Senin, 30 November 2009

KEMEWAHAN HATI DELIA MURWIHARTINI


Berpandu hati, ia meraih sukses besar justru kala krisis terjadi. Baginya, hidup adalah kemewahan paling berharga yang pernah ia terima.

Kalau mampir ke rumah luasnya yang asri di Yogyakarta, kita akan segera bisa mengidentifikasi kesuksesan Delia Murwihartini dari sebagian hal mewah yang tampak. Sebuah Maserati seri terbaru dengan interior customized yang dipesan langsung di Italia dan VW Tuareg seharga Porche berjejer mengisi garasi luas di bagian samping rumah. Dapur barunya, terisi dengan kitchen set yang ia pesan langsung dari Jerman. Belum lagi jajaran koleksi pakaian dari runway label ternama serta sepatu-sepatu bermerek di kamarnya yang menyerupai paviliun besar. Sebuah ‘tempat persembunyian’ dibuat di belakangnya: kamar mandi besar dengan berbagai fasilitas perawatan untuk memanjakan tubuhnya.

Namun, kesan itu justru makin berkilau manakala kita berbincang dengan pengusaha tas berlabel The Sak dan Dowa ini. Sikapnya yang bersahaja dan apa adanya, sesungguhnya adalah kemewahan alami yang ia miliki. Boleh jadi, ini pula yang membuat ibu dua anak ini mampu meraih apa yang ia impikan. “Sejak mulai menjual tas, saya selalu bermimpi suatu saat punya pabrik besar yang bisa memproduksi tas dalam jumlah banyak dan pasar produksi yang luas hingga mancanegara,” katanya di sebuah senja di pendopo rumahnya yang langsung menghadap halaman luas berisi tanaman bunga dan buah. Sambil mengudap penganan, ia berkisah tentang perjalanannya yang tak mudah meretas jalan usaha hingga produknya berkibar di Eropa dan Amerika.

Putaran Roda Hidup
Memulai bisnis dengan menjajakan tasnya ke penginapan-penginapan di sekitar Prawirotaman, Delia tak pernah mau menyerah pada keterbatasan. Rintangan, sepelik apa pun, selalu berhasil ia atasi dengan ketenangan luar biasa. “Kita diberi hidup itu kan untuk menyelesaikan masalah,” katanya ringan. Misalnya saja ketika ia hendak memenuhi pesanan besar pertama yang dating padanya dari seorang eksportir Swedia. Kondisi keuangan yang tak memungkinkan, membuatnya kelimpungan mencari bantuan. Pengajuan pinjamannya pada beberapa bank, belum mendapat respon sementara waktu terus berjalan dan saat pengiriman bertambah dekat. Dengan nekat, Delia mendatangi beberapa pemasok bahan baku dan mengajak mereka bekerjasama menyediakan bahan baku untuknya dengan janji pembayaran dilakukan ketika ia sudah menerima pembayaran pesanannya. Masalah terselesaikan dan semua berjalan sesuai rencana.

Di matanya, tak ada masalah yang terlalu susah untuk dipecahkan, “Bukan menggampangkan, tapi kita memang hanya bisa menunggu masalah datang dan menyelesaikannya. Maka jadilah orang baik, bukan cuma sekadar pintar,” ungkapnya serius. Delia sepertinya punya segudang mutiara batin yang ia kumpulkan dengan telaten dari apa pun yang terjadi dalam hidup. Tekun mungkin adalah nama tengahnya. Sebab, meski sangat mungkin melamar kerja dengan mengandalkan ijazah sarjana, lulusan Fakultas Komunikasi Universitas Gajahmada ini lebih memilih bersusah payah belajar menjahit dan memasarkan tas-tas kreasinya door to door. Ia tak gentar harus memulai usaha dari titik nol. “Saya percaya Tuhan pasti akan menolong kalau kita mau berusaha,” cetusnya mantap. Hal lain yang membuatnya tak pernah surut menghadapi cobaan apa pun, adalah rasa syukurnya yang demikian besar atas hidup. “Kalau saya jatuh dan menangis, artinya saya tidak bersyukur. Sebenarnya hal yang paling penting itu adalah mengayakan diri kita. Nasib manusia itu tidak bias diprediksi,” katanya. Kekayaan yang ia maksud, tentu bukan semata soal materi. Ia bicara, lebih pada persoalan kematangan jiwa.

Delia sadar benar, kalau hidup serupa roda berputar. “Bisa jadi pada usia 40, kita akan jatuh lima meter. Kalau dari muda kita membangun batin setinggi-tingginya, sekaya-kayanya, ketika kejatuhan itu harus kita alami, ia tidak akan terlalu menyakitkan. Jatuhnya tidak akan di titik nol lagi. Jatuhnya orang kaya itu selalu beda dengan jatuhnya orang miskin secara batin,” katanya beranalogi. Delia tak hanya bicara. Sebab hidup dan usahanya pun, memang berputar seperti roda yang kadang bergulir cepat untuk kemudian melambat dan menghimpitnya di posisi sulit. Salah satunya ketika pada tahun 2000, saat pamor The Sak tengah berkibar di Amerika, masuklah produk Cina yang jauh lebih murah dengan meniru mentah-mentah desainnya. “Kala itu, saya tak hanya berperang kreativitas, tapi juga kecepatan menawarkan inovasi. Saya punya motto, jadilah pionir. Pembebek tak akan pernah bisa mengalahkan orang yang berjalan duluan,” kisahnya. Meski sebagian besar pasarnya direbut paksa, Delia tak limbung. “Semua sudah ada dalam perhitungan dan kontrol saya. Apalagi saya tak mengembangkan usaha dengan uang pinjaman. Maka saya lebih mudah mengakselerasi produksi,” kata wanita yang lebih senang menyetir sendiri ini. Masalah yang ia hadapi memang banyak dan besar. “Tapi kenapa saya tetap bisa menghadapinya dengan tersenyum dan optimis? Karena saya tahu di balik kesulitan itu ada kemudahan,” tukasnya yakin.

Ia melihat, kebanyakan orang merasa tamat ketika menemui kesialan bertubi dan terpaku pada masalah itu tanpa melakukan apa pun. “Padahal, di situlah ada kunci yang harus dicari. Kalau terpancang pada kesulitan-kesulitannya saja, rezeki besar tidak akan terlihat,” katanya lugas. Ia selalu memilih untuk tidak membesar-besarkan masalah itu, “Lebih baik introspeksi. Bukan untuk menyalahkan diri, tapi untuk mencari jalan keluar. Jadi pola pikir kita adalah solusi, solusi, solusi selain kita tahu apa penyebabnya sehingga kita tidak jatuh di lubang yang sama.” Hal yang juga selalu ia tanamkan dalam keyakinannya adalah, “Di dunia ini, tidak semua orang akan suka, sebaik dan sebersih apa pun kita. Nabi-nabi saja banyak yang membenci, apalagi kita yang derajatnya jauh di bawah mereka.” Keyakinan ini selalu membuat Delia santai saja, manakala menerima sikap tidak menyenangkan dari orang di sekelilingnya. Ia tak mudah sakit hati atau terpukul karena ia selalu yakin, yang melakukan itu bias dipastikan bukan sahabat atau teman dekatnya.

Hanya Ada Bahagia
Delia orang yang sangat senang mendengarkan kata hatinya. Saat memilih sahabat, ia selalu mengandalkan pesan yang ia tangkap dari hati. “Saya bergaul dengan sebanyak mungkin orang. Tapi siapa yang tepat untuk jadi sahabat, itu hati yang membisiki,” katanya. Takaran yang sama, juga ia terapkan manakala memilih berbagai benda koleksi, mulai benda fashion hingga karya seni. “Mungkin karena Taurus, saya memang cenderung tidak peduli apa yang sedang happening. Kalau menurut saya bagus dan pantas, saya beli,” katanya. Maka, apa yang melekat padanya, akan mencerminkan siapa Delia. Contohnya saja lukisan-lukisan yang memenuhi dinding rumahnya. Ia tak bergeming pada demam kontemporer yang melanda pasar seni rupa. Delia hanya akan membeli lukisan –karya seni yang paling banyak dikoleksinya- hanya jika ia merasa ada relasi kuat yang terjalin antara hatinya dan karya visual yang tengah ia amati. Baginya, nilai sebuah karya terletak pada bagaimana karya itu punya makna bagi orang yang memilikinya. “Kalau ketika melihat sebuah lukisan saya mendapat spirit darinya, maka saya akan membeli karya itu. Kalau tidak, buat apa saya memilikinya?” katanya lugas.

Cara Delia memaknai karya seni barangkali memang unik. Ia pernah melontarkan kritik. Sebab katanya, “Tidak ada karya yang jelek. Masalahnya adalah, apakah orang yang melihat cocok dan senang dengan karya itu atau tidak.” Maka, wanita yang memprioritaskan karya seniman Yogyakarta -ini sebagai solidaritas local, katanya- untuk dikoleksi ini tak pernah melontarkan kritik pada karya yang ia lihat. “Kalau tidak suka ya tidak usah dibeli. Itu sudah jadi bentuk kritik non verbal saya,” katanya santai. Karya seni yang ia miliki tersebar di rumah dan kantornya dengan jumlah ratusan. “Saya sedang membuatkan catalog supaya ada pencatatan yang baik. Lukisan-lukisan yang saya punya itu pasti saya suka. Jadi tidak terbersit sedikit pun untuk menjualnya,” kata Delia yang memesan lukisan pertamanya pada perupa perempuan ternama, Lucia Hartini. Ia memang menerapkan standar yang sangat personal untuk beberapa hal dalam hidup yang ia anggap sebagai ‘investasi batin’.

Begitu pula soal fashion. Ia selalu membeli yang terbaik dari koleksi terbaru, demi menghargai rezeki yang ia terima dari Sang Pencipta. “Kalau bias dibelanjakan dengan mudah, artinya memang itu porsi rezeki saya. Tiap orang kan diberi porsi berbeda dan harus bisa mensyukuri nikmat sesuai tingkatannya,” ungkap Delia. Hanya saja, untuk benda fashion, ia menerapkan aturan berbeda. Kalau lukisannya dijamin tak akan berpindah tangan, tidak begitu dengan fashion. “Saya tidak suka menumpuk baju. Jadi kalau saya beli lima, baju di lemari saya juga harus berkurang lima. Begitu juga dengan sepatu. Saya hanya mematok 50 sepatu untuk saya koleksi tiap kali. Alasannya sederhana saja, karena lemari sepatu saya sengaja saya buat hanya punya 50 kabinet ,” kisahnya sambil tertawa. Ia juga rutin ‘mencuci lemari’ dua bulan sekali untuk memastikan, hanya busana yang masih ia butuhkan saja yang ada di dalamnya. “Saya selalu merasa bersalah tiap kali melihat benda yang tidak bermanfaat teronggok di rumah atau lemari saya. Maka, dengan rutin ‘mencuci lemari’ saya bias yakin kalau benda yang saya miliki akan tetap bermanfaat. Caranya, saya berikan pada orang lain,” katanya serius.

Delia percaya, hidup semata hanya tamasya sesaat yang suatu saat harus berakhir. Menjadi bermanfaat adalah satu syarat mutlak yang ia cantumkan dalam tiap proposal hidupnya, setelah rasa ringan dan bahagia. Maka, ia lebih senang menggunakan kasih sebagai landasan hidupnya. Kekecewaan yang pernah ia alami, mengajarkannya untuk tak lagi mendewakan cinta. “Cinta itu cenderung materialistis. Hanya fisik. Kasih jauh lebih murni karena ketika kasih diberikan, bias dipastikan ada ketulusan di dalamnya,” Delia berteori. Itu sebabnya, meski berdarah, ia tak patah manakala ada yang menusuknya dari belakang, seperti yang pernah ia alami bebera tahun silam. Dikhianati seorang sahabat diakuinya sebagai masalah terberat yang pernah ia rasakan. “Sakit. Tapi saya juga bersyukur, karena kalau tidak mengalami itu, saya mungkin tidak akan tahu ada pintu lain yang terbuka buat saya,” katanya, tanpa mau merinci kejadiannya. Delia tahu, seburuk apa pun, sebuah kejadian hanya terjadi karena perkenan Tuhan. “Kita kadang tidak bias mengelak dari takdir. Yang bias kita lakukan hanyalah berdoa dan berusaha membelokkan takdir buruk menjadi baik,” papar penyuka buku manajemen praktis dan spiritual ini.

Berbekal keyakinan itulah, ia mengaku bisa menikmati tiap detik yang terjadi dalam hidupnya. Entah sedang berkutat dengan pekerjaan di kantor dan pabriknya di kawasan Parangtritis, mengunjungi satu persatu showroom tasnya dari Yogyakarta hingga Amerika, atau bersantai menikmati udara pantai di destinasi favoritnya di Savona Italia. Kita akan menjumpai orang yang sama. Delia yang selalu ceria, yang tak pernah berpura-pura. Dan ia bahagia karenanya. (Indah S. Ariani), Pengarah Gaya: Karin Wijaya, Foto: Ferdy (Kencana Art Photography, Yogyakarta), Busana: Carmanita

3 komentar:

  1. You still the best!
    I miss you mam...

    BalasHapus
  2. semangat yang pantang menyerah dari ibu Delia ini memang patut ditiru. terima kasih karena telah menginspirasi hidup saya selama ini.

    BalasHapus