Kamis, 15 April 2010

TUHAN KEDUA JAKARTA ART MOVEMENT



Tiga huruf berukuran raksasa berjajar di pelataran gedung utama Galeri Nasional akhir Februari silam. Tubuh huruf G, O, D, berwarna jingga itu dihinggapi beberapa sosok hitam kelam, ada yang bersimpuh, memanjat, terjerembab, ada pula yang bersandar lunglai tak berdaya di huruf berukuran besar tersebut. Tersusun menjadi kata GOD, yang berarti Tuhan, instalasi tersebut adalah interpretasi Herry Kardjono dan Driananda yang tergabung dalam TIGADE Studio. Karya mereka adalah satu dari sekian banyak karya lain yang tampil dalam pameran bertajuk The Second God yang digelar oleh Jakarta Art Movement (JAM), komunitas senirupa yang baru saja diproklamirkan pada medio Februari, seminggu sebelum pameran ini diadakan.

Dengan kredo semua orang bisa jadi seniman, komunitas ini mencoba mengajak para perupa bergabung di dalamnya untuk mengeksplorasi ide-ide mereka. Maka tak heran jika dalam pameran perdana mereka, ada begitu banyak tawaran yang diberikan sebagai respon terhadap tema The Second God. Kenapa Tuhan kedua? “Dunia urban demikian kompleks. Perkembangan sains dan inovasi-inovasi teknologi komunikasi telah sedemikian jauh menentukan dan mengubah hubungan antar-manusia,” tulis empat kurator – Bambang Asrini Widjanarko, Ilham Khoiri, Seno Joko Suyono, dan Imam Muhtarom- yang menggawangi ajang ini. Mereka menangkap kegelisahan yang terus saja membalut Jakarta, “Sebab Jakarta adalah kota yang sampai kini masih butuh merumuskan siapa dirinya.” Fenomena kemelekatan masyarakat pada banyak hal material, dan kini juga bergerak pada hal-hal virtual, tak ayal menambah pekat gelisah itu.

‘Tuhan-tuhan’ baru ini menjelma dalam beragam benda mulai busana hingga piranti elektronik canggih dan membenamkan banyak orang pada kenisbian. Dalam The Second God, ‘penuhanan’ itu menelusup pada banyak simbol kekinian. Tengok karya Ario Hendrasto dan tim Robotic Untar yang menerjemahkan penuhanan itu pada sesosok robot berkepala monitor yang separuh tubuhnya terdiri atas rangkaian perangkat elektronik yang lekat dengan masyarakat urban. Atau lihat beberapa permainan paling popular di jejaring sosial Facebook, yang menginspirasi kelompok seniman Fakebook membuat replika permainan-permainan itu dalam ukuran nyata. Penonton dapat masuk ke dalam tiga bilik instalasi tersebut secara berkelompok dan membiarkan diri mereka diarahkan oleh penonton di luar bilik sembari menertawakan betapa kelekatan pada permainan-permainan daring (online) itu membuat orang tanpa sadar membiarkan diri mereka diarahkan, ditonton, bahkan ditertawakan.

Karya lainnya menyampaikan muatan yang nyaris serupa. Busana, uang, kendaraan, tepukan tangan, bahkan spirit yang menjelma jadi ambisi yang membuat manusia tak pernah punya rasa puas, diterjemahkan sebagai tuhan-tuhan kedua yang kini mungkin diimani secara lebih takzim ketimbang tuhan dengan ‘t’ besar. (ISA), Foto: Dok. JAM/ Bambang Asrini Widjanarko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar