Jumat, 11 Oktober 2013

FENOMENA RADITYA DIKA




Dari cerita sehari-hari Raditya Dika berhasil mempopulerkan komedi. Tapi katanya, komedi sejatinya adalah ironi yang muncul dari kegetiran hidup.
Raditya Dika adalah fenomena dalam dunia komedi Indonesia. Tak percaya? Coba ketikkan namanya di mesin pencari. Hampir dua juta data tentangnya akan ditemukan dalam waktu 19 detik saja. Semua data itu akan menghubungkan kita pada satu kata: komedi. Lalu telusuri secara teliti data-data yang tersaji. Kita akan dibawa lebih lanjut pada ulasan buku-buku berjudul ajaib miliknya seperti Kambingjantan, Cinta Brontosaurus, Radikus Makankakus: Bukan Binatang Biasa, Babi Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang, Marmut Merah Jambu dan Manusia Setengah Salmon. Kita juga akan dipertemukan dengan puluhan video youtube yang memuat berbagai episode serial Malam Minggu Miko serta penampilannya di berbagai panggung Stand Up Comedy yang ia rintis bersama komedian lain, Pandji Pragiwaksono atau berbagai kabar terbaru tentang karya-karyanya di situs radityadika.com dan berita tentang kompetisi Stand Up Comedy di beberapa televisi. Itu masih akan diperpanjang pula oleh kicauannya pada lima juta lebih pengikutnya di akun Twitter tentang berbagai hal.
Ketika ditemui dewi pada sebuah siang di pertengahan Juli 2013 lalu, lelaki bernama lengkap  Dika Angkasa Moewarni itu tengah melakukan pengambilan gambar pertama untuk musim kedua serial komedi situasi Malam Minggu Miko yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta dan youtube pribadinya. Ketika tak sedang berakting di depan kamera, tak tampak tanda-tanda kelucuan pada diri Dika. Dia justru terlihat sebagai seorang sutradara yang tegas, disiplin, dan tak bisa ditawar. Ia memberi instruksi pada tim produksinya sembari memerankan sendiri Miko, tokoh ciptaannya. Di antara jeda syuting, Radit lebih banyak mengecek kesiapan berbagai hal teknis ketimbang bercanda meriah dengan timnya. Ia sesekali saja bergurau sembari berdiskusi tentang scene yang baru direkam. Serius mungkin kata yang tepat untuk menyebutnya.
Radit boleh jadi seorang tipe penyendiri. Ia lebih suka berkutat dengan dirinya ketimbang harus berbasa basi dengan orang lain. Di kalangan blogger pun, Radit memang dikenal sebagai seorang blogger yang jarang datang ke acara kopi darat yang kerap dilakukan. “Sesekali saja muncul, tapi tidak setiap kopdar blogger dia ada. Radit termasuk blogger yang jarang ngumpul dengan sesama blogger,” Wicaksono, blogger senior yang lebih dikenal dengan nama Ndorokakung mengatakan kesannya tentang Radit.  Dikonfirmasi soal ini, Radit tertawa dan mengiyakan apa yang dikatakan Wicak. “Itu terus terjadi sampai sekarang. Saya jarang sekali datang ke acara kumpul stand up comedy. Bukan karena sombong, tapi karena memang tidak senang ngumpul. Sampai sekarang di stan,” katanya sambil merujuk pada sebuah hasil tes psikologi yang skornya menunjukkan dirinya seorang anti sosial.
Ia mengaku tak jeri dianggap sombong karena tak suka berkumpul. Sama seperti ia tak khawatir dengan sifatnya yang anti sosial.  “Komedian itu umumnya membosankan. Pilihan untuk menjadi solitaire itu diambil biasanya karena mereka tak nyaman dan merasa bermasalah dengan kehidupan sosialnya,” kata Radit. Menurutnya, seorang komedian memang tak punya syarat mutlak untuk menjadi lucu di bawah panggung. “Menjadi seorang komedian itu tidak berarti harus naturally funny, tapi harus naturally gampang kesel. The more crancky you are, the funnier you are. Kalau dalam keadaan gelisah dan kesal, apa pun bisa jadi bahan komedi,” kata Radit.
Tak ada yang menyangka kiprah lelaki kelahiran Jakarta 28 Desember 1984 ini melesat secepat roket dan sukses meretas panggung komedi Indonesia. Tidak pula kedua orangtuanya, atau bahkan Radit sendiri. “Nggak pernah berpikir sama sekali. Dulu hanya semata-mata melakukan hobi saja. Cuma curhat sehari-hari di blog saya,” katanya. Curhat sehari-harinya itu lantas menjadi hiburan menyenangkan bagi para blog walker yang ribuan kali menginjakkan jejak di laman yang awalnya bernama kambingjantan.com sebelum berubah jadi radityadika.com. Radit merasa tak memplot apa-apa bagi perkembangan kariernya. Ia merasa beruntung memiliki orangtua yang mendukung apa pun yang ingin dilakukan anaknya. “Mungkin ini pengaruh dari bokap yang selalu mengingatkan saya untuk tidak mengejar uang ketika bekerja. Dan memang ini yang saya buktikan dan makin saya yakini bahwa kalau kita melakukan sesuatu bukan untuk mengejar uang, kita justru akan mendapatkan uang. Kalau bekerja karena uang, mungkin Malam Minggu Miko ini sudah mulai season keduanya sejak Kompas TV meminta saya membuat season dua. Tapi ini tidak. Lama dulu sampai saya merasa ingin membuat season kedua. Nunggu pengen-nya itu yang lama. Kata kuncinya buat saya itu ya pengen,” Radit mengatakan.
Rasa ingin pula yang membuatnya mencoba melakukan pencapaian-pencapaian lain. Dari blog menjadi buku, lalu membelah diri jadi film dan serial adalah diversifikasi karya yang tak ia duga sebelumnya. Kreatifitasnya berevolusi menjadi beberapa bentuk ekstensi dari aktivitas utamanya menulis. “Yang pasti, diversifikasi bukan karena kita mau mencoba suatu hal dan menjadi tidak fokus. Kalau dilihat mungkin memang beragam, tapi saya punya satu benang merah, menulis komedi. Kecuali bisnis pancake saya yang memang agak melenceng dari kerja saya sekarang. Tapi saya fokus pada menulis komedi, tidak random. Akarnya harus sama dan kuat, baru kita bisa ke mana-mana. Controlled randomness mungkin istilah yang tepat,” katanya.
Meski sempat berkuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Raditya mengaku tanpa bekal saat mulai meniupkan ‘ruhnya’ pada blog Kambingjantan juga ketika coba melakukan pemekaran karya. “Kata kuncinya cuma, mau belajar menulis blog yang baik. Dan ternyata kalau kita mau belajar menulis blog yang baik, akan lebih banyak orang yang datang,” kata sulung dari lima bersaudara ini. Ketika menyadari bahwa tulisan-tulisannya bergenre komedi, Radit lantas mempelajari cara penulisan komedi dengan lebih serius. Hasilnya, blognya kian ramai dan tulisan-tulisan yang kemudian dibukukan berjudul sama dengan blognya menjadi best seller dalam waktu singkat. “Dari situ saya belajar bahwa segala hal itu bisa dipelajari. Dari sana, mulailah saya belajar banyak hal. Belajar stand up comedy, dan kemudian bikin acara sendiri. Belajar menulis skenario film. Hasilnya film Brontosaurus yang tahun ini termasuk box office di Indonesia. Di Malam Minggu Miko, saya belajar menulis serial, belajar  jadi sutradara, belajar punya tim penulis dan sebagainya. Jadi, berawal dari punya blog dan keyakinan bahwa segala sesuatu bisa dilakukan kalau kita mau belajar, sampailah saya di sini,” katanya.
Hal itu diamini Tyas Abiyoga, produser yang sejak 2007 bekerjasama dengan Dika. “Radit itu pembelajar dan pekerja keras. Dia selalu menantang dirinya untuk melakukan sesuatu yang baru. Saya sudah bekerjasama dengan dia sejak mulai menawarkan naskah Kambing Jantan pada perusahaan-perusahaan film. Untuk setiap hal baru yang ditemui dan terlihat akan jadi hambatan, Dika akan dengan senang hati duduk mempelajarinya sampai mahir,” kata Tyas. Ia juga mengaku kagum pada kemampuan Radit menjaga citra. “Radit konsisten pada citra yang dibentuknya. Dari dulu sampai sekarang, saya melihat Raditya yang sama. Dia nggak aneh-aneh latah ikut ini itu untuk mempertahankan eksistensinya di dunia showbiz. Dia konsisten pada apa yang sejak awal dikerjakannya dan fokus mengembangkan segala kemungkinan yang bisa dia dapat dari bidang yang ditekuninya,”  kata Tyas.  
Selain tak henti belajar, ia punya resep andalan lain yang membuat karya-karyanya diminati banyak orang, yakni menjadi diri sendiri sembari mencari irisan yang mengaitkan persoalan-persoalan personalnya dengan persoalan penikmat karyanya. Radit yang juga senang menyebut dirinya sebagai creativepreneur ini sadar benar bahwa ketika ia memasuki dunia industri, materi karya yang ia buat harus memiliki kaitan dengan demografi penikmat karya yang ia sasar. Ia analogikan keterkaitan itu sebagai cermin yang bukan hanya bisa memantulkan sosoknya, tapi juga demografi audiensnya. “Saya tidak akan mengambil pengalaman yang terlalu spesifik seperti bersekolah di Adelaide, menulis naskah, menjadi sutradara, atau bahkan merintis usaha pancake durian karena belum tentu orang bersekolah di kota yang sama atau menjalankan usaha yang sama dengan saya. Saya memilih mengambil sesuatu yang universal yang mungkin juga dialami oleh penonton saya. Contohnya pada Cinta Brontosaurus. Premisnya adalah fakta bahwa cinta bisa kadaluarsa. Atau Malam Minggu Miko yang saya pakai untuk mengkritisi tesis umum yang mengatakan bahwa lelaki lajang yang malam minggunya dilewatkan tanpa kencan itu menyedihkan. Jadilah saya buat tokoh si jomblo Miko yang malam minggunya lebih sering  dilewati tanpa kencan, atau sekalinya kencan pastilah kencan yang gagal,” Radit menjelaskan. 
Mengulik habis berbagai persoalan jomblo dalam serial komedinya, tak berarti Radit adalah jomblo sejati. “Nggak kok. Saya itu pacaran terus dan jarang menjomblo karena saya nggak tahan jadi jomblo,” katanya sambil tertawa. Kerja, barangkali kini menempati prioritas utama dalam hidupnya. Ia ingin membuat panggung yang baik untuk para komedian Indonesia. “Saya termasuk orang yang nggak sabaran saat mengarahkan syuting. Saya pernah meninggalkan syuting karena salah satu pemain nggak bisa akting. Tapi saya yakin, main itu masalah kemauan juga dan saya ingin sekali stand up comedian punya tempat di Indonesia. Karenanya saya selalu memakai stand up comedian untuk proyek-proyek saya,” katanya. Ia percaya, kesempatan adalah sesuatu yang dibutuhkan semua orang. “Saya ditemukan karena orang percaya sama saya dan saya ingin melakukan hal itu pada orang lain, memberi kepercayaan dan kesempatan pada bakat-bakat baru,” Radit menyatakan mimpinya.
Sementaraini, tampaknya kerja memang memenuhi sebagian besar benaknya. Sebab meski mengaku selalu punya pacar, Radit bukan orang yang terbuka membicarakan kehidupan pribadi dan kisah cintanya. Tapi Radit membocorkan sedikit tipe perempuan yang bisa mengusik hatinya: pandai, nyambung dan mandiri. Kenapa cantik tidak masuk dalam kriterianya? “Yang cantik banyak. Yang nyambung, pintar dan tidak manja itu susah dicari sekarang,” katanya. Semoga Radit segera menemukannya. (Indah S. Ariani), Foto: Dhany Indrianto, Pengarah gaya: Aldi Indrajaya, Busana: Sweater, Norse Project, Celana, Vanishing Elephant, Otoko.
*Artikel ini merupakan versi unedited artikel sama yang telah diterbitkan di Majalah Dewi Edisi Oktober 2013* 

1 komentar: