Selasa, 01 Desember 2009

TARIAN HATI HARTATI


Hartati hari ini adalah geliat gerak hati yang tak lagi takut pada jumud masa lalu atau ragu masa depan.


Perjalananku, pergerakanku, seluruh cerita hidupku sepertinya berlangsung di dalam kotak. Sudah bergerak ke mana saja aku? Sudah bergerakkah aku? Apa yang sudah kulakukan? Dari mana kotak ini berasal? Siapa yang meletakkan kotak ini di sini, mengurungku? Atau siapa yang meletakkan aku di dalam kotak ini?

Pertanyaan retoris itu terucap lirih di sela-sela gerak bisu dan musik sendu yang melingkupi panggung di Teater Salihara beberapa bulan lalu. Suara Hartati, koreografer pertunjukan bertajuk In/Out itu seperti tercekat kegalauan ketika membaca teks pendek itu. Tanpa tampil ke atas pentas, rangkaian pernyataan berimbuh deretan pertanyaan itu seperti dengan tepat melukiskan ekspresi hati Hartati. Seperti biasa, ada sejuta cerita (perempuan tepatnya) dalam tiap pertunjukan penata tari yang tumbuh besar di Muara Labuh, Solok, Sumatera Barat ini. Cerita yang mengungkap pergulatan batin yang mungkin terjadi dalam hati dan hidup banyak sekali perempuan. “Jadi sangat wajar ketika ada penonton yang lantas merasa karya saya mewakili mereka. Sebab ini tidak hanya tentang saya, tapi memang juga tentang mereka, kita semua,” kata Hartati beberapa jam setelah pertunjukkan malam itu. Bergabung dengan GUmarang Sakti

Berbincang dengan Hartati terasa seperti tengah menggali kuburan di mana segala kenangan tersimpan. Dalam dirinya, ada sebuah ruang tempat seluruh pergulatan batin perempuan berkulit sawo matang ini menggenang, lalu mengendap menjadi sumber bahan bakar kreativitasnya sebagai penata tari. “Sejak kecil, saya terbiasa melihat betapa tidak adilnya dunia ini pada perempuan,” katanya pelan. Tati –begitu ia biasa disapa- bercerita, ketika masih tinggal di kampung halaman, ia acap main ke rumah teman yang memiliki banyak anak. “Di rumah itu, saya sering melihat ibu teman saya menyediakan makan untuk suami dan anak-anaknya. Hanya sedikit makanan yang tersedia, dengan begitu banyak mulut yang harus dibagi. Semua orang di rumah itu kebagian, kecuali sang ibu. Saya bertanya, kenapa dengan pekerjaan dan tanggung jawab yang demikian banyak, justru ibu itu yang nggak kebagian makanan?” kesahnya. Di kemudian hari, endapan kisah itu ia gali dan olah menjadi koreografi berjudul Membaca Meja yang dipentaskan pada 2002.

Kisah itu hanya satu dari sekian banyak ketimpangan yang dialami perempuan. Sebab banyak karyanya yang lahir dengan cara seperti ini. Pertanyaan demi pertanyaan menyangkut kesetaraan antara lelaki dan perempuan, terus saja menghampiri Tati lewat berbagai pengalaman yang ia lalui. Perjalanannya mewujudkan obsesi menjadi penata tari, acap terbentur dinding kesempatan yang seperti berlaku tak seimbang baginya. “Status saya sebagai istri dan ibu, sering jadi alasan yang seperti pisau bermata dua. Beberapa kali saya kehilangan kesempatan karena pasangan tidak mengijinkan,” katanya tentang kejadian yang seirng terjadi di masa lalunya. Masa lalu karena pada 2007 Tati memutuskan berpisah dengan Boi G. Sakti, sesama koreografer yang selama lebih dari dua decade (sejak Tati bergabung dengan kelompok tari Gumarang Sakti pimpinan Ibunda Boi Gusmiati Suid) bersama-sama berjalan mengembangkan karier di dunia tari.

Membaca Tanya
Berbagai beasiswa Tati terima, kadang-kadang bersama dengan Boi seperti ketika mereka berangkat ke New York pada 2001 atas undangan Asian Cultural Center. “Baru pada tahun itu saya membuat karya dengan nama sendiri. Biasanya saya selalu muncul sebagai bagian dari Gumarang,” kenangnya. Karya itu berjudul Sayap Patah yang juga berkisah tentang perempuan yang dilumpuhkan oleh keadaan. Suara hati Tati lagi-lagi tertuang di sini. “Saya merasa ada sesuatu yang membuat kemampuan saya tak bisa tereksplorasi secara maksimal,” Tati menjelaskan. Karya solo perdana itu menjejakkan kaki Tati di kancah tari dengan cara yang berbeda. Ia menarik perhatian banyak pengamat dan membuatnya dipercaya menerima hibah dari Kelola, -sebuah lembaga yang berupaya mendukung kemajuan seni pertunjukan di Indonesia- yang menghasilkan karya Membaca Meja. “Meja adalah tempat kita belajar. Entah itu di sekolah mau pun di rumah. Dan meja makan, menurut saya adalah tempat pembelajaran hidup paling menarik jika merujuk apa yang saya lihat dulu, ketika masih kecil di kampung,” katanya.

Tati terus menari sambil berusaha mengatasi kegelisahannya tentang berbagai hal seputar perkembangan kariernya. Pada satu titik, ada semacam rentetan tanya yang berpusar pada persoalan eksistensi. Potensi yang ia miliki, sering tak berhasil menggapai tingkat tertinggi, karena keadaannya sebagai istri dan ibu seakan menjaringnya untuk kembali ke tanah. “Sistem matrilineal yang dielu-elukan sebagai penghormatan bagi perempuan, nyatanya tidak bisa menghalangi lelaki untuk memenjarakan perempuan dalam system yang walaupun sering tidak berpihak pada perempuan, tetap saja dibela mati-matian oleh para perempuan sendiri,” katanya geram. Tanya yang tak terjawab, seringkali memang terakumulasi menjadi satu kejumudan yang tak terhindari. Pada 1997, Tati memutuskan berhenti menari dan melipir ke pinggir panggung. Saya gamang dan marah. Sebagai penari, saya sudah berada di jenjang paling tinggi. Sudah mentok, tidak ada lagi yang lebih tinggi. Kalau tidak mulai menjadi koreografer, tentu karier saya akan selesai,” katanya dengan luka yang seperti masih bisa diraba. Ia benar-benar memutuskan tidak bersentuhan dengan dunia tari. Ia tenggelamkan dirinya dalam kesibukan mengurus keluarga. “Kalau pun terlibat kerja dalam sebuah pertunjukan, saya benar-benar memilih kerja yang jauh dari panggung, seperti menjadi penangung jawab ticketing,” kisahnya.



Bunda mertuanya lalu datang menawarkan solusi kala itu. “Ibu mengajak saya menjadi koreografer, tandem dengannya. Beliau memang mitra kerja yang baik dan sangat mengerti kegelisahan saya. Mungkin karena kami sama-sama penari dan perempuan, Ibu lebih mengerti gejolak yang terjadi dalam diri saya,” tutur Tati tentang Gusmiati yang ia kagumi. Ia menjawab tawaran Gusmiati dengan kreativitas. Ia buktikan kemampuannya dengan mengolah gejolak batinnya jadi gerak-gerak rancak yang membuat namanya terus melaju sebesar apa pun halangan yang diletakkan di hadapannya. Totalitas Tati diganjar beasiswa dari ACC untuk ia dan Boi. Mereka berangkat dengan anak pertamanya Menthari Ashia yang kala itu masih balita dan seorang adik iparnya.

Proses kreatifnya kembali bergulir dan Tati dapat membuktikan bakat besarnya memang layak mendapat acungan jempol. Dalam masa ini, ia cukup produktif mencipta karya yang cukup fenomenal seperti Sayap Patah, Membaca Meja dan Ritus Diri. Karya yang terakhir itu disebutnya sebagai karyanya yang paling buuruk secara estetika. menjadi semacam salam perpisahan keduanya pada panggung tari. Ketidaksepahaman soal eksistensi mencuat lagi dan membuatnya tak bisa menghindari kenyataan paling buruk yang harus menimpa pernikahannya denga Boi yang dalam pandangan banyak orang begitu ideal. “Di satu titik, saya harus memilih. Tidak ada orang ketiga dalam pernikahan kami. Masalah terbesar mungkin memang hanya persoalan eksistensi,” katanya lirih.

“Saat itu. keputusan saya bulat untuk tidak berkesenian lagi. Saya merasa sangat bimbang dan putus asa soal eksistensi saya sebagai seorang seniman,” katanya. Saat itu, Tati mendapat beasiswa dari sebuah lembaga yang harusnya bisa menjadi ajang untuk menempatkannya sebagai sosok yang diakui di kancah tari internasional. “Paling tidak untuk Asia Pasifik dan Amerika. Tapi ijin keberangkatan tidak juga diberikan oleh suami saat itu,” kisahnya. Dengan rasa frustrasi yang sangat sarat, Tati kembali memilih keluar dari hiruk pikuk panggung pertunjukan. “Saya menyewa toko di pasar Depok dan berjualan baju. Itu saya pilih untuk tidak membiarkan diri saya terus memikirkan karier saya yang seperti kembali menemui jalan buntu,” katanya. Tati yang mengaku tak suka belanja itu pun harus bergelut dengan sekian banyak kerepotan standar yang harus dilalui seorang pedagang. “Saya belanja sendiri ke Pasar Pagi, berdamai dengan segala hal yang tak saya sukai seperti berpusing-pusing mencari model baju paling bagus, menawar, dan membawa pulang belanjaan,” katanya.

Belajar di Pasar
Upaya itu cukup berhasil tak hanya untuk menghapus kekecewaan, tapi juga memupus identitasnya sebagai seorang koreografer cemerlang. “Siapa juga yang tahu saya di pasar?” tukasnya ringan diimbuhi tawa. Untuk memperlancar usaha, Tati tak segan berjualan di pasar kaget yang biasa ada di perumahan dekat rumahnya pada minggu pagi. “Saya nggak malu melakukannya. Santai saja,” kata Tati yang mengaku banyak mendapat pelajaran dari kegiatan berdagang itu. Layaknya laku lain, merasa mendapat ‘kekayaan’ dari salah satu fase dalam hidupnya itu. “Hal paling mengejutkan saya adalah kesadaran untuk tidak lagi meremehkan diri sendiri. Kita bisa melakukan apa saja yang awalnya terasa tak mungkin kita lakukan. Tapi pada saat yang bersamaan, saya juga disadarkan untuk tidak bersikap percaya diri berlebihan, karena manusia itu sesungguhnya bukan siapa-siapa ,” ungkapnya. Kontradiksi itu juga menumbuhkan sebuah keyakinan menarik dalam dirinya, “Setinggi apa pun posisi kita dalam masyarakat, kita tidak pernah benar-benar berada di atas. Selalu ada yang menempati posisi di atas kita, Jadi sombong itu memang sesuatu yang nggak perlu dalam hidup ini,” katanya arif.

Dalam masa itu pula, relasinya mengalami cobaan besar. Ia berpisah beberapa tahun setelah Gusmiati mangkat. Tanpa mertua yang benar-benar mengerti isi hatinya, Hartati harus berjalan sendiri melewati masa paling sulit dalam hidupnya. Perceraian yang terjadi pada 2007, membawanya kembali ke panggung pertunjukan lewat komposisi tari Hari Ini yang dipentaskan di Goethe Institute. Seperti kelahiran baru, karya Tati terlihat mengalami pergeseran bentuk kala itu. Gerak-gerak rancak pencak silat menjadi lebih hening dengan tuturan ide yang lebih sublime. Perkenalannya dengan banyak hal baru –salah duanya adalah yoga dan buku Laa Tahzan- kala melewati masa sulitnya, memberi Tati cara pandang baru yang lebih tenang dan matang. “Hal yang membahagiakan saya adalah kenyataan, bahwa orang menerima saya dengan tangan terbuka ketika saya kembali pada 2008 silam. Support mereka sangat luar biasa bagi kemantapan saya kembali berkarya,” katanya.

Setelah semua yang ia lalui, Tati kini mengaku ingin bisa memberi kebaikan bagi banyak orang. “Saya hanya ingin bisa berguna bagi orang lain, entah lewat karya atau lewat mengajar,” kata Tati yang kini mengajar di almamaternya, Institut Kesenian Jakarta. Sepak terjang Tati memang makin terasa di kancah pertunjukan tari. Baru-baru ini, bersama Miroto dan Eko Supriyanto, ia mengomandoi pertunjukan kolaborasi tiga institute seni dalam Festival Kesenian Indonesia 2009. Dinamika yang sejak kemucnulannya kembali telah pelan-pelan ia sampaikan. Lewat karya Hari Ini, Tati mengaku ingin bercerita tentang dirinya yang baru, yang siap memasuki segala kemungkinan yang terjadi dalam hidup. Jelas ada otimisme di sana. Ia nyatanya memang kembali dengan nuansa estetika yang jelas lebih matang. Penerima penghargaan Empowering Women Artist dari Kelola dan Hivos ini masih mempertanyakan banyak hal tentang ketimpangan yang terjadi pada perempuan. Ia masih menggugat lewat karyanya yang terus saja bermunculan. Tapi Tati memang hanya mau bicara tentang hari ini. “Sebab hanya hari ini yang nyata buat kita. Masa lalu sudah lewat dan gelap, sementara masa dating masih jadi sesuatu yang gaib, yang tidak kita ketahui bentuknya,” katanya mengutip Laa Tahzan. Di luar segala keinginannya untuk eksis di kancah seni, ibunda Menthari Ashia (10) dan Mikhailham Muhammad (6) ini ternyata masih menyimpan satu harapan sederhana,” Saya ingin jadi ibu yang bisa mengekspresikan diri.” Apa pun harapan Tati, tentu itu muncul dari geliat hati yang senantiasa menari. (Indah Ariani), Foto: Hermawan, Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Rias wajah&rambut: Aries, Lokasi: Salihara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar