pria yang sepenuh hati mendukungnya. Kadek Gunarta, suami Meghan, serta Robert Weber musisi Amerika yang menemukan ketenangan hidup dan memutuskan tinggal di Ubud. Sejak lama, Ubud memang dekat dengan seni dan spiritualitas. Banyak seniman menjatuhkan cintanya pada desa di ketinggian Bali ini. Udara sejuk, kehidupan yang berjalan pelan, dan laku spiritual yang dijalani dengan teguh, membangun ‘keheningan’ yang sulit ditandingi daerah lainnya di Bali. Meditasi, musik, dan tari lantas jadi seperti denyut nadi yang menghidupi Ubud. Ketiganya jadi sari pati hidup yang disantap semua orang yang datang ke sana.

Tak mengherankan jika Meghan lalu terinspirasi menggelar sebuah acara untuk para pelaku yoga dengan fokus yang lebih mengarah pada karma yoga, sebuah aliran dalam yoga yang dilakukan tidak dengan olah tubuh melainkan dengan berbuat kebaikan pada alam dan sesama. Ia ceritakan idenya pada Kadek, dan Rob yang lantas, dengan antusias menyambutnya. Ajang yang tadinya dibayangkan Meghan berbentuk jambore itu, akhirnya berkembang menjadi sebuah festival yoga internasional yang gaungnya nyaring terdengar di mancanegara. Para pelaku yoga dari berbagai negara berkumpul di sana selama lima hari untuk bersama-sama menyesap spirit Bali dan memasukkan Bali Spirit Festival (BSF) ke dalam agenda wajib mereka.

Siapa yang pertama kali memunculkan ide BSF ini?
Meghan Pappenheim (MP): Saya. Awalnya saya ingin membuat Karma Yoga Festival yang tujuan utamanya menginspirasi orang lain untuk melakukan hal-hal baik agar karma baik kembali datang pada mereka. Sampai sekarang pun masih ingin mewujudkannya. Mungkin nanti, suatu hari. Saat itu, saking bersemangatnya, saya sudah kerjasama dengan web desainer, membeli nama domain, juga membuat logo. Sudah siap jalan, tapi saya tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Akhirnya, semua hanya berhenti pada ide saja. Beberapa kali saya menceritakan soal ini pada Rob, juga Kadek sampai suatu hari saat saya duduk di Kafe bersama Rob dan Rachel istrinya, Rob bilang saat itu, “Ayo, mari kita buat.” Padahal saat itu, kami belum terlalu kenal satu sama lain. Lalu Rob memberi ide untuk menamakan acara itu Bali Spirit Festival dan menyarankan memasukkan musik ke dalam festival. Tiga bulan setelah itu, kami menggelar festival ‘gila’ ini. Dan festival pertama itu sangat luar biasa. Beberapa hal mungkin sedikit berbeda dengan ide awalnya. Tapi sekali pun ada perubahan, tujuan dan inspirasinya tetap soal bagaimana ‘mengembalikan apa yang sudah kita ambil’ dari alam. Semua acara yang digelar, selalu mengandung semangat berbagi. Para musisi saling mengajar satu sama lain, tampil bersama, dan datang ke sekolah-sekolah mengadakan program peduli HIV/AIDS. Rencananya, kami akan mendatangi lebih dari 50 sekolah tahun depan.
Robert Weber (RW): Ya. Benar-benar ‘gila’. Tapi kami dapat dukungan yang sangat besar dari banyak pihak. Saya pikir, ini ide dan kerja komunitas.
Kadek Gunarta (KG): Orang yang datang ke Bali hampir selalu karena daya tarik seni, budaya, keindahan, dan kehidupan spiritualnya. Kami coba menggabungkan semua kekuatan itu bersama-sama. Kalau kami bikin sesuatu di sini, vibrasinya akan terdengar hingga mancanegara. Karma baik yang kami buat di sini, semoga jadi bola salju yang menggelinding ke seluruh pelosok dunia.

Anda bertiga praktisi Yoga?
MP: Ya, saya sangat suka yoga dan sudah mulai melakukannya sejak usia 13 tahun. Saya ikut kelas yoga Iyengar pertama saya di New York. Sempat on-off selama beberapa tahun. Pada 2002 saya mengambil pelatihan guru yoga. Saya punya sertifikat guru, tapi belum pernah mengajar. Setelah melahirkan anak pertama dan kedua lalu melahirkan BSF, akhirnya saya malah jarang latihan yoga lagi. Tapi saya masih tetap suka yoga dan tahu persis apa nilai serta manfaat yang diberikan yoga bagi saya.
RW: Saya juga beryoga. Sebab, meski tinggal di Ubud, saya punya hidup yang lumayan sibuk. Yoga membantu saya tetap fokus, merasa sehat, dan lebih kreativitas. Yoga juga membawa lebih banyak inspirasi pada apa yang saya lakukan karena sebagai musisi, saya harus bisa terus berada di wilayah yang penuh hal-hal menarik untuk melakukan kerja itu.
KG: Kalau bicara tentang yoga, sebenarnya semua orang Bali telah melakukan yoga sejak kecil. Kami menjalankan apa yang disebut karma dan bakti yoga. Kami dididik oleh keluarga dan komunitas untuk melakukan hal-hal baik bagi komunitas dan itu yang disebut karma yoga. Di sini, yoga tidak identik dengan olah tubuh, tapi lebih pada soal bagaimana kita menjadi bagian dari komunitas.
MP: Ya, itu yang disebut karma yoga. Di setiap hal yang kami lakukan entah itu BSF, atau bisnis kami yang lain seperti The Yoga Barn, The Kafe, website Bali Spirit.com, atau juga studio milik istri Rob, kami jalankan dengan keyakinan penuh atas adanya karma yoga ini. Kami memberi dan melakukan apa yang kami bisa untuk berbagi dengan orang lain. Sebagai pengusaha, saya paham benar alasan kuat untuk menghasilkan uang banyak adalah agar saya bisa membagikannya pada orang lain, karena uang itu akan membantu banyak orang.

Di mana titik temu antara musik, yoga, dan tari di BSF?
RW: Seperti yang tadi sudah saya katakan, orang melakukan yoga karena mereka ingin menggali spiritnya. Dalam yoga dikenal istilah inhale dan exhale. Saya mengartikan inhale sebagai penggalian ke dalam diri, dan exhale sebagai perayaan hidup lewat musik dan tari. Jadi musik dan tari di sini sebagai ekspresi jiwa dan kebahagiaan yang ingin dibagi ke seluruh dunia. Setiap budaya, pasti memiliki secret music, atau musik spiritual.
KG: Jika kita melihat kultur Bali, sebenarnya musik, tari, dan yoga akan ditemukan di mana-mana. Orang datang ke pura, yang selalu dihiasi suara gamelan, kidung, atau kakawin. Mereka beryoga, dan menari untuk persembahan di sana. Lingkungan dibentuk dari tiga kegiatan ini. Ini memang spiritnya Bali. Kami mengambil esensi budaya lokal jadi sebuah perayaan spiritualitas. Itu yang kami adaptasi dan bawa ke dalam BSF yang lantas menjadi nilai universal dari Negara lain seperti yang tadi Rob katakan. Kami sebenarnya tidak menciptakan sesuatu yang baru. Kami menawarkan esensi budaya yang setiap hari kami jalani. Dan ini menjadi sesuatu yang universal, karena apa yang kami tawarkan adalah sebuah common sense, sesuatu yang masuk akal.

Berapa banyak peserta yang ikut di BSF pertama, dan berapa yang ikut pada BSF tahun ini?
MP: Saya tidak ingat berapa jumlah persisnya. Tapi pada BSF yang kedua, jumlah peserta meningkat dua kali lipat dari peserta BSF pertama, dan di tahun ketiga ini, pesertanya meningkat dua kali lipat dari BSF kedua. Jadi ada peningkatan sebanyak 200% sejak BSF pertama. Saya harap tahun keempat, jumlah peserta juga akan makin meningkat supaya semakin banyak orang yang mendapat manfaat dari ajang ini.

Apa harapan Anda bertiga untuk BSF?
MP: Saya tidak mau berharap terlalu banyak. Tapi saya ingin BSF ini tetap berlangsung, terus bertumbuh dan selalu bisa menginspirasi banyak orang.
KG: Saya ingin kami bisa membawa lebih banyak kelompok musik tradisional Bali agar banyak orang muda dari berbagai negara yang bisa menikmatinya, hingga kecintaan pada spirit Bali terus bertumbuh.
RW: Ya, semoga dari Ubud kami bisa membagi cinta pada dunia. Sebab di sini, selalu ada kebahagiaan, keseimbangan, dan hati yang penuh. Dengan kecantikan estetis dan spiritualnya, tempat ini punya keajaiban yang membuat hidup jadi begitu indah. (Indah S. Ariani), Foto: Agung Mulyajaya, Pengarah Gaya: ISA, Lokasi: The Yoga Barn, Ubud

Selasa, 01 Juni 2010

MENJARING BINTANG SENI


Sebagai salah satu lokomotif seni rupa Indonesia, Edwin’s Gallery merasa perlu melakukan pengamatan terhadap seniman-seniman muda yang muncul ke jagat seni. Melalui sebuah program yang diberi nama Survey, Edwin melakukan pengamatan itu. “Ini bentuk apresiasi dan konsistensi kami yang ingin selalu menampilkan karya berkualitas dari seniman-seniman muda Indonesia,” kata Edwin dalam konferensi pers sebelum pameran itu dibuka. Sepuluh seniman terpilih mewakili 68 seniman yang ‘dijaring’ melalui program pertama yang diadakan pada 2008 silam menampilkan karya-karya mereka dalam pameran bersama bertajuk Survey 1.10. Sepuluh nama itu adalah A.T. Sitompul, Ayu Arista Murti, Beatrix Hendriani Kaswara, Gusmen Heriadi, I Made Widya Diputra, Made Wiguna, Valasara, R.E. Hartanto, Septian Harriyoga, Wedhar Riyadi, dan Yuli Prayitno. Karya seniman besar Francisco Giya berjudul The Sleep of Reason Produces Monster menjadi inspirasi yang diambil oleh Aminudin TH Siregar untuk pameran tersebut. Ucok, panggiln Aminudin, melihat adanya korelasi antara kondisi masyarakat Spanyol saat ketika karya-karya etsa Goya itu diciptakan di mana dikotomi antara kemewahan dan kemelaratan di tengah krisis ekonomi yang menjerat terpapar dengan nyata. “Ini saya pinjam sebagai metaphor untuk mewakili sejumlah hal yang berkaitan dengan kenyataan yang kita alami di tanah air sekarang ini,” ungkap Ucok. Menurutnya, pameran tersebut ia tujukan untuk membidik sisi kelam manusia –khususnya masyarakat Indonesia- dengan harapan bahwa pada suatu hari, para seniman bisa menjadi ‘pembunyi alarm’ yang secara signifikan mewarnai ranah social masyarakat Indonesia. Kendati mungkin terkesan terlalu heroic, tentu tak ada yang salah dengan tujuan ini. Sebab sejatinya, senia memang adalah cara untuk menuturkan sesuatu yang tak terkatakan. Kita tunggu saja sepakterjangnya. ISA, Foto: Dok. Edwin’s Gallery

Dari Montblanc untuk sang Maestro


Judith Jamison, direktur artistik di Alvin Alley American Dance Theater mendapat penghargaan Montblanc de la Culture Arts Patronage Award (MdlCAPA). Penghargaan ini diberikan 22 Maret silam di The Joan Weill Center for Dance New York. Judith, koreografer senior asal Philadelphia yang telah puluhan tahun malang melintang di jagad tari ini memulai karier sebagai penari bersama American Ballet Theater pada 1964. Mendiang Alvin Alley, orang yang berjasa besar dalam karier koreografi Judith, melihat bakat besar Judith dan menariknya bergabung dalam kelompok tari miliknya itu pada 1965. Sejak itu, Judith menjadi penari penting yang sering menjadi role dalam komposisi-komposisi tari Alley. Satu yang paling terkenal adalah penampilan solonya dalam komposisi berjudul Cry yang dipertunjukkan di banyak negara. Koreografer yang pernah meraih Emmy Award ini mendedikasikan diri lebih dari dua dekade sebagai Direktur Artistik di teater ternama di New York itu. Konsistensi itulah yang diapresiasi oleh Montblanc. Brand aksesori papan atas ini memang memberi dukungan besar pada mereka yang memberi energi bagi dunia seni dan kerja-kerja yang terjadi di dalamnya. Sejak diadakan pada 1992, ajang penghargaan ini pernah memberi apresiasi pada nama-nama besar antara lain pada John Skyes (2001), Rebecca Neuwirth (2006), Wynton Marsalis (2007), dan Susan Sarandon (2008). Selain memenangi hadiah sebesar 20.000 dolar yang akan digunakan untuk mengembangkan proyek-proyek seninya. Judith juga mendapat pena special yang diciptakan MOntblanc untuk para pemenang ajang tersebut yang mereka bernia nama Patron of the Arts Montblanc. Hadiah tersebut diserahkan oleh Lang Lang, yang menjadi ketua Montblanc Cultural Foundation. (ISA), Foto: Dok. Montblanc

MERAYAKAN NYERI DI LAMA SABAKHTANI CLUB




Apa yang terpikir ketika Anda mendengar kata club? Kesenangan? Kesegaran? Di “club” yang ini, Anda akan menemukan sesuatu yang berbeda.

Di sini, kesenangan dan kesegaran memang diperoleh dengan cara berbeda. Tidak lewat bingar musik atau beraneka jenis alat gimnastik. Melainkan datang dari beragam kengerian, rasa nyeri, dan permenungan tentang penderitaan. Memang, derita dan rasa sakit bukan sesuatu yang layak dirayakan. Namun, di tangan Christine Ay Tjoe dan Deden Sambas, dua hal itu diramu jadi pertunjukan menarik. Setidaknya itu yang mereka hadirkan dalam pameran bertajuk Lama Sabakhtani Club, Ay Tjoe Christine in collaboration with Deden Sambas yang digelar sejak 16 April hingga 2 Mei 2010 silam di Galeri Lawangwangi, Bandung. Mengapa Lama Sabakhtani? “Temanya memang berangkat dari ucapan terkenal Isa ketika akan disalib, Eloi, Eloi, lama sabakhtani. Tapi pameran ini tidak berhenti pada kalimat itu sebagai teks keagamaan. Ada yang lebih luas dari itu, tentang keadaan sekarat dan tragedy yang sering terjadi dalam hidup manusia. Teks itu memuat sesuatu yang universal,” ungkap Hendro Wiyanto, kurator pameran, ketika kami duduk menghadapi sebuah guilotin(mesin pemenggal kepala) yang menjadi ‘diva’ dalam pameran itu.

Di letakkan di ruang tengah pameran, guilotin berukuran empat meter itu memang mengirimkan cekam yang dalam. Bentuk karya yang diberi tajuk Lama Sabakhtani #01 itu demikian kokoh, menghadirkan ngeri karena mengingatkan kita pada proses pemenggalan kepala yang biasa ada di film-fil tentang abad pertengahan. Dentuman pisau-pisaunya yang meluncur tanpa ampun, pasti menelan jantung siapa saja melompat karena suaranya. Tali-tali baja yang digayuti bola-bola kuningan bergerak menarik naik tiga pisau baja yang ada di mesin itu. Perlahan, tanpa suara pisau-pisau itu mengudara. Hening yang asing itu lantas pecah oleh dentuman, bunyi hempasan pisau. Satu, dua, tiga. Cekaman sirna, menyisakan kejut yang nyata. “Memang kesan mencekam itu yang ingin dihadirkan oleh Christine dan Deden. Awalnya mereka menggunakan mesin tenun untuk menghasilkan suara. Tapi kesan yang diinginkan kurang maksimal didapat. Lalu muncul ide untuk menggantinya dengan guilotin ini,” kata Hendro.

Antara Bunyi dan Sunyi
Guilotin itu tak sendirian. Ada dua instalasi lain yang mendampinginya berpameran. Lama Sabakhtani #2 berbentuk lilin terbalik yang ‘mengandung’ paku paku berbagai ukuran di dalamnya dan Lama Sabakhtani # 3, yang berupa sebuah mesin tulis manual yang tuts hurufnya telah ditelanjangi, siap mematuk jemari siapa saja yang menyentuhnya. Meski tak menimbulkan kesan sedramatis saudara pertamanya, kedua karya ini tetap saja menarik Paku yang tertancap di tubuh lilin berdiamter 12 cm dengan panjang 170 cm, adalah idiom rasa sakit yang menjadi tema utama pameran ini. Sebagai benda asing, tentu tak hanya sakit yang terasa oleh lilin itu, tapi juga keinginan untuk menolak unsure tak sejenis yang ditanam paksa dalam tubuhnya. “Ay Tjoe piawai sekali membahasakan sesuatu yang menakutkan dengan sangat puitis hingga di satu titik, ketakutan itu berubah sekaligus jadi sesuatu yang menyenangkan,” Hendro mengungkapkan.

Kurator ini menganggap Lama Sabakhtani #2 memiliki efek yang demikian karena citra tragis yang diwakili oleh kehancuran, kerapuhan, juga kemusnahan sebuah bentuk yang diperlihatkannya. Patri yang memanasi lilin, memang membuatnya meleleh hingga paku-paku itu jatuh satu persatu, menimbulkan ketukan yang mengingatkan kita pada dentum guilotin, tentu dalam skala kekuatan suara yang berkali-kali lebih rendah. Sayangnya, tak semua paku-paku itu jatuh sesuai scenario, hingga ada beberapa peluang ketukan yang gagal terjadi. Untung saja, visualisasi pembakaran lilin itu demikian menarik hingga ada substitusi kesan yang membuat kekurangan itu tak jadi terlalu mengganggu.

Lama Sabakhtani #3 mungkin adalah instalasi yang dari segi ukuran terbilang paling mungil. Tapi Ay Tjoe dan Deden berhasil membuatnya punya daya tarik yang tak kalah besar dari dua instalasi lainnya. Mengambil konsep mirip karya yang mereka tampilkan di Art Hongkong (2009) dan Art Paris (2010) berjudul Panorama without Distance, karya ini menjadi menarik karena teka-teki yang tersimpan dalam tutsnya yang menyakiti itu. Para pengunjung pameran senang bermain-main mencari bilah besi mana yang mengantar mereka pada bunyi atau pada sepi. Mesin tulis itu memang terhubung pada kotak musik yang akan berbunyi atau berhenti manakala orang menekan tombol yang tepat. “Kegilaan ide yang ada dalam pameran ini memang menarik,” menurut Hendro.

Bunyi dan suara sepertinya memang menjadi hal penting dalam pameran ini. Ay Tjoe yang datang dengan kegilaan ide itu, bertemu Deden Sambas yang disebut oleh hendro sebagai perupa pelaksana yang cermat untuk penyelesaian karya-karya trimatra Ay Tjoe. “Sebenarnya tak berlebihan jika mengatakan Deden adalah arsitek dari benda-benda aneh tersebut. Lagi pula, memang ketertarikan Ay Tjoe pada Deden disebabkan oleh kepekaannya membangun imaji melalui bebunyian, juga keterampilannya merakit benda-benda untuk kebutuhan itu,” kata Hendro lagi.

Meretas Berbagai Batas
Ditanya pendapatnya tentang karya-karya yang ia tampilkan, Ay Tjoe mengaku bahwa sesungguhnya ia mencoba mengisahkan kembali rasa sakit yang dialami Kristus dengan cara yang gembira. Lama Sabakhtani, ia pahami tak lagi semata hanya sebagai sebuah teriak putus asa, namun sesungguhnya adalah keintiman antara penyeru dan yang diseru. Ada keintiman yang membungkus kesakitan. Ay Tjoe juga seperti ingin melebarkan permasalahan yang terkandung dalam seruan itu yang sering dianggap sebagai milik penganut Kristiani menjadi sesuatu yang lebih universal lewat ide tentang rasa sakit yang bisa dialami siapa saja. “Konteks kalimat ini pantas untuk diperbarui secara spirit. Kata Club di belakang Lama Sabakhtani saya pakai supaya bisa memuncakkan, dan menegaskan hubungan intim antara pribadi manusia dan Penciptanya yang luar biasa menggembirakan,” kata Ay Tjoe.

Maka tak heran jika simbol-simbol yang ia gunakan lantas beranjak dari sekadar salib, menjadi banyak simbol universal seperti guilotin, mesin tulis dan sebagainya. Misalnya saja, Ay Tjoe mengadopsi konsep manusia menurut Marx dan bahkan memakai lajur dan baris matematika untuk menyampaikan pesannya. Hal ini muncul dalam karya berjudul Plat Hitam #01, #02, dan #03. Hanya berupa torehan jarum besi di atas plat tembaga yang lantas dilaburi tinta etsa berwarna putih. Ay Tjoe dan Deden salin menuliskan inspirasi mereka sepanjang proses persiapan pameran ini.

Maka muncullah ha-hall, nama, dan ide-ide beraneka rupa. Contohnya saja Doa Bapa Kami yang ditulis dalam kode rahasia yang tiap katanya diwakili oleh tiga komposisi angka, lajur dan baris. Penulisan kode ini menurut Ay Tjoe ia pelajari dari sebuah film tentang gerakan pemberontak di Jerman yang menentang keputusan pemerintahnya mendukung Amerika memerangi Vietnam. Lalu mengapa Ay Tjoe merasa harus berdoa secara rahasia, meski hubungan dengan Tuhan bukanlah sesuatu yang tabu? “Karena tak semua orang bisa berdoa pada Tuhannya dengan cara yang sangat intim. Simbol dan rahasia akan membuat saat berdoa terasa memiliki kualitas yang lebih kental karena ia menjadi sebuah momen personal,” katanya.

Ia juga memindahkan penggalan teks Shakespeare dalam Timon of Athens ke dalam platnya. Teks yang berisi banyak sekali paradoks dan pertanyaan seperti yang biasa ia sematkan ke dalam karyanya. “Emas? Kuning, gemerlap,. Emas yang berharga? Bukan, dewa-dewa, aku pecandu yang malas,. Akar-akar. Kamu membersihkan surga?! Maka banyak yang akan membuat hitam putih kesalahan, keadilan, salah benar, jahat mulia, tua muda, pengecut berani. Demikian.” Maka paradoks itu memang sempurna muncul sebagai pernyataan. Hal lain yang juga menarik adalah melihat bagaimana symbol dua agama, Kristen dan Islam, yang dianut Ay Tjoe dan Deden berdampingan secara harmonis dalam karya-karya tersebut. Dalam plat yang berisi ucapan terima kasih, Deden menyebut Khidr, orang suci yang menjadi guru Nabi Musa dan memiliki kisah menarik dalam Al Quran, sebagai salah satu inspirasinya. Simbol muslim juga terlihat pada karya berjudul Tool Box yang masih mengambil bunyi sebagai pemikatnya. “Ketukan satu-satu ini mengingatkan kita pada dzikir yang teratrur, dan meditatif, ” Deden menjelaskan.

Begitu pun karya dwimatra lainnya yang berupa lukisan khas Ay Tjoe. Darah dan luka dielaborasinya menjadi sebuah kisah yang indah, kendati miris dan nyeri tak bisa dienyahkan. Cekam yang datang bisa dientaskan menjadi keriaan lewat pengalaman yang membawa semua orang ingin bermain-main dengan nyeri dan rasa sakit, tanpa sedikit pun melontarkan keluhan. Kolaborasi simbol yang begitu membaur pada akhirnya juga memang menisbikan perbedaan yang hamper selalu mengemuka ketika banyak orang bicara tentang agama. Kendati bermula dari sebuah teks yang kental mengandung muatan agama, Lama Sabakhtani Club berhasil melintasi barikade perbedaan yang acap membelenggu itu. Jadi, mari kita rayakan nyeri dan luka bersama. (Indah S. Ariani), Foto: ISA

MUARA CINTA ANDONOWATI


Pada sains dan seni, cinta perempuan ini bermuara. Ia adopsi mereka jadi anak-anaknya.

Islamic Art Fair 2009 di Pacific Place Jakarta. Seorang perempuan berambut pendek menyambut dengan senyum ramah pengunjung yang memasuki area pameran. Seorang teman kurator memperkenalkan perempuan itu. “Saya dari ArtSociates,” ujarnya ramah membuka perbincangan. Bicaranya tak terlalu banyak dan seringkali lugas, pendek-pendek tanpa basa basi berlebihan. Namun senyum malu-malu di wajahnya memancarkan ketulusan. Andonowati. Begitu nama yang tertera di kartu nama yang diangsurkannya.Usai berkeliling melihat karya-karya yang dipajang di seksi itu, ia kembali menghampiri. Kali ini dengan sebuah majalah seni rupa yang telah terbuka di tangannya. Ditunjukkannya sebuah halaman bergambar desain 3D sebuah proyek bernama Lawangwangi. “Kami sedang membangun pusat seni rupa dan sains di Bandung. Masih dalam tahap pembangunan. Rencananya akan kami resmikan Februari 2010 nanti,” katanya, tetap dengan kalimat pendek dan senyum yang sama. Nada bicaranya menarik. Intonasinya sering berakhir di nada tinggi. Ada antusiasme meluap di situ. Aan, begitu Andonowati biasa disapa, memang seperti tak pernah kehabisan energi.

Antusiasme itu tak hanya dia curahkan pada dunia seni rupa, tapi juga pada matematika, di mana cinta pertamanya tertambat. Associate professor di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memiliki semangat yang sama tinggi untuk mengembangkan sains yang ia tekuni dan seni yang ia cintai. Antusiasme yang membuncah tak terbendung ketika dengan suara bergetar ia memberi sambutan di malam peresmian Lawangwangi Art & Science Estate, di bulan Februari 2010 silam. Tempat yang menampung aktivitas Lab-Math Indonesia (LMI) dan ArtSociates (AS). Aan menyebut keduanya sebagai ‘anak-anak saya’. Ia memang memilih hidup berdua saja dengan suaminya yang juga seorang scientist berkebangsaan Belanda, E. (Branny) van Groesen. “Ada orang yang dikarunia anak untuk dibesarkan. Saya tidak punya. Jadi bagi saya, sains dan seni adalah anak-anak yang harus saya rawat dan jaga pertumbuhannya,” katanya di sebuah sore yang menggigil di Dago Giri, bukit di mana Lawangwangi berdiri.

Jendela besar yang membatasi ruang kerjanya dengan kesejukan dibiarkan terbuka. Busana Carmanita yang ia kenakan untuk pemotretan telah berganti lagi dengan pakaian kebesarannya: celana katun, tank top dilapisi kemeja berwarna gelap. Make up masih menempel di wajahnya. Aan terlihat berbeda dan sesekali tertawa malu mendengar godaan yang dilontarkan para asistennya di LMI dan AS. Sosok perempuan yang mendapat gelar Doktor Matematika Fisiknya dari McGill University, Montreal, Kanada ini jauh sekali dari kesan angker yang kerap diruapkan oleh para ilmuwan. Tak ada kesan dingin, apalagi arogan. Semuanya cair, hangat dan membumi di sekitarnya.

memberi garis tebal pada kemampuan Aan punya kemampuan ‘membumikan’ ilmu pengetahuan. “Matematika jadi terasa luwes di tangannya. Bu Aan selalu berusaha mencari cara supaya matematika yang sering dianggap rumit itu bisa berguna bagi kemaslahatan masyarakat,” kata Didit Adytia, Head of Laboratory di LMI. Lewat berbagai jurnal ilmiah, Aan mencoba menuangkan pemikirannya. Salah satu yang cukup penting adalah tulisannya mengenai gelombang ekstrem yang ia susun bersama suaminya yang juga professor Matematika dari University of Twente, Belanda, E. (Brenny) van Groesen dan dipublikasikan di Physics Letter, jurnal penting dalam ilmu pasti. Suami yang selalu mendukung apa pun langkah yang diambil Aan itu tak menutupi kekaguman dan penghargaannya pada istrinya. Binar kagum memancar dari mata Branny ketika membicarakan Aan. “Dia selalu ingin mendidik masyarakat. Ingin memberi sesuatu yang berguna,” kata Branny jujur. Pria Belanda yang telah sembilan tahun mendampingnya ini memandang Aan sebagai sosok yang mandiri dan tahu betul apa yang ingin diraihnya.

Perempuan yang menjadi anggota Asian Fluid Mechanics Committee ini adalah ‘ibu’ yang baik dan bertanggung jawab. Dhanny Irawan, staf AS mengaku menjadi saksi mata cinta Aan pada ‘anak-anak’nya. “Sepanjang usia AS yang berdiri sejak 2007, saya melihat itu.Bu Aan, misalnya, sampai merelakan rumah dan mobilnya dijual demi membiayai pembangunan Lawangwangi. Mungkin orang mengira dia dapat bantuan dari sana sini. Nyatanya, dia membangun ini seorang diri,” kata Dhanny. “Ada lagi hal lain yang lebih mudah kelihatan. Bu Aan lebih memikirkan seni ketimbang penampilan. Dia akan lebih memilih membeli karya seni ketimbang mobil baru yang sangat ia butuhkan,” kata Dhanny. Gairah besar untuk mengembangkan dunia seni rupa memang bergerak linear dengan totalitasnya berkutat dengan bidang keilmuan. Ia seperti ingin membuktikan bahwa dua hal itu berasal dari senyawa yang sama.

Meski banyak disikapi secara skeptis oleh para pengamat seni, Aan tak surut langkah. Ia terus saja berjalan konstan dengan apa yang telah ia canangkan. “Lawangwangi punya empat program tetap dari enam pameran yang kami gelar setiap tahun yakni, Bandung Art Award, From The Collectors, Islamic Art Award, dan Art Project,’ Aan menjelaskan. Di luar itu, ada beberapa pameran dan program khusus yang ia adakan. “Dua pameran lepas, seperti pameran kolaborasi Christine Ay Tjoe dan Deden Sambas yang baru lalu, juga residensi kolaborasi antara seniman dan ilmuwan. Dalam proyek pertama, kami mengirim Ay Tjoe untuk menjalani residensi di Belanda dan akan berkolaborasi dengan fisikawan Detlef Lohse sejak Mei lalu hingga Juli mendatang,” jelasnya.

Selain berbagai program seputar matematika dan seni, ia kini mulai berkonsentrasi pada micro education yang ia harap dapat diterapkan beberapa tahun ke depan. “Micro education will be my last venture. Ini upaya untuk menyadarkan masyarakat atas kapasitas mereka. Bukan hanya kapasitas positif, tapi juga negatif. Apa kelebihan dan kekurangan mereka. Kalau mereka sadar atas kapasitasnya, mereka akan bisa melakukan nilai tambah terhadap kapasitas merekaJadi dua anak saya ini harus tumbuh dulu,” katanya mantap.

Perbincangan bergulir pelan. Aan bukan orang yang pandai merangkai kata, kendati ia senang berbincang dan tak pelit bicara. Kalimat-kalimatnya selalu meluncur lugas, lurus tanpa renda-renda kata. Dengar saja kisah Aan tentang masa kecilnya di Magelang. Ia memulai kisah dari episode ketika sang bunda yang seorang guru kewalahan menghadapi Aan yang hiperaktif. Ia memutuskan mengirim putrinya saban malam ke rumah guru matematika di desanya sejak ia belum lagi berusia enam tahun. “Bukan karena ibu ingin saya pandai. Tapi karena dia tidak tahan dengan saya yang tidak bisa diam. Kalau saya di rumah seharian, dia akan pusing melihat tingkah saya.Alhasil saya harus les matematika tiga jam setiap malam,” katanya.

Anak ketiga dari enam bersaudara ini menggambarkan dirinya sebagai anak yang susah diatur. “Kalau disuruh A, maka yang saya lakukan adalah tidak A. Disuruh duduk diam, maka sudah pasti saya akan berlari-lari dan membuat keributan di rumah.,” kenangnya sambil tertawa. Hanya pergi ke rumah guru matematikanya saja yang ia turuti dengan patuh dan senang hati. “Soalnya saya bisa beradu pintar dengan anak lelaki guru saya. Senangnya luar biasa kalau bisa keluar sebagai pemenang. Hal yang membuat saya suka berada di sana barangkali karena saya ingin sekali mengalahkannya,” kata Aan tetawa.

Aan lantas tumbuh menjadi anak yang pandai dan menonjol secara akademis. Sejak Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), ia selalu jadi juara kelas. “Saya tidak jadi juara kelas adalah ketika kelas 4 SD, ketika Ibu menjadi wali kelas saya.,” Aan mengenang. Meningkat ke sekolah menengah, Aan menjadi anak yang tak hanya cerdas, tapi juga kritis terhadap sekitar. Kesadarannya tentang perbedaan kelas muncul ketika ia dihadapkan pada begitu banyak kelompok di sekolahnya. “Ada kelompok orang kaya, kelompok anak cantik, kelompok siswa pintar dan kelompok murid miskin. Saya memilih masuk ke kelompok terakhir,” katanya. Dengan kecerdasan yang dimiliki, tentu mudah sekali bagi Aan bergabung dengan kelompok siswa elit di sekolahnya. Namun dengan sadar Aan menentukan keberpihakannya pada kelompok marjinal.

“Berada di kelompok marjinal itu menyenangkan karena khalayaknya banyak. Mereka juga mudah menerima pendapat dan selalu memberi dukungan penuh,” katanya. Tingkat kepedulian kelompok itu menurut Aan juga sangat tinggi. “Saya merasa lebih disayang dan diperhatikan. Misalnya saja kalau saya bertengkar dengan anak lain. Mereka akan dengan total membantu dan melindungi. Itu lebih dari sekadar penghargaan,” katanya. Aan merasakan benar bahwa pembelaan yang diberikan teman-temannya tidak lagi berangkat dari kepentingan diri sendiri. “Kelompok itu biasanya merasa tak punya apa-apa lagi yang khawatir akan hilang. Mereka tidak punya apa-apa selain harga diri. Jadi kalau mereka melakukan pembelaan, tentu lebih murni ketimbang kelompok lain,” katanya.

Selulus SMP, Aan meninggalkan kampungnya untuk melanjutkan sekolah di Yogyakarta. “Sebenarnya Ibu menyuruh saya sekolah di Magelang. Tapi saya tidak mendaftar ke sekolah mana pun di Magelang. Tapi diam-diam, saya mendaftar di Yogyakarta,” katanya. Di sana, awalnya, Aan mondok di tempat kos yang bagus. “Harga sewanya 30.000 ribu sebulan. Tapi setelah setahun, ibu merasa keberatan karena memang kami bukan dari keluarga mampu. Beliau meminta saya pindah ke tempat kos yang lebih murah. Lalu saya pindah ke sebuah rumah gubuk di daerah Kauman yang saya sewa dengan harga 2000 rupiah dan selalu kebanjiran kala hujan,” kata Aan. Ia mengaku tak kecil hati dengan keadaan itu. “Waktu SMA saya punya sahabat bernama Ratna Dewi. Dia dari keluarga yang sangat berada. Kalau hari Sabtu dan Minggu, dia sering mengajak saya menginap di rumahnya. Dari kamar yang jelek sekali, setiap akhir pekan saya pindah ke kamar yang mewah sekali. Di dalamnya ada grand piano, ada sound system yang bagus, dan pembantu khusus. Rumahnya berlantai empat dan luasnya minta ampun. Kehidupan saya dan Ratna seperti bumi dan langit. Tapi perbedaan itu tidak membuat saya minder,” katanya menerawang. Aan memang tak perlu minder. Ia hanya perlu terus melangkah tanpa henti menapaki jalan yang akan membawanya pada pencapaian untuk merawat anak-anak hatinya dengan ilmu dan cinta. (Indah S. Ariani), Fotografer: Didi, Kontiki Photography, Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Busana: Biasa, Rias Wjah dan Rambut: Diana Rose, Lokasi: Lawangwangi Art & Science Estate

Jumat, 23 April 2010

TUHAN, AY TJOE, DEDEN, DAN HAL-HAL YANG BELUM SELESAI *


Tunggu! Jangan baca dulu kisah tentang Christine Ay Tjoe dan Deden Sambas yang tertulis di halaman ini. Berhenti dulu sebentar.

Pejamkan mata Anda. Bayangkan di hadapan Anda sekarang, tubuh dan ruh Anda mewujud sebagai sebuah bingkisan berbungkus pemandangan bernyawa yang terus saja tertawa, mencibir, menghujat, dan melakukan banyak hal yang memancing berbagai emosi. Bingkisan itu mempermainkan Anda hingga murka dan ingin membunuhnya. Hari ini, Anda benar-benar membunuhnya, menghabisinya. Anda sobek habis lapis pertama itu, berharap bertemu diri sejati. Namun lapis lainnya menghadang Anda. Pemandangan demi pemandangan kembali terputar, terus tertawa, mencibir, menghujat dan melakukan banyak hal yang memancing emosi. Anda lakukan pembunuhan berulang kali, namun tetap itu yang terjadi, lagi, dan lagi. Tinggal Anda yang tak lagi punya energi untuk meneruskan dan membiarkan diri tersungkup sunyi yang lengang dengan lansekap lapang menyita pandangan, mengarahkannya pada tiga huruf saja: G, O, D. God. Tuhan. Dia, Sang Pencipta.

Baik, buka mata Anda sekarang, dan silakan lanjutkan bacaan.

Tuhan adalah ide dan kata yang menyita perhatian Chrstine Ay Tjoe dan Deden Sambas. Mereka tak juga jenuh mencoba mengolah rasa untuk bicara tentang Entitas Agung itu. Sejak kolaborasi pertama mereka untuk Hong Kong Art Fair 2009 silam, dua seniman ini makin asyik 'bermain-main' dengan Tuhan. Dalam pameran yang digelar di Lawangwangi bulan April silam, Christine dan Deden seakan ingin melanjutkan 'perbincangan' mereka dengan Tuhan, seperti yang mereka berdua lakukan lewat karya berjudul Today I Kill The First Layer. And Then I Find Other Layer As A Landscape, Landscape, Landscape (namun disimplifikasi oleh kurator pameran kala itu menjadi Panorama Without Distance-red) yang dipamerkan di ajang Hongkong Art Fair 2009 atau ART HK '09 silam. Instalasi berbentuk dua buah mesin ketik manual berkaki itu memikat para juri yang lantas menobatkannya sebagai pemenang Art Future Artist, perupa yang diyakini sangat menjanjikan di masa depan. Bulan Maret silam, karya itu juga dipamerkan di ART Paris bersama karya dari 19 seniman lainnya.

Ay Tjoe dan Deden bukan nama baru di kancah dengan tuts terlepas hingga hanya menyisakan tulang besi yang siap mematuk jemari yang dihempaskan di tubuh mereka. Huruf-huruf yang tertera di bantalan aksara tak lagi sempurna; kikisan gerinda merusaknya. Hanya tiga aksara yang masih utuh bentuknya: G, O, D. Selempeng plat aluminium sepanjang delapan meter terpasang menjuntai


Kalau sedang bekerjasama, siapa yang membuat konsep?
Christine Ay Tjoe (CAT): Kalau yang sudah-sudah, dari saya dulu. Biasanya, kami bertemu, Kang Eden masih blank, kosong dulu, saya cerita konsep saya seperti apa. Mungkin Kang Eden memang sengaja membiarkan dirinya kosong. Lalu kira-kira dia punya apa saat itu, dia utarakan dan pembicaraan pertama itu biasanya hanya menghasilkan sedikit sekali hasil. Lalu beberapa saat kemudian, kami ketemu lagi, bicara lagi, tambah banyak ide yang keluar. Kalau di interaksi yang sudah-sudah dengan dia, saya perhatikan potensinya memang sangat baik dalam urusan mengumpulkan banyak elemen dan yang dikumpulkan memang nggak sembarangan.

Misalnya?
CAT: Misalnya? Elemen-elemen kecil. Dia lebih melihat hal yang rinci, detail. Misalnya baut, jenis paku, binatang, dia punya kecenderungan untuk menyimpan barang-barang kecil. Temuan-temuan apa pun yang terkumpul, bisa dia jadikan sesuatu. Nah, kadang kalau membuat sesuatu, memang harus dibuat proyeksi, akan jadi seperti apa barang itu. Apakah sekadar barang pajangan, atau untuk pemuas diri sendiri, untuk kebutuhan desain atau memang mau jadi sesuatu yang lebih berbobot, yang akan diisi sesuatu yang berarti. Dari pertemuan-pertemuan kami, terasa sekali kami saling mengisi. Dia mengisi saya tentang banyak detail yang belum terbayang sebelumnya, dan dari saya, dia mungkin mendapat ‘gunting’ yang menyederhanakan imajinasi detailnya yang kadang terlalu berlebihan. Apalagi dia bertipe orang yang tekun, hobi bekerja setiap hari, tapi kalau itu tidak dilengkapi satu tujuan, saying kan? Dari beberapa kali kerjasama yang kami lakukan, idenya kadang sering melebar dan saya yang mengingatkan untuk tetap berada di jalur kami. Akan dibuat apa karya kami? Kami sering punya pertanyaan tentang banyak hal. Misalnya saja tentang patung. Kami sering bertanya, kenapa sekarang besar0besar sekali, bahannya juga sangat keras, dan menyita ruang. Kalau kita pikirkan beberapa tahun ke depan, mungkin kita menjadi terlalu padat. Kami berdua punya sisi yang selalu mengoreksi hingga kami berpikir, kok terlalu kejam sebagai seniman kalau hanya berpikir tentang sensasi hari ini atau sekian tahun ke depan dengan membuat karya-karya seperti itu. Tidak salah, tapi apakah mungkin kalau misalnya patung itu bisa dinikmati dalam ukuran besar, tapi juga tetap bisa dinikmati dalam ukuran kecil. Kami ingin mengadopsi prinsip antenna yang bisa dipanjangnkan dan dipendekkan. Memang dunia kreatif tidak ingin terbatasi. Tapi ini dari pemikiran kami. Contohnya kemarin. Kami berpikir apakah mungkin kami membuat patung yang bisa mengempis, jadi tidak secara permanent memenuhi ruang. Toh yang lebih penting sebenarnya manusia. Ok sebagai seniman ada sisi yang peka. Kalau itu tidak disadari sebagai hal yang juga dibutuhkan oleh manusia lainnya, rasanya kok agak kejam ya seorang seniman kalau hanya memikirkan tentang sensasi?

Apakah konsep itu dapat disebut sebagai seni yang adaptif atau seni yang bisa berguna bagi orang lain?
CAT: Saya tidak bisa bilang begitu. Tapi menurut saya, itu cara melebarkan cara berpikir. Toh yang kita pikirkan tidak hanya material seni, tapi juga manusia yang berada di sekitarnya. Kita kompleks, orang lain kompleks, masalah juga kompleks, tapi kalau kita bisa membuka diri buat berpikir untuk juga memikirkan orang lain, tentu tidak salah.

Apakah itu artinya lebih berempati pada para penikmat karya Anda berdua?
CAT: Empati atau apa ya bilangnya?

Kami sedang membicarakan konsep. Tadi saya bertanya pada Christine, kalau sedang berkarya bersama, idenya muncul dari siapa dan apa yang terjadi pada saat eksekusi. Christine bilang, biasanya Anda berdua saling mempengaruhi dan saling tarik menarik ke jalur yang seharusnya. Bagaimana pendapat Anda?
Deden Sambas (DS): Ya, waktu berkarya bersama, yang sering terjadi memang selalu diawali dari kegelisahan salah satu dari kami yang lantas memunculkan ide. Kami membicarakannya bersama dan kemudian kami cari ide mana yang terasa sangat kuat konsep dan tujuannya. Kalau ada yang cukup kuat, baik dari segi estetika yang nampak semakin jelas, baru kami putuskan untuk diangkat, direalisasikan menjadi sebuah karya. Karena dari ide itu, salah satunya juga kemudian, kami harus membahas secara teknis. Ada juga yang mengalami beberapa perubahan seiring waktu berjalan.

Jadi perubahan ide dan bentuk adalah hal yang lazim terjadi dalam kerjasama Anda berdua?
DS: Kalau ada perubahan, biasanya berarti karena konsep sebelumnya belum begitu kental,.
CAT: Kang Eden itu lebih pandai menyimpan data. Kalau di awal saya sudah ngomong sesuatu dan banyak, dalam perjalanan idenya berkembang cukup jauh dari ide awal dan mentok, Kang Eden bisa merunut dan mengembalikannya ke awal.
DS: Saya biasa mencatat poin-poin pembicaraan karena ide atau apa yang diungkapkan oleh Christine, belum bisa saya cerna saat itu juga. Jadi saya catat, kalau sedang senggang saya baca ulang dan biasanya baru bisa saya tangkap maksudnya. Lucunya, ketika diskusi kami menemui jalan buntu dan saya tunjukkan catatan saya, Christine biasanya sudah lupa kalau pernah mengatakan hal yang tercatat. Tapi kalau saya yang lupa, biasanya Christine yang mengingatkan, terutama dalam urusan detail. Kalau diibaratkan orang yang sedang membatik, saya sering terlalu banyak memakai corak. Christine yang mengingatkan saya untuk mengurangi motif itu.

Tadi Ay Tjoe mengatakan kalau Deden adalah orang yang teliti terhadap detail dan punya kemampuan kemampuan elemen yang kuat. Setuju dengan pendapat itu?
DS: (Tertawa kecil) Nggak tahu ya… Saya hanya menyadari kalau saya senang mengamati banyak hal, sampai ke hal-hal yang kecil. Mungkin itu yang ditangkap Christine. Dan kalau karya saya mulai terlihat terlalu dekoratif, Christine yang akan memberitahu, bagian mana yang harus dihilangkan. Kalau sudah begitu baru saya sadar bagian mana yang penting dan mana yang tidak.

Kapan kerjasama pertama terjadi?
DS: Tahun lalu (2009). Bulannya lupa. Awalnya saya mencari kerjaan dan ketemu dia. Saya bilang saya sedang mencari kerja.
CAT: Saya tidak sengaja pulang ke Bandung. Janjian ketemu dan Kang Eden mengutarakan keadaannya. Saya sendiri pada saat itu sedang banyak kerjaan, pusing dan saya berpikir saya butuh orang untuk membantu. Nggak tahu tiba-tiba dating. Lucu juga. Momennya bisa pas beberapa bulan sebelum event yang kami kejar di Hongkong Art Fair 2009.

Saat itu, sebanyak apa kapasitas kerja yang tengah dilakukan hingga merasa memerlukan bantuan?
CAT: Terlalu banyak. Hampir tiap bulan ada dan saat itu yang saya tahu adalah saya butuh waktu buat istirahat. Tahu-tahu Kang Eden datang, semua jadi berjalan lagi.

Tadinya akan berhenti?
CAT: Saya tahu saya capek dan butuh istirahat. Saat itu saya berpikir kalau tidak mungkin saya meneruskan ini. Nggak akan bagus juga hasilnya kalau dipaksakan.
DS: Proyek di Hongkong tadinya nyaris dibatalkan karena waktunya terasa mepet sekali. Tapi saying sekali kan kalau dibatalkan? Saya malah merindukan pameran di luar. Tiba-tiba muncul ide dari Christine untuk meneksplorasi mesin ketik dan saya baru dating di Jogja satu bulan setelah pembicaraan kami di Bandung.

Dalam pertemuan awal, apakah sudah ada konsep karya dan sebagainya atau benar-benar memulai dari nol untuk keikutsertaan di Hong Kong Art Fair itu?
CAT: Saat itu baru kerasa sesuatu saja. Saya ingin bikin ini. Biasanya suka muncul rasanya dulu, kira-kira begini. Tapi belum tajam, belum jelas, tapi atmosfernya sudah dapat, sudah terasa. Waktu itu termasuk cepat.

Judul karyanya waktu itu apa?
CAT: Kalau dibahasakan oleh kuratornya, judulnya adalah Panorama without Distance. Tapi judul karya yang saya buat sebenarnya adalah Today I Kill The First Layer. And Then I Find Other Layer As A Landscape, Landscape, Landscape.

Apa yang terbayang saat itu hingga muncullah judul dari Anda itu? Bagaimana Anda berdua mengkolaborasikan ide karena sangat mungkin terjadi perbedaan sudut pandang. Di mana titik temu yang Anda berdua peroleh?
DS: Kalau saya, titik temunya ada pada media. Ketika kami memutuskan kalau materinya adalah mesin tik. Dari situ kemudian banyak sekali elemen yang lantas memekatkan gagasan itu. Seperti misalnya ketika kami memutuskan bahwa hanya tiga huruf saja yang dapat terbaca jelas sementara huruf lainnya kami rusak. Karena itu juga merupakan karya interaktif, kami sengaja membuat agar karya itu meninggalkan sensasi terhadap orang yang berinteraksi dengan karya tersebut. Misalnya lewat tuts yang terbuka, sehingga orang yang mengetik akan merasakan sakit.
CAT: Font di mesin tik itu kami gerinda dan kikir sehingga tidak akan menorehkan bentuk huruf yang sempurna manakala diketikkan. Hanya huruf G, O, dan D saja yang kami biarkan utuh. Mungkin kami ‘ketemu’ karena kami masing-masing berada di posisi yang sedang membangun suasana dekat dengan Tuhan.

Keputusan menyelamatkan tiga huruf itu sudah sejak awal ada atau terpikir di tengah perjalanan?
CAT: Dari awal sudah kami putuskan begitu. Waktu kami ngobrol di awal, itu cukup seru, panas dan ide terus mengalir bahkan ketika sudah sangat larut. Itu selalu saja nyambung. Kami ingin karya itu menjadi sesuatu yang lengkap. Sisi yang personal menuju God itu ada, tidak diketahui, samar, tahu-tahu dari hasil ketikkan itu muncul tiga huruf itu. Dan tidak selalu muram. Kami menyelipkan juga unsur riang lewat bunyi yang muncul dari aktivitas mengetik itu. Bagaimana juga orang merasa tidak nyaman Karena harus mengetik sambil berlutut di landasan kasar yang cukup menyakitkan kulit. Kami ingin semua rasa bisa muncul ketika orang mencoba berinteraksi denagn karya kami. Riangnya ada, lucunya ada, sakitnya ada, serius juga ada.
DS: Tadinya kami ingin menggunakan kertas untuk media ketiknya. Tapi karena ada kekeliruan dari pihak produsen yang tak bisa mewujudkan kertas sesuai bayangan kami, akhirnya kami menggunakan plat almunium yang ternyata memberi kesan yang lebih dramatis.

Pernah dipamerkan di Indonesia?
CAT: Belum pernah. Hanya pernah ditampilkan sebagai bahan presentasi di sebuah diskusi di Galeri Sangkring. Karya itu dipamerkan lagi di Art Paris Maret lalu.
DS: Kuratornya yang meminta kami ikut pameran lagi. Lucunya, tema karya kami itu bertemu realitasnya di Hong Kong. Karena pada saat pembukaan, karya itu belum datang, dan booth kami kosong melompong. Hanya ada sederet tulisan tentang karya yang menempel di dinding. Banyak orang yang datang ke booth itu lalu membaca dengan muka heran. Saya sampai menangis karena putus asa. Saya tahu ini terlambat, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Saya mau memberitahu Christine, saya khawatir, Pak Deddy Irianto (pemilik Langgeng Galeri yang membawa mereka berpameran di sana-red) merasa saya mengadu. Kalau tidak, juga saya salah. Akhirnya, saya terima kondisi itu dan meminta Pak Deddy memberi tahu Christine. Saya sudah siap mengeksekusi apa pun. Sampai saya sempat berpikir kalau karya itu tidak datang juga, saya akan isi dengan performing art. Tapi saya tidak bisa juga melakukan itu, kan? Karya itu baru datang keesokan harinya, dua jam sebelum penjurian.

Jadi dia memilih kapan dia mau ikut serta ya?
DS: Iya. Jadi begitu dia datang, saya langsung display karena memang sudah dipersiapkan semua. Boothnya berukuran memanjang karena plat almuminiumnya menjuntai memanjang.

Ketika dikabari karya itu belum sampai, apa yang Anda rasakan di tanah air?
CAT: Saya waktu itu cuma bisa diam. Kalau mengikuti emosi, tentu ingin marah karena keterlambatan itu sesuatu yang sangat parah. Tap saat itu saya Cuma berpikir, “ini hari terakhir saya nggak boleh marah”. Kalau memang dia datang, ya datang. Kalau tidak, ya tidak. Saya membebaskan diri saya dari amarah ketika itu.
DS: Kalau dikaitkan dengan tema, mungkin itu kejadian yang sangat dalam.

Saat itu, bagaimana respon pengunjung terhadap booth Anda?
DS: Orang mengira bahwa karyanya adalah konsep yang terpasang di dinding itu. Saya sedih sekali. Perasaan saya campur aduk, bukan semata-mata karena karya itu terlambat datang, tapi karena itu kali pertama saya pergi ke luar negeri dan kejadiannya mengejutkan begitu.

Apa pelajaran penting yang Anda berdua petik dari kejadian itu?
DS: Dari penglaman itu, saya jadi merasa lebih rileks memang, meski tetap dalam kapasitas target. Karena saya melihat, ada orang lain yang juga mengalami saat sulit ketika itu. Saya melihat istrinya Pak Deddy begitu marah pada pihak kargo dan setelah dia marah dengan sangat hebat, dia tetap juga tidak bisa mengubah keadaan. Hal yang juga menarik adalah ketika akhirnya karya itu datang. Kepanikan terjadi lagi karena Pak Deddy menyangsikan kesanggupan saya mendisplay karya. Sekuat tenaga saya berusaha memasang karya sesuai tenggat waktu yang sangat mepet itu. Ketika akhirnya pemasangan selesai, saya menyalami Pak Deddy dan pamit jalan-jalan. Saya tidak menyaksikan proses penjurian berlangsung. Ketika pulang ke hotel, Pak Deddy dan istrinya memberitahu kalau karya kami berdua mendapat grant. Saya pikir mereka berdua menghibur saja. Ternyata benar. Kaget tapi sekaligus juga senang sekali. Luar biasa.

Ketika dikabari karya itu mendapat grant, apa yang Anda berdua rasakan?
CAT: Saya mengira itu bercanda dan hanya upaya menghibur kami berdua. Jadi saya tidak membalas sms pertama yang dikirimkan Pak Deddy pada saya. Kalimat sms-nya sangat lempang. “Kamu dapat hadiah, selamat ya.” Baru ketika sms kedua dikirimkan, saya membalas dengan kalimat tanya, “Serius, Pak?” Saat itu saya belum dapat informasi dari Kang Eden jadi nggak percaya. Baru setelah dijelaskan panjang lebar dan dikirimi foto, dan juga dapat sms dari Kang Eden, baru saya percaya. Senang tentu saja. Tapi anehnya, saya datar saja menerima kabar gembira itu. Saya hanya berpikir, bahwa momen yang dialami karya saya menjadi lengkap. Dari awal, saya merasa disangsikan sebagai seorang seniman. Pertanyaan ‘Bisa nggak kamu bikin karya yang berbeda untuk Hong Kong Art Fair ini?” yang dilontarkan di awal, sangat mengganggu saya. Saat itu saya berpikir, “Kalau tidak percaya sama saya, silakan pilih seniman lain. Kalau memang ingin tetap saya, tenang saja. Saya juga mikir, kok…” Ternyata, semua berjalan baik. Kang Eden datang, kerja juga lancer, material terkumpul semua, disediakan dalam waktu singkat. Dikasih pengalaman lucu pula seperti keterlambatan karya dan kemenangan itu. Jadi sempurna. Kalau semua lancar-lancar saja, rasanya seperti kurang garam, hahaha…
DS: Iya. Apalagi buat saya yang pertama kali ke luar negeri. Antara terkagum-kagum, antara ingin main tapi harus bertanggung jawab. Rasanya saya benar-benar tersesat di sana. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang sangat minim, saya harus melewati pengalaman begitu membingungkan. Rasanya seperti tersesat. Luar biasa.
CAT: Di event itu memang kami sudah mencanangkan program untuk memberangkatkan Kang Eden ke Hong Kong. Biar dia dapat pengalaman macam-macam, hahaha…

Setelah Kill The First Layer, apa lagi proyek bersama Anda?
CAT: Yang di Lawangwangi ini.

Bagaimana persiapannya?
DS: Cukup panjang juga.

Berapa lama pengerjaannya dari mulai konsep?
DS: Ini dari Oktober ya kalau nggak salah?
CAT: Iya, dari Oktober tahun lalu kami sudah ngobrol-ngobrol.
DS: Tapi normal startnya baru pada Februari karena saat itu Christine juga sedang mempersiapkan pameran tunggalnya di SigiArts. Cukup pendek juga akhirnya proses pengerjaannya.

Bagaimana konsep pameran kali ini? Apakah sedalam pameran yang sudah-sudah?
CAT: Semua berawal dari ketidakjelasan. Kami memulainya dari mengumpulkan material. Elemen-elemennya. Paling tidak, dalam proses tersebut kami jadi menghargai hal kecil yang pernah disebutkan oleh masing-masing kami. Itu direnungkan dan dipikirkan lagi keterkaitannya. Kalau yang kali ini fokusnya memang diarahkan pada karya-karya tiga dimensi. Kami ingin menampilkan ide-ide tak biasa. Misalnya, tahu-tahu muncul ide untuk menggunakan analogi mesin tenun, sarang dari jenis binatang, dan itu berhubungan lewat jalinan dan anyaman. Tapi yang harus lebih diambil bukan masalah anyaman atau jalinannya, tapi lebih seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Kang Deden, bahwa kalau kita lihat mesin tenun itu tidak pernah berhenti, sebisa mungkin terus berjalan, dan digerakkan oleh banyak orang. Itu yang mungkin cukup menarik untuk kami bawa ke karya tiga dimensi ini. Dalam konteks itu, subyek menjadi hilang, lebur ke dalam proses dan hasil kerja. Nama seseorang menjadi indah dan melekat di situ, ketika dia tidak lagi memikirkan apakah namanya akan tertera di kain. Semua berfokus pada kainnya, bukan siapa pembuatnya. Ketika orang melewati pekerjaan menenun itu yang terpikir adalah pakaian yang dipakai orang. Itu seperti proses yang menuju sebuah tujuan yang memang kami bilang kalau satu pabrik dibangun tanpa tujuan besar seperti itu, dia tidak akan berjalan lama. Sama seperti misalnya orang membuat usaha sekecil apa pun, kalau tidak menarik tali setinggi mungkin, dia akan berhenti. Bila dalam karya kami sebelumnya kami meninggikan Tuhan, di sini, kami ingin lebih lagi meninggikan-Nya. Kalau di sini, karena yang kami pakai sebagai penyampai pesan adalah karya tiga dimensi, kami bawa elemen yang banyak itu, kami masukkan elemen bunyi, gerak, dan sebagainya. Yang menuju sesuatu yang tinggi. Kami memang banyak mengeksplorasi suara. Kami memakai sejenis alat musik yang menyerupai gamelan. Semaraknya ingin kami munculkan.

Digerakkannya oleh mesin atau orang?
CAT: Karya yang besar memakai mesin . Di dua karya lain, tetap pakai mesin tik, diubah sedikit jadi lebih kecil, tapi tetap menghasilkan bunyi yang muncul lewat interaksi dengan pengunjung. Satu lagi, bunyi dihasilkan oleh kerja mekanik yang
DS: Nanti ada juga karya yang berzikir terus menerus.

Jadi temanya masih tentang Tuhan?
CAT: Iya.
DS: Iya. Tapi kali ini jadi clubber, sekumpulan orang yang mencintai Tuhan. Inspirasinya muncul dari seorang teman Christine, Elizabeth (pemilik Galeri Orasi di Surabaya-red).
CAT: Hahaha, iya, Elizabeth. Pernah saat kami mengobrol dengan Elizabeth yang aktivis gereja, dia bilang ingin membuat sebuah kafe khusus untuk para pemuja Tuhan.
DS: Nah, di seni rupa, kami mengawalinya di pameran ini, hahaha...

Kenapa Tuhan dan spiritualitas seperti menjadi sumber ide yang tak kering ditimba oleh Anda berdua?
CAT: Mungkin karena kami sama-sama sudah memiliki concern terhadap hal itu. Namun, kami sama-sama malu untuk masuk ke daerah itu karena selalu merasa berada di ruang seni rupa yang steril. Setiap perbincangan selalu menuju pada senirupa. Tapi hal seperti itu tidak tertahankan juga pada akhirnya dan ketika terlontar, titik itu langsung bertemu. Kalau kami lihat sebetulnya itu sesuatu yang tidak kebetulan. Kami bertemu juga seperti untuk sebuah niat baik. Saya hanya berpikir, selama masih ada jalannya, kami akan terus mengeksplorasi sisi ini. (Indah S. Ariani), Fotografer: Af Rizal, Pengarah Gaya: Quartini Sari, Busana Ay Tjoe & Deden: Deden Siswanto, Sepatu Ay Tjoe: Ronald V. Gaghana, Lokasi: Lawangwangi Art Estate, Bandung.

* Terinspirasi judul buku Goenawan Mohamad, Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai

MENGULIK KOMIK


Komik makin menggelitik. Ini tampak dari tiga acara yang berkaitan dengan komik di tempat dan waktu berbeda yang digelar Maret silam. Awal hingga medio Maret, duo kartunis Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad menggelar pameran karya-karya mereka dalam ajang Benny & Mice Expo di Bentara Budaya Jakarta. Pengunjung dapat melihat secara lengkap jejak karya mereka baik yang pernah dipublikasikan di harian Kompas Minggu, atau media lainnya di mana kedua kartunis itu bekerja, Harian Kontan dan Surabaya Post Minggu. Pada paruh akhir bulan tersebut, 22 perupa terlibat pameran The Comical Brothers yang diadakan di Galeri Nasional oleh Andi’s Gallery. Nama-nama kondang seperti Ugo Untoro, dan Eko Nugroho ikut terlibat dan menampilkan karya mereka yang memiliki ‘citarasa’ komik cukup kental. Dikuratori oleh Bambang ‘Toko’ Witjaksono, pameran itu mencoba merespon kemunculan karya-karya yang kerap disebut Lukisan Komikal. Kurator yang juga perupa ini, sadar benar bahwa sejatinya, komik pernah memiliki posisi signifikan dalam ranah seni rupa pada decade ‘60 hingga ‘70an. “Sayang pada era ‘80an, komik seakan kehilangan penerus,” ungkap Bambang dalam kuratorialnya. Namun, setelah hamper dua decade ‘bergerilya’ komik kini mulai kembali diminati. Generasi muda mulai mencari akar keberadaan komiknya setelah jenuh dengan serbuan komik asing. Tak mengejutkan bila nama-nama begawan komik seperti R.A. Kosasih, Kho Ping Ho, Teguh Santosa dan Saleh Ardisoma kembali muncul ke permukaan seiring diterbitkannya kembali karya-karya mereka. Nama yang disebut belakangan meluncurkan buku komik Wayang Purwa. Lewat komiknya, Saleh seakan ingin membuktikan bahwa komik masih jadi daya tarik besar di kancah seni. (ISA), Foto:Dok. Bambang Toko

MENYIMAK JOGJA DALAM ALMANAK


Apa yang ingin Anda ketahui seputar perkembangan seni rupa di Yogyakarta sepanjang kurun waktu 1999-2009? Jawabannya pasti dapat Anda temukan dalam Gelaran Alamanak Seni Rupa Jogja 1999-2009. Dalam buku setebal 872 halaman ini, berbagai informasi seputar perkembangan seni rupa di Yogyakarta diurai secara detail. Anda tak cuma bisa mengetahui aktivitas seni rupa yang terjadi sepanjang satu decade yang dirangkum dalam Kronik Seni Rupa, tapi juga membaca profil seniman-seniman, curator, juga kolektor penting di jagat seni rupa Jogja. Diterbitkan oleh Gelaran Budaya, almanak ini menggabungkan beragam bentuk pencatatan –ensiklopedia, kamus, Who’s Who, Katalog, juga daftar alamat- yang membuatnya layak disebut sebagai sebuah buku pintar. Dilengkapi satu bagian yang khusus membahas berbagai istilah dalam seni rupa, buku ini memang akan jadi bacaan yang sangat dibutuhkan oleh mereka yang terlibat dalam seni rupa. (ISA), Foto: Wijayanti Kusumawardani

DARI BALI, TENTANG MEREKA


Di balik kemahsyuran Bali, ada nama-nama yang menopangnya. Ini cerita tentang mereka. Dituturkan lewat mata sembilan warga dunia, kisah ini dihaturkan bagi hidup anak-anak alam.

Dua orang pria duduk berhadapan di tepi pantai, dinaungi payung besar. Tubuh keduanya menjelma siluet hitam di benderang siang. Mata mereka memandang jauh, jatuh mendarat di kaki lazuardi. Di kejauhan, tiga orang –satu wanita dan dua pria- bercengkerama dengan suasana. Payung mereka diterbangkan angin yang terlalu lasak mengajak mereka bermain. Payung yang mungkin membelah diri di udara dan tertangkap oleh enam pria yang berdiri berjajar di tepi kolam. Berwajah sumringah, mereka tengadah memandang ke sebuah arah. Pohon kelapa yang berdiri di antara mereka meliuk, melambai mengabarkan sukacita.

Sukacita yang terasa di ruang pamer Komaneka Fine Art Gallery, Ubud pada sebuah malam awal Maret 2010 silam, ketika tiga citra itu dipamerkan bersama puluhan citra lainnya dalam sebuah pameran bertajuk Bali Portraits. Terekam beku dalam kanvas, wajah-wajah pesohor Pulau Dewata tetap memancarkan aura yang sama. Taksu yang mereka punya seakan merebak di setiap sudut potret tak berbingkai yang digantung rapi dengan ukuran seragam. “Kami sengaja membuat ukuran seragam agar mood pameran ini bisa terjaga,” ungkap Indra Leonardi yang bersama Koman Wahyu Suteja menjadi kurator sekaligus koordinator pemotretan.

Foto-foto yang dipamerkan sembilan fotografer yang tergabung dalam organisasi fotografer Internasional, Societ of Twenty-five –biasa juga disebut dengan XXV-, ini dilakukan hanya satu hari, di tiga tempat berbeda. “Lumayan susah mengatur waktunya, mengingat model yang begitu banyak. Tapi syukurlah, semua berjalan lancar. Fotografer dan model sama antusianya,” kisah Indra sembari tertawa. BUkan tanpa halangan. Seniman Nyoman Gunarsa, menurut Indra bahkan nyaris urung ikut berfoto. “Pak Gunarsa waktu itu sedang sakit. Kami sudah berpikir bahwa pemotretan akan berlangsung tanpa kehadirannya. Tapi Pak Gunarsa ternyata memaksa diri datang. Mengharukan sekali,” katany Indra yang merupakan satu-satunya fotografer dari Asia yang tergabung dalam XXV.

Para tokoh berasal dari latar belakang yang berbeda, termasuk pendiri museum, visual artis, fotografer, perancang busana dan perhiasan, arsitek dan interior designer, musisi dan produser musik, pemilik galleri, ahli kuliner, penulis/sastrawan, dan ikon budaya. Nama-nama besar seperti Nyoman, Made Wianta, Jean Cotteau, Delia von Rueti adalah beberapa dari sekitar 30-an tokoh yang difoto oleh sembilan fotografer. Marcus Bell (Australia), Peter Dyer(UK), Hanson Fong (USA), Indra Leonardi (Indonesia), Curt Littlecott (USA), Susan Michal (USA), Ralph Romaguera (USA), Paul Skipworth (USA), Vicky Taufer (USA).

Pameran ini akan dibawa ber keliling ke beberapa Negara, di mana anggota kelompok XXV berada setelah sebelumnya dipamerkan selama sepuluh hari di Komaneka. “Hasil penjualan foto yang dipamerkan akan disumbangkan kepada Komunitas Anak Alam,” jelas Indra. Komunitas Anak Alam adalah sebuah komunitas anak-anak muda Indonesia dengan latar belakang berbeda yang bertujuan untuk membantu pendidikan, juga mensejahterakan kaum marginal dan anak-anak yang kurang beruntung di Desa Blandingan, sebuah area di bukit sekitar Danau Batur di Kintamani, Bali.

Tiga Tempat Pertama
Untuk mereka yang berjasa membawa nama harum Bali di mancanegara, Indra dan Koman memilih lokasi yang memiliki arti tersendiri di kancah budaya Bali. “Kami memilih tiga tempat yang menjadi pionir di Bali. Ada Puri Lukisan di Ubud yang merupakan museum seni dan budaya pertama di Bali. Lalu di Tandjung Sari, Sanur butik hotel, dan terakhir di Kendra Gallery Seminyak yang merupakan galeri seni kontemporer pertama di pulau Dewata ini,” para Indra pangjang lebar. Namun, untuk alasan artistik dan suasana yang sesuai, beberapa pemotretan dilaksanakan di tempat para tokoh penting tersebut.

Hal lain yang menarik dari pameran ini adalah waktu eksekusi dan persiapannya yang demikian pendek. “Hanya lima hari. Pemotretan satu hari, empat hari proses cetak dan display. Semua dilakukan serba ngebut,” tukas Indra sambil tertawa. Tentu bukan hal mudah mengkoordinasi sejumlah fotografer senior dan tersohor yang masing-masing memiliki gaya berbeda. Beruntung, semangat para fotografer yang datang dari berbagai belahan bumi itu terus terjaga hingga pameran dibuka. “Itu tadi, fotografer dan model sama excitednya. Jadi semua bisa berjalan lancer,” ungkap Indra tanpa menutupi rasa senangnya.

Para fotografer dan modelnya, kisah Indra, berkolaborasi dengan sangat antusias untuk mencoba dan menciptakan berbagai pose yang berbeda pada setiap sesi pengambilan foto. Ratusan bingkai tercipta dari tiga sesi pemotretan yang berlangsung pada waktu yang bersamaan di tiga lokasi berbeda. Cuaca yang kurang baik tak menghalangi mereka semua membuat karya-karya dramatis dengan konsep yang kuat, kendati mereka memotret hanya dengan bantuan pencahayaan alami. Upaya yang layak ditakzimi. (Indah S. Ariani), Foto: Dok. Societ of Twenty-five

Kamis, 15 April 2010

TUHAN KEDUA JAKARTA ART MOVEMENT



Tiga huruf berukuran raksasa berjajar di pelataran gedung utama Galeri Nasional akhir Februari silam. Tubuh huruf G, O, D, berwarna jingga itu dihinggapi beberapa sosok hitam kelam, ada yang bersimpuh, memanjat, terjerembab, ada pula yang bersandar lunglai tak berdaya di huruf berukuran besar tersebut. Tersusun menjadi kata GOD, yang berarti Tuhan, instalasi tersebut adalah interpretasi Herry Kardjono dan Driananda yang tergabung dalam TIGADE Studio. Karya mereka adalah satu dari sekian banyak karya lain yang tampil dalam pameran bertajuk The Second God yang digelar oleh Jakarta Art Movement (JAM), komunitas senirupa yang baru saja diproklamirkan pada medio Februari, seminggu sebelum pameran ini diadakan.

Dengan kredo semua orang bisa jadi seniman, komunitas ini mencoba mengajak para perupa bergabung di dalamnya untuk mengeksplorasi ide-ide mereka. Maka tak heran jika dalam pameran perdana mereka, ada begitu banyak tawaran yang diberikan sebagai respon terhadap tema The Second God. Kenapa Tuhan kedua? “Dunia urban demikian kompleks. Perkembangan sains dan inovasi-inovasi teknologi komunikasi telah sedemikian jauh menentukan dan mengubah hubungan antar-manusia,” tulis empat kurator – Bambang Asrini Widjanarko, Ilham Khoiri, Seno Joko Suyono, dan Imam Muhtarom- yang menggawangi ajang ini. Mereka menangkap kegelisahan yang terus saja membalut Jakarta, “Sebab Jakarta adalah kota yang sampai kini masih butuh merumuskan siapa dirinya.” Fenomena kemelekatan masyarakat pada banyak hal material, dan kini juga bergerak pada hal-hal virtual, tak ayal menambah pekat gelisah itu.

‘Tuhan-tuhan’ baru ini menjelma dalam beragam benda mulai busana hingga piranti elektronik canggih dan membenamkan banyak orang pada kenisbian. Dalam The Second God, ‘penuhanan’ itu menelusup pada banyak simbol kekinian. Tengok karya Ario Hendrasto dan tim Robotic Untar yang menerjemahkan penuhanan itu pada sesosok robot berkepala monitor yang separuh tubuhnya terdiri atas rangkaian perangkat elektronik yang lekat dengan masyarakat urban. Atau lihat beberapa permainan paling popular di jejaring sosial Facebook, yang menginspirasi kelompok seniman Fakebook membuat replika permainan-permainan itu dalam ukuran nyata. Penonton dapat masuk ke dalam tiga bilik instalasi tersebut secara berkelompok dan membiarkan diri mereka diarahkan oleh penonton di luar bilik sembari menertawakan betapa kelekatan pada permainan-permainan daring (online) itu membuat orang tanpa sadar membiarkan diri mereka diarahkan, ditonton, bahkan ditertawakan.

Karya lainnya menyampaikan muatan yang nyaris serupa. Busana, uang, kendaraan, tepukan tangan, bahkan spirit yang menjelma jadi ambisi yang membuat manusia tak pernah punya rasa puas, diterjemahkan sebagai tuhan-tuhan kedua yang kini mungkin diimani secara lebih takzim ketimbang tuhan dengan ‘t’ besar. (ISA), Foto: Dok. JAM/ Bambang Asrini Widjanarko