Senin, 30 November 2009

BERJUMPA IVAA DI DUNIA MAYA


Apa arti sejarah tanpa pencatatan? Maka kiprah IVAA sangat layak ditakzimi. Kini mereka memasuki era digitalisasi dan merambah dunia maya.

Kegelisahan beberapa pelaku dan pengamat seni rupa kontemporer Yogyakarta -Nindityo Adi Purnomo, Mella Jaarsma, Agung Kurniawan, Anggi Minarni, Raihul Fajri, Neni dan Koni- lebih dari satu dekade lalu, berbuah sebuah langkah progresif yang ditujukan bagi lestarinya seni rupa kontemporer Indonesia. Kesadaran akan pentingnya pencatatan dan pengumpulan berbagai data, informasi dan referensi tentang wacana dan perkembangan seni rupa kontemporer, membuat keberadaan lembaga arsip dianggap menjadi sebuah kebutuhan krusial. Maka dibentuklah Indonesian Visual Art Archive (IVAA) yang saat pertama kali dibentuk bernama Yayasan Seni Cemeti (YSC). Langkah penting itu dilakukan bahkan sebelum pasar seni rupa kontemporer Indonesia menggeliat dan berkibar seperti saat ini.

Dokumentasi awal yang dimiliki IVAA saat didirikan pada 1995 itu adalah arsip-arsip seni rupa milik Nindityo dan Mella yang terus bertambah hingga kini memiliki sekitar 17.869.315 data dengan referensi seni kontemporer tertua bertahun 1960-an. Setahun setelah YSC berubah menjadi IVAA pada 2007, terbit ide mendigitalisasi seluruh data yang dimiliki. Upaya ini mendapat dukungan dari dua lembaga asing dari Amerika (Ford Foundation) dan Belanda (Hivos). Langkah itu diambil untuk memastikan kalau data yang dimiliki IVAA akan jauh lebih aman tersimpan. Proses digitalisasi yang mulai dikerjakan pada 2008 silam itu, lantas berkembang dan memunculkan ide untuk membuat format online untuk seluruh data IVAA yang bisa diakses dari seluruh pelosok dunia. “Bisa dibilang, kami memasuki wilayah baru dalam pola pengarsipan. Dari manual menjadi digital dan kini kami maju satu langkah lagi agar semua orang di dunia bias mengakses data yang kami sediakan,” ungkap Farah P. Wardani, Direktur Eksekutif IVAA.

Menurut Farah yang juga kurator independen ini, pengarsipan adalah sebuah kerja penting dalam seni –dan juga dalam banyak bidang lain- yang tak tergarap dengan baik oleh pemerintah. “Maka kami berusaha mengisi kekosongan itu dengan melakukan apa saja yang kami bisa. Harus ada yang mau melakukan kerja ini. Proses trial and error pasti terjadi, tapi kami harus ambil risiko itu. Anggap saja ini sebagai pilot project yang bisa diterapkan juga pada bidang seni lain semisal teater, tari, atau musik,” katanya. Upaya keras mendigitalisasi data itu, diakui Farah belum berakhir, karena masih cukup banyak teks koleksi IVAA yang belum tergarap. Tapi kini hasil kerja Farah dan timnya sudah dapat diunduh lewat www.ivaa-online.org/archive yang boleh jadi merupakan situs data seni rupa kontemporer pertama di Indonesia. “Siap tidak siap, kami sepakat melemparkan ini ke khalayak. Perkembangan bisa dilakukan sambil jalan,” jelas Farah di sela-sela persiapan peluncuran IVAA Online di Galeri Nasional beberapa waktu lalu. Ya, kerja memang masih belum selesai. Tapi harus ada langkah diayunkan, bukan? Dan ini layak diapresiasi. (Indah Ariani) Foto: ISA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar